SISTIM
POLITIK PASCA 51 TAHUN SUPERSEMAR (1966-2017);
Oleh:
Reinhard Hutapea
Published, 11 Maret 2017 Pilkita.Com
Setahun setelah Soeharto mengemban Supersemar, Bung
Karno mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (jas merah). Sejarah
penting agar perjalanan ke depan berlangsung dengan baik. Ibarat kenderaan,
sejarah adalah “sen”. Artinya jika ingin kedepan, lihat kiri-kanan dan
belakang. Jangan pakai kacamata kuda yang hanya melongok ke depan
Mengapa, kenapa dan bagaimana Bung Karno kok sampai
bicara demikian adalah karena pengemban Supersemar telah mengambil kebijakan
yang sungguh-sungguh radikal. Kebijakan yang ditempuh sungguh-sungguh tidak
mempedulikan lagi apa yang dilakukan sebelumnya. Apa dan bagaimana kebijakan
itu sudah banyak ditulis selama ini. Yang masih jarang diulas adalah bagaimana
ia meletakkan dan melembagakan suatu kekuasaan yang sangat kuat, namun tidak
demokratis.
Meski dikritik, dicerca, bahkan dikutuk, karena tidak
pro rakyat, kenyatannya kekuasaan absolute tersebut berlangsung hingga 32
tahun. Beberapa pakar menengarai bahwa Soeharto menerapkan pola “patrimonial,
beamtenstaat, birokratik, korporatis dan sebagainya”. Namun apapun namanya yang
pasti kekuasaan ini tidak memihak rakyat sama sekali.
Sistim Kerajaan
Kekuasaan demikian tidak muncul begitu saja, melainkan
melalui proses yang berliku, terjal, dan panjang sebagai konsekwensi dari
perubahan kebijakan. Menurut sejarahnya kekuasaan yang tidak pro rakyat ini mulai
tampil sejak Soeharto di beri Soekarno “Surat Perintah sebelas Maret 1966”
(Supersemar).
Sebagaimana setting sosio-historisnya, sejak beliau (Soeharto) diberi Surat sakti
demikian, ia langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa
perlawanan berarti. Selanjutnya dengan perlahan, tapi pasti, bak kudeta
merangkak, ia pun melakukan desukarnoisasi (makanya Bung Karno tereak Jas
Merah).
Singkat dan kongkritnya Soeharto merubah total tatanan
yang dibuat rezim sebelumnya dengan tatanan yang baru sama sekali. Tatanan kekuasaan atau
sistim politik yang cenderung “sentralistik-otoriter-militeristik”. Sedang
sistem ekonominya membuka diri lebar-lebar kepada capital internasional yang populerdengan sebutan politik pintu
terbuka (open door policy)
Dalam perjalanan atau empiriknya struktur yang baru
ini secara perlahan, regular, dan sistemik terus mencari bentuk yang diidamkan.
Suatu bentuk atau model yang akhirnya disebut dengan “demokrasi Pancasila”,
namun konsep atau teorinya menyimpang dari literatur-literatur ilmu politik
maupun imu ekonomi pada umumnya.
Meminjam terminology TJ. Pemple (1980) bentuk baru ini mungkin masuk dalam kategori
demokrasi yang tidak lazim, alias “uncommon
democracy”. Demokratis tapi distortif. Perangkaat atau instrument
demokrasi, seperti “partai-partai politik, pemilu, legislative, eksekutif, judicatif
dan perangkat-perangkat demokrasi lainnya” tersedia, namun tidak fungsional.
Tidak sebagaimana sistem politik yang diteorikan
pakar-pakar demokrasi klasik maupun modern, seperti/dari mulai Rousseau, Montesquieu hingga Easton, Almond, Huntington dan sebagainya
yang menitahkan “kebebasan, kesetaraan dan keadilan”. Inputnya demokratis, namun prosesnya selalu kebalikannya. Aneh tapi
sungguh-sungguh nyata
Apakah karena aneh atau bukan, beberapa pengamat yang intens
mengikuti perkembangan demikian, mulai menguak tabir. Salah satunya adalah Ben Anderson (1980). Ia berpendapat
bahwa struktur yang dibangun Soeharto itu adalah struktur yang sudah ada pada
era-era primitive dahulu, yakni
sistim pemerintahan kerajaan atau patrimonial.
Struktur yang sudah melembaga pada era
kerajaan-kerajaan dahulu kala (Singosari, Mataram khususnya), yang dimanfaatkan kolonial Belanda
pada masa penjajahannya, dan sempat sejenak ditinggalkan Soekarno dalam pemerintahannya,
setelah mendapat Supersemar dihidupkan
kembali oleh Soeharto.
Meski dengan sangat perlahan, namun kasat mata dan
pasti, sang pengemban Supersemar menempatkan diri bukan sebagai presiden yang
demokratis, melainkan sebagai raja nan patrimonial.
Hubungan, relasi atau interaksi yang dibangun atau mengemuka adalah hubungan
yang asimetris, top down, hierarkhis,
feudal, sentralistik, dan atau otoriter.
Sebagai derivasi atau konsekwensi logisnya, masyarakat
tidak pernah terlayani atau diperhatikan dalam struktur seperti itu. Struktur,
sistem atau lembaga kekuasaan atau pemerintahan/birokrasi yang terbentuk hanya
berputar-putar disekitar istana.
Tidak
perlu kaget, kalau praksis-praksis yang dilakukan
elit-elit kemudian adalah perilaku-perilaku yang menyimpang. Praksis-praksis
seperti; menjilat ke atas menginjak kebawah, tidak sejalannya kata dan
perbuatan, dan serba terjebak dalam retorika, verbalism serta euphemism, mayoritas
mewarnai sistim ekonomi politik yang dipentaskan.
Demokrasi Kebablasan
Meski sistim ekonomi politik demikian dihujat,
dikutuk, bahkan diberangus akhir 1990-an melalui apa yang disebut dengan reformasi
dan Soeharto dilengserkan , tidak serta merta membuat perilaku elit atau
pemimpin yang muncul kemudian demokratis.
Reformasi yang
mendorong perubahan politik demokratis,
seperti dibatasinya masa jabatan presiden hanya dua kali, ditempuhnya pemilihan
langsung memilih para pemimpin, ditegaskannya parlemen menjadi dua kamar,
dibentuknya Mahkamah Konstitusi, diberikannya otonomi daerah ke Kabupaten/Kota,
bahkan Desa, dan lain-lain, tidak dengan sendirinya membuat perilaku pemimpin dan
lembaga menjadi pro kepada rakyat
Sebaliknya menurut penelitian para antropolog, semakin
ditempuh metode-metode demokratis tersebut, semakin bebas (baca;
sesuka-sukanya) pula para elit membelokkan dan mendistorsikan sistim
ekonomi-politik ke tatanan sebelumnya. Olle Tornquist (2005) menyebutnya
sebagai “pembajakan demokrasi oleh elit-elit politik”, yaitu elit-elit politik
di era Soeharto.
Dengan rapi elit-elit lama ini kembali
mengkonsolidasikan kekuatannya dengan solid. Mereka mengikuti era yang berubah,
dan menggiringnya sesuai dengan kepentingannya. Reformasi yang bermuatan
kebebasan, mereka dorong untuk terstruktur dalam ranah itu, yakni bebas hanya untuk
bebas. Bukan bebas untuk kesetaraan (egalitarianisme) maupun toleransi
(fraternite) sebagaimana substansi demokrasi.
Dalam konteks inilah kita tangkap pernyataan Jokowi baru-baru
ini yang menyatakan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Demokrasi yang
tampil akhirnya bukan demokrasi yang sejuk, melainkan demokrasi yang bebas
sebebas-bebasnya memfitnah, menghujat, membangkitkan ekstrimisme, dan populisme
yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Inilah perpolitikan kita
setelah 51 tahun Supersemar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar