20 Tahun Kelompok Cipayung, 22 Januari 1972 – 22
Januari 1992
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta& mantan
aktivis GMNI Salemba Jakarta Raya
Published,
Merdeka, 23 januari 1992
Setelah
20 tahun usia Kelompok Cipayung, apa yang sudah diperbuat. Adakah mereka telah
membuahkan inovasi, minimal dalam pembaharuan keorganisasian mahasiswa ?.
Tidakkah mereka hanya terjebak dalam avant
garde demi kepentingan-kepentingan kelompok lain ? Dan sekian pertanyaan
yang aktual dikemukakan dalam umurnya yang telah menginjak dewasa.
Pertanyaan
tersebut menjadi kontekstual mengingat kelompok inilah yang pertama-tama
mempelopori kebangunan mahasiswa dari kevakuman yang dirasa sangat merosot
sejak hengkangnya Soekarno dari singgasana kekuasaan. Mereka dengan tegar, bak
semangat pemuda tahun 1945, di tengah-tengah udara yang sangat dingin, malam
nan pekat, dan diiringi mars “Padamu Negeri” di Hotel Mars Cipayung pada
tanggal 22 Januari 1972, menjelang tengah malam, bertekad akan bersatu dalam
satu wadah yang mereka initsialkan “Kelompok Cipayung”
Begitu
membara tekad ke empat organisasi ekstra universiter tersebut (HMI, PMKRI,
GMKI, dan GMNI) membangun bangsanya, dapat di baca dari deklarasi sebagai kesimpulan
dari seminar yang mereka temakan dengan “Indonesia yang kami cita-citakan”,
yakni (di kutip)...kami generasi muda
bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan belajar dari sejarah
masa lampau bahwasanya disorientasi yang terjadi di dalam perjalanan sejarah
perjuangan bangsa selalu akan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya
kesatuan perjuangan generasi muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan
tuntutan bangsa secara mutlak. Untuk mencapai ini dibutuhkan Indonesia yang
kuat dan bersatu, cerdas, modern, demokratis dan adil, menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum, sehat dan makmur, bebas dari ketakutan dan
penindasan, berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Suatu
deklarasi yang sungguh-sungguh melegakan, memberi semangat bagi mereka yang
telah dekaden, membangunkan yang sedang tidur, atau frustasi. Tidak saja bagi
kalangan civitas akademika kampus yang merasakannya, melainkan seluruh jajaran
masyarakat. Kelompok ini dengan inovasi yang diikrarkan, plus semangat
kemudaannya nan bergelora tinggi, mementaskan berbagai pembaharuan. Khususnya
sekitar kemilitanan dan kevokalan untuk mengatakan “hitam kalau hitam, salah apabila salah”. Dengan semangat ilmiahnya
mereka memberi kritik segar kepada power
establish
Kritik-kritik
yang diledakkan kepermukaan atmosfir politik itu mendapat tepuk tangan meriah
dari masyarakat. Pendek cerita mereka lebih populer ketimbang anggota-anggota
DPR yang hanya duduk-duduk, diam-diam, dan dapat duit. Betap maraknya kritik
atau tuntutan yang mereka lantunkan, dapat dibuktikan dengan tanggapan para
public figure yang meramaikan polemik dalam media-media massa. Tidak jarang
bahwa pejabat tertentu bagai cacing kepnasan akibat radiasi kritik tersebut.
Suasana
ini ternyata tidak berlangsung lama, mungkin hanya sekitar delapan tahun (dari
awal berdiri hingga akhir 70-an). Panggung politik nasional secara pasti telah
mengalami perubahan, bak rotasi planet yang tak terbendung.
Perubahan Sosial
Gebyar
Kelompok Cipayung yang meramaikan pentas politik mahasiswa Indonesia pada
dasawarsa 70-an, kiranya tidak diiringi dengan kapabilitasnya mengantisipasi
perkembangan zaman yang terus berubah. Hal ini diutarakan mengingat bahwa
figur-figur mereka (kalau tidak keliru) cenderung mabuk kepayang dalam kritik
yang opposan terhadap penguasa mapan.
Penguasa
mapan biar bagaimanapun tidak pernah tinggal diam. Bagaimana metode
menjinakkan,meminimalisir, hingga mengimpotenkan dinamika kritik golongan elit
tersebut menjadi primat utamanya. Suatu hal yang lumrah dalam mandala politik
untuk mempertahankan kekuasaan (terlepas bagaimana caranya). Sinyalemen ini
mungkin kurang kurang disadari para dedengkot atau pentolan-pentolan Kelompok
Cipayung.
Pentolan
maupun dedengkot ini asyik terus melencarkan kritik-kritik, sementara power
establish sudah demikian konsepsional menempuh counter attack. Pertama-tama
kita catat akan kelahiran Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada 1973,
yang tragisnya justru dibidani oleh pencetus Cipayung sendiri.
KNPI
secara perlahan namun pasti melaju ke panggung kepemudaan secara nasional,
dengan corak, gaya, dan tujuan yang bertolak belakang dengan keberadaan
Kelompok Cipayung. Organisasi ini cenderung dominan berorientasi kepada
penguasa legal dengan meterai (ideologi) pembangunan. Di sisi lain kader-kader
KNPI mendapat privilese untuk mentas di panggung pemerintahan (executif), DPR (legislatif), dan lain-lain jabatan
strategis.
Kedua,
kelahiran ormas-ormas pemuda yang orientasinya analog dengan eksistensi KNPI,
seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), FKPPI, AMS, Pemuda Panca
Marga, Focusmaker, dan lain-lainya turut melemahkan kehadiran Kelompok
Cipayung.
Ketiga,
yang kiranya paling penting adalah perubahan dalam atmosfir politik nasional
dan internasional. Konstatasi ini tentunya sangat abstrak, verval, dan majemuk.
Dalam bidang kemahasiswaan kita pinjam pendapat P.G.Altbach yang melihat sejak era 70-an gerakan politik mahasiswa
telah sangat merosot (decay). Adapun
argumen mengapa beliau sampai kepada premis demikian adalah (1) hampir selalu
mustahil mempertahankan tingkat kegiatan politik dan organisasi yang tinggi
dalam suatu periode yang panjang, (2) media massa tidak lagi tertarik
memberitakan tentang gerakan-gerakan mahasiswa, (3) focus perhatian mahasiswa
telah berubah, (4) kesuksesan setiap negara dalam pembangunan ekonomi, (5)
upaya reformasi/restrukturisasi universitas yang cukup sukses, (6) mahasiswa
itu sendiri memandang gerakannya telh gagal, yakni tidak berhasil mengadakan
perunhan sosial secara besar-besaran, (7) relitas politik eksternal telah
berubah (baca P.G.Altbach, Politik dan Mahasiswa, hal 15)
Walaupun
tidak persis sama, apa yang disinyalir Altbach tersebut, relevan dengan kondisi
kemahasiswaan Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan ketika rezim Orde Baru
bertekad melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan pancasila dengan titik
berat ekonomi. Trilogi pembangunan, yakni pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
stabilitas nasional yang mantap, dan pemerataan hasil-hasil pembangunn menjadi
trade mark Orde Baru. Adakah misalnya konteks ini dikaji secara mendalam,
mendetail, dan analitik oleh Kelompok Cipayung.?
Peranannya.
Keberadaan
ormas-ormas mahasiswa yang bernaung dalam bendera Kelompok Cipayung tidak
mungkin dilepaskan dari perihal politik, mengingat bahwa organisasi ini adalah
organisasi mahasiswa yang ingin atau mempunyai minat dalam bidang tersebut.
suatu yang unik, yang dalam teori mungkin dapat dipisahkan (antara profesi
keilmuan dan politisi). Sebagai konsekwensi logisnya memang akan selalu
menelorkan masalah. Oleh karena itulah sebagian pakar berpendapat bahwa
mahasiswa tidak boleh berpolitik. Di pihak lain justru kebalikannya (boleh
berpolitik)
Mana
yang benar, mana yang salah gampang-gampang susah menjawabny. Dua-duanya bisa
salah, namun juga bisa sama-sama benar. Oleh karena itu ideal dijabarkan apa
yang dimaksud dengan mahasiswa, politik, dan sekian variabel yang berhubungan
dengan problem itu, yang pasti tidak mungkin terulas dalam paper singkat ini.
akan tetapi di balik itu perlu diingat bahwa para pakarsekalipun belum
mempunyai kesepakatan tentang maslah demikian (belum ada dalil definitif).
Bila
terminologi Prof Dr Mr Barents kita pakai sebagai referensi, yaitu politik
sebagai kehidupan negara, maka setiap warga negara tanpa kecuali terlibat dalam
politik. Mungkin yang paling mendekati standarisasi adalah konstitusi kita. UUD
1945 tidak membedakan siapa yang dapat dan tidak untuk berpolitik. Dari situasi
inilah dapat diasumsikan, yakni menjadi tanda tanya apabila mahasiswa dilarang
berpolitik.
Mahasiswa
dapat berperanan dalam perubahan politik maupun sosial urai Sarlito Wirawan
Sarwono dalam disertasinya “Pebedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerkan
protes mahasiswa”. Sarlito membuktikannya ketika Soekarno terjengkang dari
pentas politik dan lain-lain kasus di manca negara.
Masalahnya
sejauh mana peranan mahasiswa dalam moment perubahan politik?? Arif Budiman
berpendapat bahwa peranan mahasiswa hanyalah sebatas katalisator. Yang berperan
dari awal hingga penetunya adalah pihaklain (Dick Hartoko, ed, Golongan
Cendekiawan, Gramedia).
Ong
Hok Ham (dan yang lain) termasuk penulis melihat bahwa mahasiswa dalam
aksi-aksi perubahan politik dominan digunakan sebagai instrumen alias avant
garde atau ujung tombak. Dalam bahasa ekstrimnya mereka an sich dijadikan kuda
tunggangan oleh pihak-pihak yang menungganginya
Mempertanyakan.
Di
atas itu semua (berperan atau tidak), kenyataan bahwa gerakan politik mahasiswa
Indonesia telah sampai kepada limit yang sangat merosot. HMI, PMKRI, GMKI, GMNI
dan PMII yang dulu punya suara merdu bak burung parkit tak pernah lagi
terdengr. Mengapa? Baiklah Kelompok Cipayung sendiri yang lebih relevan
menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar