Oleh:
Reinhard Hutapea
Published MBBP No 31/1990
Judul artikel ini penulis tempuh
setelah membaca disertasi Dr Mohtar Naim “Merantau: Cause and effects of
Minangkabau”. Di lain pihak substansi tulisan ini banyak diwarnai pemikirn Prof
Dr Usman Pelly yang pernah di tulis beliau dalam bulletin Fakultas sastra
Universitas Sumatera Utara “Brain drain sebuah dampak perantauan masyarakat
Tapsel”
Ekspansi teritorial
Di beberapa tempat di Pulau Jawa
kalau kita perhatikan dengan seksama, baik di pusat-pusat kota, pinggiran
hingga ke perumahan-perumahan model perumnas, KPR-KPR BTN yang relatif sudah
berbaur dengan etnis-etnis lain adalah kenyataan bahwa masyarakat Batak yang
berdiam di tempat-tempat tersebut masih tetap mewarisi sifat, adat, dan tradisi
sebagaimana di kampung halamannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan
paguyuban-paguyuban seperti arisan semarga, arisan dari satu kecamatan,
ikatan-ikatan muda-mudi dari satu kecamatan, pendirian-pendirian Gereja (HKBP,
GKPA, GBKP, GKPS) sampai kepada bentuk “Parsahutaon”. Di perumnas-perumnas atau
KPR-KPR BTN Bekasi, Depok, dan Tangerang hal demikian sudah begitu populer.
Sekilas dari uraian ini tampaklah
bahwa perantau-perantau Batak menganggap alam rantaunya (Migratory world)
sebagai kampungnya sendiri (Bona ni pasogit/Tapanuli world). Karenanya misi
budaya perantauan orang Batak didasarkan kepada ekspansi teritorial. Tanah yang
dimiliki di rantau dianggap sebagai bagian dari kerajaan Batak (Vergouwen,
1964)
Relevansi apa yang dapat kita ambil dari
konteks demikian? Menjadi tujuan penulisan ini. namun sebelumnya ideal di kaji
mengapa orang Batak merantau, bagaimana hubungannya dengan dengan perantauan
orang Minang dan apa yang disumbangkan kepada kampung halamannya.
Harga diri
Merantau, meninggalkan kampung
halaman secara sukarela tidaklah merupakan tingkah laku yang asal-asalan, acak,
atau otomatis (dengan sendirinya). Orang mengambil keputusan untuk merantau
dapat diasumsikan sebagai orang yang telah melakukan pilihan sendiri dari
sekian banyak anggota masyarakat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi
untuk meninggalkan kampung halaman tidaklah sederhana seperti yang dilukiskan
paradigma “pushpull”, paradigma tekan-kumpul yang banyak di anut para analisis.
Push maksudnya adalah faktor kemiskinan
yang menekan kepergian seseorang, sementara paradigma pull adalah kota yang
gemerlapan dan bayangan lapangan kerja yang melimpah di kota menghimpun
pendatang-pendatang baru. Akan tetapi faktor kemiskinan itu sendiri tidak dapat
di anggap sebagai motip utama yang menyebabkan orang itu mengambil keputusan
untuk merantau. Faktor-faktor budaya lainnya akan secara selektip menentukan
apakah seseorang memutuskan pergi merantau ialah apa yang disebut “misi
budaya”, yaitu seperangkat tujuan yang diharapkan oleh masyarakat budaya
tersebut untuk dicapai dalam tujuan (Usman Pelly, 1982:1)
Dari sudut pandangan kosmologis orang
Batak berbeda dengan orang Minangkabau. Orang Minang mengakui adanya dua alam,
yaitu alam Minangkabau (Minangkabau World) dan alam rantau (Migratory world).
Fungsi alam rantau ialah untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau.
Hubungan fungsional kedua alam ini merupakan konsep dasar dari misi budaya
orang Minangkabau dalam perantauan. Orang Minangkabau yang pergi merantau
merasa mempunyai kewajiban moral dan adat untuk kelak pulang membawa sesuatu ke
kampung halaman mereka, sebagai hasil perantauan, yaitu harta kekayaan dan atau
ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan pandangan kosmologis
ini orang Minang di rantau cenderung untuk memilih pola okupasi yang memberikan
independen sangat tinggi tidak banyak terikat dengan birokrasi dan kekuasaan
orang lain di rantau. Okupasi seperti pedagang (bazar ekonomi), tukang mandiri,
atau jabatan-jabatan profesional, seperti dokter, pengacara, wartawan, dan lain-lain
merupakan profesi okupasi yang disenangi orang Minangkabau di rantau. Pemilihan
okupasi yang independen ini di dukung oleh pola sosialisasi yang egalitarian di
kampung halamannya (Mohtar Naim, 1960)
Pola perantauan orang Batak jelas
sangat berbeda dengan orang Minangkabau. Menurut Kraemer (1957:67) orang Batak merantau dengan motto “carilah anak
dan carilah tanah, halului anak halului tano”. Anak dan tanah merupakan buah
dari harkat pribadi (sahala hasangapon) yang diterjemahkan Kraemer sebagai “harga
diri”. Doktor Tobing memberi makna kepada “sahala” ini sebagai “the essence of man”. Secara bebas dapat
diartikan sebagai “kualitas jiwa manusia”. Harga diri inilah menurut Usman
Pelly telah banyak mendorong orang Batak merantau.
Orang yang punya harga diri adalah
orang yang terpilih, yaitu orang yang sadar atas kecakapannya dan umumnya
tergolong dalam kelompok yang terpelajar (educated). Perginya merantau
orang-orang ini, berarti mengalirnya lapisan orang yang ptensial dari tengah
masyarakat mereka. Dapat pula dimaklumi bahwa untuk menegakkan harga diri
tersebut perlu di bangun kerajaan pribadi. Tempat yang ideal untuk itu tidak
lagi di kampung yang telah penuh sesak, tetapi di rantau yang penuh tantangan.
Beban hrg diri yang mempengaruhi kecenderungan pribadi ini, dari segi kejiwaan
dapat juga di sebut sebagai harga diri kompleks.
Terpencil dan
terbelakang
Harga diri kompleks ini telah
mendorong orang Batak yang terpelajar merantau guna mendirikan
kerajaan-kerajaan pribadi. Kerajaan-kerajaan inilah yang kelak di anggap
sebagai bahagian integral dari kerajaan Batak. Konteks ini juga yang mendorong
mereka di rantau untuk berusaha memenangkan diri dalam setiap pertarungan
hidup. Menjadi orang nomor satu adalah cita-cita setiap putra Batak di rantau.
Tetapi kerajaan-kerajaan pribadi
orang Batak yang sukses di rantau itu tidk dapat memebrikan dampak positip
terhadap kampung halaman. Tidak ada kewajiban adat bagi mereka yang sukses di
rantau untuk memboyong hasil rantau ke kampung, karena kerajaan-kerajaan pribadi
tadi sudah dianggap sebagai bahagian yang integral dengan kampung halaman
mereka. Pertalian antara alam rantau dengan kampung halaman hanya diikat secara
spiritual. Mereka yang berhasil dirantau pulang sekali setahun atau dua tahun
sekali untuk menziarahi pusara orang tua atau leluhur.
Berdasarkan uraian di atas maka
jelaslah, kwalitas sebagaimana besar manusia yang tinggal di kampung dewasa ini
atau mereka yang kembali dari perantauan ke kampung adalah manusia-manusia
kelas dua. Berbeda dengan perantau Minang yang pulang ke kampung, banyak yang
menjadi pionir pembangunan dan motivator inovasi di tengah masyarakat. Selain
kwalitas manusia kelas dua ini satu hal lain yang perlu di lihat di Tapanuli
adalah sosok desa, persawahan, dan perkebunan rakyat semakin semrawut tidak
mengesankan adanya perubahan dari era Kolonial, karena ditinggalkan akhli
warisnya. Dari gambaran ini terlihat se akan-akan manusia yang tinggal kurang
acuh terhadap inovasi yang lebih tepat ditangani oleh tokoh-tokoh, pengetua
adat, dan pengetua agama dalam arena musyawarah dialogis antar
Demikianlah pola migrasi suku Batak
tidak membawa manfaat yang besar kepada kampung halamannya. Bona ni pasogit
makin terpencil dan terbelakang kendatipun di tempat perantauan terutama di
Sumatera Timur tumbuh dan berkembang dengan pesat. Umpan balik yang diberikan
oleh perantau sukses ke kampung halamannya sangat terbatas. Yang paling besar
barangkali adalah pendirian tugu-tugu.
Penutup
Bak kata adat kalau di rentang akan
panjang, baik di pintal supaya singkat maka baiklah disudahi hingga disini
tentang pola migrasi suku Batak. Masalah yang penting adalah bagaimana
mewujudkan pembangunan dalam arti-kulasi kebudayaan alias tidak semata-mata (an
sich) mengejar nilai-nilai (values) pertumbuhan. Pekerjaan ini mungkin lebih
tepat ditangani oleh tokoh-tokoh, pengetua adat, dan pengetua agama dlam arena
musyawarah dialogis antara tokoh masyarakat yang ada di rantau dan yng msih
tetap tinggal di kampung.
Yang juga sangat penting adalah
bagaimana menghentikn mengalirnya orang-orang terpelajar atau karena
kecakapannya potensial dari Tapanuli ke daerah lain. Masalah ini mungkin dapat
diatasi dengan meningkatkan pembangunan fisik yang terarah, terutma untuk
generasi muda. Yang terakhir dan kiranya yang paling penting adalah bagaimanaa
merubh sikap orang-orang Batak dirantau terhdap kampung halamannya. Martabe,
marsipature hutana be.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar