MAHASISWA BARU DI ARENA BUKU, PESTA, CINTA, DAN
POLITIK
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Untag Jakarta
Published, Merdeka, 11 Oktober 1992
Saat-saat
ini setiap perguruan tinggi disibukkan dengan masuknya mahasisw-mahasiswa baru.
Mereka pada umumnya baru saja selesai melaksanakan orientasi perkenalan
almamater. Dalam acara ini lazimnya dilakukan sejenis kegiatan yang beberapa
dasawarsa yang lalu dikenal dengan sebutan “plonco”. Mahasisw baru selama lebih kurang seminggu di plonco dengn
tendensius keras, kejam, dan agak sadis. Konon acara demikian adalah semacam
terapi mental bagi kesiapan sikap mereka untuk memasuki dunia yang baru, yaitu
dunia kemahasiswaan.
Namun
lambat laun, modus operandi seperti itu mulai disederhanakan, terutama
intensitas kekerasannya, sebab dirasa jurang efektif. Para pakar melihat bahwa
kurang efisien model kesadisan dikedepankan karena pada akhirnya lingkungan
kelak lebih berpengaruh pada perjalanannya dikemudian hari. Mahasiswa-mahasiswa
yang dirodam pada awal mulanya itu selanjutnya toh akan terimbas, bahkan kalau
boleh disebut akan larut dalam environment (lingkungan) perguruan tingginya.
Perguruan tinggi sebagaimana kita ketahui juga adalah cerminan yang lebih luas
dari sistem sosio-kultural setiap bangsa. Meminjam pendekatan sistematik yang
fenomenologis dewasa ini adalah bahwa mahasiswa atau perguruan tinggi hanyalah
satu bagian (sub) dari sistem nan sedang dipentaskan.
Sebagai
sub sistem atau satuan kecil nan elit, masyarakat mengucapkan wellcome (selamat
datang) kepada mereka agar kelak dapat menjadi pelopor-pelopor atau inovator
pembaharuan dalam perjalanan bangsa. Bagaimana kelak mereka mencapai konteks
demikian sangatlah rumit jawabannya, maka hal itu bukan tujuan penulisan,
melainkan sekitar profil atau sosok mahasiswa kita dewasa ini, dan sedikit akan
tanggung jawab sosialnya.
Adanya
“something wrong”
Satu
sisi yang sangat membedakan seorang mahasiswa dan siswa adalah uniformitas.
Pada siswa pakaiannya masih seragam (uniform), sebaliknya dengan mahasiswa yang
berpakaian liberal. Dalam konteks yang lebih jauh, sewaktu SLTA interaksi
belajar-mengajar masih doktriner. Di perguruan tinggi hal demikian tidak lagi
menjadi primat, melainkan kebebasan penalaran, sebagaimana yang disyaratkan
pada mimbar akademik. Meminjam triloginya Ki Hadjar Dewantara, maka siswa
dominan “ing ngarso sung tulodo”, sedangkan mahasiswa pada “tut wuri
handayani”.
Sangatlah
jelas perbedaan antara keduanya. Namun manakala timbul pertanyaan adakah itu
absolut? Dapatkah sudah perguruan tinggi menjalankan misinya dengan baik?
Jawabannya sudah pasti tidak sederhana. Litani ini dikedepakan mengingat
bagaimana membuat mereka yang masih bermental SLTA agar kelak bermental
mahasiswa. Problematik ini sangat mendasar. Teorinya mengatakan begini, namun realitanya
begitu. Lalu muncul adagium, salah siapa? Menanykan pada rumput yang bergoyang?.
Barangkali ada sejenis something wrong yang terapinya belum
ditemukan.
Something wrong ini
dicuatkan melihat bahwa sosok mahasiswa kita dewasa ini terkesan kurang serius
mendalami disiplin ilmunya.
Kegairahan-kegairahan
intelektual, seperti rakus membaca, doyan berdiskusi, dan tendensius meneliti
tidak lagi menjadi primadona. Mereka lebih senang snti-santai, kongkow-kongkow
di lobi-lobi fakultas atau kantin. Begitupun misalnya dari acara mereka
berpakaian yang didominasi jeans, kaos, plus sepatu kets turut menyemarakkan
kesantaian tersebut.
Di pihak lain profil
ini disempurnakan pada cara yang bersifat hura-hura, kesenangan-kesenangan nan
glamour, nonton film yang sedang diputar hingga rebut-rebutan pacar. Sosok
mahasiswa kita kiranya masih tetap tertawan dalam sistem, sebagaimana judul
sebuah novel, yakni “buku, pesta, dan cinta”
Buku
, pesta, dan Cinta
Menjadi mahasiswa masih
tetap merupakan kebanggaan. Kalau di tilik dari segi kerinduan akan ilmu
pengetahuan kiranya tidak ada keunikan. Namun yang membuatnya menarik adalah
diletakkannya peran tersebut menjadi semacam status sosial tersendiri dengan
tendensi prestise atau gengsi. Status ini selanjutnya menjadi agak over, karena
yang dipentaskan kemudian di dominasi predikat non ilmiah (bukan pandangan
mutlak)
Bahasa-bahasa prokem,
seperti doi, doki, gokil, smokil, kece,
memble, nyokap, bokap, mejeng en ngeceng sangat mewarnai pergaulan mereka.
Akan lebih gegap gempita lagi, karena dipadu dengan aksentuasi gaya Betawi,
seperti “lu” dan “gue”. Bahasa-bahasa ini menjadi semacam bahasa persatuan.
Gaya ini mungkin perlu diteliti Pusat Pengkajian Bahasa agar tidak lahir LIPI
yang baru, alias Lembaga Ilmu Penyalahgunaan Bahasa Indonesia.
“Lu setelah kuliah
kemaren kemane aje”, kata si Boim pada si Ucok. Ah gue di ajak doski ke Kentucky Fried Chicken, lalu nonton di
Parlindungan Theatre. Filmnya basic
instinct, kemudian ngeceng di Blok M. Selesai ngeceng gue antarin doi ke
rumahnya, sampai disana nyokapnya udeh tolak pinggang siap perang ke Irak,
karena kami pulang agak malam “jawab Ucok.
Pembicaraan, gaya,
stil, atau trend, seperti lazimnya akan kita temukan pada setiap kampus.
Referensi-referensi, majalah-majalah remaja, dan sejenisnya mencuat kepermukaan
diskusi-diskusi, mengalahkan dengan telak referensi-referensi ilmiah model “Future Shock, Power Shiftnya Alvin Toffler,
Megatrend 2000-nya John Naisbitt, dan Patricia Aburdene, The Boderless Worldnya
Kenichi Ohmae, dan lain-lain pustaka besar pakar-pakar dunia.
Acara-acara seperti
“met ultah” (selamat ulang tahun) akan lebih prioritas daripada acara seminar
ilmiah. Apalagi yang sudah menyinggung politik, pada tak kelihatan batang
hidungnya, sebab kena virus alergi kekuasaan. Kalaupun mereka misalnya hadir di
acara-acara tersebut, paling-paling karena makanan yang disediakan panitia
cukup enak.
Kesantaian yang sangat
santai sesungguhnya bukan hal yang haram. Bahkan sebaliknya sangat dibutuhkan,
namun catatan tersendiri, yakni setelah capek belajar, letih membaca buku-buku
yang tebal dan lain-lain kegiatan ilmiah sebagaimana yang pernah dituturkan
Kwik Kian Gie sewaktu kuliah di luar negeri. Lebih jelasnya Kwik mengatakan....ketika
saya mahasiswa, saya anggota dari perhimpunan mahasiswa yang mempunyai gedung
pertemuan (societeit) sendiri. Sekitar pukul 23.00, ketika semuanya sudah jenuh
menyerap bahan kulaih dari buku-buku yang tebal, berkumpullah para anggotanya,
minum bir, mabuk-mabukan, berkelahi melempar-lempar gelas bir, berteriak,
merusak jendela, dan apapun boleh, asalkan semuanya diperbaiki lagi atas biaya
yang merusaknya (Kompas, 30 mei 1992)
Sayang Kwik tidak
bercerita bahwa disamping societte itu masih ada perkumpulan lain, yakni
kumpulan para playboy,playgirl, don juan, gigolo atau fansnya Madonna yang
aduhai, agar trilogi antara buku, pesta, dan cinta lebih marak dan seimbang.
Keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan antara trilogi tersebut memang adalah dunia mereka,
sebab usia, atau peran fungsionalnya masih dalam tahap terebut. Masa-masa itu
adalah era yang paling indah dalam setiap kehidupan, yang rugi besar apabila
dilewatkan. Oleh karena itu supaya dimanfaatkan secara maksimal, termasuk
tanggung jawab sosialnya.
Di atas itu semua,
bagaimanakah pertanggung jawabannnya kepada masyarakat? Bukankah masyarakat
berharap banyak dari mereka? Sinyalemen ini dikedepankan mengingat bahwa
mahasiswa, khususnya dinegara-negara yang dikategorikan sedang berkembang
adalah hati nurani masyarakatnya (P.G. Altbach, Mahasiswa dan Politik).
Harapan-harapan yang diberikan kepada mahlu terpelajar ini begitu besar, jauh
lebih besr dibandingkan dengan DPR.
Sementara
tantangan-tantangan yang mereka hadapi dewasa ini dan juga di masa depan adalah
tantangan bangsa yang cukup berat, sebagaimana yang diutarkan Prof Dr Sartono
Kartodirdjo ada enam point, yakni (1) kesenjangan antara pelbagai golongan
waarga negara, (2) kontrasnya kaum berada dengan golongan miskin, (3) proses
pendewasaan politik mengalami banyak hambatan, (4) keterbelakangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, (5) dalam menghadapi industrialisasi di satu pihak
belum tercipta kebudayaan industrial yang memadai, di pihak lain secara moril
dan sosial perlu disiapkan dalam menghadapi dampak negatifnya , dan tantangan
yang terakhir, (6) pembudayaan Pancasila agar menjadi etos bangsa (Resume No
01/15 November 1989)
Untuk menghadapi pola
demikian mahasiwa sebagai calon-calon intelektual diharapkan bersikap
sebagaimana kapasitas seorang cendekiawan yang menurut Knopfelmacher (1968)
adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang mempunyai pengetahuan
setingkat dengan pengetahuan yang diberikan di pendidikan tinggi. Mereka
berminat pada masalah-masalah yang menyangkut nasib manusia, yaitu
masalah-masalah moral dan moral politik. Juga mereka mampu menyatakan
pendirian-pendirian moral dan pendirian-pendirian moral politik mereka secara
lisan maupun tertulis.
Konteks ini menyiratkan
bahwa mahasiswa tidak cukup hanya berkutat pada buku, pesta, dan cinta, tapi
juga harus menjadi mahluk yang flamboyan berpolitik agar tanggung jawab
sosialnya nyata bagi masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar