Oleh : Reinhard Hutapea
Published: MBBP No
33/1990
Ketika layar kaca TVRI
pertama sekali menayangkan “titian muhibah” Indonesia- Malaysia, ternyata bahwa
pembawa acara yang dari Malaysia itu adalah orang Batak bermarga Siregar
(Tamimi). Beliau sudah menjadi warga negara (Citizen) Malaysia sejak lama,
turun temurun melalui orang tuanya, nenek, atau leluhur yang telah merantau
kesana sejak dahulu.
Untuk lebih mengetahui
bahwa orang Batak Angkola-Mandailing tidak asing lagi di semenanjung Melayu
tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya putra-putri Tapanuli Selatan yang
menjadi orang besar dinegeri itu, seperti Senu Abdurahman (Siregar) yang pernah
menjadi menteri penerangan Malaysi. Datuk Harun Idris (Harahap) mantan menteri
besar Selangor, yang pernah menjadi rival berat berat Hussein Onn (mantan
Perdana Menteri Malaysia) dalam UMNO. Atau kalau di tilik lebih jauh bahwa
pendiri ibukota Kuala Lumpur, juga adalah orang Tapsel, yakni Sutan Puasa.
Sebagai tambahan ideal
juga diketengahkan disini, yaitu bahwa ibunya almarhum H. Adam Malik mantan
Wapres), Hajjah Siti Salamah ternyata juga berasal dari Malaysia (Cemor, negara
bagian Perlak). Oleh karena itu famili mantan Wapres kita ini (dari pihak ibu)
hampir semua masih bermukim di Malaysia. Dan tentu masih banyak cntoh yang lain
betapa para migran asal Tapsel telah banyak yang menjadi warga negara disana.
Dua bangsa, namun serumpun, istilah populernya dewasa ini.
Di atas itu semua,
walaupun orang-orang Batak Tapsel ini menjadi warga negara Semenanjung Melayu,
tidak berarti warisan (heritage) budaya leluhurnya dari Tapanuli turut menjadi
bubar alias ditinggalkan, melainkan sebaliknya dengan konsisten terus mereka
lestarikan. Bagaimana cara mereka melestarikan orientasi nilai-nilai tersebut,
inilah yang menjadi tujuan penulisan singkat ini. akan tetapi sebelum sampai
kesana lebih relevan apabila latar belakang, background mengapa orang Batak
Angkola-Mandailing merantau ke negeri jiran tersebut, lebih dulu di bahas.
Misi budaya
Alasan pendorong mengapa
orang merantau (migrasi) cukup bervariasi. Secara berkelakar rekan penulis
mengatakan bahwa motivasi orang merantau adalah mencari gadis-gadis yang
cakap/cantik. Lihat tuh orang-orang Batak yang pergi ke Jawa Barat sangat tertarik
dengan moyang-moyang periangan, lanjutnya dengan tertawa.
Argumentasi demikian,
walaupun disampaikan secara berkelakar ada juga benrnya, mengingat yang pertama
merantau adalah kaum Adam. Akan tetapi secara ilmiah dalih demikian mungkin
kurang mustahak, untuk ini coba kita ketengahkan apa kata para pakar.
Basyral hamidy Harahap dan Hotman
Siahaan dalam bukunya “Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak” menyatakan bahwa
orang Angkola-Mandailing merantau banyak penyebabnya. Sebahagian karena ingin
menuntut ilmu yang lebih tinggi, karena perniagaan (ekonomi dan bisnis), karena
nilai dorongan harajaon untuk membuka huta (desa, kampung, negeri) yang baru,
karena konflik atau menghindari tirani penguasa setempat.
Whiteford (1975)
mengetengahkan pendekatan atau paradigma “tekan-kumpul” (push-pull paradigma).
Menurut beliau kemiskinan di pedesaan umpamanya dapat dianggap sebagai faktor
“push” (yang menekan) kepergian seseorang. Sementara gemerlapnya kota (daerah
tujuan) plus bayangan lapangan kerja nan melimpah di perantauan dikategorikan
sebagai faktor “pull” yang menghimpun pendatang baru. Ibarat gula yang
memancingnya datangnya semut.
Akan tetapi (menurut Prof
Dr Usman Pelly MA) faktor kemiskinan sendiri tidak dapat dianggap sebagai motif
utama yang menyebabkan orang itu mengambil keputusan untuk merantau.
Faktor-faktor budaya lainnya (mungkin seperti yang diutarakan Basyral Hamidy
Harahap di atas) akan secara selektip menentukan apakah seseorang memutuskan
pergi merantau atau tetap tinggal di kampung. Salah satu faktor budaya yang
secara kuat berperan bagi mereka yang mengambil keputusan merantau ialah apa
yang disebut “misi budaya” (cultural mission), yaitu seperangkat tujuan yang
diharapkan oleh masyarakat budaya tersebut untuk dicapai dalam tujuan (Usman
Pelly, 1982:1)
Misi budaya itu tidak
hanya mempengaruhi keputusan seseorang untuk merantau atau tidak, tetapi
berperan juga dalam menentukan pola adaptasi (adaptation) hidup diperantauan
serta menentukan pula corak hubungan antara dan kampung halaman (bona pasogit/Tapanuli
world)
Deli dan Malaysia
Sosok perantau dengan
misi budaya demikian sudah barang tentu membutuhkan manusia-manusia pilihan,
yang sudah terseleksi, terpelajar baik ilmu agama atau ilmu hadatuon/pedukunan
dan tak kurang pentingnya harus memiliki keberanian (militansi)
Sejak kapan orang-orang
Angkola-Mandailing mulai merantau belum ada yang dapat memastikan. Menurut
batu-batu peninggalan, seperti prasasti yang ada di Portibi, konon sejak abad
ke tujuh masehi daerah Angkola-Mandailing ini sudah terbuka dengan dunia luar.
Pada prasasti Tanjore yang bertahun 1030, tercatat bahwa daerah Panai
ditaklukkan oleh Rajendra Cola Dewa dari India Selatan (itukah makanya ada
orang Mandailing yang mirip dengan orang India?). buku Negarakertagama (1365)
menyebutkan bahwa Mandailing dan Panai sebagai wilayah berada di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit
Keterbukaan daerah itu
terhadap dunia luar menjadi “determinant factor” (penentu) menyebarnya agama
Islam yang di bawa oleh saudagar-saudagar Arab setelah hancurnya kerajaan
Majapahit. Sebagian besar daerah Angkola-Mandailing akhirnya berhasil di
Islamkan.
Di sisi lain politik
penjajahan Belanda mengubah peta sosial maupun budaya. Sumatera Timur yang
mayoritas masyarakatnya puak Melayu dan mayoritas beragama Islam, dikembangkan
penjajah (Kolonialisme) sebagai daerah-daerah perkebunan raksasa. Suasana ini
secara otomatis akan memancing pendatang baru (new comer)
Menurut beberapa pakar/Sejarawan (T>Sinar 1971:138
dan Pelzer 1978:45) bahwa sejak dibukanya perkebunan-perkebunan besar itulah
berbondong-bondong orang Angkola Mandailing datang ke Deli (tahun 1863) dan
kenyataan memang cukup berhasil. Para perantau ini sangat adaptif, terbukti
dari fasilitas-fasilitas yang di beri Sultan Deli bagi mereka.
Deli dan Malaysia adalah
analog, yakni sama-sama rumpun Melayu, sama-sama mempunyai sistim religi yang
sama (Islam dan satu tradisi dalam adat maupun budaya. Perbedaannya bahwa Deli
melekat satu daratan dengan Tapanuli, sementara Malaysia dipisahkan oleh laut.
Pertanyaan sekarang adalah; kemanakah lebih dulu orang-orang Batak
Angkola-Mandailing itu merantau, ke Delikah?, ke semenanjung? Atau kedua-duanya
sekaligus
Pertanyaan yang rumit
menjawabnya. Menurut beberapa sumber bahwa warga Mandailing bermukim sekarang
di Malaysia adalah generasi ke delapan, yang berarti sudah berabad-abad.
Sementara yang bercokol di Deli barulah kira-kira se abad nan lalu (perlu
diteliti lebih jauh). Hal ini kiranya tidak usah dipertentangkan lebih jauh,
cukuplah diketahui bahwa orang Angkola-mandailing banyak yang migrasi dan
menjadi warga negara Malaysia
Sisi lain yang mebuat
Malaysia menarik bagi perantau Tapsel ininadalah dalam rangka Ilmu Agama dan
letak geografisnya yang menjadi tempat transit dalam perjalanan ke tanah suci
Mekkah, khususnya daerah Kedah. Di daerah ini mereka muncul sebagai gurru
agama, pengurus mesjid, pembuka hutan untuk dijadikan huta yang kemudian
sebagian diberi nama kampung asalnya. Mereka juga membuka sawah baru, sebagian
bekerja di tambang timah. Ada yang bekerja sebagai imam atau pegawai pada
kerajaan-kerajaan setempat. Ada pula yang tampil sebagai tokoh politik dengan
melibatkan diri dalam perang antar kerajaan.
Dinamika dan avonturisme
orang Angkola-Mandailing seperti itu telah mengangkat orang Angkola-Mandailing
seperti itu telah mengangkat orang Angkola-Mandailing kepermukaaan pergaulan
sosio-kultural yang sangat berarti. Sejarah Malaysia kemudian mencatat nama
orang Angkola-Mandailing sebagai tokoh sejarah Malaysia. Beberapa nama
terkemuka di sebut antara lain Sutan Puasa pendiri Kuala Lumpur pertengahan
abad yang lalu, Raja Asal Penghulu di papan, Jabarumun panglima perang di
Gopeng, Tun Haji Abdul Aziz Majid bekas Gubernur Malaka, Sipantum yang membunuh
residen Birch di Perak, Jabarita yang terkenal sebagai Bendahara setia Raja,
Tok Setia Raja anak Jabarita pemilik rumah Kuning yang dijadikan Museum di Batu
Gajah.
Generasi demi generasi
orang Angkola-Mandailing di semenanjung terus tampil dalam segala lapangan
kehidupan. Beberapa tokoh antara lain, Senu Abdurahman (Siregar) bekas Dubes
Malaysia di Indonesia yang kemudian menjadi Menteri Penerangan Malaysia, Tan
Sri Mohammad Hanif Omar (Nasution) Ketua Polis Negara Malaysia, Laksamana Madya
Datuk Mohammad Zin Saleh (Nasution) bekas panglima Angkatan Laut Tentara Diraja
Malaysia, Datuk Mukhtar Hashim (Lubis) bekas Menteri Kebudayaan Belia dan
Sukan, Datuk Harun Idris (Harahap) bekas Menteri Besar Selangor dan rival berat
Datok Hussein Onn dalam organisasi politik UMNO, Datuk Dr Majid Aziz, Pengusaha
Hospital Besar Kuala Lumpur, Datin Paduka Halimation wwanita pertama yang
menjadi anggota Parlemen Malaysia dan puluhan nama lagi dalam berbagai bidang,
seperti kehakiman, kepolisian, diplomat, pengusaha, ilmuwan, wartawan, dan
tokoh-tokoh politik serta birokrat Malaysia (ibid Basyiral Hamidy Harahan dan
Hotman Siahaan)
Pelestarian budaya
Yang menarik dari
orang-orang Angkola-Mandailing yang bermukim di Malaysia itu adalah bahwa
hubungan mereka dengan sanak keluarga di kampung leluhur tetap terpelihara.
Demikian juga nilai budaya Angkola-Mandailing (kekerabatan, religi, hagabeon,
kemajuon, hasangapon, hamoraon, hukum, pengayoman, dan konflik) mereka pelihara
secara utuh. Begitu pula Dalihan Natolu tetap berfungsi sebagaimana mestinya.
Cara pelestarian nilai
budaya yang mereka lakukan ialah dengan pernikahan sesama orang
Angkola-Mandailing, upacara adat (ritual), pelajaran adat-istiadat, kesenian,
bahasa, dan aksara Batak-Mandailing. Tidak perlu kaget, apabila generasi muda
Angkola-Mandailing di Malaysia dapat berbicara dengan fasih bahasa Batak
Angkola-Mandailing.
Pelestarian budaya ini
semakin mantap ketika tahun 1979, de Hezan Nasrullah Lubis yang bekerja di
General Hospital Kuala Lumpur, menyarankan kepada tokoh-tokoh orang
Angkola-Mandailing di Kuala Lumpur mendirikan perkumpulan sosial. Gagasan ini
mendapatkan sambutan dan secara resmi paguyuban itu didirikan pada tanggal 14
Oktober 1979, bernama Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia, disingkat IMAN.
Secara garis besar program kerjanya mencakup peningkatan hubungan kekerabatan, kehidupan
keagamaan, pelestarian budaya, dan kesejahteraan anggota (ibid Basiral Hamidy
Harahap& Hotman Siahaan)
Dalam rangka mengetatkan
hubungan kekerabatan antara dua bangsa nan serumpun ini, IMAN menempuh beberapa
metode, seperti mengadakan kunjungan-kunjungan muhibah antara orang
Angkola-Mandailing yang ada di Indonesia dengan yang ada di Malaysia. Daalam
acara tersebut lazimnya dipentaskan kesenian daerah, seperti tortor naposo
bulung/na uli bulung, peragaan pakaian adat, nyanyian Batak dan Melayu, upacara-upacara
ritual hingga ke tukar-menukar tanda mata.
Sejauh mana?
Demikianlah sekilas
metode, sistem dan cara pelembagaan atau pelestarian budaya Batak
Angkola-Mandailing di Malaysia. Mereka sebagaimana rekan-rekannya di Indonesia
banyak yang sukses di perserahan/silepan (menjadi sosok-sosok terkemuka). Tapi
manakla timbul pertanyaan “sejauhmanakah sumbangan mereka bagi perkembangan
tanah leluhur, khususnya sejak Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar
mencanangkan Gerakan Pembangunan Desa Terpadu Marsipature Hutana be, maka
jawabannya sudah dapat di duga tidak hitam putih. Jadi?, pembaca yang budiman
lebih berhak menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar