Selasa, 21 Februari 2017

MEMPERTANYAKAN PERANAN POLITIK MAHASISWA




20 Tahun Kelompok Cipayung, 22 Januari 1972 – 22 Januari 1992
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta& mantan aktivis GMNI Salemba Jakarta Raya
Published, Merdeka, 23 januari 1992

Setelah 20 tahun usia Kelompok Cipayung, apa yang sudah diperbuat. Adakah mereka telah membuahkan inovasi, minimal dalam pembaharuan keorganisasian mahasiswa ?. Tidakkah mereka hanya terjebak dalam avant garde demi kepentingan-kepentingan kelompok lain ? Dan sekian pertanyaan yang aktual dikemukakan dalam umurnya yang telah menginjak dewasa.
Pertanyaan tersebut menjadi kontekstual mengingat kelompok inilah yang pertama-tama mempelopori kebangunan mahasiswa dari kevakuman yang dirasa sangat merosot sejak hengkangnya Soekarno dari singgasana kekuasaan. Mereka dengan tegar, bak semangat pemuda tahun 1945, di tengah-tengah udara yang sangat dingin, malam nan pekat, dan diiringi mars “Padamu Negeri” di Hotel Mars Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972, menjelang tengah malam, bertekad akan bersatu dalam satu wadah yang mereka initsialkan “Kelompok Cipayung”
Begitu membara tekad ke empat organisasi ekstra universiter tersebut (HMI, PMKRI, GMKI, dan GMNI) membangun bangsanya, dapat di baca dari deklarasi sebagai kesimpulan dari seminar yang mereka temakan dengan “Indonesia yang kami cita-citakan”, yakni (di kutip)...kami generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan belajar dari sejarah masa lampau bahwasanya disorientasi yang terjadi di dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa selalu akan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya kesatuan perjuangan generasi muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan tuntutan bangsa secara mutlak. Untuk mencapai ini dibutuhkan Indonesia yang kuat dan bersatu, cerdas, modern, demokratis dan adil, menjunjung tinggi martabat manusia dan wibawa hukum, sehat dan makmur, bebas dari ketakutan dan penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Suatu deklarasi yang sungguh-sungguh melegakan, memberi semangat bagi mereka yang telah dekaden, membangunkan yang sedang tidur, atau frustasi. Tidak saja bagi kalangan civitas akademika kampus yang merasakannya, melainkan seluruh jajaran masyarakat. Kelompok ini dengan inovasi yang diikrarkan, plus semangat kemudaannya nan bergelora tinggi, mementaskan berbagai pembaharuan. Khususnya sekitar kemilitanan dan kevokalan untuk mengatakan “hitam kalau hitam, salah apabila salah”. Dengan semangat ilmiahnya mereka memberi kritik segar kepada power establish
Kritik-kritik yang diledakkan kepermukaan atmosfir politik itu mendapat tepuk tangan meriah dari masyarakat. Pendek cerita mereka lebih populer ketimbang anggota-anggota DPR yang hanya duduk-duduk, diam-diam, dan dapat duit. Betap maraknya kritik atau tuntutan yang mereka lantunkan, dapat dibuktikan dengan tanggapan para public figure yang meramaikan polemik dalam media-media massa. Tidak jarang bahwa pejabat tertentu bagai cacing kepnasan akibat radiasi kritik tersebut.
Suasana ini ternyata tidak berlangsung lama, mungkin hanya sekitar delapan tahun (dari awal berdiri hingga akhir 70-an). Panggung politik nasional secara pasti telah mengalami perubahan, bak rotasi planet yang tak terbendung.
Perubahan Sosial
Gebyar Kelompok Cipayung yang meramaikan pentas politik mahasiswa Indonesia pada dasawarsa 70-an, kiranya tidak diiringi dengan kapabilitasnya mengantisipasi perkembangan zaman yang terus berubah. Hal ini diutarakan mengingat bahwa figur-figur mereka (kalau tidak keliru) cenderung mabuk kepayang dalam kritik yang opposan terhadap penguasa mapan.
Penguasa mapan biar bagaimanapun tidak pernah tinggal diam. Bagaimana metode menjinakkan,meminimalisir, hingga mengimpotenkan dinamika kritik golongan elit tersebut menjadi primat utamanya. Suatu hal yang lumrah dalam mandala politik untuk mempertahankan kekuasaan (terlepas bagaimana caranya). Sinyalemen ini mungkin kurang kurang disadari para dedengkot atau pentolan-pentolan Kelompok Cipayung.
Pentolan maupun dedengkot ini asyik terus melencarkan kritik-kritik, sementara power establish sudah demikian konsepsional menempuh counter attack. Pertama-tama kita catat akan kelahiran Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 1973, yang tragisnya justru dibidani oleh pencetus Cipayung sendiri.
KNPI secara perlahan namun pasti melaju ke panggung kepemudaan secara nasional, dengan corak, gaya, dan tujuan yang bertolak belakang dengan keberadaan Kelompok Cipayung. Organisasi ini cenderung dominan berorientasi kepada penguasa legal dengan meterai (ideologi) pembangunan. Di sisi lain kader-kader KNPI mendapat privilese untuk mentas di panggung pemerintahan (executif), DPR (legislatif), dan lain-lain jabatan strategis.
Kedua, kelahiran ormas-ormas pemuda yang orientasinya analog dengan eksistensi KNPI, seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), FKPPI, AMS, Pemuda Panca Marga, Focusmaker, dan lain-lainya turut melemahkan kehadiran Kelompok Cipayung.
Ketiga, yang kiranya paling penting adalah perubahan dalam atmosfir politik nasional dan internasional. Konstatasi ini tentunya sangat abstrak, verval, dan majemuk. Dalam bidang kemahasiswaan kita pinjam pendapat P.G.Altbach yang melihat sejak era 70-an gerakan politik mahasiswa telah sangat merosot (decay). Adapun argumen mengapa beliau sampai kepada premis demikian adalah (1) hampir selalu mustahil mempertahankan tingkat kegiatan politik dan organisasi yang tinggi dalam suatu periode yang panjang, (2) media massa tidak lagi tertarik memberitakan tentang gerakan-gerakan mahasiswa, (3) focus perhatian mahasiswa telah berubah, (4) kesuksesan setiap negara dalam pembangunan ekonomi, (5) upaya reformasi/restrukturisasi universitas yang cukup sukses, (6) mahasiswa itu sendiri memandang gerakannya telh gagal, yakni tidak berhasil mengadakan perunhan sosial secara besar-besaran, (7) relitas politik eksternal telah berubah (baca P.G.Altbach, Politik dan Mahasiswa, hal 15)
Walaupun tidak persis sama, apa yang disinyalir Altbach tersebut, relevan dengan kondisi kemahasiswaan Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan ketika rezim Orde Baru bertekad melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan pancasila dengan titik berat ekonomi. Trilogi pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap, dan pemerataan hasil-hasil pembangunn menjadi trade mark Orde Baru. Adakah misalnya konteks ini dikaji secara mendalam, mendetail, dan analitik oleh Kelompok Cipayung.?
Peranannya.
Keberadaan ormas-ormas mahasiswa yang bernaung dalam bendera Kelompok Cipayung tidak mungkin dilepaskan dari perihal politik, mengingat bahwa organisasi ini adalah organisasi mahasiswa yang ingin atau mempunyai minat dalam bidang tersebut. suatu yang unik, yang dalam teori mungkin dapat dipisahkan (antara profesi keilmuan dan politisi). Sebagai konsekwensi logisnya memang akan selalu menelorkan masalah. Oleh karena itulah sebagian pakar berpendapat bahwa mahasiswa tidak boleh berpolitik. Di pihak lain justru kebalikannya (boleh berpolitik)
Mana yang benar, mana yang salah gampang-gampang susah menjawabny. Dua-duanya bisa salah, namun juga bisa sama-sama benar. Oleh karena itu ideal dijabarkan apa yang dimaksud dengan mahasiswa, politik, dan sekian variabel yang berhubungan dengan problem itu, yang pasti tidak mungkin terulas dalam paper singkat ini. akan tetapi di balik itu perlu diingat bahwa para pakarsekalipun belum mempunyai kesepakatan tentang maslah demikian (belum ada dalil definitif).
Bila terminologi Prof Dr Mr Barents kita pakai sebagai referensi, yaitu politik sebagai kehidupan negara, maka setiap warga negara tanpa kecuali terlibat dalam politik. Mungkin yang paling mendekati standarisasi adalah konstitusi kita. UUD 1945 tidak membedakan siapa yang dapat dan tidak untuk berpolitik. Dari situasi inilah dapat diasumsikan, yakni menjadi tanda tanya apabila mahasiswa dilarang berpolitik.
Mahasiswa dapat berperanan dalam perubahan politik maupun sosial urai Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasinya “Pebedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerkan protes mahasiswa”. Sarlito membuktikannya ketika Soekarno terjengkang dari pentas politik dan lain-lain kasus di manca negara.
Masalahnya sejauh mana peranan mahasiswa dalam moment perubahan politik?? Arif Budiman berpendapat bahwa peranan mahasiswa hanyalah sebatas katalisator. Yang berperan dari awal hingga penetunya adalah pihaklain (Dick Hartoko, ed, Golongan Cendekiawan,  Gramedia).
Ong Hok Ham (dan yang lain) termasuk penulis melihat bahwa mahasiswa dalam aksi-aksi perubahan politik dominan digunakan sebagai instrumen alias avant garde atau ujung tombak. Dalam bahasa ekstrimnya mereka an sich dijadikan kuda tunggangan oleh pihak-pihak yang menungganginya
Mempertanyakan.
Di atas itu semua (berperan atau tidak), kenyataan bahwa gerakan politik mahasiswa Indonesia telah sampai kepada limit yang sangat merosot. HMI, PMKRI, GMKI, GMNI dan PMII yang dulu punya suara merdu bak burung parkit tak pernah lagi terdengr. Mengapa? Baiklah Kelompok Cipayung sendiri yang lebih relevan menjawabnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar