Kamis, 09 Februari 2017

MAHASISWA BARU DI ARENA BUKU, PESTA, CINTA, DAN POLITIK




MAHASISWA BARU DI ARENA BUKU, PESTA, CINTA, DAN POLITIK
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Untag Jakarta
Published, Merdeka, 11 Oktober 1992

Saat-saat ini setiap perguruan tinggi disibukkan dengan masuknya mahasisw-mahasiswa baru. Mereka pada umumnya baru saja selesai melaksanakan orientasi perkenalan almamater. Dalam acara ini lazimnya dilakukan sejenis kegiatan yang beberapa dasawarsa yang lalu dikenal dengan sebutan “plonco”. Mahasisw baru selama  lebih kurang seminggu di plonco dengn tendensius keras, kejam, dan agak sadis. Konon acara demikian adalah semacam terapi mental bagi kesiapan sikap mereka untuk memasuki dunia yang baru, yaitu dunia kemahasiswaan.
Namun lambat laun, modus operandi seperti itu mulai disederhanakan, terutama intensitas kekerasannya, sebab dirasa jurang efektif. Para pakar melihat bahwa kurang efisien model kesadisan dikedepankan karena pada akhirnya lingkungan kelak lebih berpengaruh pada perjalanannya dikemudian hari. Mahasiswa-mahasiswa yang dirodam pada awal mulanya itu selanjutnya toh akan terimbas, bahkan kalau boleh disebut akan larut dalam environment (lingkungan) perguruan tingginya. Perguruan tinggi sebagaimana kita ketahui juga adalah cerminan yang lebih luas dari sistem sosio-kultural setiap bangsa. Meminjam pendekatan sistematik yang fenomenologis dewasa ini adalah bahwa mahasiswa atau perguruan tinggi hanyalah satu bagian (sub) dari sistem nan sedang dipentaskan.
Sebagai sub sistem atau satuan kecil nan elit, masyarakat mengucapkan wellcome (selamat datang) kepada mereka agar kelak dapat menjadi pelopor-pelopor atau inovator pembaharuan dalam perjalanan bangsa. Bagaimana kelak mereka mencapai konteks demikian sangatlah rumit jawabannya, maka hal itu bukan tujuan penulisan, melainkan sekitar profil atau sosok mahasiswa kita dewasa ini, dan sedikit akan tanggung jawab sosialnya.

Adanya “something wrong”
Satu sisi yang sangat membedakan seorang mahasiswa dan siswa adalah uniformitas. Pada siswa pakaiannya masih seragam (uniform), sebaliknya dengan mahasiswa yang berpakaian liberal. Dalam konteks yang lebih jauh, sewaktu SLTA interaksi belajar-mengajar masih doktriner. Di perguruan tinggi hal demikian tidak lagi menjadi primat, melainkan kebebasan penalaran, sebagaimana yang disyaratkan pada mimbar akademik. Meminjam triloginya Ki Hadjar Dewantara, maka siswa dominan “ing ngarso sung tulodo”, sedangkan mahasiswa pada “tut wuri handayani”.
Sangatlah jelas perbedaan antara keduanya. Namun manakala timbul pertanyaan adakah itu absolut? Dapatkah sudah perguruan tinggi menjalankan misinya dengan baik? Jawabannya sudah pasti tidak sederhana. Litani ini dikedepakan mengingat bagaimana membuat mereka yang masih bermental SLTA agar kelak bermental mahasiswa. Problematik ini sangat mendasar. Teorinya mengatakan begini, namun realitanya begitu. Lalu muncul adagium, salah siapa? Menanykan pada rumput yang bergoyang?. Barangkali ada sejenis something wrong yang terapinya belum ditemukan.
Something wrong ini dicuatkan melihat bahwa sosok mahasiswa kita dewasa ini terkesan kurang serius mendalami disiplin ilmunya.
Kegairahan-kegairahan intelektual, seperti rakus membaca, doyan berdiskusi, dan tendensius meneliti tidak lagi menjadi primadona. Mereka lebih senang snti-santai, kongkow-kongkow di lobi-lobi fakultas atau kantin. Begitupun misalnya dari acara mereka berpakaian yang didominasi jeans, kaos, plus sepatu kets turut menyemarakkan kesantaian tersebut.
Di pihak lain profil ini disempurnakan pada cara yang bersifat hura-hura, kesenangan-kesenangan nan glamour, nonton film yang sedang diputar hingga rebut-rebutan pacar. Sosok mahasiswa kita kiranya masih tetap tertawan dalam sistem, sebagaimana judul sebuah novel, yakni “buku, pesta, dan cinta”

Buku , pesta, dan Cinta
Menjadi mahasiswa masih tetap merupakan kebanggaan. Kalau di tilik dari segi kerinduan akan ilmu pengetahuan kiranya tidak ada keunikan. Namun yang membuatnya menarik adalah diletakkannya peran tersebut menjadi semacam status sosial tersendiri dengan tendensi prestise atau gengsi. Status ini selanjutnya menjadi agak over, karena yang dipentaskan kemudian di dominasi predikat non ilmiah (bukan pandangan mutlak)
Bahasa-bahasa prokem, seperti doi, doki, gokil, smokil, kece, memble, nyokap, bokap, mejeng en ngeceng sangat mewarnai pergaulan mereka. Akan lebih gegap gempita lagi, karena dipadu dengan aksentuasi gaya Betawi, seperti “lu” dan “gue”. Bahasa-bahasa ini menjadi semacam bahasa persatuan. Gaya ini mungkin perlu diteliti Pusat Pengkajian Bahasa agar tidak lahir LIPI yang baru, alias Lembaga Ilmu Penyalahgunaan Bahasa Indonesia.
“Lu setelah kuliah kemaren kemane aje”, kata si Boim pada si Ucok. Ah gue di ajak doski ke Kentucky Fried Chicken, lalu nonton di Parlindungan Theatre. Filmnya basic instinct, kemudian ngeceng di Blok M. Selesai ngeceng gue antarin doi ke rumahnya, sampai disana nyokapnya udeh tolak pinggang siap perang ke Irak, karena kami pulang agak malam “jawab Ucok.
Pembicaraan, gaya, stil, atau trend, seperti lazimnya akan kita temukan pada setiap kampus. Referensi-referensi, majalah-majalah remaja, dan sejenisnya mencuat kepermukaan diskusi-diskusi, mengalahkan dengan telak referensi-referensi ilmiah model “Future Shock, Power Shiftnya Alvin Toffler, Megatrend 2000-nya John Naisbitt, dan Patricia Aburdene, The Boderless Worldnya Kenichi Ohmae, dan lain-lain pustaka besar pakar-pakar dunia.
Acara-acara seperti “met ultah” (selamat ulang tahun) akan lebih prioritas daripada acara seminar ilmiah. Apalagi yang sudah menyinggung politik, pada tak kelihatan batang hidungnya, sebab kena virus alergi kekuasaan. Kalaupun mereka misalnya hadir di acara-acara tersebut, paling-paling karena makanan yang disediakan panitia cukup enak.
Kesantaian yang sangat santai sesungguhnya bukan hal yang haram. Bahkan sebaliknya sangat dibutuhkan, namun catatan tersendiri, yakni setelah capek belajar, letih membaca buku-buku yang tebal dan lain-lain kegiatan ilmiah sebagaimana yang pernah dituturkan Kwik Kian Gie sewaktu kuliah di luar negeri. Lebih jelasnya Kwik mengatakan....ketika saya mahasiswa, saya anggota dari perhimpunan mahasiswa yang mempunyai gedung pertemuan (societeit) sendiri. Sekitar pukul 23.00, ketika semuanya sudah jenuh menyerap bahan kulaih dari buku-buku yang tebal, berkumpullah para anggotanya, minum bir, mabuk-mabukan, berkelahi melempar-lempar gelas bir, berteriak, merusak jendela, dan apapun boleh, asalkan semuanya diperbaiki lagi atas biaya yang merusaknya (Kompas, 30 mei 1992)
Sayang Kwik tidak bercerita bahwa disamping societte itu masih ada perkumpulan lain, yakni kumpulan para playboy,playgirl, don juan, gigolo atau fansnya Madonna yang aduhai, agar trilogi antara buku, pesta, dan cinta lebih marak dan seimbang.
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara trilogi tersebut memang adalah dunia mereka, sebab usia, atau peran fungsionalnya masih dalam tahap terebut. Masa-masa itu adalah era yang paling indah dalam setiap kehidupan, yang rugi besar apabila dilewatkan. Oleh karena itu supaya dimanfaatkan secara maksimal, termasuk tanggung jawab sosialnya.
Di atas itu semua, bagaimanakah pertanggung jawabannnya kepada masyarakat? Bukankah masyarakat berharap banyak dari mereka? Sinyalemen ini dikedepankan mengingat bahwa mahasiswa, khususnya dinegara-negara yang dikategorikan sedang berkembang adalah hati nurani masyarakatnya (P.G. Altbach, Mahasiswa dan Politik). Harapan-harapan yang diberikan kepada mahlu terpelajar ini begitu besar, jauh lebih besr dibandingkan dengan DPR.
Sementara tantangan-tantangan yang mereka hadapi dewasa ini dan juga di masa depan adalah tantangan bangsa yang cukup berat, sebagaimana yang diutarkan Prof Dr Sartono Kartodirdjo ada enam point, yakni (1) kesenjangan antara pelbagai golongan waarga negara, (2) kontrasnya kaum berada dengan golongan miskin, (3) proses pendewasaan politik mengalami banyak hambatan, (4) keterbelakangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (5) dalam menghadapi industrialisasi di satu pihak belum tercipta kebudayaan industrial yang memadai, di pihak lain secara moril dan sosial perlu disiapkan dalam menghadapi dampak negatifnya , dan tantangan yang terakhir, (6) pembudayaan Pancasila agar menjadi etos bangsa (Resume No 01/15 November 1989)
Untuk menghadapi pola demikian mahasiwa sebagai calon-calon intelektual diharapkan bersikap sebagaimana kapasitas seorang cendekiawan yang menurut Knopfelmacher (1968) adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang mempunyai pengetahuan setingkat dengan pengetahuan yang diberikan di pendidikan tinggi. Mereka berminat pada masalah-masalah yang menyangkut nasib manusia, yaitu masalah-masalah moral dan moral politik. Juga mereka mampu menyatakan pendirian-pendirian moral dan pendirian-pendirian moral politik mereka secara lisan maupun tertulis.
Konteks ini menyiratkan bahwa mahasiswa tidak cukup hanya berkutat pada buku, pesta, dan cinta, tapi juga harus menjadi mahluk yang flamboyan berpolitik agar tanggung jawab sosialnya nyata bagi masyarakat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar