Selasa, 14 Maret 2017

MELESATNYA DEMOKRASI KEBABLASAN, 51 TAHUN SUPERSEMEAR (1966-2017)



SISTIM POLITIK PASCA 51 TAHUN SUPERSEMAR (1966-2017);

Oleh: Reinhard Hutapea
Published, 11 Maret 2017 Pilkita.Com

Setahun setelah Soeharto mengemban Supersemar, Bung Karno mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (jas merah). Sejarah penting agar perjalanan ke depan berlangsung dengan baik. Ibarat kenderaan, sejarah adalah “sen”. Artinya jika ingin kedepan, lihat kiri-kanan dan belakang. Jangan pakai kacamata kuda yang hanya melongok ke depan
Mengapa, kenapa dan bagaimana Bung Karno kok sampai bicara demikian adalah karena pengemban Supersemar telah mengambil kebijakan yang sungguh-sungguh radikal. Kebijakan yang ditempuh sungguh-sungguh tidak mempedulikan lagi apa yang dilakukan sebelumnya. Apa dan bagaimana kebijakan itu sudah banyak ditulis selama ini. Yang masih jarang diulas adalah bagaimana ia meletakkan dan melembagakan suatu kekuasaan yang sangat kuat, namun tidak demokratis.
Meski dikritik, dicerca, bahkan dikutuk, karena tidak pro rakyat, kenyatannya kekuasaan absolute tersebut berlangsung hingga 32 tahun. Beberapa pakar menengarai bahwa Soeharto menerapkan pola “patrimonial, beamtenstaat, birokratik, korporatis dan sebagainya”. Namun apapun namanya yang pasti kekuasaan ini tidak memihak rakyat sama sekali.

Sistim Kerajaan
Kekuasaan demikian tidak muncul begitu saja, melainkan melalui proses yang berliku, terjal, dan panjang sebagai konsekwensi dari perubahan kebijakan. Menurut sejarahnya kekuasaan yang tidak pro rakyat ini mulai tampil sejak Soeharto di beri Soekarno “Surat Perintah sebelas Maret 1966” (Supersemar).
Sebagaimana setting sosio-historisnya, sejak beliau (Soeharto) diberi Surat sakti demikian, ia langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa perlawanan berarti. Selanjutnya dengan perlahan, tapi pasti, bak kudeta merangkak, ia pun melakukan desukarnoisasi (makanya Bung Karno tereak Jas Merah).
Singkat dan kongkritnya Soeharto merubah total tatanan yang dibuat rezim sebelumnya dengan tatanan yang  baru sama sekali. Tatanan kekuasaan atau sistim politik yang cenderung “sentralistik-otoriter-militeristik”. Sedang sistem ekonominya membuka diri lebar-lebar kepada capital internasional yang populerdengan sebutan politik pintu terbuka (open door policy)
Dalam perjalanan atau empiriknya struktur yang baru ini secara perlahan, regular, dan sistemik terus mencari bentuk yang diidamkan. Suatu bentuk atau model yang akhirnya disebut dengan “demokrasi Pancasila”, namun konsep atau teorinya menyimpang dari literatur-literatur ilmu politik maupun imu ekonomi pada umumnya.
Meminjam terminology TJ. Pemple (1980) bentuk baru ini mungkin masuk dalam kategori demokrasi yang tidak lazim, alias “uncommon democracy”. Demokratis tapi distortif. Perangkaat atau instrument demokrasi, seperti “partai-partai politik, pemilu, legislative, eksekutif, judicatif dan perangkat-perangkat demokrasi lainnya” tersedia, namun tidak fungsional.
Tidak sebagaimana sistem politik yang diteorikan pakar-pakar demokrasi klasik maupun modern, seperti/dari mulai Rousseau, Montesquieu hingga  Easton, Almond, Huntington dan sebagainya yang menitahkan “kebebasan, kesetaraan dan keadilan”. Inputnya demokratis, namun prosesnya selalu kebalikannya. Aneh tapi sungguh-sungguh nyata
Apakah karena aneh atau bukan, beberapa pengamat yang intens mengikuti perkembangan demikian, mulai menguak tabir. Salah satunya adalah Ben Anderson (1980). Ia berpendapat bahwa struktur yang dibangun Soeharto itu adalah struktur yang sudah ada pada era-era primitive dahulu, yakni sistim pemerintahan kerajaan atau patrimonial.
Struktur yang sudah melembaga pada era kerajaan-kerajaan dahulu kala (Singosari, Mataram  khususnya), yang dimanfaatkan kolonial Belanda pada masa penjajahannya, dan sempat sejenak ditinggalkan Soekarno dalam pemerintahannya, setelah mendapat Supersemar  dihidupkan kembali oleh Soeharto.
Meski dengan sangat perlahan, namun kasat mata dan pasti, sang pengemban Supersemar menempatkan diri bukan sebagai presiden yang demokratis, melainkan sebagai raja nan patrimonial. Hubungan, relasi atau interaksi yang dibangun atau mengemuka adalah hubungan yang asimetris, top down, hierarkhis, feudal, sentralistik, dan atau otoriter.
Sebagai derivasi atau konsekwensi logisnya, masyarakat tidak pernah terlayani atau diperhatikan dalam struktur seperti itu. Struktur, sistem atau lembaga kekuasaan atau pemerintahan/birokrasi yang terbentuk hanya berputar-putar disekitar istana.
            Tidak perlu kaget, kalau  praksis-praksis yang dilakukan elit-elit kemudian adalah perilaku-perilaku yang menyimpang. Praksis-praksis seperti; menjilat ke atas menginjak kebawah, tidak sejalannya kata dan perbuatan, dan serba terjebak dalam retorika, verbalism serta euphemism, mayoritas mewarnai sistim ekonomi politik yang dipentaskan.

Demokrasi Kebablasan
Meski sistim ekonomi politik demikian dihujat, dikutuk, bahkan diberangus akhir 1990-an melalui apa yang disebut dengan reformasi dan Soeharto dilengserkan , tidak serta merta membuat perilaku elit atau pemimpin yang muncul kemudian demokratis.
 Reformasi yang mendorong perubahan  politik demokratis, seperti dibatasinya masa jabatan presiden hanya dua kali, ditempuhnya pemilihan langsung memilih para pemimpin, ditegaskannya parlemen menjadi dua kamar, dibentuknya Mahkamah Konstitusi, diberikannya otonomi daerah ke Kabupaten/Kota, bahkan Desa, dan lain-lain, tidak dengan sendirinya membuat perilaku pemimpin dan lembaga menjadi pro kepada rakyat
Sebaliknya menurut penelitian para antropolog, semakin ditempuh metode-metode demokratis tersebut, semakin bebas (baca; sesuka-sukanya) pula para elit membelokkan dan mendistorsikan sistim ekonomi-politik ke tatanan sebelumnya. Olle Tornquist (2005) menyebutnya sebagai “pembajakan demokrasi oleh elit-elit politik”, yaitu elit-elit politik di era Soeharto.
Dengan rapi elit-elit lama ini kembali mengkonsolidasikan kekuatannya dengan solid. Mereka mengikuti era yang berubah, dan menggiringnya sesuai dengan kepentingannya. Reformasi yang bermuatan kebebasan, mereka dorong untuk terstruktur dalam ranah itu, yakni bebas hanya untuk bebas. Bukan bebas untuk kesetaraan (egalitarianisme) maupun toleransi (fraternite) sebagaimana substansi demokrasi.  
Dalam konteks inilah kita tangkap pernyataan Jokowi baru-baru ini yang menyatakan bahwa demokrasi kita sudah kebablasan. Demokrasi yang tampil akhirnya bukan demokrasi yang sejuk, melainkan demokrasi yang bebas sebebas-bebasnya memfitnah, menghujat, membangkitkan ekstrimisme, dan populisme yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Inilah perpolitikan kita setelah 51 tahun Supersemar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar