Rabu, 15 Maret 2017

BUDAYA BATAK ANGKOLA MANDAILING DI MALAYSIA




Oleh : Reinhard Hutapea
Published: MBBP No 33/1990

Ketika layar kaca TVRI pertama sekali menayangkan “titian muhibah” Indonesia- Malaysia, ternyata bahwa pembawa acara yang dari Malaysia itu adalah orang Batak bermarga Siregar (Tamimi). Beliau sudah menjadi warga negara (Citizen) Malaysia sejak lama, turun temurun melalui orang tuanya, nenek, atau leluhur yang telah merantau kesana sejak dahulu.
Untuk lebih mengetahui bahwa orang Batak Angkola-Mandailing tidak asing lagi di semenanjung Melayu tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya putra-putri Tapanuli Selatan yang menjadi orang besar dinegeri itu, seperti Senu Abdurahman (Siregar) yang pernah menjadi menteri penerangan Malaysi. Datuk Harun Idris (Harahap) mantan menteri besar Selangor, yang pernah menjadi rival berat berat Hussein Onn (mantan Perdana Menteri Malaysia) dalam UMNO. Atau kalau di tilik lebih jauh bahwa pendiri ibukota Kuala Lumpur, juga adalah orang Tapsel, yakni Sutan Puasa.
Sebagai tambahan ideal juga diketengahkan disini, yaitu bahwa ibunya almarhum H. Adam Malik mantan Wapres), Hajjah Siti Salamah ternyata juga berasal dari Malaysia (Cemor, negara bagian Perlak). Oleh karena itu famili mantan Wapres kita ini (dari pihak ibu) hampir semua masih bermukim di Malaysia. Dan tentu masih banyak cntoh yang lain betapa para migran asal Tapsel telah banyak yang menjadi warga negara disana. Dua bangsa, namun serumpun, istilah populernya dewasa ini.
Di atas itu semua, walaupun orang-orang Batak Tapsel ini menjadi warga negara Semenanjung Melayu, tidak berarti warisan (heritage) budaya leluhurnya dari Tapanuli turut menjadi bubar alias ditinggalkan, melainkan sebaliknya dengan konsisten terus mereka lestarikan. Bagaimana cara mereka melestarikan orientasi nilai-nilai tersebut, inilah yang menjadi tujuan penulisan singkat ini. akan tetapi sebelum sampai kesana lebih relevan apabila latar belakang, background mengapa orang Batak Angkola-Mandailing merantau ke negeri jiran tersebut, lebih dulu di bahas.

Misi budaya
Alasan pendorong mengapa orang merantau (migrasi) cukup bervariasi. Secara berkelakar rekan penulis mengatakan bahwa motivasi orang merantau adalah mencari gadis-gadis yang cakap/cantik. Lihat tuh orang-orang Batak yang pergi ke Jawa Barat sangat tertarik dengan moyang-moyang periangan, lanjutnya dengan tertawa.
Argumentasi demikian, walaupun disampaikan secara berkelakar ada juga benrnya, mengingat yang pertama merantau adalah kaum Adam. Akan tetapi secara ilmiah dalih demikian mungkin kurang mustahak, untuk ini coba kita ketengahkan apa kata para pakar.
Basyral hamidy Harahap dan Hotman Siahaan dalam bukunya “Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak” menyatakan bahwa orang Angkola-Mandailing merantau banyak penyebabnya. Sebahagian karena ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi, karena perniagaan (ekonomi dan bisnis), karena nilai dorongan harajaon untuk membuka huta (desa, kampung, negeri) yang baru, karena konflik atau menghindari tirani penguasa setempat.
Whiteford (1975) mengetengahkan pendekatan atau paradigma “tekan-kumpul” (push-pull paradigma). Menurut beliau kemiskinan di pedesaan umpamanya dapat dianggap sebagai faktor “push” (yang menekan) kepergian seseorang. Sementara gemerlapnya kota (daerah tujuan) plus bayangan lapangan kerja nan melimpah di perantauan dikategorikan sebagai faktor “pull” yang menghimpun pendatang baru. Ibarat gula yang memancingnya datangnya semut.
Akan tetapi (menurut Prof Dr Usman Pelly MA) faktor kemiskinan sendiri tidak dapat dianggap sebagai motif utama yang menyebabkan orang itu mengambil keputusan untuk merantau. Faktor-faktor budaya lainnya (mungkin seperti yang diutarakan Basyral Hamidy Harahap di atas) akan secara selektip menentukan apakah seseorang memutuskan pergi merantau atau tetap tinggal di kampung. Salah satu faktor budaya yang secara kuat berperan bagi mereka yang mengambil keputusan merantau ialah apa yang disebut “misi budaya” (cultural mission), yaitu seperangkat tujuan yang diharapkan oleh masyarakat budaya tersebut untuk dicapai dalam tujuan (Usman Pelly, 1982:1)
Misi budaya itu tidak hanya mempengaruhi keputusan seseorang untuk merantau atau tidak, tetapi berperan juga dalam menentukan pola adaptasi (adaptation) hidup diperantauan serta menentukan pula corak hubungan antara dan kampung halaman (bona pasogit/Tapanuli world)

Deli dan Malaysia
Sosok perantau dengan misi budaya demikian sudah barang tentu membutuhkan manusia-manusia pilihan, yang sudah terseleksi, terpelajar baik ilmu agama atau ilmu hadatuon/pedukunan dan tak kurang pentingnya harus memiliki keberanian (militansi)
Sejak kapan orang-orang Angkola-Mandailing mulai merantau belum ada yang dapat memastikan. Menurut batu-batu peninggalan, seperti prasasti yang ada di Portibi, konon sejak abad ke tujuh masehi daerah Angkola-Mandailing ini sudah terbuka dengan dunia luar. Pada prasasti Tanjore yang bertahun 1030, tercatat bahwa daerah Panai ditaklukkan oleh Rajendra Cola Dewa dari India Selatan (itukah makanya ada orang Mandailing yang mirip dengan orang India?). buku Negarakertagama (1365) menyebutkan bahwa Mandailing dan Panai sebagai wilayah berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit
Keterbukaan daerah itu terhadap dunia luar menjadi “determinant factor” (penentu) menyebarnya agama Islam yang di bawa oleh saudagar-saudagar Arab setelah hancurnya kerajaan Majapahit. Sebagian besar daerah Angkola-Mandailing akhirnya berhasil di Islamkan.
Di sisi lain politik penjajahan Belanda mengubah peta sosial maupun budaya. Sumatera Timur yang mayoritas masyarakatnya puak Melayu dan mayoritas beragama Islam, dikembangkan penjajah (Kolonialisme) sebagai daerah-daerah perkebunan raksasa. Suasana ini secara otomatis akan memancing pendatang baru (new comer)
Menurut  beberapa pakar/Sejarawan (T>Sinar 1971:138 dan Pelzer 1978:45) bahwa sejak dibukanya perkebunan-perkebunan besar itulah berbondong-bondong orang Angkola Mandailing datang ke Deli (tahun 1863) dan kenyataan memang cukup berhasil. Para perantau ini sangat adaptif, terbukti dari fasilitas-fasilitas yang di beri Sultan Deli bagi mereka.
Deli dan Malaysia adalah analog, yakni sama-sama rumpun Melayu, sama-sama mempunyai sistim religi yang sama (Islam dan satu tradisi dalam adat maupun budaya. Perbedaannya bahwa Deli melekat satu daratan dengan Tapanuli, sementara Malaysia dipisahkan oleh laut. Pertanyaan sekarang adalah; kemanakah lebih dulu orang-orang Batak Angkola-Mandailing itu merantau, ke Delikah?, ke semenanjung? Atau kedua-duanya sekaligus
Pertanyaan yang rumit menjawabnya. Menurut beberapa sumber bahwa warga Mandailing bermukim sekarang di Malaysia adalah generasi ke delapan, yang berarti sudah berabad-abad. Sementara yang bercokol di Deli barulah kira-kira se abad nan lalu (perlu diteliti lebih jauh). Hal ini kiranya tidak usah dipertentangkan lebih jauh, cukuplah diketahui bahwa orang Angkola-mandailing banyak yang migrasi dan menjadi warga negara Malaysia
Sisi lain yang mebuat Malaysia menarik bagi perantau Tapsel ininadalah dalam rangka Ilmu Agama dan letak geografisnya yang menjadi tempat transit dalam perjalanan ke tanah suci Mekkah, khususnya daerah Kedah. Di daerah ini mereka muncul sebagai gurru agama, pengurus mesjid, pembuka hutan untuk dijadikan huta yang kemudian sebagian diberi nama kampung asalnya. Mereka juga membuka sawah baru, sebagian bekerja di tambang timah. Ada yang bekerja sebagai imam atau pegawai pada kerajaan-kerajaan setempat. Ada pula yang tampil sebagai tokoh politik dengan melibatkan diri dalam perang antar kerajaan.
Dinamika dan avonturisme orang Angkola-Mandailing seperti itu telah mengangkat orang Angkola-Mandailing seperti itu telah mengangkat orang Angkola-Mandailing kepermukaaan pergaulan sosio-kultural yang sangat berarti. Sejarah Malaysia kemudian mencatat nama orang Angkola-Mandailing sebagai tokoh sejarah Malaysia. Beberapa nama terkemuka di sebut antara lain Sutan Puasa pendiri Kuala Lumpur pertengahan abad yang lalu, Raja Asal Penghulu di papan, Jabarumun panglima perang di Gopeng, Tun Haji Abdul Aziz Majid bekas Gubernur Malaka, Sipantum yang membunuh residen Birch di Perak, Jabarita yang terkenal sebagai Bendahara setia Raja, Tok Setia Raja anak Jabarita pemilik rumah Kuning yang dijadikan Museum di Batu Gajah.
Generasi demi generasi orang Angkola-Mandailing di semenanjung terus tampil dalam segala lapangan kehidupan. Beberapa tokoh antara lain, Senu Abdurahman (Siregar) bekas Dubes Malaysia di Indonesia yang kemudian menjadi Menteri Penerangan Malaysia, Tan Sri Mohammad Hanif Omar (Nasution) Ketua Polis Negara Malaysia, Laksamana Madya Datuk Mohammad Zin Saleh (Nasution) bekas panglima Angkatan Laut Tentara Diraja Malaysia, Datuk Mukhtar Hashim (Lubis) bekas Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan, Datuk Harun Idris (Harahap) bekas Menteri Besar Selangor dan rival berat Datok Hussein Onn dalam organisasi politik UMNO, Datuk Dr Majid Aziz, Pengusaha Hospital Besar Kuala Lumpur, Datin Paduka Halimation wwanita pertama yang menjadi anggota Parlemen Malaysia dan puluhan nama lagi dalam berbagai bidang, seperti kehakiman, kepolisian, diplomat, pengusaha, ilmuwan, wartawan, dan tokoh-tokoh politik serta birokrat Malaysia (ibid Basyiral Hamidy Harahan dan Hotman Siahaan)

Pelestarian budaya
Yang menarik dari orang-orang Angkola-Mandailing yang bermukim di Malaysia itu adalah bahwa hubungan mereka dengan sanak keluarga di kampung leluhur tetap terpelihara. Demikian juga nilai budaya Angkola-Mandailing (kekerabatan, religi, hagabeon, kemajuon, hasangapon, hamoraon, hukum, pengayoman, dan konflik) mereka pelihara secara utuh. Begitu pula Dalihan Natolu tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Cara pelestarian nilai budaya yang mereka lakukan ialah dengan pernikahan sesama orang Angkola-Mandailing, upacara adat (ritual), pelajaran adat-istiadat, kesenian, bahasa, dan aksara Batak-Mandailing. Tidak perlu kaget, apabila generasi muda Angkola-Mandailing di Malaysia dapat berbicara dengan fasih bahasa Batak Angkola-Mandailing.
Pelestarian budaya ini semakin mantap ketika tahun 1979, de Hezan Nasrullah Lubis yang bekerja di General Hospital Kuala Lumpur, menyarankan kepada tokoh-tokoh orang Angkola-Mandailing di Kuala Lumpur mendirikan perkumpulan sosial. Gagasan ini mendapatkan sambutan dan secara resmi paguyuban itu didirikan pada tanggal 14 Oktober 1979, bernama Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia, disingkat IMAN. Secara garis besar program kerjanya mencakup peningkatan hubungan kekerabatan, kehidupan keagamaan, pelestarian budaya, dan kesejahteraan anggota (ibid Basiral Hamidy Harahap& Hotman Siahaan)
Dalam rangka mengetatkan hubungan kekerabatan antara dua bangsa nan serumpun ini, IMAN menempuh beberapa metode, seperti mengadakan kunjungan-kunjungan muhibah antara orang Angkola-Mandailing yang ada di Indonesia dengan yang ada di Malaysia. Daalam acara tersebut lazimnya dipentaskan kesenian daerah, seperti tortor naposo bulung/na uli bulung, peragaan pakaian adat, nyanyian Batak dan Melayu, upacara-upacara ritual hingga ke tukar-menukar tanda mata.

Sejauh mana?
Demikianlah sekilas metode, sistem dan cara pelembagaan atau pelestarian budaya Batak Angkola-Mandailing di Malaysia. Mereka sebagaimana rekan-rekannya di Indonesia banyak yang sukses di perserahan/silepan (menjadi sosok-sosok terkemuka). Tapi manakla timbul pertanyaan “sejauhmanakah sumbangan mereka bagi perkembangan tanah leluhur, khususnya sejak Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar mencanangkan Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Marsipature Hutana be, maka jawabannya sudah dapat di duga tidak hitam putih. Jadi?, pembaca yang budiman lebih berhak menjawabnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar