Kamis, 16 Februari 2017

LANDASAN DEMOKRASI YANG TERLUPAKAN





CATATAN PILKADA  15 februari 20
Oleh; Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Univ Dharma Agung Medan, Staf ahli DPR RI 2000-2009

Pilkada 15 februari 2017 ini sangat menarik digunjingkan. Pilkada yang seharusnya beraroma khas daerah, berbalik arah menjadi berwarna nasional, bak pemilu presiden 2014. Semua mata, pikiran, dan telinga tertuju pada pilkada Jakarta, pada hal di daerahnya, tidak tertutup kemungkinan ada acara serupa/pilkada.
Aneh , betul-betul aneh, namun itulah faktanya.Masyarakat entah mengapa telah euforia dengan pro kontra figur Gubernur Ibukota yang kontroversial. Masing-masing “orang, pihak, atau kalangan saling memberikan dalih mengapa mereka pro dan sebaliknya. Begitu riuh, gemuruh, hingga fantastik-spektakuler.
Sadar atau sebaliknya mereka telah terhipnotis, seakan-akan pilkada Jakarta adalah mati hidupnya perjuangan mereka. Tulisan ini tidak masuk dalam ranah itu, melainkan mengingatkan bahwa ada yan terlupakan, yakni demokrasi kita belum berdiri di atas kakinya.

Mythos pemilihan langsung
 Sejak angin reformasi berhembus akhir 1990-an melesatlah tuntutan-tuntutan politik demokratis. Tuntutan yang menginginkan agar kebebasan yang terkungkung selama era otoritarian Soeharto segera diwujudkan. Dimulai dari amandemen UUD 1945, penetapan otonomi daerah dan atau khususnya pemilihan legislatif dan eksekutif secara langsung.
Tanpa kecuali semua kalangan menyambut gembira perubahan tersebut. Betapa tidak? Dengan rumus  one man one vote and one value” (OPOVOV) alias satu orang satu suara dan satu nilai dalam memilih pemimpin-pemimpin politik, seperti Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, mereka bak lepas dari penjara. Mereka bebas sebebasnya memilih siapa yang diinginkannya. Semua bersorak-sorai. Sayang seribu sayang, secara perlahan namun pasti kebebasan itu ternyata melahirkan ekses yang tidak diantisipasi sebelumnya
Salah satu adalah menjamurnya intensitas penyelenggaraan pemilu. Setiap hari akan berlangsung pelaksanaan pemilu. Bahkan bisa dua kali sehari. Bagaimana tidak,  jumlah daerah tingkat dua saja sudah mencapai 545 kabupaten/kota plus 34 provinsi. Belum lagi pemilihan DPR (legislatif) dan Presiden yang sangat menyita perhatian.
Jelas tidak efektif dan membosankan. Masa setiap hari ada pemilu/pilkada. Apakah pemerintah kerjanya hanya mengurusi pemilu?, dari pemilu yang satu ke ke pemilu yang lain? Aneh dan sungguh-sungguh tidak rasional.
Namun yang lebih trenyuh lagi adalah hasilnya jauh dari harapan. Pemerintahan baru yang terbentuk sebagai hasil pemilu langsung gaya OPOVOV tersebut tidak begitu beda, kalau bukan lebih jelek dari pemerintahan yang dipilih secara tidak langsung (via DPRD)
Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri, 70 persen kepala daerah terpilih terindikasi korupsi. Mengapa membias? Tidakkah pemilihan langsung itu ditempuh supaya tampil kepala daerah yang bersih?.
 Dengan dipilih secara langsung diharapkan tidak akan ada lagi permainan uang/money politics sebagaimana ketika dipilih DPRD. Bagaimana membayar semua pemilihyang begitu besar?. Nyatanya dalam praktek tetap saja perilaku jahanam itu berlangsung. Berharap kebersihan (clean government) yang muncul sebaliknya (abuse government).

Ketidakprofesionalan penyelenggara
Untuk mengurangi ekses demikian muncullah pemikiran baru, yakni anggaran penyelenggaraan ditanggung pemerintah. Sarana-sarana kampanye yang memakan biaya besar seperti alat-alat peraga semuanya dibiayai pemerintah. Begitu pula, agar tidak tiap saat/hari ada pilkada dilakukan secara serentak.
Semua itu dituangkan dalam  UU No 8 tahun 2015. Akankah tercipta pilkada yang bersih dan berwibawa?. Akankah lahir pemimpin yang kredibel sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap keinginan rakyat? Pembahasannya kita awali dari penyelenggara yang keteteran
Salah satu tujuan pilkada serentak adalah efisiensi, yakni mengurangi biaya pelaksanaan. Dengan serentak maka anggaranya dapat ditekan seminim mungkin.Realitanya adalah sebaliknya. Anggrannya malah membengkak.Biaya membengkak di luar dugaan Biaya yang sebelumnya tidak teradopsi dalam pilkada-pilkada yang lalu melesat dalam pilkada serentak kali ini.
 Biaya-biaya demikian terutama adalah anggaran kampanye. Kalau pada pemilihan-pemilihan sebelumnya ditanggung oleh calon dan partai pengusungnya, kali ini ditanggung oleh pemerintah. Pembengkakan anggaran ini terutama adalah alat-alat peraga dan iklan kampanye dan  keperluan-keperluan operasional lainnya.
Selain melesatnya anggaran baru demikian, yang membuat pembengkakan semakin besar  adalah perhitungan yang kurang cermat dari pelaksana pemilu, yakni KPU/KPUD. Institusi ini (KPU/KPUD) disinyalir menyusun anggaran yang jauh dari layak sebagaimana ditunjukkan hasil pemeriksaan BPK.
 BPK menemukan biaya-biaya yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Barang-barang yang seharusnya X Rp di naikkan menjadi lebih dari X Rp tersebut. Begitu pula pos-pos yang sebenarnya tidak perlu ada direkayasa supaya ada .Apakah  salah hitung atau disengaja  menjadi pertanyaan besar.
Salah hitung mungkin saja terjadi karena ketidak cakapan KPU/KPUD menyusun anggaran. Sebagaimana faktanya sosok-sosok komisioner KPU/KPUD yang terdiri dari beragam profesi belum tentu menguasai teknis-teknis kepemiluan. Seorang sarjana agama, kimia, pertanian dan lain-lain yang bukan disiplin ilmu politik akan cenderung meraba-raba, bahkan tergagap-gagap akan detil-detil kepemiluan. Lain hal ilmuwan politik yang dalam mata kuliah/kurikulumnya telah diajarkan kepemiluan secara sistematis.
 Akan tetapi di atas itu semua yang paling menentukan (determinan kesengajaan) adalah masalah “niat alias komitmen”. Adakah komitmen mereka kepada pengabdian yang tulus, yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi? Tidakkah ada maksud-maksud terselubung, seperti memperkaya pribadi dan vested-vested interest lainnya? Inilah yang perlu dikaji lebih lanjut.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa seluruh institusi-institusi formal dinegeri ini  semua terjerat korupsi. Tidakkah Transparansi International telah memasukkan birokrasi kita sebagai salah satu birokrasi terkorup di dunia?. Jadi, meskipun para penyelenggara memahami teknis-teknis kepemiluan secara profesional, jika niatnya sudah tidak tulus, seperti memperkaya diri-pribadi, sudah pasti akan menggelembungkan anggaran.
Kong kali kong antara komisioner/anggota penyelenggara dengan aparat birokrasi yang selama ini sudah terkenal korup, memuluskan penggelembungan biaya itu

Landasan Demokrasi yang terlupakan
Akan semakin mulus mengingat landasan masalah yang tak pernah dituntaskan, yakni proses penentuan calon yang tidak pernah demokratis. UU No 8 Tahun 2015 tersebut sama sekali tidak memuat  “Rapat Anggota Partai Politik” sebagai syarat untuk menentukan siapa yang diputuskan menjadi calon.
Katanya kedaulatan rakyat (demokrasi), tapi mengapa tidak ditentukan melalui rapat anggota partai? Tidakkah cara itu sebagai wujud, dasar dan cerminan demokrasi? tidakkah setiap partai punya anggota?. Jadi untuk apa itu anggota kalau tidak disertakan dalam pengambilan keputusan?
 Di RRC yang katanya tidak demokratis, yang hanya terdiri dari satu partai yakni Partai Komunis Cina (PKC), dalam setiap pengambilan keputusan selalu berdasarkan rapat anggota. Mengapa justru dinegeri yang berpaham “kerakuatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” ini tidak melaksanakan rapat anggota?. Lalu siapa yang menentukan calon?
Jawabannya pasti, yakni hanya (dan hanya) oleh segelintir pengurus partai. Pengurus cabang entah dengan metode apa menentukan calon yang diinginkan. Entah dengan pertimbangan apa lagi calon yang disaring itu harus disetujui pengurus pusat. Sungguh suatu demokrasi yang tak lazim (uncommon democracies, TJ.Pemple 1978). Mengutif Gus Dur, demokrasi seolah-olah. Demokrasi tapi elitis, demokrasi tapi mirip kerajaan, betul-betul tak lazim
Demokrasi yang dalam implementasinya (sudah pasti) tidak akan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi seperti memperjuangkan aspirasi, kebutuhan atau kepentingan anggotanya bak panggang jauh dari api.
Yang diperjuangkan sudah dapat diduga, paling-paling atau tak lebih tak kurang hanyalah kepentingan pengurus partai pengusung, kelompok atau pribadinya. Suatu model pemilu yang sesungguhnya merupakan anti tese dari pola demokrasi. Lalu apa yang diharapkan dari pilkada 15 Februari ini? Menunggu godot?
Yang jelas dan pasti selama landasan masalah ini tidak diretas tidak akan ada perubahan yang significan. Tidak akan muncul pemimpin yang mengemban tujuan negara sebagaimana tersurat dalam konstitusi/UUD 1945. Untuk kesekian kalinya rakyat tetap gigit jari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar