Kawasan ekonomi khusus
Tanjung Api-Api; kontribusi Sumsel
menjawab tantangan Pasar Tunggal ASEAN 2015
Reinhard Hutapea
Cat: Disampaikan
dalam Dialog Kerjasama HMI Cabang Palembang dan Koordinator Ikatan Alumni
Lemhannas Pemuda VIII Sumsel, 24 Desember 2014 Hotel Swarna Dwipa Palembang
Sebelum kita mengulas bagaimana
perekonomian Sumsel atau khususnya Kawasan Tanjung Api-Api dalam menghadapi
AFTA ada baiknya kita runut sejenak bagaimana perkembangan ekonomi-politik
Indonesia menghadapi era tersebut secara umum. Setelah itu baru kita bahas
bagaimana prospek KEK TAA dalam konteks tersebut.
Perkembangan atau informasi terakhir dapat
dilihat dari pernyataan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan
Perencanaan pembangunan Nasional, Andrinof A Chaniago ketika menghadiri
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Kalimantan dan pernyataan Direktur
Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Gusti Agung Wisaka Puja ketika
memberikan paparan singkat media dengan tema “Kesiapan Indonesia Menghadapi
Masyarakat ASEAN 2015 tanggal 16 Desember 2014/beberapa hari yang lalu.
Andrinof menyatakan bahwa pembangunan
yang mengutamakan kawasan industri di daerah termasuk dalam salah satu dari
sembilan program prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo. Program ini
bertujuan membangun sejumlah kawasan industri, pelabuhan, bandara dan program
lainnya (Kompas, 17 Desember 2014).
Selain itu Andrinof juga menyatakan
bahwa pemerintah terus bersiap merelokasi industri yang saat ini masih terpusat
di Jawa ke sejumlah daerah....konsekwensinya pemerintah daerah diharapkan
mempersiapkan diri untuk mempercepat berjalannya program perelokaasian ini
(ibid Kompas, 16 Des 2014)[1].
Sebaliknya tentang perkembangan MEA,
Gusti Agung Wisaka Puja menyatakan masyarakat masih rancu dalam melihat tenggat
waktu perlakuan MEA tersebut, yakni akhir 2015. Bagaimana kerancuan demikian
dapat dibaca dibawah ini;
Banyak orang masih rancu dalam mengartikan seperti apa
kondisi ketika komunitas ASEAN kelak diberlakukan, sehari setelah 31 Desember
2015. Mereka menganggap pada 1 Januari 2016 itu secara otomatis sebuah pasar
bebas akan diberlakukan seluas-luasnya. Saat semua orang, serta produk barang
dan jasa, akan bergerak dengan bebas antar negara ASEAN. Seolah-olah saat
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 diterapkan, begitu bangun pagi-pagi, orang akan
melihat di depan rumah sudah ada dokter asal Thailand atau Singapora berpraktik
di Jakarta...
Dengan kata lain belum ada gambaran,
suasana atau kepastian bagi masyarakat seperti apa kelak jika pasar tunggal
tersebut diterapkan[2].
Apakah benar seperti itu ? jawabannya tidak hitam putih. Tergantung dari mana
meniliknya.
Untuk menelaah hal demikian ada baiknya kita
kaji lokakarya yang dilakukan oleh Institut penelitian Ekonomi ASEAN dan Asia
Timur (ERIA) pada tanggal 16 Nopember 2013 di Jakarta dengan tema “Moving ASEAN
and ASEAN Economic Community Beyond 2015: Towards an Integrated and Highly
Contestabble ASEAN”. Tiga hal yang menjadi catatan atau kesimpulan dari
lokakarya tersebut sebagai berikut :
·
Persoalan
terbesar ASEAN saat ini adalah masih banyak penduduk miskin dan warga bukan
miskin yang termarjinalisasi di setiap negara anggota. Ketimpangan pendapatan
terjadi diberbagai lapisan sosial, ditemukan di semua negara, dan dalam hal itu
juga terjadi perbedaan tajam antar negara.
·
Harmonisasi
peraturan akan menentukan posisi ASEAN pasca 2015, yakni semakin stabil atau
labil, baik ditingkat regional maupun internasional
·
Perlu
peningkatan daya saing ASEAN melalui integrasi ekonomi yang kuat (Kompas, 18
Nopember 2013)
Walaupun tidak dikatakan dengan
jelas, tersirat kesan bahwa kesiapan negara-negara Asia Tenggara dalam
perdagangan bebas 2015, sesungguhnya masih jauh dari memadai. Pendukung-pendukung
atau kelembagaan agar harapan itu terwujud masih “jauh panggang dari api”.
Jika diterapkan dengan kondisi seperti
itu sudah pasti ibarat orang yang berhitung tidak cermat alias nekat (sangat
spekulatif).
Masih seminar yang sama, sebelumnya CORE (29 Oktober 2013) secara khusus menengarai
terdapat 4 tantangan krusial Indonesia di ASEAN, yakni:
1.
Melebarnya
deficit perdagangan barang dalam perdagangan dengan ASEAN. Indonesia lebih
sebagai pemasok bahan baku
2.
Deficit
perdagangan jasa yang konsisten sejak 2001, terutama transportasi
3.
Issu
tenaga kerja. Indonesia akan kebanjiran tenaga kerja berpendidikan karena
tingkat pendidikan yang rendah. Pengiriman uang TK asing di Indonesia
berpotensi mengalahkan jumlah remittance TKI di luar negeri sehingga berisiko
meningkatkan deficit transaksi berjalan.
4.
Issu
investasi. Seharusnya investasi asing di dorong ke sektor hulu agar ada nilai
tambah, menutup kesenjangan antar wilayah, dan menciptakan lapangan kerja.
Jelas dari dua seminar kredibel
tersebut terlihat betapa kesiapan kita masih belum memadai. Masih jauh dari
layak. Perangkat-perangkat pendukung yang seharusnya sudah selesai belum
dipenuhi.
Namun agar lebih terang bagaimana sesungguhnya
posisi Indonesia menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA) tersebut, sebaiknya dihubungkan dengan
peringkat yang diklasifikasikan oleh beberapa lembaga pemeringkat Internasional,
seperti World Bank (WB), Asian
Development Bank (ADB), International Monetary Doing (IMD), IFC, World Economic
Forum (WEF) dan lain-lain. World Bank dalam rilisnya baru-baru ini membuat
penggolongan seperti tertera dalam tabel
dibawah ini
Weight Ranking of ASEAN Competitiveness
|
2008-2009
|
2009-2010
|
2010-2011
|
2011-2012
|
2012-2013
|
Brunei
|
39
|
32
|
28
|
28
|
28
|
Cambodia
|
109
|
110
|
109
|
97
|
85
|
Indonesia
|
55
|
54
|
44
|
46
|
40
|
Malaysia
|
21
|
24
|
26
|
21
|
25
|
Philippines
|
71
|
87
|
85
|
75
|
65
|
Singapore
|
5
|
3
|
3
|
2
|
2
|
Thailand
|
34
|
36
|
38
|
39
|
38
|
Vietnam
|
70
|
75
|
59
|
65
|
|
Sumber: Indonesia Finance Today, 8 Okt 2013
Sementara itu menurut Doing
Business yang dirilis Bank Dunia dari 189 negara peringkat Indonesia
dibandingkan dengan Negara-negara lain Asia Tenggara adalah sebagai berikut:
Singapore ke – 1
Malaysia ke – 6
Thailand ke -
18
Filipina ke
- 108
Indonesia ke -
120
Sumber Solo Pos 11 November 2013
Laporan Kadin, 11 Desember 2012;
·
Industry
kita kalah dengan asing
·
Kinerja
perdagangan industry deficit sejak 2007 -……….
·
Pertumbuhan
impor 2 – 3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor
·
228
pos tariff diminta dinegosiasi ulang → membahayakan, seperti tekstil, baja,
manufaktur dan elektronik
Kesimpulannya, peringkat perekonomian
Indonesia dinegara-negara Asia Tenggara adalah yang terendah. Kalah dengan
Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Bagaimana Indonesia masuk kancah
demikian kalau posisinya seperti itu ?.
Dalih mengapa peringkat terendah
Mengapa peringkat ekonomi Indonesia selalu
terendah pada umumnya adalah akibat :
·
Fundamental
ekonomi Indonesia lemah, rapuh atau masih rendah
·
Infrastruktur masih minim
·
SDM
tidak trampil
Pandangan-pandangan tersebut antara lain dikemukakan oleh :
-Ketua ASEAN Competitiveness Report 2011-2012 (Soy Pardede)
-Ahmad Erani Yustika , INDEF (Kompas, 7 Mei 2012)
-Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (Kompas, 14 Nov 2013)
Fundamental ekonomi
yang lemah, rapuh atau masih rendah
Mengapa fundamental perekonomian
Indonesia seperti itu, yakni , rapuh ,lemah atau rendah telah banyak diulas para pakar.
Yoshihara Kunio menyatakan bahwa perekonomian Indonesia seperti itu karena dua
hal. Pertama perekonomian atau kapitalisme yang dijalankan terlalu didominasi
negara yang seharusnya didominasi swasta. Kedua, kapitalisme yang dibangun tidak didasarkan
kepada perkembangan teknologi.
Dengan kata lain perekonomian
Indonesia itu tidak didasarkan kepada hukum-hukum kapitalisme, sehingga
perekonomian yang tampil adalah perekonomian yang tidak sebenarnya, yang semu
(Ersatz)
Sarbini Sumawinata berpendapat bahwa
kegagalan perekonomian yang dibangun Orde Baru adalah karena tidak komprehensif
terhadap rumus ekonomi yang diterapkan. Ekonomi tinggal landas (take off) yang
pernah diidolakan itu (apakah sekarang juga masih seperti itu) akan berhasil
apabila memenuhi tiga syarat:
·
Tingkat
investasi harus meningkat 10%
·
Pertumbuhan
yang tinggi pada manufaktur
·
Tampilnya
kerangka politik, sosial dan institusional yang handal. (WW.Rostow)
Dalam prakteknya Orde Baru hanya
menerapkan yang pertama, yakni peningkatan investasi. Tidak pada yang kedua
(pertumbuhan manufaktur), apalagi yang ketiga.
H.W. Ardnt, sebelumnya berpendapat lebih
mengenaskan. Menurut beliau mengapa perekonomian Indonesia tidak berkembang adalah
karena :
1.
Ekses
dan konsekwensi dari penjajahan
2.
Elit
nasional baru yang tampil tidak professional
3.
Ideologi
yang anti kapitalis
4.
Warisan
nilai budaya yang tidak efisien
5.
Kemunduran
ekonomi paska kemerdekaan
Sumber Daya Manusia
yang lemah.
Upah buruh perjam
·
Indonesia $ 0,6,
·
Thailand
$ 1,63,
·
Malaysia $
2,88
67 persen tenaga kerja Indonesia lulusan SLTP kebawah
80 persen tenaga kerja Malaysia, Singapura dan Filipina
berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi
Sumber: CORE (Centre Of Reform on Economics) 29 Oktober 2013.
SDM menurut Bank Dunia
Kesenjangan besar dalam kualitas tenaga trampil Indonesia.
Kesenjangan terbesar adalah:
·
Penggunaan
bahasa inggris
44%
·
Penggunaan
computer
36%
·
Ketrampilan
perilaku 30%
·
Ketrampilan
berpikir kritis
33%
·
Ketrampilan
dasar
30% (Kompas, 28 Oktober 2013)
Instabilitas ekonomi jangka Panjang
|
Selalu Solusi Sesaat
|
Inkonsistensi dan Pragmatisme Kebijakan
-
Fiscal
-
Moneter
-
Defisit neraca
perdagangan
-
Transaksi
berjalan
-
Manajemen pangan
-
Dan lain-lain
Dari perkembangan ekonomi yang
terjadi dari waktu ke waktu adalah inkonsistensi atau pragmatisme dalam
memberikan solusi. Akibatnya penyelesaian yang ditempuh hanya sesaat-sesaat,
tidak strategis atau tidak jangka panjang. Akibatnya dalam waktu lama
menciptakan jebakan sendiri akan perilaku ekonominya (Ahmad Erani Yustika, 14
November 2013)
Dalam soal fiscal misalnya, ketika
subsidi energy membengkak akibat kenaikan harga minyak internasional (dan
menyusustnya produksi minyak) kebijakan yang diambil hanya menaikkan harga
minyak, tanpa sungguh-sungguh berani masuk ke arus pusaran utama masalah. Pada sisi
moneter, saat nilai tukar mata uangrupiah anjlok terhadap dollar AS akibat
rencana pemerintah AS mengurangi kebijakan Quantitative easing, respons yang
dilakukan Bank Indonesia adalah dengan melonggarkan kembali masa pemegangan
surat berharga asing berminat kembali membawa modal ke Indonesia. Dalam jangka
pendek, kebijakan ini tentu membantu menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun
dimasa depan, instabilitas ekonomi makin sulit dikendalikan.
Kasus terbaru saat ini adalah soal
mencari consensus penyelesaian deficit neraca perdagangan dan transaksi
berjalan. Sejak 2012 , neraca perdagangan deficit (setelah berpuluh tahun tak
pernah mengalami), yang sesungguhnya trend itu sudah bisa dilihat dalam enam
tahun terakhir. Pertumbuhan ekspor selalu lebih rendah ketimbang impor sehingga
pada masa tertentu, nilai ekspor akan beririsan dengan impor, yang kemudian
terjadi pada 2012. Pemerintah bereaksi dengan mempermudah penjualan komoditas
primer karena hanya itu yang dapat dijual dimasa sekarang. Kebijakan ini mungkin
dalam jangka pendek bisa mengendalikan deficit, tetapi upaya pendalaman sector
industry jadi korbannya. Selebihnya pemerintah juga alpa tentang penyebab utama
peningkatan impor itu, yaitu percepatan liberalisasi perdagangan (yang tanpa
kalkulasi masak) telah menyergap pasar domestic dalam jeratan barang
internasional.
Sementara itu, dalam kasus neraca
transaksi berjalan, problem yang tak pernah disinggung adalah kebebasan lalu
lintas modal, misalnya kemudahan bagi PMA untuk membawa keuntungan kenegara
asal (repatriasi) dan sector jasa yang terus jeblok.
Dalam paket kebijakan ekonomi yang
disusun pemerintah beberapa waktu lalu, solusi untuk mengatasi transaksi
berjalan ini, adalah mendorong ekspor dan memberikan tambahan pengurangan pajak
ekspor padat karya, menurunkan impor minyak dan gas dengan mendorong penggunaan
biodiesel, menetapkan pajak impor barang mewah dari saat ini 75 persen menjadi
125 persen – 150 persen, serta memperbaiki ekspor mineral dengan memberikan
relaksasi kuota.
Sekali lagi, kebijakan itu mungkin
saja menolong dalam jangka pendek (tetapi dengan keraguan besar), tetapi sama
sekali tak menyasar ke masalah yang benar-benar terjadi. Tanpa berani mengubah
kebijakan repatriasi dan sector jasa, soal defisit transaksi berjalan akan jadi
abadi.
Satu lagi yang bisa dimunculkan
adalah kebijakan dan manajemen pangan yang sulit dipahami kerangka besarnya.
Pemerintah berhasrat mencapai swasembada pangan , khususnya beras, gula,
kedelai, jagung dan daging, tetapi keputusan yang diambil makin menjauhkan dari
tujuan tersebut.
Singkatnya, jika pemerintah ingin
meraih kecukupan produksi untuk kebutuhan domestic, insentif petani harus
ditingkatkan agar bergairah menanam. Alih-alih petani diberi gula-gula ekonomi,
yang terjadi justru dihajar dengan aneka kebijakan yang menyengsarakan mereka.
Kebijakan relaksasi impor selalu dipilih apabila pemerintah dikepung dengan
lonjakan harga pangan di dalam negeri sehingga petani kehilangan insentif
berproduksi. Pola ini dapat dilakukan sesekali, tetapi apabila sudah turun-temurun,
laik dipertanyakan; pemerintah tak cakap menganalisis problem atau ada
transaksi kepentingan di balik kebijakan tersebut.
Infrastruktur sangat
minim/terbelakang
Selain hal-hal diatas, yang juga
tidak kurang urgennya adalah masalah infrastruktur. Infrastruktur perekonomian
Indonesia sangat jauh dari layak. Hal ini dengan jelas diakui Wakil Presiden,
Boediono pada pertemuan Investment Summit 2013 pada tanggal 7 Nopember 2013
yang disebutnya sebagai terbelakang. Di ASEAN sendiri Indonesia kalah dengan
Thailand, Malaysia dan Singapura. Hal ini sesuai dengan peringkat infrastruktur
yang dibuat World Economic Forum, yakni sebagai berikut:
Singapura peringkat 2
Malaysia peringkat 29
Thailand peringkat 49
Indonesia peringkat 92
Sumber Global Competitiveness Report 2012-2013.
Hal ini terjadi karena:
·
Korupsi
·
Inefisiensi
birokrasi
Perbandingan MEA/AFTA dengan
EEC
Meski tidak pernah diakui,
regionalisasi yang jadi ukuran adalah Europe Ecconomic Community (EEC) alias
Masyarakat Ekonomi Eropa. EEC menjadi semacam standard mengukur keberhasilan
suatu kawasan.
Dalam sejarahnya EEC dimulai dengan
kerja-kerja ekonomi, yakni baja dan batubara (coal and steel) pada tahun 1949 .
Setelah itu melimpah ke bidang-bidang lain (teori spill overnya,Ernst Haas),
seperti keamanan dan politik.
Dalam bidang ekonomi, (termasuk
bidang-bidang lain juga) sebagaimana diteorikan Bruce Russett terdapat kedekatan
pada “pola, tingkat dan gaya” . Tidak hanya dalam paradigma,besaran, namun juga
pada anasir-anasir ekonomi lainnya sangat dekat/mirip. Lain hal dalam
negara-negara anggota ASEAN, kedekatan itu sangat jauh. Masing-masing negara
punya paradigma, besaran dan gaya ekonomi yang sangat berbeda.
Sejak tahun 2001 misalnya, mata uang mereka
telah sama yakni” Euro”. Suatu hal yang mustahil/atau mungkin masih sekian lama
lagi terjadi di ASEAN. Begitu pula sudah punya satu parlemen dan lain-lain
kelembagaan yang semakin menyatu. Bagaimana dengan masing-masing anggota ASEAN
? hampir sebaliknya.
Mungkin lukisan demikian yang membuat
Rizal Sukma di Kemlu 2005 menyatakan bahwa ASEAN/AFTA adalah kondom bocor.
Apalagi bila dihubungkan dengan piagam kelahirannya yang menyatakan bahwa ASEAN
didirikan untuk membangun kerjasama ekonomi, sosial dan kebudayaan, namun dalam
praksisnya justru melaksanakan yang diluarnya. ASEAN selama Orde Baru mayoritas
berperan dalam bidang politik, militer dan ideologis.
Rizal Sukma tidak sendiri.
Pandangan-pandangan seperti itu dapat dikatakan sangat mayoritas. Kecuali,
misalnya Kementerian Luar Negeri dengan segala kiatnya akan membenarkan bahwa
MEA/AFTA akan sangat menguatkan ekonomi politik Indonesia. Begitu pula
mereka-mereka pengagum pasar bebas, akan mengidolakan pasar tunggal demikian.
Kita ada dimana ? baiklah forum ini yang menjawabnya.
Profil Kawasan Ekonomi
Khusus, Tanjung Api-Api (KEK TAA)
Untuk mengetahui KEK TAA yang baru
saja ditetapkan melalui PP No 51 Tahun 2014 dapat dilihat dalam profil dibawah
ini
Sumber:
Dalam PP No 51 Tahun 2014 tsb antara lain dikatakan bahwa KEK
TAA sangat strategis baik itu dari sudut geo ekonomi maupun dari sudut geo
strategis, sebab terdiri dari:
Ø Zona pengolahan ekspor
Ø Zona logistik
Ø Zona industri
Ø Zona energi
Konklusi
Masih banyak sesungguhnya yang akan diuraikan, namun karena
tempat, waktu dan kemampuan yang terbtas, makalah ini harus diakhiri dengan
beberapa catatan, yakni;
1.
KEK
TAA sudah lama direncanakan dan saat ini adalah momentum yang tepat
mewujudkannya karena sudah ditetapkan melalui PP No 51 Tahun 2014. Apabila
dikelola sesuai atau konsisten dengan azas, proses dan tujuannya akan
menjadikan propinsi ini berkembang pesat secara ekonomi, yang pada gilirannya
akan mensejahterakan seluruh masyarakat.
2.
MEA/AFTA
masih memiliki kekurangan, kelemahan dan ketidak sinkronan yang sigifican,
namun karena sudah ditetapkan akan mulai akhir 2015, tiada lain, tiada bukan
kekurangan, kelemahan dan ketidaksinkronan itu harus dibenahi dengan serius.
3.
Kunci
keberhasilan untuk itu semua terutama adalah pada kepemimpinan daerah ini. Para
pemimpin harus sanggup menjalankan kepemimpinan yang unggul, demokratis,
inovatif dan sungguh-sungguh memihak pada rakyat.
Sekian. Terima kasih
Palembang, 24 Desember 2014.
[1]
Sangat sesuai dengan tema pembicaraan siang ini. KEK TAA pas pada momentum yang
tepat, yakni sesuai dengan visi, misi dan program pemerintahan baru yang akan
memeratakan program-program pembangunan. Pembangunan tidak lagi berpusat di
Jakarta atau Pulau Jawa, tetapi akan direloksi ketempat-tempat lain yang
belum/masih jauh dari program-program pembangunan.
[2]
Kita kecenderungannya belum siap menghadapi era MEA/AFTA tersebut. Masih banyak
kelemahan yang seharusnya sudah harus selesai sebelum pasar bebas tersebut
diberlakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar