TEMPAT MORAL DI NEGARA: DI ANGIN?
Oleh : Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS Unitas Palembang.
Staf ahli DPR RI 1999-2009
Atmosfir politik nasional akhir-akhir ini memanas.
Memanas karena memang sudah waktunya memanas untuk matang, atau memanas karena
dipanas-panasi, menjadi tanda tanya besar. Masalah Gayus Tambunan yang
dibesar-besarkan hingga kemana-mana menjadi satu indikasi memanasnya politik
tersebut. Demikian pula pernyataan tokoh-tokoh lintas agama bahwa negara
berbohong (baca rezim SBY) menaikkan frekwensi pemanasan melewati thermometer
Fahrenheit. Belum lagi kasus keistimewaan Yogyakarta
yang tidak tahu kemana akan berlabuh.
Mungkin pemanasan ini akan semakin panas, melihat banyaknya
dan besarnya kepentingan politik yang ingin masuk pentas politik. Mereka akan
bermaneuvre kesana-kemari agar bisa mencicipi nikmatnya kekuasaan. Oleh karena segala
cara akan ditempuh, all out memperjuangkan sahwat kepentingannya hingga tujuannya tercapai. Tidak hanya
kenegeri Cina mereka mencari siasat, taktik atau strategi, mungkin hingga
kelangit ketujuh akan mereka kejar. Masalah yang akan diperjuangkan apakah untuk
kemaslahatan semua ummat atau hanya untuk kepentingan sempit nan terselubung tidak menjadi perhitungan Yang utama berkuasa dulu
Kalau persis seperti itu konstatasi yang terus menerus
mendominasi tatanan social-politik negara ini, sukar dibayangkan kapan mencapai
kemajuan sehingga diperhitungkan oleh negara lain. Apakah keterpurukan ekonomi
dan citra yang jelek bangsa ini dimata dunia internasional tidak mereka
pedulikan lagi ?
Dalam kerangka inilah relevan kita perhatikan pernyataan
tokoh-tokoh lintas agama baru-baru ini. Pernyataan mereka tidak lagi sekedar
issu politis, melainkan sudah pada tahap moral bangsa. Masihkah kita
menempatkan moral sebagai dasar, rujukan dan tujuan? Atau hanya sekedar
instrument belaka, atau bahkan alat untuk melakukan manipulasi?
Pembohongan Publik.
Apakah karena ada yang mendorong atau karena kesadaran
moral mereka sebagai pemimpin ummat beragama, para tokoh-tokoh lintas agama
tersebut berkumpul, berdiskusi secara intens dan pada akhirnya mengeluarkan
deklarasi peniliaian mereka terhadap pemerintahan yang berlangsung saat ini.
Mereka melihat, rezim yang menjalankan kekuasaan tidak menunjukkan kemajuan
yang berarti bagi kehidupan bangsa, negara atau masyarakat. Terkesan hanya
retorika, korupsi semantik bahkan lebih dari situ adalah pembohongan kepada
masyarakat. Mereka tidak jujur, hanya melakukan retorika demi pengelabuan
public. Retorika-reorika yang indah hingga metode-metode pengelabuan canggih lainnya
dipompakan hingga public terkesan dan dikesankan terjadi kemajuan, padahal
sangat jauh dari realitanya.
Kebohongan-kebohongan dimaksud adalah; kegagalan
menegakkan NKRI dalam hubungannya dengan pelanggaran yang dilakukan Malaysia
baru-baru ini, kegagalan memberantas mafia hukum Gayus Tambunan, kegagalan
membentuk politik yang beretika sebagaimana kasus Andi Nurpati dari KPU hijrah
ke Partai Demokrat, kegagalan memberantas korupsi dan mengungkap rekening
gendut Polri, kegagalan menunjukkan transparansi dalam pengunduran diri Sri
Mulyani dari Menteri Keuangan, kegagalan melindungi TKI, kegagalan mencegah kekerasan ormas tertentu
atas nama agama.
Kegagalan-kegagalan lain yang juga tidak
dituntas-tuntaskan dan terus diretorikakan adalah (1) kontrak ulang tambang
emas Freeport,
(2) kelestarian laut, (3) kegagalan memajukan pendidikan, (4) kegagalan
menuntaskan kasus Munir, (5) kiegagalan mengurangi kemiskinan, (6) pembohongan
bahwa SBY menjadi target teroris, (7) kegagalan swasembada dan ketahanan pangan
Masalah-masalah yang penuh perkibulan tersebut
sesungguhnya masih ada yang tidak disinggung dan cukup significan, yakni
problem utang luar negeri. Utang yang memaksa Indonesia tergantung kepada
kreditor-kreditornya. Tidak kelihatan secara kasat mata, namun jika ditelusuri
secara seksama, masalah utang luar negeri adalah salah satu biang kerok
kegagalan negeri ini membangun masa depannya.
Moralis vs Politisi
Bagaimana selanjutnya masa depan perkibulan-perkibulan
tersebut sukar diprediksi. Apakah akan dituntaskan sehingga martabat
pemerintahan saat ini dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, atau sebaliknya
hanya seperti yang sudah-sudah serba retorika, serba tebar pesona atau terus
menerus mengutamakan citra ketimbang isi hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Yang menarik dan menjadi perbincangan artikel ini adalah
bahwa yang menyuarakan itu adalah tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh spiritual atau
tokoh-tokoh yang memperhitungkan tidak hanya dunia fana, melainkan dunia
akhirat (baka). Secara sosial-kemasyarakatan mereka adalah pelaku utama
nilai-nilai moral. Tidak hanya justifikasi, namun legitimasi nilai tersebut
(moral) ada dipundak mereka. Tidak berlebihan bagi pengikut-pengikutnya bahwa
tokoh-tokoh tersebut adalah wakil Illahi di dunia ini, karenanya pesan
(message) yang mereka berikan tidak atau bukan merupakan pesan biasa
Pesan demikian mengandung apa yang dalam ilmu
pengetahuan disebut dengan “moral”. Sebagaimana tujuan kalangan terpelajar nan
cendekiawan, inteligensia atau intelektual adalah “kebenaran”. Kebenaran yang
universal untuk kemajuan seluruh ummat manusia
. dengan kata lain adalah “moral”
Pemeran moral selain tokoh-tokoh agama dan cendekiawan
adalah Begawan, Resi atau Petapa. Kaum ini akan turun dari tempat
persemadiannya/pertapannya apabila melihat telah ada bahaya kemungkaran atau
pengkhianatan. mereka akan memberi pesan-pesan keselamatan. Disitulah kiprahnya.
Bagaimana dan dimana tempatnya? Disini ironinya.
Pelaksana pesan moral bukanlah pengemban moral tersebut.
Apakah dilaksanakan atau tidak pesan
moral demikian tergantung kepada actor yang lain. Actor-aktor ini popular
dengan predikat para elite, para pragmatisi, para politisi, para birokrat yang
sehari-hari mengoperasionalkan yang namanya pemerintahan.. Apa substansi dan
hakiki mereka? Secara gambling juga kita sebut adalah “kepentingan”
Kepentingan sebagaimana eksistensinya tidaklah
universal, melainkan partisan. Politisi yang memegang kekuasaan sudah pasti
akan mendahulukan kebutuhan diri, kelompok atau faksinya. Bukan untuk kebutuhan
semua. Berbalikan dengan kaum moralis yang
berjuang untuk kemaslahatan semua. Kepentingan elit democrat bersama
pendukung-pendukungnya di Setgab akan didahulukan daripada
kepentingan-kepentingan yang lain, yang lebih mulia, yang lebih besar, atau
kebutuhan masyarakat pada umumnya . bagaimana mereka tetap eksis di
pemerintahan atau kiekuasaan itulah ultima rationya.
Dengan cantik Knopfelmacher (1968) melukiskan predikat
para pragmatisi/politisi tersebut sebagai berikut: …the man for whom ideas are
instrumentalities and blueprints for the shifting, shunting and manipulation of
men, organizations and things…
Suatu fungsi yang sangat tidak simetris, kaum moralis
menganggap moral (ideas) adalah tujuan (goal), sebaliknya kaum pragmatisi
menganggapnya hanya sebagai alat atau blue print belaka. Dua tujuan yang tidak
akan ketemu
Tempatnya Di Angin
Para pragmatisi (politisi) yang super realistic akan melakukan atau
memanfaatkan apa yang ada sekarang ini, saat ini juga, meski itu tidak baik,
tidak etis atau tidak estetis. Atau tidak tertutup kemungkinina kekinian yang
dipraktekkan kaum pragmatisi tersebut adalah berlawanan dengan nilai-nilai
dasar. Sebaliknya kalangan moralis, seperti yang dimotori kaum agamawan
baru-baru ini akan terus berupaya menggapai yang sesuai dengan tujuan moral
(ide) nan ideal. Kongkritnya para
pragmatisi nan politis akan berhenti pada satu tempat, sebaliknya kalangan
moralis akan terus berlari sampai tujuannya tercapai. Berlari terus……oleh
karena itu tiada tempat dalam negara, meminjam WS Rendra (1977) rumahnya adalah di angin.
Mirip elang yang terbang sendiri…eagle flies alone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar