Oleh; Reinhard Hutapea
Published, 16 Februari 2017 Pilkita.Com
Sejauh
mana tingkat kemajuan demokrasi dalam pilkada 15 Februari 2017 ini ? Sudah
sesuai harapan ?, yakni memberikan kebebasan, kesetaraan, dan toleransi
sebagaimana nilai-nilai universal demokrasi?, atau meminjam tujuan bernegara
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni memberikan keamanan,
kesejahteraan dan kecerdasaan ?.
Jika sudah kita beri nilai 100 persen. Apabila
masih jauh, atau malah sebaliknya dengan nilai 50 persen. Pertanyaan ini vital
supaya kita memahami secara rasional dan
empirik sudah sejauh mana sesungguhnya tahap perkembangan demokrasi kita.
Pengukuran
dengan model matematis, seperti dengan angka-angka/statistik perlu ditempuh
agar khalayak lebih mudah memahami, ketimbang pendekatan-pendekatan kwalitatif,
dan normatif yang sukar mengukurnya.
Sejak
lama sering didengungkan bahwa demokrasi yang dijalankan saat ini barulah
sebatas demokrasi prosedural, alias hanya mengikuti prosedur, mekanisme, atau
formalnya saja. Belum substantif, yakni sesuai dengan nilai-nilai agung
demokrasi. Dengan kata lain, masih sebatas kemasan, belum pada isi. Apa
ukurannya?
Supaya
jelas dan kongkrit, kita beri saja angka, yakni bila baru sebatas
prosedural/tidak substantif atau sekedar kemasan, maka angkanya adalah 0 sampai
50 persen. Artinya masih sangat jauh atau sama sekali tidak demokratis.
Sebaliknya apabila sudah substantif, angkanya adalah antara 50 – 100 persen.
Angka
yang tidak sekedar gagah-gagahan atau menggampangkan masalah, melainkan atas
dasar teori/pendapat filsuf demokrasi, JJ Rousseau yang berpendapat apabila dalam suatu pemilu suatu kontestan telah
mencapai jumlah 50 persen plus 1, maka angka itu sudah demokratis.
Menurut
Rousseau, meski hanya 50% + 1, angka itu harus dibulatkan menjadi 100 persen,
sebab yang 49 persen, meski significan
besar harus tunduk pada yang 50 persen plus 1 tersebut. Mereka harus mengikuti
kehendak yang menang. Inilah hakiki demokrasi (100 persen) dalam demokrasi klasik yang hingga saat ini masih
jadi pegangan .
Kelemahan UU Pemilu
Walaupun
zaman sudah jauh berubah dari era Rousseau, substansi/ hakikinya tetap sama,
yakni yang suaranya lebih besar, apalagi mayoritas menjadi pemenang. Sebaliknya
yang suaranya minoritas mengikuti kehendak yang menang. Yang kalah tanpa syarat
harus mengikuti kebijakan yang ditempuh pemenang, meski tidak sesuai dengan program,
konsep atau kebijakannya.
Posisi
yang kalah dalam sistem demikian adalah “opposisi”, yakni pihak yang
mengkritisi kebijakan pemerintahan partai yang menang dalam pemilu. Mereka akan
mengawasi apakah pemerintahan tersebut
konsekwen atau tidak pada kebijakannya. Atau malah menyalahgunakan
kekuasaannya.
Jika
konsekwen, yakni sungguh-sungguh konsisten mewujudkan programnya, maka
pemerintahan tersebut telah berjalan pada koridornya, yakni menjadi instrumen
membawa masyarakat kepada kemajuan. Program-program yang pernah ditawarkan
dalam kampanye, seperti kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan memang
diterapkan dalam pemerintahannya.
Akan
tetapi apabila membias, distortif, apalagi sewenang-wenang, maka pihak opposisi
menjadi pilar utama yang akan mengkritisi penguasa tersebut. Tidak tertutup
kemungkinan mereka akan memberi mosi tidak percaya, hingga tindakan yang lebih
radikal. Pihak opposisi akan berkilah atau mendapat kesempatan bahwa konsep
atau kebijakan merekalah yang tepat, bukan yang sedang dijalankan
pemerintah.
Dalam
pemilu selanjutnya yang dilaksanakan secara reguler, apabila kedua pihak ingin
berkuasa menjalankan pemerintahan, silahkan bersaing secara konstitusionil.
Silahkan memajukan program-programnya kepada masyarakat/pemilih/konstituen.
Lazimnya masyarakat yang rasional akan memilih yang masuk akal, atau yang dirasa
akan dapat mewujudkan aspirasinya.
Demikian siklusnya maju terus-menerus seperti
itu. Nan ibarat mesin yang mekanistis
(Easton, 1950), instrumen atau sistem ini akan membawa masyarakat kepada tujuannya, seperti kemakmuran,kesejahteraan,
dan keadilan sebagaimana yang tertulis dalam setiap konstitusi setiap negara.
Dalam
pilkada 15 Februari ini, walaupun tidak disebut demikian, semangat atau rohnya
tetap seperti itu, yakni bahwa pilkada yang demokratis akan membawa masyarakat
kepada kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang aman, sejahtera dan cerdas
sebagaimana diamanatkan pembukaan UUD 1945.
Akan
tetapi kalau kita perhatikan dengan seksama instrumen (tool) mencapai orientasi demikian, yakni UU No 8 Tahun 2015,
tidak mengejawantahkan keinginan demikian. Undang-undang ini (UU No 8 Tahun
2015) sebagai dasar dan petunjuk teknis pelaksanaannya masih jauh dari
nilai-nilai demokrasi.
Substansi
utama yang sangat hakiki dari demokrasi, yakni kedaulatan anggota partai untuk
menentukan calon gubernur, bupati/walikota tidak diatur dalam UU tersebut.
Artinya anggota-anggota partai politik peserta pilkada tidak ikut menentukan siapa
kepala daerah yang akan dipilih. Yang memilih/menentukan hanyalah para pengurus
partai. Kesalahan fundamental yang fatal tentunya.
Hanya 33,3%
Dalam
sistim yang demokratis, kedaulatan anggota-anggota
partai menentukan pimpinan-pimpinannya,
termasuk untuk calon-calon gubernur, bupati/walikotanya adalah mutlak/harga
mati. Bukan an sich oleh pengurus
cabang/daerah, yang kemudian disetujui pengurus pusat sebagaimana yang
berlangsung saat ini (Ramlan Surbakti, Kompas 18 Juni 2015).
Bagaimana
dikatakan demokratis jika polanya seperti itu? Dimana kedaulatan anggota?. Tidakkah itu elitisme
yang bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi? Tidakkah itu pada
derivasinya akan mendatangkan ekses-ekses yang sangat tidak diinginkan, seperti
hanya menguntungkan segelintir dan merugikan banyak orang?
Lebih
konyolnya lagi, konon meski dijaring oleh
pengurus daerah, yang menentukan pada akhirnya
adalah pengurus pusat (bukan pengurus cabang/daerah). Apa bedanya dengan sistim-sistim
yang tidak demokratis, seperti “kerajaan/patrimonial, birokratik, korporatis
dan lain-lainnya”? Tidakkah ini selain tidak demokratis, juga akan menimbulkan
politik dagang sapi nan transaksional?
Disisi
lain, selain perekrutannya tidak demokratis, juga telah menabrak tata kelola
pemerintahan, yakni otonomi daerah yang telah disepakati sejak tahun 2001.
Dalam otonomi tersebut kewenangan untuk memerintah lebih luas telah diberikan
kepada kabupaten/kota. Tidakkah ini kontradiktif dengan penentuan kepala daerah
yang ditentukan oleh pimpinan pusat partai?.
Kontradiksi-kontradiksi
non demokratis demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, seperti
belum diaturnya “visi pemerintahan daerah yang tidak jelas, sanksi yang tidak mengikat
bila ada pelanggaran, anggaran yang masih bermasalah, maneuvre legislatif yang
mengganggu, dan sebagainya”, menunjukkan bahwa nilai-nilai demokrasi masih jauh
dari harapan.
Meminjam
dalil klasik demokrasi Abraham Lincoln, yakni “dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat” (from the people, by the
people, and for the people) → 100%, yang telah
berubah menjadi “dari elit, oleh rakyat, dan untuk elit” (from the elits, by the people, and for the elits) angkanya adalah 33,3%.
Angka ini didapatkan dari 100% bagi 3 = 33,3%, sebab dua faktor/varian, yakni
dari (from), dan untuk (for) tidak lagi “rakyat”, tapi “elit”. Lalu ngapaian
kita ribut-ribut, khususnya di media sosial, wong dasar dan out-putnya saja
sudah salah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar