Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Untag Jakarta
&Mantan aktivis GMNI Salemba
Published
28 Juli 1992 Harian Terbit
Kampanye
putaran terakhir PDI tanggal 31 Mei 1992 masih menarik di kaji sebab
mencengangkan banyak khalayak. Estimasi-estimasi yang dimajukan beberapa pakar
atau tokoh tertentu pada meleset jauh. Betapa tidak, partai yang dari waktu ke
waktu dirundung pertikaian malah diminati banyak orang. Oleh karena itulah
sampai-sampai ada yang berasumsi bahwa semua teori-teori sosial dan politik
yang dipakai di perguruan tinggi tidak lagi memadai untuk kajian-kajian yang
berhubungan dengan masaalah-masalah sosial politik masyarakat Indonesia (Deliar
Noer, Penelitian Agama, SH)
Suatu
hal yang logis karena pendekatan/paradigma yang digunakan untuk memahami
perpolitikan negeri ini masih serba referensi asing. Dalam hal ini adalah
dominasi ilmu pengetahuan Barat yang sedang di tuding sebagai sekuler dan
materialistik.
Kehadiran
Guruh Soekarno Putra di PDI beberapa tahun yang lalu sempat dilecehkan, karena
dianggap tidak akan berpengaruh banyak. Guruh diprediksikan hanya di kenal di
kalangan belia tingkat elit (upper clash) oleh karena beliau menurut anggapan
mereka tidak akan pernah di dukung mayoritas generasi muda (middle and lower
clash)
Pandangan-pandangan
demikian ternyata tidak pada tempatnya (tidak valid). Fakta menunjukkan adalah
sebaliknya.
Keuntungan
semua pihak
Fenomena
yang menarik dari kehadiran Guruh dalam pentas politik dapat diklasifikasikan
ke dalam empat kategori. Pertama, anggapan bahwa generasi muda sudah apatis
terhadap masalah-masalah politik, atau yang lebih gawat lagi tentang issu
golput menjadi tidak relevan. Kelompok muda ternyata masih mempunyai kepedulian
yang tinggi terhadap masalah-masalah kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat.
Kedua,
bagi PDI kehadiran putra bungsu Soekarno ini sangat menguntungkan partai. Guruh
dianggap sebagai pengganti figur ayah yang terkenal sangat kharismatik, dan
berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Bung Karno sebagaimana bukti
historis-sosiologisnya masih mempunyai pengikut (fans) yang besar di
masyarakat. Massa ini diharapkan kelak akan mencoblos gambar banteng dalam
pemilu.
Ketiga,
bagi Guruh (pribadi) kehadirannya di partai wong cilik tersebut merupakan awal
klimaks debutnya di kancah politik. Beliau menggunakan PDI sebagai ajang
terbaik untuk memperbesar popularitas yang telah dibinanya selama ini melalui
kelompok kesenian Swara Mahardhika. Suatu mode yang ngetrend dewasa ini,
menggunakan institusi non politis sebagai wadah berpolitik.
Ke
empat, pendidikan politik bermutu khususnya bagi generasi muda. Betap
uang/materi yang selama ini di dewakan seakan-akan adalah segalanya menjadi
buyar. Dengan kesadaran yang tinggi, tanpa di bayar para anak muda ini ikut memarakkan
kampanye putaran terakhir PDI. Dari mulai kaos, ikat kepala, hingga ke
atribut-atribut lainnya mereka biayai dengan swadaya sendiri.
Jurang
dan Inkonsistensi
Beberapa
harian Ibukota (Terbit, Media Indonesia, dan lain-lain) mempunyai estimasi
bahwa yang menghadiri kampanye PDI tersebut berjumlah sekitar tiga juta orang.
Suatu angka yang fantastis. Oleh karena itulah yang banyak pihak yang
berpendapat bahwa PDI bakal unggul di Ibukota. Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI
Jakarta Raya (MAS Alex Asmasubrata), misalnya mereka-reka bahwa 70% suara di
DKI akan di raih PDI.
Perhitungan
tersebut ternyata sangat meleset (membias 180 derajad). Pemilih partai
berlambang banteng malah merosot dan akhirnya berada di urutan nomor satu dari
belakang. Suatu bukti bahwa jumlah para peserta kampanye bukan jaminan untuk
menang. Mengapa terjadi demikian? Untuk ini ada beberapa skenario yang mencuat
ke permukaan. Skenario pertama beranggapan bahwa pada minggu tenang salah satu
OPP melakukan kampanye terselubung. Dengan segala kemampuan, keistimewaanya,
dan kelebihannya mereka berupaya menarik kaum muda yang ikut kampanye akbar PDI
tersebut.
Kedua,
bahwa yang ikut kampanye pada waktu itu mayoritas belum berhak untuk memilih,
karena usianya masih terlalu muda (anak-anak kecil). Skenario ketiga
beranggapan bahwa yang berpartisipasi dalam kampanye putaran terakhir PDI itu
bukanlah warga banteng. Kemungkinan besar adalah OPP lain, atau tidak tertutup
kemungkinan mereka adalah partisipan dan simpatisan Golput. PDI dianggap an
sich sebagai instrumen yang terbaik untuk melepaskan segala unek-uneknya.
Skenario
ketiga ini menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat mereka begitu anthusias
memanfaatkan momen tersebut. dalam konteks ini ada beberapa anggapan yang
bersifat hipotesis. Hipotesis ini misalnya adalah (a) bahwa mereka yang turut
memobilisasi kampanye tersebut merupakan wujud dari pelampiasan ketidak puasan
akan sistem yang sedang berlangsung, (b) adanya jurang antar generasi
(generation gap), (c) onani politik, dan (d) tuntutan akan kebenaran dan
keadilan.
Ke
empat hipotesis tersebut sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang bulat dan
utuh yang tak mungkin dipisahkan antara satu dengan yang lain. Namun untuk
penjelasan yang lebih umum, huruf a dan d lebih relevan dikedepankan sebab le bih
mudah di cerna
Inti
masalah kira-kira adalah suatu reaksi atas persepsi mereka terhadap
kepincangan-kepincangan sosial dalam masyarakat, yang oleh Gurr dinyatakan
sebagai adanya jarak yang makin lama makin besar antara value expectation dan
value capabilities. Frustasi yang timbul karena adanya jarak antara antara
kedia values ini merangsang timbulnya berbagai reaksi dari pihak generasi muda
(Sarlito W.S, Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan protes
mahasiswa, hal 213, 1978)
Reaksi
ini meminjam pendapat Sarlito WS, sewaktu dikukuhkan menjadi guru besar
Universitas Indonesia adalah akibat inkonsistensi dalam pembangunan. Sebagai
contoh menurut beliau adalah orang yang sudah memiliki surat pendaftaran
telefon, tidak pernah jelas kapan akan mendapatkan sambungan. Orang yang sudah
punya tiket pesawat, belum tentu berangkat. Pemerintah mengatakan tidak akan
ada devaluasi, ternyata ada devaluasi.
Tuntutan
moral
Dari
uraian singkat di atas, satu diktum penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa
kaum muda merupakan suatu kekuatan politik yang bertujuanmencari dan
mempertahankan kebenaran serta keadilaan. Dalam bahasa lain populer dengan
istilah moral (bukan vested interest). Khusus keikutsertaannya dalam kampanye
pemilu, yang konon katanya cukup beringas itu adalah cermin politik penolakan
mereka terhadap hal-hal yang baku dan mapan (status quo)
Pemuda
idealnya memang harus jujur pada diri sendiri, lingkungan, dan masyarakatnya
sebagaimana pesan sosiolog terkenal, Max Weber dalam beberapa tulisannya. Di
sisi lain diharapkan agar kaum muda berani mengatakan apa adanya (benar apabila
benar, salah apabila salah, jangan terjebak hipokritisme). Dengan demikian
mereka diharapkan menjadi nasionalist-nasionalist yang patriotik dan demokrat
bagi bangsa dan negaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar