Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Untag, Jayabaya, dan FE UBK
Published 11 Oktober 2000 Harian Terbit
Masyarakat
Indonesia kecenderungannya sedang berubah, yakni meninggalkan nilai lama, namun
belum menemukan nilai baru. Dikatakan demikian mengingat tuntutan objektif
masyarakat akan reformasi belum menunjukkan hasil yang berarti. Apakah mereka
itu sadar akan arti maupun makna reformasi atau tidak menjadi tanda tanya
besar?. Tanda tanya besar karena hingga menjelang tiga tahun usia reformasi
perubahan yang mendasar dan substantif belum menampakkan wajahnya. Wajah yang
mengemuka adalah wajah yang buram. Mudah-mudahan bukan wajah yang palsu.
Buramnya
wajah Indonesia ini dapat di lihat dari realitas kehidupan ekonomi politik yang
tidak sesuai tuntutan reformasi. Meskipun tidak pernah diurai jelas, reformasi
paling tidak menuntut beberapa hal, seperti kehidupan politik yang semakin
demokratis, kehidupan ekonomi semakin sejahtera, hukum mendekati keadilan, dan
lain-lain yang berhubungan dengan perubahan mendasar demi kemaslahatan
masyarakat.
Nilai-nilai
ini menjadi semacam ukuran untuk melihat apakah reformasi telah berjalan atau
belum. Dan kalau di tilik lebih jauh kelihatannya masih jauh dari harapan.
Demokrasi yang di bangun pasca Soeharto bermuara kepada kebebasan yang se
bebas-bebasnya yang memunculkan anarkisme sosial. Pola ini disadari atau tidak
telah fenomenologis di tengah-tengah masyarakat, khususnya di antara elit-elit
politiknya
Kebebasan-kebablasan
Kebebasan
sebagaimana hakikinya adalah hak asasi manusia. Setiap manusia telah
dikaruniakan untuk memiliki kebebasan. Tanpa kebebasan hilanglah
kemanusiaannya. Akan tetapi yang sering terlupakan dalam kebebasan itu inheren
ketidakbebasan. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang sudah dilandasi
pertimbangan nan rasional, mendalam, atau ilmiah. Tidak sekedar bebas, apalagi
asal bacot seperti yang kita rasakan
saat ini ditengah atmosfir perpolitikan nasional yang hingar-bingar dengan
silang pendapat kontroversial antar elit politik
Perbedaan
pendapat antar elit dalam khasanah politik Indonesia sudah sampai pada tahap
yang membingungkan. Elit-elit ini kelihatannya tidak lagi mempertimbangkan fatsun, etika, atau estetika politik.
Mereka asal ngomong tanpa mempertimbangkan masyarakat. Apabila elit-elit ini
mau terus seperti itu, sebaliknya cukup jadi bintang film atau badut, sehingga
para penonton selesai menonton selesai pula menikmati lakonnya.
Lakon
yang dipentaskan Gus Dur dengan sesukanya mengangkat anggota kabinet sebagai
tuntutan reshufle adalah tontonan
yang paling tidak menarik. Sosok-sosok yang sudah jelas tidak layak
dipromosikan dipaksakan untuk menjadi menteri, Gus Dur ini presiden Republik Indonesia
atau Presiden sebagian rakyat Indonesia? Bila sungguh-sungguh presiden, ia akan
mengikuti tuntutan objektif masyarakat, bukan semau gue, meskipun itu secara ilmiah mungkin benar. Di lain pihak
Amin Rais yang ketua MPR berlakon cenderung sebagai cendekiawan ketimbang
sebagai Ketua MPR.
Amin
sering solois dalam kiprah-kiprah
politiknya. Hujatan-hujatannya terhadap Gus Dur menunjukkan konteks demikian.
Hujatan ini misalnya, pernyataanya terhadap kabinet reshufle an sich kabinet Gus Dur, all the president man cabinet, yang tidak mengindahkan keinginan
masyarakat.
Amin
jengkel dengan ulah sang Presiden mengangkat figur yang untuk Dirut BRI saja
tidak layak malah diangkat menjadi Menteri Keuangan yang membawahi 159 BUMN dan
menentukan nasib BPPN yang memiliki asset Rp 600 triliun, dan harus mengomandoi
seluruh pertumbuhan fiscal dan moneter. Begitu pula seorang Mahfud MD yang
tidak pernah menekuni masalah security
and defence affairs dan lemah dalam pemahaman regionalisme dan isu global
di bidang hankam diangkat Menhan. Analog dengan Rizal Ramli yang belum tentu
bisa berprestasi sebaik Kwik Kian Gie.
Tidak
cukup di situ,kejengkelan Amin memuncak melihat doyannya Gus Dur jalan-jalan ke
luar negeri. Amin melihat perjalanan itu sebagai tidak punya visi dan misi yang
jelas. Gus Dur hanya jalan-jalan, salam-salaman, tepuk-tepukan dan kemudian ketawa-ketawa,
ujar Amin dengan lucu.
Apa
yang mau dikatakan dengan konteks demikian adalah terjadinya kebebasan
berpendapat atau bertindak yang kebablasan antara pemimpin politik. Mereka ini,
selain tidak etis dan estetis juga tidak lagi merasakan hati nurani masyarakat
yang sedang pilu karena keterpurukan ekonominya. Rakyat tidak membutuhkan
kebebasan nan kebablasaan, retorika-retorika atau bacot politik yang hingar dengan janji-janji kosong.
Rakyat
yang sudah repot nasi ini lebih membutuhkan nasi selain demokrasi. Untuk apa
kebebasan, bila perutnya kelaparan? Kebebasan akan bermanfaat jika
kesejahteraan memadai. Bila tidak, akan kembali kepada turbulensi atau
anarkisme politik yang tidak jarang melahirkan konflik-konflik antagonistis.
Budaya
politik
Anarkisme
politik menurut beberapa pakar politik, seperti Alfian (Alm) adalah ciri khas
budaya politik Indonesia. Ini konon terjadi karena masyarakat Indonesia itu
sejak kemerdekaan hingga saat ini mudah berkonflik tetapi sangat susah mencapai
konsensus. Salah satu alasannya karena kelompok-kelompok atau masyarakat mau
benar sendiri, mau menang sendiri.
Dalam
suasana seperti itu, maka orientasi politiknya selalu mengandung sifat self righteousness atau kebenaran diri
sendiri. Oleh karena itu dengan sendirinya tidak mungkin terdapat titik-titik
pertemuan atau konsensus. Keasyikan dengan faham dan pandangan sendiri serta
sikap apriori menolak ide/pendapat golongan lain dalam suasana demikian akan
bermuara kepada narkisme.
Sinyalemen
ini menunjukkan bahwa kulur opposisi, kultur kritik, ataupun tradisi berbeda
pendapat belum di kenal di Indonesia. Bila reformasi menyiratkan adanya hal-hal
tersebut, sesungguhnya masih premature.
Barangkali
atas sinyalemen demikian inilah pertentangan politik antara elit yang gonjang-ganjing saat ini tidak akan
dapat menyelesaikan masalah, sebab sadar atau tidak, bibit-bibit anarkis telah
tertanam di dalam dirinya. Dapat kita bayangkan akan sangat sukar mempertemukan
seorang Gus Dur dengan Amin Rais. Kalaupun suatu saat terjadi konsensus
diantara mereka, orang akan cenderung menuduh itu konsensus semu, terpaksa,
bukan atas kesadaran, atau karena akomodatif.
Dalih
penguat anarkisme politik ini dapat di lihat dari pendapat pakar yang meneliti
sistem, sejarah, maupun budaya politik Indonesia pasca pemilu 1999, yang
katanya relatif sangat demokratis. menurut Prof Dr Dwight Y King dari Northern
Illinois University terdapat kontinuitas politik aliran dalam sistem
politik Indonesia yang sudah diimplementasikan dalam pemilu 1955, dimana antar
aliran politik sukar dipertemukan. Fakta klasik sekaligus aktual untuk kita
ingat adalah tidak tercapainya konsensus dalam sidang Konstituante, yang
akhirnya memaksa Presiden Soekarno membbarkan lembaga tersebut dan kembali ke
UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959
Dengan
tidak membela Soekarno, ikhtiarnya untuk melakukan demokrasi terpimpin pasca
gagalnya sidang Konstituante tersebut adalah sangat beralasan, sebab
insan-insan Indonesia belum siap berpikir atau bertindak liberal sebagaimana
yang terjadi di Barat. Namun apapun argumennya, Soekarno tidak bisa membangun
perekonomian. Demikian pula Soeharto yang mengambil kebijakan ekonomi sebagai
politik pembangunannya, tetap gagal membangun perekonomian Indonesia, bahkan
jauh lebih terpuruk dari kehancuran ekonomi era Soekarno.
Habibie
dan khususnya Gus Dur yang ketiban keterpurukan ini sudah barang tentu tidak
bisa berbuat banyak. Masalahnya begitu dalam, yang tak mungkin dapat
diselesaikan dalam waktu singkat. Problematika ini akhirnya membuat anarkisme
politik antar para elit akan semakin menajam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar