Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published;
Merdeka, 30 April 1992
Tema
perbincangan yang hangat di tengah-tengah pergaulan mahasiswa saat ini adalah
Pemilu 1992 yang sudah berada di ambang pintu. Dengan keintelektualannya mereka
menganalisis sejauh mana sudah pemilu menjadi agent perwujudan daripada
kedaulatan rakyat. Sudahkah mendekati? Jawabannya berwarna-warni.
Di
sisi lain yang tak kurang menariknya adalah larangan kampanye oleh ketiga kontestan
di wilayah kampus. Kelompok elit ini tak habis pikir mengapa kampanye dilarang di perguruan
tinggi, pada hal disinilah arena dialog yang sangat tepat untuk hal-hal seperti
itu. bukankah kampus sebagai penggodokan masyarakat ilmiah, menjadi tanda tanya
besar.
Pembicaraan
seputar pemilu memang sedang mode (in). Pro dan kontra mencuat dalam diskusi,
tak peduli dimana tukar pikiran itu berlangsung. Namun dalam tulisan ini
konteks tersebut bukan menjadi pembahasan, melainkan sekitar pengakuan mereka
akan dinamika politik mahasiswa sekarang yang disinyalir telah sangat merosot.
Kelompok elit ini mencoba membandingkannya dengan mythos 66 yang gemilang
menjatuhkan Soekarno bersama rezimnya dari singgasana kekuasaan. Selanjutnya
dengan malapetaka 15 Januari 1974 (malari) yang walaupun tidak berhasil
menumbangkan power establish, namun beberapa tuntutannya yang cukup strategis
dikabulkan oleh penguasa mapan, seperti pembubaran para Aspri di sekeliling
Presiden. Kemudian mereka membandingkannya juga dengan gerakan 1978 (NKK/BKK)
yang penuh dan meriah dengan poster-poster yang dipancangkan menyelimuti
kampus.
Meminjam
perhitungan matematika (kwantita approach), aksi 66 dapat di nilai dengan
sukses (point 1), aksi 1974 semi sukses (point ½), sedangkan aksi 1978 seperempat
sukses (point ¼) dan gerakan seterusnya hingga mendekat limit nol. Akan tetapi
karena problematikanya bukanlah matematika, melainkan masalah-masalah sosial
yang terus berubah memang tidak akan pernah menjadi nol. Sinyalemen ini
dikaitkan mengingat bahwa gerakan-gerakan politik mahasiswa pasca NKK/BKK tidak
pernah pudar atau beristirahat ke liang kubur. Tetap mencuat tapi kekuatannya
telah sangat minimal (kasus Kedung Ombo, Badega, Kacapiring, hingga Tanah
Merah)
Perubahan orientasi
Menurut
Denny JA dalam beberapa tulisannya gerakan mahasiswa era 80-an (tentu hingga sekarang) telah berubah
orientasi. Orientasi mahasiswa dulu adalah gugatan ke struktur kekuasaan, kini
orientasinya adalah pembentukan opini politik masyarakat luas. Format kegiatan
mahasiswa dulu adalah aksi massa, kini formatnya adalah aksi informasi.
Tipe
gerakan mahasiswa dulu gerakan politik praktis, kini tipenya adalah gerakan
penyadaran atau gerakan dakwah di bidang sosial politik. Kultur yang mendukung
gerakan mahasiswa dulu adalah suhu politik yang tinggi yang ditandai oleh
krisis sistem politik. Kini kulturnya adalah adalah suhu akademis yang tinggi
yang ditopang oleh terintegrasinya sistem politik.
Organisasi
yang menjadi wadah gerakan mahasiswa dulu adalah organisasi massa dengan metode
mobilisasi massa, kini organisasinya adalah kelompok-kelompok kecil dengan
metode mobilisasi ide dan persepsi politik. Gugatan mahasiswa dulu adalah
gugatan politik praktis, kini gugatannya adalah gugatan politik teoritis atau
gugatan konsepsional terhadap sistem sosial (Jakarta-Jakarta no 66, 9-15 oktober
1987)
Apa
yang melatarbelakanginya sampai pada tesis demikian, bagaimana perkembangan
gerakan mahasiswa di negara lain, benarkah mahasiswa mempunyai peranan dalam
politik, dan lain-lain pertanyaan tentang konteks tersebut akan dipaparkan di
bawah ini.
Peran politik.
Benarkah
mahasiswa punya peranan dalam perubahan politik? Jawabannya bervariasi. Ada
yang berpendapat bahwa mahasiswa hanyalah sebagai katalisator. Yang punya
pendapat seperti itu (misalnya) adalah Arief Budiman. Arief melihat aksi 66
cemerlang karena bahu-membahu dengan militer. Sementara pemeran utamanya adalah
militer sendiri.
Sarlito
Wirawan Sarwono dalam disertasinya yang berjudul “Perbedaan Antara Pemimpin dan
Aktivis Dalam gerakan Protes Mahasiswa”, mensiratkan bahwa mahasiswa mempunyai
kekuatan sosial politik yang sebenarnya. Beliau melihat gerakan 66 yang
gemilang menggulingkan Soekarno.
Ong
Hok Ham cenderung melihat peranan mahasiswa hanyalah sekedar ujung tombak atau avant garde yang terbaik dalam setiap
revolusi. Begitu pula pandangan Francois
Raillon (lebih jelas baca bukunya Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia,
LP3ES). Sementara pandangan yang lebih radikal dikemukakan oleh Giat Wahyudi.
Menurut Giat aksi mahasiswa tak lebih tak kurang hanya sebatas petasan.
Barangkali
yang mendekati kebenaran dikemukakan oleh Arbi Sanit. Menurut pakar politik ini
ada dua peran pokok yang selalu tampil
mewarnai sejarah aktivis mereka selama ini. Pertama adalah sebagai kekuatan
korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai kehidupan
masyarakat. Dan kedua, yaitu sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan
problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif
perubahan yang dikemukakan atau di dukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga
masyarakat berubah ke arah kemajuan (baca : Mahasiswa, kekuasaan, dan Bangsa, 4
LSI hal 9)
Dari
uraian Arbi itu tersirat bahwa peranan politik mahasiswa adalah bertujuan moral
(moral force) atau intelektual. Suatu yang general tentunya bahwa tanggung
jawab sosial mahasiswa adalah intelektual (approach socio-cultural). Walaupun
tidak disebutkan bahwa peranan politik mahasiswa mengalami penurunan drastis,
namun arahnya tetap ke sana. Untuk memperjelasnya baiklah kita tinjau gerakan
mahasiswa di negara-negara lain, yang menurut PG Altbach telah mengalami dekadensi sejak tahun 1970-an. Hal ini
dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti; Satu, hampir selalu mustahil mempertahankan tingkat kegiatan
politik dan organisasi yang tinggi dalam suatu periode yang panjang; Dua, media massa tidak tertarik
memberitakan tentang gerakan-gerakan mahasiswa; Tiga, focus perhatian mahasiswa telah berubah; Empat, kesuksesan setiap negara dalam pembangunan ekonomi; Lima, upaya reformasi/restrukturisasi
universitas yang cukup sukses; Enam,
mahasiswa itu sendiri memandang gerakannya telah gagal, yakni tidak berhasil
mengadakan perubahan sosial secara besar-besaran; Tujuh, realitas politik eksternal telah berubah (P.G.Altbach, Mahasiswa dan Politik, hal
15 Gramedia)
Konteks Indonesia
Determinant
yang dikemukakan P.G. Altbach di atas
sedikit banyak ada relevansinya dengan situasi Indonesia sebagaimana disinyalir
Denny JA (lihat di depan dengan perubahan orientasi politik mahasiswa Indonesia
pasca Soekarno dan diteorikan R. William
Liddle dengan three alliance-nya,
yakni ekonom sebagai penyusun kebijaksanaan, militer sebagai penjaga
stabilitas, dan birokrat sebagai pelaksana. Dalam artian lain negeri ini
menempuh ekonomi sebagai primadona pembangunan. Untuk mencapainya dibutuhkan
pendekatan keamanan (security approach)
Primat
pertumbuhan ekonomi ini memekar ketika bom minyak (oil bomb) pada awal tahun 70-an. Tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa pada era itu Indonesia sukses dalam pembangunan ekonominya. Suasana ini
sudah barang tentu menyediakan posisi-posisi profesional serta posisi berstatus
tinggi lainnya bagi para lulusan universitas. Mahasiswa rupanya tergiur dengan
suasana ini. bahkan tidak cukup di situ, para mantan demonstran nan vested
interest memanfaatkannya untuk menjadi pengusaha (konglomerat istilah saat ini).
Dan kenyataan banyak mereka yang sukses. Dapat dibayangkan ketika generasi
berikutnya demonstrasi, maka mereka yang asyik memaanfaatkan boom ekonomi dan
fasilitas-fasilitas lain itu akan berusaha menekan dan menciptakan teori
pembenaran. Jadilah kakak menekan adik, senior menekan junior. Siapa
oknum-oknum tersebut tidak usah kita paparkan. Demonstran, aktivis , atau
pengecam sosial idealnya memang jangan masuk ke inner circle, sebab mereka dapat menjadi lebih ortodoks daripada
yang konsevatif sekalipun.
Di
balik itu entah disengaja atau tidak para pengambil keputusan (desition maker) menempatkan pekerjaan
profesional lebih dari nilai yang sebenarnya. Lulusan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora menjadi salit mencari pekerjaan, akibatnya para mahasiswa berpaling
dari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan ke bidang-bidang profesional untuk menjamin
prospek karir yang lebih cerah. Contoh aktual dapat kita sebutkan jurusan
komputer, perbankan, dan engineering.
Pendekatan
keamanan sudah barang tentu mensiratkan reformasi bagi perguruan tinggi.
Mahasiswa menurut kacamata penguasa legal dianggap sebagai kekuatan politik
yang dapat mengganggu stabilitas. Oleh karena itu (logikanya) perlu
ditentramkan. Puncaknya terjadi ketika Prof Dr Daoed Yoesoef Menjadi menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau melihat kampus tidak lagi normal, maka dirasa
perlu dinormalkan. Muncullah Normalisasi Kehidupan kampus. Sistem paket diganti
Sistim Kredit Semester (SKS). Di Amerika Serikat disebut loco parentis. Kurikulum diliberalkan dan lain-lain policy yang membuat mahasiswa sibuk
berkutat di balik buku, laboratorium, dan perpustakaan.
Hati Nurani Masyarakat.
Dua
variabel Altbach di atas kiranya
cukup representatif bagi kita untuk mengerti mengapa mahasiswa Indonesia
merosot gerakan politiknya. Namun apakah situasi ini akan terus berlangsung? Dan apakah policy
the rulling clash sudah tepat pada relnya? Hanya sejarah yang dapat
menjawab. Akan tetapi satu diktum penting yang perlu tetap kita ingat adalah
sedikit banyak mahasiswa di dunia ketiga (termasuk Indonesia) bertindak sebagai
hati nurani masyarakat. Konteks ini mensiratkan apabila mahasiswa adem ayem,
berarti bangsa dalam keadaan aman, begitukah? Perlu diskusi lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar