CATATAN PILKADA 15 februari 20
Oleh; Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Univ Dharma Agung Medan, Staf
ahli DPR RI 2000-2009
Pilkada
15 februari 2017 ini sangat menarik digunjingkan. Pilkada yang seharusnya
beraroma khas daerah, berbalik arah menjadi berwarna nasional, bak pemilu
presiden 2014. Semua mata, pikiran, dan telinga tertuju pada pilkada Jakarta,
pada hal di daerahnya, tidak tertutup kemungkinan ada acara serupa/pilkada.
Aneh
, betul-betul aneh, namun itulah faktanya.Masyarakat entah mengapa telah
euforia dengan pro kontra figur Gubernur Ibukota yang kontroversial.
Masing-masing “orang, pihak, atau kalangan saling memberikan dalih mengapa
mereka pro dan sebaliknya. Begitu riuh, gemuruh, hingga fantastik-spektakuler.
Sadar
atau sebaliknya mereka telah terhipnotis, seakan-akan pilkada Jakarta adalah mati
hidupnya perjuangan mereka. Tulisan ini tidak masuk dalam ranah itu, melainkan
mengingatkan bahwa ada yan terlupakan, yakni demokrasi kita belum berdiri di
atas kakinya.
Mythos pemilihan langsung
Sejak angin reformasi berhembus akhir 1990-an
melesatlah tuntutan-tuntutan politik demokratis. Tuntutan yang menginginkan
agar kebebasan yang terkungkung selama era otoritarian Soeharto segera
diwujudkan. Dimulai dari amandemen UUD 1945, penetapan otonomi daerah dan atau
khususnya pemilihan legislatif dan eksekutif secara langsung.
Tanpa
kecuali semua kalangan menyambut gembira perubahan tersebut. Betapa tidak?
Dengan rumus “one man one vote and one value” (OPOVOV) alias satu orang satu
suara dan satu nilai dalam memilih pemimpin-pemimpin politik, seperti Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota, mereka bak lepas dari penjara. Mereka bebas
sebebasnya memilih siapa yang diinginkannya. Semua bersorak-sorai. Sayang
seribu sayang, secara perlahan namun pasti kebebasan itu ternyata melahirkan
ekses yang tidak diantisipasi sebelumnya
Salah
satu adalah menjamurnya intensitas penyelenggaraan pemilu. Setiap hari akan
berlangsung pelaksanaan pemilu. Bahkan bisa dua kali sehari. Bagaimana
tidak, jumlah daerah tingkat dua saja
sudah mencapai 545 kabupaten/kota plus 34 provinsi. Belum lagi pemilihan DPR
(legislatif) dan Presiden yang sangat menyita perhatian.
Jelas
tidak efektif dan membosankan. Masa setiap hari ada pemilu/pilkada. Apakah
pemerintah kerjanya hanya mengurusi pemilu?, dari pemilu yang satu ke ke pemilu
yang lain? Aneh dan sungguh-sungguh tidak rasional.
Namun
yang lebih trenyuh lagi adalah hasilnya jauh dari harapan. Pemerintahan baru
yang terbentuk sebagai hasil pemilu langsung gaya OPOVOV tersebut tidak begitu
beda, kalau bukan lebih jelek dari pemerintahan yang dipilih secara tidak
langsung (via DPRD)
Menurut
catatan Kementerian Dalam Negeri, 70 persen kepala daerah terpilih terindikasi
korupsi. Mengapa membias? Tidakkah pemilihan langsung itu ditempuh supaya
tampil kepala daerah yang bersih?.
Dengan dipilih secara langsung diharapkan
tidak akan ada lagi permainan uang/money politics sebagaimana ketika dipilih
DPRD. Bagaimana membayar semua pemilihyang begitu besar?. Nyatanya dalam
praktek tetap saja perilaku jahanam itu berlangsung. Berharap kebersihan (clean
government) yang muncul sebaliknya (abuse government).
Ketidakprofesionalan penyelenggara
Untuk
mengurangi ekses demikian muncullah pemikiran baru, yakni anggaran
penyelenggaraan ditanggung pemerintah. Sarana-sarana kampanye yang memakan
biaya besar seperti alat-alat peraga semuanya dibiayai pemerintah. Begitu pula,
agar tidak tiap saat/hari ada pilkada dilakukan secara serentak.
Semua
itu dituangkan dalam UU No 8 tahun 2015.
Akankah tercipta pilkada yang bersih dan berwibawa?. Akankah lahir pemimpin
yang kredibel sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap
keinginan rakyat? Pembahasannya kita awali dari penyelenggara yang keteteran
Salah
satu tujuan pilkada serentak adalah efisiensi, yakni mengurangi biaya
pelaksanaan. Dengan serentak maka anggaranya dapat ditekan seminim
mungkin.Realitanya adalah sebaliknya. Anggrannya malah membengkak.Biaya
membengkak di luar dugaan Biaya yang sebelumnya tidak teradopsi dalam
pilkada-pilkada yang lalu melesat dalam pilkada serentak kali ini.
Biaya-biaya demikian terutama adalah anggaran
kampanye. Kalau pada pemilihan-pemilihan sebelumnya ditanggung oleh calon dan
partai pengusungnya, kali ini ditanggung oleh pemerintah. Pembengkakan anggaran
ini terutama adalah alat-alat peraga dan iklan kampanye dan keperluan-keperluan operasional lainnya.
Selain
melesatnya anggaran baru demikian, yang membuat pembengkakan semakin besar adalah perhitungan yang kurang cermat dari
pelaksana pemilu, yakni KPU/KPUD. Institusi ini (KPU/KPUD) disinyalir menyusun
anggaran yang jauh dari layak sebagaimana ditunjukkan hasil pemeriksaan BPK.
BPK menemukan biaya-biaya yang tidak sesuai
dengan peruntukannya. Barang-barang yang seharusnya X Rp di naikkan menjadi
lebih dari X Rp tersebut. Begitu pula pos-pos yang sebenarnya tidak perlu ada
direkayasa supaya ada .Apakah salah
hitung atau disengaja menjadi pertanyaan
besar.
Salah
hitung mungkin saja terjadi karena ketidak cakapan KPU/KPUD menyusun anggaran.
Sebagaimana faktanya sosok-sosok komisioner KPU/KPUD yang terdiri dari beragam
profesi belum tentu menguasai teknis-teknis kepemiluan. Seorang sarjana agama,
kimia, pertanian dan lain-lain yang bukan disiplin ilmu politik akan cenderung
meraba-raba, bahkan tergagap-gagap akan detil-detil kepemiluan. Lain hal
ilmuwan politik yang dalam mata kuliah/kurikulumnya telah diajarkan kepemiluan
secara sistematis.
Akan tetapi di atas itu semua yang paling
menentukan (determinan kesengajaan) adalah masalah “niat alias komitmen”.
Adakah komitmen mereka kepada pengabdian yang tulus, yang lebih mengutamakan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi? Tidakkah ada maksud-maksud
terselubung, seperti memperkaya pribadi dan vested-vested interest lainnya?
Inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa seluruh institusi-institusi formal dinegeri ini semua terjerat korupsi. Tidakkah Transparansi
International telah memasukkan birokrasi kita sebagai salah satu birokrasi
terkorup di dunia?. Jadi, meskipun para penyelenggara memahami teknis-teknis
kepemiluan secara profesional, jika niatnya sudah tidak tulus, seperti
memperkaya diri-pribadi, sudah pasti akan menggelembungkan anggaran.
Kong
kali kong antara komisioner/anggota penyelenggara dengan aparat birokrasi yang
selama ini sudah terkenal korup, memuluskan penggelembungan biaya itu
Landasan Demokrasi yang terlupakan
Akan
semakin mulus mengingat landasan masalah
yang tak pernah dituntaskan, yakni proses penentuan calon yang tidak pernah
demokratis. UU No 8 Tahun 2015 tersebut sama sekali tidak memuat “Rapat Anggota Partai Politik” sebagai syarat
untuk menentukan siapa yang diputuskan menjadi calon.
Katanya
kedaulatan rakyat (demokrasi), tapi mengapa tidak ditentukan melalui rapat
anggota partai? Tidakkah cara itu sebagai wujud, dasar dan cerminan demokrasi?
tidakkah setiap partai punya anggota?. Jadi untuk apa itu anggota kalau tidak
disertakan dalam pengambilan keputusan?
Di RRC yang katanya tidak demokratis, yang hanya
terdiri dari satu partai yakni Partai Komunis Cina (PKC), dalam setiap
pengambilan keputusan selalu berdasarkan rapat anggota. Mengapa justru dinegeri
yang berpaham “kerakuatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” ini tidak
melaksanakan rapat anggota?. Lalu siapa yang menentukan calon?
Jawabannya
pasti, yakni hanya (dan hanya) oleh segelintir pengurus partai. Pengurus cabang
entah dengan metode apa menentukan calon yang diinginkan. Entah dengan
pertimbangan apa lagi calon yang disaring itu harus disetujui pengurus pusat.
Sungguh suatu demokrasi yang tak lazim (uncommon democracies, TJ.Pemple 1978).
Mengutif Gus Dur, demokrasi seolah-olah. Demokrasi tapi elitis, demokrasi tapi
mirip kerajaan, betul-betul tak lazim
Demokrasi
yang dalam implementasinya (sudah pasti) tidak akan menjalankan prinsip-prinsip
demokrasi. Prinsip demokrasi seperti memperjuangkan aspirasi, kebutuhan atau
kepentingan anggotanya bak panggang jauh dari api.
Yang
diperjuangkan sudah dapat diduga, paling-paling atau tak lebih tak kurang
hanyalah kepentingan pengurus partai pengusung, kelompok atau pribadinya. Suatu
model pemilu yang sesungguhnya merupakan anti tese dari pola demokrasi. Lalu
apa yang diharapkan dari pilkada 15 Februari ini? Menunggu godot?
Yang
jelas dan pasti selama landasan masalah ini tidak diretas tidak akan ada
perubahan yang significan. Tidak akan muncul pemimpin yang mengemban tujuan
negara sebagaimana tersurat dalam konstitusi/UUD 1945. Untuk kesekian kalinya
rakyat tetap gigit jari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar