Jumat, 17 Maret 2017

GURUH DAN POLITIK KAUM MUDA




Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP Untag Jakarta &Mantan aktivis GMNI Salemba
Published 28 Juli 1992 Harian Terbit

Kampanye putaran terakhir PDI tanggal 31 Mei 1992 masih menarik di kaji sebab mencengangkan banyak khalayak. Estimasi-estimasi yang dimajukan beberapa pakar atau tokoh tertentu pada meleset jauh. Betapa tidak, partai yang dari waktu ke waktu dirundung pertikaian malah diminati banyak orang. Oleh karena itulah sampai-sampai ada yang berasumsi bahwa semua teori-teori sosial dan politik yang dipakai di perguruan tinggi tidak lagi memadai untuk kajian-kajian yang berhubungan dengan masaalah-masalah sosial politik masyarakat Indonesia (Deliar Noer, Penelitian Agama, SH)
Suatu hal yang logis karena pendekatan/paradigma yang digunakan untuk memahami perpolitikan negeri ini masih serba referensi asing. Dalam hal ini adalah dominasi ilmu pengetahuan Barat yang sedang di tuding sebagai sekuler dan materialistik.
Kehadiran Guruh Soekarno Putra di PDI beberapa tahun yang lalu sempat dilecehkan, karena dianggap tidak akan berpengaruh banyak. Guruh diprediksikan hanya di kenal di kalangan belia tingkat elit (upper clash) oleh karena beliau menurut anggapan mereka tidak akan pernah di dukung mayoritas generasi muda (middle and lower clash)
Pandangan-pandangan demikian ternyata tidak pada tempatnya (tidak valid). Fakta menunjukkan adalah sebaliknya.

Keuntungan semua pihak
Fenomena yang menarik dari kehadiran Guruh dalam pentas politik dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori. Pertama, anggapan bahwa generasi muda sudah apatis terhadap masalah-masalah politik, atau yang lebih gawat lagi tentang issu golput menjadi tidak relevan. Kelompok muda ternyata masih mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Kedua, bagi PDI kehadiran putra bungsu Soekarno ini sangat menguntungkan partai. Guruh dianggap sebagai pengganti figur ayah yang terkenal sangat kharismatik, dan berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Bung Karno sebagaimana bukti historis-sosiologisnya masih mempunyai pengikut (fans) yang besar di masyarakat. Massa ini diharapkan kelak akan mencoblos gambar banteng dalam pemilu.
Ketiga, bagi Guruh (pribadi) kehadirannya di partai wong cilik tersebut merupakan awal klimaks debutnya di kancah politik. Beliau menggunakan PDI sebagai ajang terbaik untuk memperbesar popularitas yang telah dibinanya selama ini melalui kelompok kesenian Swara Mahardhika. Suatu mode yang ngetrend dewasa ini, menggunakan institusi non politis sebagai wadah berpolitik.
Ke empat, pendidikan politik bermutu khususnya bagi generasi muda. Betap uang/materi yang selama ini di dewakan seakan-akan adalah segalanya menjadi buyar. Dengan kesadaran yang tinggi, tanpa di bayar para anak muda ini ikut memarakkan kampanye putaran terakhir PDI. Dari mulai kaos, ikat kepala, hingga ke atribut-atribut lainnya mereka biayai dengan swadaya sendiri.

Jurang dan Inkonsistensi
Beberapa harian Ibukota (Terbit, Media Indonesia, dan lain-lain) mempunyai estimasi bahwa yang menghadiri kampanye PDI tersebut berjumlah sekitar tiga juta orang. Suatu angka yang fantastis. Oleh karena itulah yang banyak pihak yang berpendapat bahwa PDI bakal unggul di Ibukota. Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Jakarta Raya (MAS Alex Asmasubrata), misalnya mereka-reka bahwa 70% suara di DKI akan di raih PDI.
Perhitungan tersebut ternyata sangat meleset (membias 180 derajad). Pemilih partai berlambang banteng malah merosot dan akhirnya berada di urutan nomor satu dari belakang. Suatu bukti bahwa jumlah para peserta kampanye bukan jaminan untuk menang. Mengapa terjadi demikian? Untuk ini ada beberapa skenario yang mencuat ke permukaan. Skenario pertama beranggapan bahwa pada minggu tenang salah satu OPP melakukan kampanye terselubung. Dengan segala kemampuan, keistimewaanya, dan kelebihannya mereka berupaya menarik kaum muda yang ikut kampanye akbar PDI tersebut.
Kedua, bahwa yang ikut kampanye pada waktu itu mayoritas belum berhak untuk memilih, karena usianya masih terlalu muda (anak-anak kecil). Skenario ketiga beranggapan bahwa yang berpartisipasi dalam kampanye putaran terakhir PDI itu bukanlah warga banteng. Kemungkinan besar adalah OPP lain, atau tidak tertutup kemungkinan mereka adalah partisipan dan simpatisan Golput. PDI dianggap an sich sebagai instrumen yang terbaik untuk melepaskan segala unek-uneknya.
Skenario ketiga ini menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat mereka begitu anthusias memanfaatkan momen tersebut. dalam konteks ini ada beberapa anggapan yang bersifat hipotesis. Hipotesis ini misalnya adalah (a) bahwa mereka yang turut memobilisasi kampanye tersebut merupakan wujud dari pelampiasan ketidak puasan akan sistem yang sedang berlangsung, (b) adanya jurang antar generasi (generation gap), (c) onani politik, dan (d) tuntutan akan kebenaran dan keadilan.
Ke empat hipotesis tersebut sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang tak mungkin dipisahkan antara satu dengan yang lain. Namun untuk penjelasan yang lebih umum, huruf a dan d lebih relevan dikedepankan sebab le bih mudah di cerna
Inti masalah kira-kira adalah suatu reaksi atas persepsi mereka terhadap kepincangan-kepincangan sosial dalam masyarakat, yang oleh Gurr dinyatakan sebagai adanya jarak yang makin lama makin besar antara value expectation dan value capabilities. Frustasi yang timbul karena adanya jarak antara antara kedia values ini merangsang timbulnya berbagai reaksi dari pihak generasi muda (Sarlito W.S, Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan protes mahasiswa, hal 213, 1978)
Reaksi ini meminjam pendapat Sarlito WS, sewaktu dikukuhkan menjadi guru besar Universitas Indonesia adalah akibat inkonsistensi dalam pembangunan. Sebagai contoh menurut beliau adalah orang yang sudah memiliki surat pendaftaran telefon, tidak pernah jelas kapan akan mendapatkan sambungan. Orang yang sudah punya tiket pesawat, belum tentu berangkat. Pemerintah mengatakan tidak akan ada devaluasi, ternyata ada devaluasi.

Tuntutan moral
Dari uraian singkat di atas, satu diktum penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa kaum muda merupakan suatu kekuatan politik yang bertujuanmencari dan mempertahankan kebenaran serta keadilaan. Dalam bahasa lain populer dengan istilah moral (bukan vested interest). Khusus keikutsertaannya dalam kampanye pemilu, yang konon katanya cukup beringas itu adalah cermin politik penolakan mereka terhadap hal-hal yang baku dan mapan (status quo)
Pemuda idealnya memang harus jujur pada diri sendiri, lingkungan, dan masyarakatnya sebagaimana pesan sosiolog terkenal, Max Weber dalam beberapa tulisannya. Di sisi lain diharapkan agar kaum muda berani mengatakan apa adanya (benar apabila benar, salah apabila salah, jangan terjebak hipokritisme). Dengan demikian mereka diharapkan menjadi nasionalist-nasionalist yang patriotik dan demokrat bagi bangsa dan negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar