Rabu, 22 Maret 2017

MAHASISWA SEBAGAI HATI NURANI MASYARAKAT




Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published; Merdeka, 30 April 1992

Tema perbincangan yang hangat di tengah-tengah pergaulan mahasiswa saat ini adalah Pemilu 1992 yang sudah berada di ambang pintu. Dengan keintelektualannya mereka menganalisis sejauh mana sudah pemilu menjadi agent perwujudan daripada kedaulatan rakyat. Sudahkah mendekati? Jawabannya berwarna-warni.
Di sisi lain yang tak kurang menariknya adalah larangan kampanye oleh ketiga kontestan di wilayah kampus. Kelompok elit ini tak habis pikir  mengapa kampanye dilarang di perguruan tinggi, pada hal disinilah arena dialog yang sangat tepat untuk hal-hal seperti itu. bukankah kampus sebagai penggodokan masyarakat ilmiah, menjadi tanda tanya besar.
Pembicaraan seputar pemilu memang sedang mode (in). Pro dan kontra mencuat dalam diskusi, tak peduli dimana tukar pikiran itu berlangsung. Namun dalam tulisan ini konteks tersebut bukan menjadi pembahasan, melainkan sekitar pengakuan mereka akan dinamika politik mahasiswa sekarang yang disinyalir telah sangat merosot. Kelompok elit ini mencoba membandingkannya dengan mythos 66 yang gemilang menjatuhkan Soekarno bersama rezimnya dari singgasana kekuasaan. Selanjutnya dengan malapetaka 15 Januari 1974 (malari) yang walaupun tidak berhasil menumbangkan power establish, namun beberapa tuntutannya yang cukup strategis dikabulkan oleh penguasa mapan, seperti pembubaran para Aspri di sekeliling Presiden. Kemudian mereka membandingkannya juga dengan gerakan 1978 (NKK/BKK) yang penuh dan meriah dengan poster-poster yang dipancangkan menyelimuti kampus.
Meminjam perhitungan matematika (kwantita approach), aksi 66 dapat di nilai dengan sukses (point 1), aksi 1974 semi sukses (point ½), sedangkan aksi 1978 seperempat sukses (point ¼) dan gerakan seterusnya hingga mendekat limit nol. Akan tetapi karena problematikanya bukanlah matematika, melainkan masalah-masalah sosial yang terus berubah memang tidak akan pernah menjadi nol. Sinyalemen ini dikaitkan mengingat bahwa gerakan-gerakan politik mahasiswa pasca NKK/BKK tidak pernah pudar atau beristirahat ke liang kubur. Tetap mencuat tapi kekuatannya telah sangat minimal (kasus Kedung Ombo, Badega, Kacapiring, hingga Tanah Merah)

Perubahan orientasi
Menurut Denny JA dalam beberapa tulisannya gerakan mahasiswa era  80-an (tentu hingga sekarang) telah berubah orientasi. Orientasi mahasiswa dulu adalah gugatan ke struktur kekuasaan, kini orientasinya adalah pembentukan opini politik masyarakat luas. Format kegiatan mahasiswa dulu adalah aksi massa, kini formatnya adalah aksi informasi.
Tipe gerakan mahasiswa dulu gerakan politik praktis, kini tipenya adalah gerakan penyadaran atau gerakan dakwah di bidang sosial politik. Kultur yang mendukung gerakan mahasiswa dulu adalah suhu politik yang tinggi yang ditandai oleh krisis sistem politik. Kini kulturnya adalah adalah suhu akademis yang tinggi yang ditopang oleh terintegrasinya sistem politik.
Organisasi yang menjadi wadah gerakan mahasiswa dulu adalah organisasi massa dengan metode mobilisasi massa, kini organisasinya adalah kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik. Gugatan mahasiswa dulu adalah gugatan politik praktis, kini gugatannya adalah gugatan politik teoritis atau gugatan konsepsional terhadap sistem sosial (Jakarta-Jakarta no 66, 9-15 oktober 1987)
Apa yang melatarbelakanginya sampai pada tesis demikian, bagaimana perkembangan gerakan mahasiswa di negara lain, benarkah mahasiswa mempunyai peranan dalam politik, dan lain-lain pertanyaan tentang konteks tersebut akan dipaparkan di bawah ini.

Peran politik.
Benarkah mahasiswa punya peranan dalam perubahan politik? Jawabannya bervariasi. Ada yang berpendapat bahwa mahasiswa hanyalah sebagai katalisator. Yang punya pendapat seperti itu (misalnya) adalah Arief Budiman. Arief melihat aksi 66 cemerlang karena bahu-membahu dengan militer. Sementara pemeran utamanya adalah militer sendiri.
Sarlito Wirawan Sarwono dalam disertasinya yang berjudul “Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis Dalam gerakan Protes Mahasiswa”, mensiratkan bahwa mahasiswa mempunyai kekuatan sosial politik yang sebenarnya. Beliau melihat gerakan 66 yang gemilang menggulingkan Soekarno.
Ong Hok Ham cenderung melihat peranan mahasiswa hanyalah sekedar ujung tombak atau avant garde yang terbaik dalam setiap revolusi. Begitu pula pandangan Francois Raillon (lebih jelas baca bukunya Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES). Sementara pandangan yang lebih radikal dikemukakan oleh Giat Wahyudi. Menurut Giat aksi mahasiswa tak lebih tak kurang hanya sebatas petasan.
Barangkali yang mendekati kebenaran dikemukakan oleh Arbi Sanit. Menurut pakar politik ini ada dua peran pokok  yang selalu tampil mewarnai sejarah aktivis mereka selama ini. Pertama adalah sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi di dalam berbagai kehidupan masyarakat. Dan kedua, yaitu sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problema yang ada dan menumbuhkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau di dukung oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan (baca : Mahasiswa, kekuasaan, dan Bangsa, 4 LSI hal 9)
Dari uraian Arbi itu tersirat bahwa peranan politik mahasiswa adalah bertujuan moral (moral force) atau intelektual. Suatu yang general tentunya bahwa tanggung jawab sosial mahasiswa adalah intelektual (approach socio-cultural). Walaupun tidak disebutkan bahwa peranan politik mahasiswa mengalami penurunan drastis, namun arahnya tetap ke sana. Untuk memperjelasnya baiklah kita tinjau gerakan mahasiswa di negara-negara lain, yang menurut PG Altbach telah mengalami dekadensi sejak tahun 1970-an. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti; Satu, hampir selalu mustahil mempertahankan tingkat kegiatan politik dan organisasi yang tinggi dalam suatu periode yang panjang; Dua, media massa tidak tertarik memberitakan tentang gerakan-gerakan mahasiswa; Tiga, focus perhatian mahasiswa telah berubah; Empat, kesuksesan setiap negara dalam pembangunan ekonomi; Lima, upaya reformasi/restrukturisasi universitas yang cukup sukses; Enam, mahasiswa itu sendiri memandang gerakannya telah gagal, yakni tidak berhasil mengadakan perubahan sosial secara besar-besaran; Tujuh, realitas politik eksternal telah berubah (P.G.Altbach, Mahasiswa dan Politik, hal 15 Gramedia)

Konteks Indonesia
Determinant yang dikemukakan P.G. Altbach di atas sedikit banyak ada relevansinya dengan situasi Indonesia sebagaimana disinyalir Denny JA (lihat di depan dengan perubahan orientasi politik mahasiswa Indonesia pasca Soekarno dan diteorikan R. William Liddle dengan three alliance-nya, yakni ekonom sebagai penyusun kebijaksanaan, militer sebagai penjaga stabilitas, dan birokrat sebagai pelaksana. Dalam artian lain negeri ini menempuh ekonomi sebagai primadona pembangunan. Untuk mencapainya dibutuhkan pendekatan keamanan (security approach)
Primat pertumbuhan ekonomi ini memekar ketika bom minyak (oil bomb) pada awal tahun 70-an. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada era itu Indonesia sukses dalam pembangunan ekonominya. Suasana ini sudah barang tentu menyediakan posisi-posisi profesional serta posisi berstatus tinggi lainnya bagi para lulusan universitas. Mahasiswa rupanya tergiur dengan suasana ini. bahkan tidak cukup di situ, para mantan demonstran nan vested interest memanfaatkannya untuk menjadi pengusaha (konglomerat istilah saat ini). Dan kenyataan banyak mereka yang sukses. Dapat dibayangkan ketika generasi berikutnya demonstrasi, maka mereka yang asyik memaanfaatkan boom ekonomi dan fasilitas-fasilitas lain itu akan berusaha menekan dan menciptakan teori pembenaran. Jadilah kakak menekan adik, senior menekan junior. Siapa oknum-oknum tersebut tidak usah kita paparkan. Demonstran, aktivis , atau pengecam sosial idealnya memang jangan masuk ke inner circle, sebab mereka dapat menjadi lebih ortodoks daripada yang konsevatif sekalipun.
Di balik itu entah disengaja atau tidak para pengambil keputusan (desition maker) menempatkan pekerjaan profesional lebih dari nilai yang sebenarnya. Lulusan ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi salit mencari pekerjaan, akibatnya para mahasiswa berpaling dari ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan ke bidang-bidang profesional untuk menjamin prospek karir yang lebih cerah. Contoh aktual dapat kita sebutkan jurusan komputer, perbankan, dan engineering.
Pendekatan keamanan sudah barang tentu mensiratkan reformasi bagi perguruan tinggi. Mahasiswa menurut kacamata penguasa legal dianggap sebagai kekuatan politik yang dapat mengganggu stabilitas. Oleh karena itu (logikanya) perlu ditentramkan. Puncaknya terjadi ketika Prof Dr Daoed Yoesoef Menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau melihat kampus tidak lagi normal, maka dirasa perlu dinormalkan. Muncullah Normalisasi Kehidupan kampus. Sistem paket diganti Sistim Kredit Semester (SKS). Di Amerika Serikat disebut loco parentis. Kurikulum diliberalkan dan lain-lain policy yang membuat mahasiswa sibuk berkutat di balik buku, laboratorium, dan perpustakaan.

Hati Nurani Masyarakat.
Dua variabel Altbach di atas kiranya cukup representatif bagi kita untuk mengerti mengapa mahasiswa Indonesia merosot gerakan politiknya. Namun apakah situasi ini akan terus berlangsung?  Dan apakah policy the rulling clash sudah tepat pada relnya? Hanya sejarah yang dapat menjawab. Akan tetapi satu diktum penting yang perlu tetap kita ingat adalah sedikit banyak mahasiswa di dunia ketiga (termasuk Indonesia) bertindak sebagai hati nurani masyarakat. Konteks ini mensiratkan apabila mahasiswa adem ayem, berarti bangsa dalam keadaan aman, begitukah? Perlu diskusi lebih lanjut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar