Minggu, 05 Februari 2017

ANARKISME ELIT




Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Untag, Jayabaya, dan FE UBK
Published 11 Oktober 2000 Harian Terbit

Masyarakat Indonesia kecenderungannya sedang berubah, yakni meninggalkan nilai lama, namun belum menemukan nilai baru. Dikatakan demikian mengingat tuntutan objektif masyarakat akan reformasi belum menunjukkan hasil yang berarti. Apakah mereka itu sadar akan arti maupun makna reformasi atau tidak menjadi tanda tanya besar?. Tanda tanya besar karena hingga menjelang tiga tahun usia reformasi perubahan yang mendasar dan substantif belum menampakkan wajahnya. Wajah yang mengemuka adalah wajah yang buram. Mudah-mudahan bukan wajah yang palsu.
Buramnya wajah Indonesia ini dapat di lihat dari realitas kehidupan ekonomi politik yang tidak sesuai tuntutan reformasi. Meskipun tidak pernah diurai jelas, reformasi paling tidak menuntut beberapa hal, seperti kehidupan politik yang semakin demokratis, kehidupan ekonomi semakin sejahtera, hukum mendekati keadilan, dan lain-lain yang berhubungan dengan perubahan mendasar demi kemaslahatan masyarakat.
Nilai-nilai ini menjadi semacam ukuran untuk melihat apakah reformasi telah berjalan atau belum. Dan kalau di tilik lebih jauh kelihatannya masih jauh dari harapan. Demokrasi yang di bangun pasca Soeharto bermuara kepada kebebasan yang se bebas-bebasnya yang memunculkan anarkisme sosial. Pola ini disadari atau tidak telah fenomenologis di tengah-tengah masyarakat, khususnya di antara elit-elit politiknya

Kebebasan-kebablasan
Kebebasan sebagaimana hakikinya adalah hak asasi manusia. Setiap manusia telah dikaruniakan untuk memiliki kebebasan. Tanpa kebebasan hilanglah kemanusiaannya. Akan tetapi yang sering terlupakan dalam kebebasan itu inheren ketidakbebasan. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang sudah dilandasi pertimbangan nan rasional, mendalam, atau ilmiah. Tidak sekedar bebas, apalagi asal bacot seperti yang kita rasakan saat ini ditengah atmosfir perpolitikan nasional yang hingar-bingar dengan silang pendapat kontroversial antar elit politik
Perbedaan pendapat antar elit dalam khasanah politik Indonesia sudah sampai pada tahap yang membingungkan. Elit-elit ini kelihatannya tidak lagi mempertimbangkan fatsun, etika, atau estetika politik. Mereka asal ngomong tanpa mempertimbangkan masyarakat. Apabila elit-elit ini mau terus seperti itu, sebaliknya cukup jadi bintang film atau badut, sehingga para penonton selesai menonton selesai pula menikmati lakonnya.
Lakon yang dipentaskan Gus Dur dengan sesukanya mengangkat anggota kabinet sebagai tuntutan reshufle adalah tontonan yang paling tidak menarik. Sosok-sosok yang sudah jelas tidak layak dipromosikan dipaksakan untuk menjadi menteri, Gus Dur ini presiden Republik Indonesia atau Presiden sebagian rakyat Indonesia? Bila sungguh-sungguh presiden, ia akan mengikuti tuntutan objektif masyarakat, bukan semau gue, meskipun itu secara ilmiah mungkin benar. Di lain pihak Amin Rais yang ketua MPR berlakon cenderung sebagai cendekiawan ketimbang sebagai Ketua MPR.
Amin sering solois dalam kiprah-kiprah politiknya. Hujatan-hujatannya terhadap Gus Dur menunjukkan konteks demikian. Hujatan ini misalnya, pernyataanya terhadap kabinet reshufle an sich kabinet Gus Dur, all the president man cabinet, yang tidak mengindahkan keinginan masyarakat.
Amin jengkel dengan ulah sang Presiden mengangkat figur yang untuk Dirut BRI saja tidak layak malah diangkat menjadi Menteri Keuangan yang membawahi 159 BUMN dan menentukan nasib BPPN yang memiliki asset Rp 600 triliun, dan harus mengomandoi seluruh pertumbuhan fiscal dan moneter. Begitu pula seorang Mahfud MD yang tidak pernah menekuni masalah security and defence affairs dan lemah dalam pemahaman regionalisme dan isu global di bidang hankam diangkat Menhan. Analog dengan Rizal Ramli yang belum tentu bisa berprestasi sebaik Kwik Kian Gie.
Tidak cukup di situ,kejengkelan Amin memuncak melihat doyannya Gus Dur jalan-jalan ke luar negeri. Amin melihat perjalanan itu sebagai tidak punya visi dan misi yang jelas. Gus Dur hanya jalan-jalan, salam-salaman, tepuk-tepukan dan kemudian ketawa-ketawa, ujar Amin dengan lucu.
Apa yang mau dikatakan dengan konteks demikian adalah terjadinya kebebasan berpendapat atau bertindak yang kebablasan antara pemimpin politik. Mereka ini, selain tidak etis dan estetis juga tidak lagi merasakan hati nurani masyarakat yang sedang pilu karena keterpurukan ekonominya. Rakyat tidak membutuhkan kebebasan nan kebablasaan, retorika-retorika atau bacot politik yang hingar dengan janji-janji kosong.
Rakyat yang sudah repot nasi ini lebih membutuhkan nasi selain demokrasi. Untuk apa kebebasan, bila perutnya kelaparan? Kebebasan akan bermanfaat jika kesejahteraan memadai. Bila tidak, akan kembali kepada turbulensi atau anarkisme politik yang tidak jarang melahirkan konflik-konflik antagonistis.

Budaya politik
Anarkisme politik menurut beberapa pakar politik, seperti Alfian (Alm) adalah ciri khas budaya politik Indonesia. Ini konon terjadi karena masyarakat Indonesia itu sejak kemerdekaan hingga saat ini mudah berkonflik tetapi sangat susah mencapai konsensus. Salah satu alasannya karena kelompok-kelompok atau masyarakat mau benar sendiri, mau menang sendiri.
Dalam suasana seperti itu, maka orientasi politiknya selalu mengandung sifat self righteousness atau kebenaran diri sendiri. Oleh karena itu dengan sendirinya tidak mungkin terdapat titik-titik pertemuan atau konsensus. Keasyikan dengan faham dan pandangan sendiri serta sikap apriori menolak ide/pendapat golongan lain dalam suasana demikian akan bermuara kepada narkisme.
Sinyalemen ini menunjukkan bahwa kulur opposisi, kultur kritik, ataupun tradisi berbeda pendapat belum di kenal di Indonesia. Bila reformasi menyiratkan adanya hal-hal tersebut, sesungguhnya masih premature.
Barangkali atas sinyalemen demikian inilah pertentangan politik antara elit yang gonjang-ganjing saat ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah, sebab sadar atau tidak, bibit-bibit anarkis telah tertanam di dalam dirinya. Dapat kita bayangkan akan sangat sukar mempertemukan seorang Gus Dur dengan Amin Rais. Kalaupun suatu saat terjadi konsensus diantara mereka, orang akan cenderung menuduh itu konsensus semu, terpaksa, bukan atas kesadaran, atau karena akomodatif.
Dalih penguat anarkisme politik ini dapat di lihat dari pendapat pakar yang meneliti sistem, sejarah, maupun budaya politik Indonesia pasca pemilu 1999, yang katanya relatif sangat demokratis. menurut Prof Dr Dwight Y King dari Northern Illinois University terdapat kontinuitas politik aliran dalam sistem politik Indonesia yang sudah diimplementasikan dalam pemilu 1955, dimana antar aliran politik sukar dipertemukan. Fakta klasik sekaligus aktual untuk kita ingat adalah tidak tercapainya konsensus dalam sidang Konstituante, yang akhirnya memaksa Presiden Soekarno membbarkan lembaga tersebut dan kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959
Dengan tidak membela Soekarno, ikhtiarnya untuk melakukan demokrasi terpimpin pasca gagalnya sidang Konstituante tersebut adalah sangat beralasan, sebab insan-insan Indonesia belum siap berpikir atau bertindak liberal sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun apapun argumennya, Soekarno tidak bisa membangun perekonomian. Demikian pula Soeharto yang mengambil kebijakan ekonomi sebagai politik pembangunannya, tetap gagal membangun perekonomian Indonesia, bahkan jauh lebih terpuruk dari kehancuran ekonomi era Soekarno.
Habibie dan khususnya Gus Dur yang ketiban keterpurukan ini sudah barang tentu tidak bisa berbuat banyak. Masalahnya begitu dalam, yang tak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Problematika ini akhirnya membuat anarkisme politik antar para elit akan semakin menajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar