Minggu, 05 Maret 2017

ARE WE READY AFTA ?




Kawasan ekonomi khusus Tanjung Api-Api; kontribusi Sumsel menjawab tantangan Pasar Tunggal ASEAN 2015
Reinhard Hutapea

Cat: Disampaikan dalam Dialog Kerjasama HMI Cabang Palembang dan Koordinator Ikatan Alumni Lemhannas Pemuda VIII Sumsel, 24 Desember 2014 Hotel Swarna Dwipa Palembang

Sebelum kita mengulas bagaimana perekonomian Sumsel atau khususnya Kawasan Tanjung Api-Api dalam menghadapi AFTA ada baiknya kita runut sejenak bagaimana perkembangan ekonomi-politik Indonesia menghadapi era tersebut secara umum. Setelah itu baru kita bahas bagaimana prospek KEK TAA dalam konteks tersebut.
Perkembangan atau informasi terakhir dapat dilihat dari pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan pembangunan Nasional, Andrinof A Chaniago ketika menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Kalimantan dan pernyataan Direktur Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Gusti Agung Wisaka Puja ketika memberikan paparan singkat media dengan tema “Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat ASEAN 2015 tanggal 16 Desember 2014/beberapa hari yang lalu.
Andrinof menyatakan bahwa pembangunan yang mengutamakan kawasan industri di daerah termasuk dalam salah satu dari sembilan program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program ini bertujuan membangun sejumlah kawasan industri, pelabuhan, bandara dan program lainnya (Kompas, 17 Desember 2014).
Selain itu Andrinof juga menyatakan bahwa pemerintah terus bersiap merelokasi industri yang saat ini masih terpusat di Jawa ke sejumlah daerah....konsekwensinya pemerintah daerah diharapkan mempersiapkan diri untuk mempercepat berjalannya program perelokaasian ini (ibid Kompas, 16 Des 2014)[1].
Sebaliknya tentang perkembangan MEA, Gusti Agung Wisaka Puja menyatakan masyarakat masih rancu dalam melihat tenggat waktu perlakuan MEA tersebut, yakni akhir 2015. Bagaimana kerancuan demikian dapat dibaca dibawah ini;
Banyak orang masih rancu dalam mengartikan seperti apa kondisi ketika komunitas ASEAN kelak diberlakukan, sehari setelah 31 Desember 2015. Mereka menganggap pada 1 Januari 2016 itu secara otomatis sebuah pasar bebas akan diberlakukan seluas-luasnya. Saat semua orang, serta produk barang dan jasa, akan bergerak dengan bebas antar negara ASEAN. Seolah-olah saat Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 diterapkan, begitu bangun pagi-pagi, orang akan melihat di depan rumah sudah ada dokter asal Thailand atau Singapora berpraktik di Jakarta...
Dengan kata lain belum ada gambaran, suasana atau kepastian bagi masyarakat seperti apa kelak jika pasar tunggal tersebut diterapkan[2]. Apakah benar seperti itu ? jawabannya tidak hitam putih. Tergantung dari mana meniliknya.
 Untuk menelaah hal demikian ada baiknya kita kaji lokakarya yang dilakukan oleh Institut penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia Timur (ERIA) pada tanggal 16 Nopember 2013 di Jakarta dengan tema “Moving ASEAN and ASEAN Economic Community Beyond 2015: Towards an Integrated and Highly Contestabble ASEAN”. Tiga hal yang menjadi catatan atau kesimpulan dari lokakarya tersebut sebagai berikut :
·         Persoalan terbesar ASEAN saat ini adalah masih banyak penduduk miskin dan warga bukan miskin yang termarjinalisasi di setiap negara anggota. Ketimpangan pendapatan terjadi diberbagai lapisan sosial, ditemukan di semua negara, dan dalam hal itu juga terjadi perbedaan tajam antar negara.
·         Harmonisasi peraturan akan menentukan posisi ASEAN pasca 2015, yakni semakin stabil atau labil, baik ditingkat regional maupun internasional
·         Perlu peningkatan daya saing ASEAN melalui integrasi ekonomi yang kuat (Kompas, 18 Nopember 2013)
Walaupun tidak dikatakan dengan jelas, tersirat kesan bahwa kesiapan negara-negara Asia Tenggara dalam perdagangan bebas 2015, sesungguhnya masih jauh dari memadai. Pendukung-pendukung atau kelembagaan agar harapan itu terwujud masih “jauh panggang dari api”. Jika  diterapkan dengan kondisi seperti itu sudah pasti ibarat orang yang  berhitung tidak cermat alias nekat (sangat spekulatif).
Masih seminar yang sama, sebelumnya  CORE (29 Oktober 2013) secara khusus menengarai terdapat 4 tantangan krusial Indonesia di ASEAN, yakni:
1.      Melebarnya deficit perdagangan barang dalam perdagangan dengan ASEAN. Indonesia lebih sebagai pemasok bahan baku
2.      Deficit perdagangan jasa yang konsisten sejak 2001, terutama transportasi
3.      Issu tenaga kerja. Indonesia akan kebanjiran tenaga kerja berpendidikan karena tingkat pendidikan yang rendah. Pengiriman uang TK asing di Indonesia berpotensi mengalahkan jumlah remittance TKI di luar negeri sehingga berisiko meningkatkan deficit transaksi berjalan.
4.      Issu investasi. Seharusnya investasi asing di dorong ke sektor hulu agar ada nilai tambah, menutup kesenjangan antar wilayah, dan menciptakan lapangan kerja.
Jelas dari dua seminar kredibel tersebut terlihat betapa kesiapan kita masih belum memadai. Masih jauh dari layak. Perangkat-perangkat pendukung yang seharusnya sudah selesai belum dipenuhi.
Namun agar lebih terang bagaimana sesungguhnya posisi Indonesia menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA)  tersebut, sebaiknya dihubungkan dengan peringkat yang diklasifikasikan oleh  beberapa lembaga pemeringkat Internasional, seperti  World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), International Monetary Doing (IMD), IFC, World Economic Forum (WEF) dan lain-lain. World Bank dalam rilisnya baru-baru ini membuat penggolongan  seperti tertera dalam tabel dibawah ini
Weight Ranking of ASEAN Competitiveness

2008-2009
2009-2010
2010-2011
2011-2012
2012-2013
Brunei
39
32
28
28
28
Cambodia
109
110
109
97
85
Indonesia
55
54
44
46
40
Malaysia
21
24
26
21
25
Philippines
71
87
85
75
65
Singapore
5
3
3
2
2
Thailand
34
36
38
39
38
Vietnam
70
75
59
65

Sumber: Indonesia Finance Today, 8 Okt 2013
Sementara itu menurut Doing Business yang dirilis Bank Dunia dari 189 negara peringkat Indonesia dibandingkan dengan Negara-negara lain Asia Tenggara  adalah sebagai berikut:
Singapore        ke –   1
Malaysia          ke –   6
Thailand          ke -  18
Filipina            ke  - 108
Indonesia       ke -  120
Sumber Solo Pos 11 November 2013
Laporan Kadin, 11 Desember 2012;
·         Industry kita kalah dengan asing
·         Kinerja perdagangan industry deficit sejak 2007 -……….
·         Pertumbuhan impor 2 – 3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor
·         228 pos tariff diminta dinegosiasi ulang → membahayakan, seperti tekstil, baja, manufaktur dan elektronik
Kesimpulannya, peringkat perekonomian Indonesia dinegara-negara Asia Tenggara adalah yang terendah. Kalah dengan Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Bagaimana Indonesia masuk kancah demikian  kalau posisinya seperti itu ?.

Dalih  mengapa peringkat terendah
Mengapa peringkat ekonomi Indonesia selalu terendah pada umumnya adalah akibat :
·         Fundamental ekonomi Indonesia lemah, rapuh atau masih rendah
·          Infrastruktur masih minim
·         SDM tidak trampil
Pandangan-pandangan tersebut antara lain dikemukakan oleh :
-Ketua ASEAN Competitiveness Report 2011-2012 (Soy Pardede)
-Ahmad Erani Yustika , INDEF (Kompas, 7 Mei 2012)
-Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional  (Kompas, 14 Nov 2013)

Fundamental ekonomi yang lemah, rapuh atau masih rendah
Mengapa fundamental perekonomian Indonesia seperti itu, yakni , rapuh ,lemah  atau rendah telah banyak diulas para pakar. Yoshihara Kunio menyatakan bahwa perekonomian Indonesia seperti itu karena dua hal. Pertama perekonomian atau kapitalisme yang dijalankan terlalu didominasi negara yang seharusnya didominasi swasta. Kedua,  kapitalisme yang dibangun tidak didasarkan kepada perkembangan teknologi.
Dengan kata lain perekonomian Indonesia itu tidak didasarkan kepada hukum-hukum kapitalisme, sehingga perekonomian yang tampil adalah perekonomian yang tidak sebenarnya, yang semu (Ersatz)
Sarbini Sumawinata berpendapat bahwa kegagalan perekonomian yang dibangun Orde Baru adalah karena tidak komprehensif terhadap rumus ekonomi yang diterapkan. Ekonomi tinggal landas (take off) yang pernah diidolakan itu (apakah sekarang juga masih seperti itu) akan berhasil apabila memenuhi tiga syarat:
·         Tingkat investasi harus meningkat 10%
·         Pertumbuhan yang tinggi pada manufaktur
·         Tampilnya kerangka politik, sosial dan institusional yang handal. (WW.Rostow)
Dalam prakteknya Orde Baru hanya menerapkan yang pertama, yakni peningkatan investasi. Tidak pada yang kedua (pertumbuhan manufaktur), apalagi yang ketiga.
H.W. Ardnt, sebelumnya berpendapat lebih mengenaskan. Menurut beliau mengapa perekonomian Indonesia tidak berkembang adalah karena :
1.      Ekses dan konsekwensi dari penjajahan
2.      Elit nasional baru yang tampil tidak professional
3.      Ideologi yang anti kapitalis
4.      Warisan nilai  budaya yang tidak efisien
5.      Kemunduran ekonomi paska kemerdekaan

Sumber Daya Manusia yang lemah.
Upah buruh perjam
·          Indonesia $ 0,6,
·         Thailand $ 1,63,
·          Malaysia $  2,88
67 persen tenaga kerja Indonesia lulusan SLTP kebawah
80 persen tenaga kerja Malaysia, Singapura dan Filipina berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi
Sumber: CORE (Centre Of Reform on Economics) 29 Oktober 2013.
SDM menurut Bank Dunia
Kesenjangan besar dalam kualitas tenaga trampil Indonesia. Kesenjangan terbesar adalah:
·         Penggunaan bahasa inggris                            44%
·         Penggunaan computer                                     36%
·         Ketrampilan perilaku                                        30%
·         Ketrampilan berpikir kritis                               33%
·         Ketrampilan dasar                                             30%  (Kompas, 28 Oktober 2013)
Instabilitas ekonomi jangka Panjang
Selalu Solusi Sesaat
 
Inkonsistensi dan Pragmatisme Kebijakan
 
-          Fiscal
-          Moneter
-          Defisit neraca perdagangan
-          Transaksi berjalan
-          Manajemen pangan
-          Dan lain-lain
Dari perkembangan ekonomi yang terjadi dari waktu ke waktu adalah inkonsistensi atau pragmatisme dalam memberikan solusi. Akibatnya penyelesaian yang ditempuh hanya sesaat-sesaat, tidak strategis atau tidak jangka panjang. Akibatnya dalam waktu lama menciptakan jebakan sendiri akan perilaku ekonominya (Ahmad Erani Yustika, 14 November 2013)
Dalam soal fiscal misalnya, ketika subsidi energy membengkak akibat kenaikan harga minyak internasional (dan menyusustnya produksi minyak) kebijakan yang diambil hanya menaikkan harga minyak, tanpa sungguh-sungguh berani masuk ke arus pusaran utama masalah. Pada sisi moneter, saat nilai tukar mata uangrupiah anjlok terhadap dollar AS akibat rencana pemerintah AS mengurangi kebijakan Quantitative easing, respons yang dilakukan Bank Indonesia adalah dengan melonggarkan kembali masa pemegangan surat berharga asing berminat kembali membawa modal ke Indonesia. Dalam jangka pendek, kebijakan ini tentu membantu menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun dimasa depan, instabilitas ekonomi makin sulit dikendalikan.
Kasus terbaru saat ini adalah soal mencari consensus penyelesaian deficit neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Sejak 2012 , neraca perdagangan deficit (setelah berpuluh tahun tak pernah mengalami), yang sesungguhnya trend itu sudah bisa dilihat dalam enam tahun terakhir. Pertumbuhan ekspor selalu lebih rendah ketimbang impor sehingga pada masa tertentu, nilai ekspor akan beririsan dengan impor, yang kemudian terjadi pada 2012. Pemerintah bereaksi dengan mempermudah penjualan komoditas primer karena hanya itu yang dapat dijual dimasa sekarang. Kebijakan ini mungkin dalam jangka pendek bisa mengendalikan deficit, tetapi upaya pendalaman sector industry jadi korbannya. Selebihnya pemerintah juga alpa tentang penyebab utama peningkatan impor itu, yaitu percepatan liberalisasi perdagangan (yang tanpa kalkulasi masak) telah menyergap pasar domestic dalam jeratan barang internasional.
Sementara itu, dalam kasus neraca transaksi berjalan, problem yang tak pernah disinggung adalah kebebasan lalu lintas modal, misalnya kemudahan bagi PMA untuk membawa keuntungan kenegara asal (repatriasi) dan sector jasa yang terus jeblok.
Dalam paket kebijakan ekonomi yang disusun pemerintah beberapa waktu lalu, solusi untuk mengatasi transaksi berjalan ini, adalah mendorong ekspor dan memberikan tambahan pengurangan pajak ekspor padat karya, menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan biodiesel, menetapkan pajak impor barang mewah dari saat ini 75 persen menjadi 125 persen – 150 persen, serta memperbaiki ekspor mineral dengan memberikan relaksasi kuota.
Sekali lagi, kebijakan itu mungkin saja menolong dalam jangka pendek (tetapi dengan keraguan besar), tetapi sama sekali tak menyasar ke masalah yang benar-benar terjadi. Tanpa berani mengubah kebijakan repatriasi dan sector jasa, soal defisit transaksi berjalan akan jadi abadi.
Satu lagi yang bisa dimunculkan adalah kebijakan dan manajemen pangan yang sulit dipahami kerangka besarnya. Pemerintah berhasrat mencapai swasembada pangan , khususnya beras, gula, kedelai, jagung dan daging, tetapi keputusan yang diambil makin menjauhkan dari tujuan tersebut.
Singkatnya, jika pemerintah ingin meraih kecukupan produksi untuk kebutuhan domestic, insentif petani harus ditingkatkan agar bergairah menanam. Alih-alih petani diberi gula-gula ekonomi, yang terjadi justru dihajar dengan aneka kebijakan yang menyengsarakan mereka. Kebijakan relaksasi impor selalu dipilih apabila pemerintah dikepung dengan lonjakan harga pangan di dalam negeri sehingga petani kehilangan insentif berproduksi. Pola ini dapat dilakukan sesekali, tetapi apabila sudah turun-temurun, laik dipertanyakan; pemerintah tak cakap menganalisis problem atau ada transaksi kepentingan di balik kebijakan tersebut.

Infrastruktur sangat minim/terbelakang
Selain hal-hal diatas, yang juga tidak kurang urgennya adalah masalah infrastruktur. Infrastruktur perekonomian Indonesia sangat jauh dari layak. Hal ini dengan jelas diakui Wakil Presiden, Boediono pada pertemuan Investment Summit 2013 pada tanggal 7 Nopember 2013 yang disebutnya sebagai terbelakang. Di ASEAN sendiri Indonesia kalah dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Hal ini sesuai dengan peringkat infrastruktur yang dibuat World Economic Forum, yakni sebagai berikut:
Singapura                peringkat                2
Malaysia                  peringkat               29
Thailand                 peringkat                 49
Indonesia               peringkat                 92
Sumber Global Competitiveness Report 2012-2013.
Hal ini terjadi karena:
·         Korupsi
·         Inefisiensi birokrasi

Perbandingan MEA/AFTA dengan EEC
Meski tidak pernah diakui, regionalisasi yang jadi ukuran adalah Europe Ecconomic Community (EEC) alias Masyarakat Ekonomi Eropa. EEC menjadi semacam standard mengukur keberhasilan suatu kawasan.
Dalam sejarahnya EEC dimulai dengan kerja-kerja ekonomi, yakni baja dan batubara (coal and steel) pada tahun 1949 . Setelah itu melimpah ke bidang-bidang lain (teori spill overnya,Ernst Haas), seperti keamanan dan politik.
Dalam bidang ekonomi, (termasuk bidang-bidang lain juga) sebagaimana diteorikan Bruce Russett terdapat kedekatan pada “pola, tingkat dan gaya” . Tidak hanya dalam paradigma,besaran, namun juga pada anasir-anasir ekonomi lainnya sangat dekat/mirip. Lain hal   dalam negara-negara anggota ASEAN, kedekatan itu sangat jauh. Masing-masing negara punya paradigma, besaran dan gaya ekonomi yang sangat berbeda.
Sejak tahun 2001 misalnya, mata uang mereka telah sama yakni” Euro”. Suatu hal yang mustahil/atau mungkin masih sekian lama lagi terjadi di ASEAN. Begitu pula sudah punya satu parlemen dan lain-lain kelembagaan yang semakin menyatu. Bagaimana dengan masing-masing anggota ASEAN ? hampir sebaliknya.
Mungkin lukisan demikian yang membuat Rizal Sukma di Kemlu 2005 menyatakan bahwa ASEAN/AFTA adalah kondom bocor. Apalagi bila dihubungkan dengan piagam kelahirannya yang menyatakan bahwa ASEAN didirikan untuk membangun kerjasama ekonomi, sosial dan kebudayaan, namun dalam praksisnya justru melaksanakan yang diluarnya. ASEAN selama Orde Baru mayoritas berperan dalam bidang politik, militer dan ideologis.
Rizal Sukma tidak sendiri. Pandangan-pandangan seperti itu dapat dikatakan sangat mayoritas. Kecuali, misalnya Kementerian Luar Negeri dengan segala kiatnya akan membenarkan bahwa MEA/AFTA akan sangat menguatkan ekonomi politik Indonesia. Begitu pula mereka-mereka pengagum pasar bebas, akan mengidolakan pasar tunggal demikian. Kita ada dimana ? baiklah forum ini yang menjawabnya.

Profil Kawasan Ekonomi Khusus, Tanjung Api-Api (KEK TAA)
Untuk mengetahui KEK TAA yang baru saja ditetapkan melalui PP No 51 Tahun 2014 dapat dilihat dalam profil dibawah ini

Sumber:
Dalam PP No 51 Tahun 2014 tsb antara lain dikatakan bahwa KEK TAA sangat strategis baik itu dari sudut geo ekonomi maupun dari sudut geo strategis, sebab terdiri dari:
Ø  Zona pengolahan ekspor
Ø  Zona logistik
Ø  Zona industri
Ø  Zona energi

Konklusi
Masih banyak sesungguhnya yang akan diuraikan, namun karena tempat, waktu dan kemampuan yang terbtas, makalah ini harus diakhiri dengan beberapa catatan, yakni;
1.      KEK TAA sudah lama direncanakan dan saat ini adalah momentum yang tepat mewujudkannya karena sudah ditetapkan melalui PP No 51 Tahun 2014. Apabila dikelola sesuai atau konsisten dengan azas, proses dan tujuannya akan menjadikan propinsi ini berkembang pesat secara ekonomi, yang pada gilirannya akan mensejahterakan seluruh masyarakat.
2.      MEA/AFTA masih memiliki kekurangan, kelemahan dan ketidak sinkronan yang sigifican, namun karena sudah ditetapkan akan mulai akhir 2015, tiada lain, tiada bukan kekurangan, kelemahan dan ketidaksinkronan itu harus dibenahi dengan serius.
3.      Kunci keberhasilan untuk itu semua terutama adalah pada kepemimpinan daerah ini. Para pemimpin harus sanggup menjalankan kepemimpinan yang unggul, demokratis, inovatif dan sungguh-sungguh memihak pada rakyat.
Sekian. Terima kasih
Palembang, 24 Desember 2014.


[1] Sangat sesuai dengan tema pembicaraan siang ini. KEK TAA pas pada momentum yang tepat, yakni sesuai dengan visi, misi dan program pemerintahan baru yang akan memeratakan program-program pembangunan. Pembangunan tidak lagi berpusat di Jakarta atau Pulau Jawa, tetapi akan direloksi ketempat-tempat lain yang belum/masih jauh dari program-program pembangunan. 
[2] Kita kecenderungannya belum siap menghadapi era MEA/AFTA tersebut. Masih banyak kelemahan yang seharusnya sudah harus selesai sebelum pasar bebas tersebut diberlakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar