Minggu, 12 Februari 2017

TEMPAT MORAL DI NEGARA : DI ANGIN?




TEMPAT MORAL DI NEGARA: DI ANGIN?
Oleh : Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS Unitas Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009

Atmosfir politik nasional akhir-akhir ini memanas. Memanas karena memang sudah waktunya memanas untuk matang, atau memanas karena dipanas-panasi, menjadi tanda tanya besar. Masalah Gayus Tambunan yang dibesar-besarkan hingga kemana-mana menjadi satu indikasi memanasnya politik tersebut. Demikian pula pernyataan tokoh-tokoh lintas agama bahwa negara berbohong (baca rezim SBY) menaikkan frekwensi pemanasan melewati thermometer Fahrenheit. Belum lagi kasus keistimewaan Yogyakarta yang tidak tahu kemana akan berlabuh.
Mungkin pemanasan ini akan semakin panas, melihat banyaknya dan besarnya kepentingan politik yang ingin masuk pentas politik. Mereka akan bermaneuvre kesana-kemari agar bisa mencicipi nikmatnya kekuasaan. Oleh karena segala cara akan ditempuh, all out memperjuangkan sahwat kepentingannya  hingga tujuannya tercapai. Tidak hanya kenegeri Cina mereka mencari siasat, taktik atau strategi, mungkin hingga kelangit ketujuh akan mereka kejar. Masalah  yang akan diperjuangkan apakah untuk kemaslahatan semua ummat atau hanya untuk kepentingan sempit nan terselubung  tidak menjadi perhitungan  Yang utama berkuasa dulu
Kalau persis seperti itu konstatasi yang terus menerus mendominasi tatanan social-politik negara ini, sukar dibayangkan kapan mencapai kemajuan sehingga diperhitungkan oleh negara lain. Apakah keterpurukan ekonomi dan citra yang jelek bangsa ini dimata dunia internasional tidak mereka pedulikan lagi ?
Dalam kerangka inilah relevan kita perhatikan pernyataan tokoh-tokoh lintas agama baru-baru ini. Pernyataan mereka tidak lagi sekedar issu politis, melainkan sudah pada tahap moral bangsa. Masihkah kita menempatkan moral sebagai dasar, rujukan dan tujuan? Atau hanya sekedar instrument belaka, atau bahkan alat untuk melakukan manipulasi?

Pembohongan Publik.
Apakah karena ada yang mendorong atau karena kesadaran moral mereka sebagai pemimpin ummat beragama, para tokoh-tokoh lintas agama tersebut berkumpul, berdiskusi secara intens dan pada akhirnya mengeluarkan deklarasi peniliaian mereka terhadap pemerintahan yang berlangsung saat ini. Mereka melihat, rezim yang menjalankan kekuasaan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti bagi kehidupan bangsa, negara atau masyarakat. Terkesan hanya retorika, korupsi semantik bahkan lebih dari situ adalah pembohongan kepada masyarakat. Mereka tidak jujur, hanya melakukan retorika demi pengelabuan public. Retorika-reorika yang indah hingga metode-metode pengelabuan canggih lainnya dipompakan hingga public terkesan dan dikesankan terjadi kemajuan, padahal sangat jauh dari realitanya.
Kebohongan-kebohongan dimaksud adalah; kegagalan menegakkan NKRI dalam hubungannya dengan pelanggaran yang dilakukan Malaysia baru-baru ini, kegagalan memberantas mafia hukum Gayus Tambunan, kegagalan membentuk politik yang beretika sebagaimana kasus Andi Nurpati dari KPU hijrah ke Partai Demokrat, kegagalan memberantas korupsi dan mengungkap rekening gendut Polri, kegagalan menunjukkan transparansi dalam pengunduran diri Sri Mulyani dari Menteri Keuangan, kegagalan melindungi TKI,  kegagalan mencegah kekerasan ormas tertentu atas nama agama.
Kegagalan-kegagalan lain yang juga tidak dituntas-tuntaskan dan terus diretorikakan adalah (1) kontrak ulang tambang emas Freeport, (2) kelestarian laut, (3) kegagalan memajukan pendidikan, (4) kegagalan menuntaskan kasus Munir, (5) kiegagalan mengurangi kemiskinan, (6) pembohongan bahwa SBY menjadi target teroris, (7) kegagalan swasembada dan ketahanan pangan  
Masalah-masalah yang penuh perkibulan tersebut sesungguhnya masih ada yang tidak disinggung dan cukup significan, yakni problem utang luar negeri. Utang yang memaksa Indonesia tergantung kepada kreditor-kreditornya. Tidak kelihatan secara kasat mata, namun jika ditelusuri secara seksama, masalah utang luar negeri adalah salah satu biang kerok kegagalan negeri ini membangun masa depannya.

Moralis vs Politisi
Bagaimana selanjutnya masa depan perkibulan-perkibulan tersebut sukar diprediksi. Apakah akan dituntaskan sehingga martabat pemerintahan saat ini dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, atau sebaliknya hanya seperti yang sudah-sudah serba retorika, serba tebar pesona atau terus menerus mengutamakan citra ketimbang isi hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Yang menarik dan menjadi perbincangan artikel ini adalah bahwa yang menyuarakan itu adalah tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh spiritual atau tokoh-tokoh yang memperhitungkan tidak hanya dunia fana, melainkan dunia akhirat (baka). Secara sosial-kemasyarakatan mereka adalah pelaku utama nilai-nilai moral. Tidak hanya justifikasi, namun legitimasi nilai tersebut (moral) ada dipundak mereka. Tidak berlebihan bagi pengikut-pengikutnya bahwa tokoh-tokoh tersebut adalah wakil Illahi di dunia ini, karenanya pesan (message) yang mereka berikan tidak atau bukan merupakan pesan biasa
Pesan demikian mengandung apa yang dalam ilmu pengetahuan disebut dengan “moral”. Sebagaimana tujuan kalangan terpelajar nan cendekiawan, inteligensia atau intelektual adalah “kebenaran”. Kebenaran yang universal untuk kemajuan seluruh ummat manusia  . dengan kata lain adalah “moral”
Pemeran moral selain tokoh-tokoh agama dan cendekiawan adalah Begawan, Resi atau Petapa. Kaum ini akan turun dari tempat persemadiannya/pertapannya apabila melihat telah ada bahaya kemungkaran atau pengkhianatan. mereka akan memberi pesan-pesan keselamatan. Disitulah kiprahnya. Bagaimana dan dimana tempatnya? Disini ironinya.
Pelaksana pesan moral bukanlah pengemban moral tersebut. Apakah  dilaksanakan atau tidak pesan moral demikian tergantung kepada actor yang lain. Actor-aktor ini popular dengan predikat para elite, para pragmatisi, para politisi, para birokrat yang sehari-hari mengoperasionalkan yang namanya pemerintahan.. Apa substansi dan hakiki mereka? Secara gambling juga kita sebut adalah “kepentingan”
Kepentingan sebagaimana eksistensinya tidaklah universal, melainkan partisan. Politisi yang memegang kekuasaan sudah pasti akan mendahulukan kebutuhan diri, kelompok atau faksinya. Bukan untuk kebutuhan semua. Berbalikan dengan kaum moralis yang  berjuang untuk kemaslahatan semua. Kepentingan elit democrat bersama pendukung-pendukungnya di Setgab akan didahulukan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, yang lebih mulia, yang lebih besar, atau kebutuhan masyarakat pada umumnya . bagaimana mereka tetap eksis di pemerintahan atau kiekuasaan itulah ultima rationya.
Dengan cantik Knopfelmacher (1968) melukiskan predikat para pragmatisi/politisi tersebut sebagai berikut: …the man for whom ideas are instrumentalities and blueprints for the shifting, shunting and manipulation of men, organizations and things…
Suatu fungsi yang sangat tidak simetris, kaum moralis menganggap moral (ideas) adalah tujuan (goal), sebaliknya kaum pragmatisi menganggapnya hanya sebagai alat atau blue print belaka. Dua tujuan yang tidak akan ketemu

Tempatnya Di Angin
Para pragmatisi (politisi) yang super realistic akan melakukan atau memanfaatkan apa yang ada sekarang ini, saat ini juga, meski itu tidak baik, tidak etis atau tidak estetis. Atau tidak tertutup kemungkinina kekinian yang dipraktekkan kaum pragmatisi tersebut adalah berlawanan dengan nilai-nilai dasar. Sebaliknya kalangan moralis, seperti yang dimotori kaum agamawan baru-baru ini akan terus berupaya menggapai yang sesuai dengan tujuan moral (ide) nan ideal. Kongkritnya  para pragmatisi nan politis akan berhenti pada satu tempat, sebaliknya kalangan moralis akan terus berlari sampai tujuannya tercapai. Berlari terus……oleh karena itu tiada tempat dalam negara,  meminjam WS Rendra (1977) rumahnya adalah di angin. Mirip elang yang terbang sendiri…eagle flies alone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar