Minggu, 26 Februari 2017

POLA MIGRASI ORANG BATAK




Oleh: Reinhard Hutapea
Published MBBP No 31/1990

Judul artikel ini penulis tempuh setelah membaca disertasi Dr Mohtar Naim “Merantau: Cause and effects of Minangkabau”. Di lain pihak substansi tulisan ini banyak diwarnai pemikirn Prof Dr Usman Pelly yang pernah di tulis beliau dalam bulletin Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara “Brain drain sebuah dampak perantauan masyarakat Tapsel”

Ekspansi teritorial
Di beberapa tempat di Pulau Jawa kalau kita perhatikan dengan seksama, baik di pusat-pusat kota, pinggiran hingga ke perumahan-perumahan model perumnas, KPR-KPR BTN yang relatif sudah berbaur dengan etnis-etnis lain adalah kenyataan bahwa masyarakat Batak yang berdiam di tempat-tempat tersebut masih tetap mewarisi sifat, adat, dan tradisi sebagaimana di kampung halamannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan paguyuban-paguyuban seperti arisan semarga, arisan dari satu kecamatan, ikatan-ikatan muda-mudi dari satu kecamatan, pendirian-pendirian Gereja (HKBP, GKPA, GBKP, GKPS) sampai kepada bentuk “Parsahutaon”. Di perumnas-perumnas atau KPR-KPR BTN Bekasi, Depok, dan Tangerang hal demikian sudah begitu populer.
Sekilas dari uraian ini tampaklah bahwa perantau-perantau Batak menganggap alam rantaunya (Migratory world) sebagai kampungnya sendiri (Bona ni pasogit/Tapanuli world). Karenanya misi budaya perantauan orang Batak didasarkan kepada ekspansi teritorial. Tanah yang dimiliki di rantau dianggap sebagai bagian dari kerajaan Batak (Vergouwen, 1964)
Relevansi apa yang dapat kita ambil dari konteks demikian? Menjadi tujuan penulisan ini. namun sebelumnya ideal di kaji mengapa orang Batak merantau, bagaimana hubungannya dengan dengan perantauan orang Minang dan apa yang disumbangkan kepada kampung halamannya.

Harga diri
Merantau, meninggalkan kampung halaman secara sukarela tidaklah merupakan tingkah laku yang asal-asalan, acak, atau otomatis (dengan sendirinya). Orang mengambil keputusan untuk merantau dapat diasumsikan sebagai orang yang telah melakukan pilihan sendiri dari sekian banyak anggota masyarakat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi untuk meninggalkan kampung halaman tidaklah sederhana seperti yang dilukiskan paradigma “pushpull”, paradigma tekan-kumpul yang banyak di anut para analisis.
Push maksudnya adalah faktor kemiskinan yang menekan kepergian seseorang, sementara paradigma pull adalah kota yang gemerlapan dan bayangan lapangan kerja yang melimpah di kota menghimpun pendatang-pendatang baru. Akan tetapi faktor kemiskinan itu sendiri tidak dapat di anggap sebagai motip utama yang menyebabkan orang itu mengambil keputusan untuk merantau. Faktor-faktor budaya lainnya akan secara selektip menentukan apakah seseorang memutuskan pergi merantau ialah apa yang disebut “misi budaya”, yaitu seperangkat tujuan yang diharapkan oleh masyarakat budaya tersebut untuk dicapai dalam tujuan (Usman Pelly, 1982:1)
Dari sudut pandangan kosmologis orang Batak berbeda dengan orang Minangkabau. Orang Minang mengakui adanya dua alam, yaitu alam Minangkabau (Minangkabau World) dan alam rantau (Migratory world). Fungsi alam rantau ialah untuk memperkaya dan memperkuat alam Minangkabau. Hubungan fungsional kedua alam ini merupakan konsep dasar dari misi budaya orang Minangkabau dalam perantauan. Orang Minangkabau yang pergi merantau merasa mempunyai kewajiban moral dan adat untuk kelak pulang membawa sesuatu ke kampung halaman mereka, sebagai hasil perantauan, yaitu harta kekayaan dan atau ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan pandangan kosmologis ini orang Minang di rantau cenderung untuk memilih pola okupasi yang memberikan independen sangat tinggi tidak banyak terikat dengan birokrasi dan kekuasaan orang lain di rantau. Okupasi seperti pedagang (bazar ekonomi), tukang mandiri, atau jabatan-jabatan profesional, seperti dokter, pengacara, wartawan, dan lain-lain merupakan profesi okupasi yang disenangi orang Minangkabau di rantau. Pemilihan okupasi yang independen ini di dukung oleh pola sosialisasi yang egalitarian di kampung halamannya (Mohtar Naim, 1960)
Pola perantauan orang Batak jelas sangat berbeda dengan orang Minangkabau. Menurut Kraemer (1957:67) orang Batak merantau dengan motto “carilah anak dan carilah tanah, halului anak halului tano”. Anak dan tanah merupakan buah dari harkat pribadi (sahala hasangapon) yang diterjemahkan Kraemer sebagai “harga diri”. Doktor Tobing memberi makna kepada “sahala” ini sebagai “the essence of man”. Secara bebas dapat diartikan sebagai “kualitas jiwa manusia”. Harga diri inilah menurut Usman Pelly telah banyak mendorong orang Batak merantau.
Orang yang punya harga diri adalah orang yang terpilih, yaitu orang yang sadar atas kecakapannya dan umumnya tergolong dalam kelompok yang terpelajar (educated). Perginya merantau orang-orang ini, berarti mengalirnya lapisan orang yang ptensial dari tengah masyarakat mereka. Dapat pula dimaklumi bahwa untuk menegakkan harga diri tersebut perlu di bangun kerajaan pribadi. Tempat yang ideal untuk itu tidak lagi di kampung yang telah penuh sesak, tetapi di rantau yang penuh tantangan. Beban hrg diri yang mempengaruhi kecenderungan pribadi ini, dari segi kejiwaan dapat juga di sebut sebagai harga diri kompleks.

Terpencil dan terbelakang
Harga diri kompleks ini telah mendorong orang Batak yang terpelajar merantau guna mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi. Kerajaan-kerajaan inilah yang kelak di anggap sebagai bahagian integral dari kerajaan Batak. Konteks ini juga yang mendorong mereka di rantau untuk berusaha memenangkan diri dalam setiap pertarungan hidup. Menjadi orang nomor satu adalah cita-cita setiap putra Batak di rantau.
Tetapi kerajaan-kerajaan pribadi orang Batak yang sukses di rantau itu tidk dapat memebrikan dampak positip terhadap kampung halaman. Tidak ada kewajiban adat bagi mereka yang sukses di rantau untuk memboyong hasil rantau ke kampung, karena kerajaan-kerajaan pribadi tadi sudah dianggap sebagai bahagian yang integral dengan kampung halaman mereka. Pertalian antara alam rantau dengan kampung halaman hanya diikat secara spiritual. Mereka yang berhasil dirantau pulang sekali setahun atau dua tahun sekali untuk menziarahi pusara orang tua atau leluhur.
Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah, kwalitas sebagaimana besar manusia yang tinggal di kampung dewasa ini atau mereka yang kembali dari perantauan ke kampung adalah manusia-manusia kelas dua. Berbeda dengan perantau Minang yang pulang ke kampung, banyak yang menjadi pionir pembangunan dan motivator inovasi di tengah masyarakat. Selain kwalitas manusia kelas dua ini satu hal lain yang perlu di lihat di Tapanuli adalah sosok desa, persawahan, dan perkebunan rakyat semakin semrawut tidak mengesankan adanya perubahan dari era Kolonial, karena ditinggalkan akhli warisnya. Dari gambaran ini terlihat se akan-akan manusia yang tinggal kurang acuh terhadap inovasi yang lebih tepat ditangani oleh tokoh-tokoh, pengetua adat, dan pengetua agama dalam arena musyawarah dialogis antar
Demikianlah pola migrasi suku Batak tidak membawa manfaat yang besar kepada kampung halamannya. Bona ni pasogit makin terpencil dan terbelakang kendatipun di tempat perantauan terutama di Sumatera Timur tumbuh dan berkembang dengan pesat. Umpan balik yang diberikan oleh perantau sukses ke kampung halamannya sangat terbatas. Yang paling besar barangkali adalah pendirian tugu-tugu.

Penutup
Bak kata adat kalau di rentang akan panjang, baik di pintal supaya singkat maka baiklah disudahi hingga disini tentang pola migrasi suku Batak. Masalah yang penting adalah bagaimana mewujudkan pembangunan dalam arti-kulasi kebudayaan alias tidak semata-mata (an sich) mengejar nilai-nilai (values) pertumbuhan. Pekerjaan ini mungkin lebih tepat ditangani oleh tokoh-tokoh, pengetua adat, dan pengetua agama dlam arena musyawarah dialogis antara tokoh masyarakat yang ada di rantau dan yng msih tetap tinggal di kampung.
Yang juga sangat penting adalah bagaimana menghentikn mengalirnya orang-orang terpelajar atau karena kecakapannya potensial dari Tapanuli ke daerah lain. Masalah ini mungkin dapat diatasi dengan meningkatkan pembangunan fisik yang terarah, terutma untuk generasi muda. Yang terakhir dan kiranya yang paling penting adalah bagaimanaa merubh sikap orang-orang Batak dirantau terhdap kampung halamannya. Martabe, marsipature hutana be.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar