Selasa, 04 April 2017

MEMBANGUN MUSYAWARAH DESA MENGELOLA DANA 1 M




MEMBANGUN MUSYAWARAH DESA
MENGELOLA DANA 1 M
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS Palembang
Published, Harian Banyuasin, 25 Okt 2015

Banyak yang tak menyadari bahwa saat ini adalah era yang paling tepat mengimplementasikan kedaulatan rakyat. Saat yang pas untuk mempraksiskan pesan konstitusi/UUD 1945 dan teori-teori demokrasi yang diajarkan dilembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Tidak lagi sebagaimana yang berlangsung selama ini, nyaris tak ada relevansi antara konstitusi dan sistim politik/pemerintahan, antara  teori dan praktek.  Teorinya demokrasi, realita  otoriter . Instrumennya  partai politik kenyataannya hanya komplotan politik. Dan lain-lain tatanan yang jauh dari harapan.
            Munafik, tak bertanggung jawab, feodal, percaya tahyul dan watak lemah urai almarhum Mohtar Lubis akhir 1970-an menggambarkan kultur politik yang berlangsung kala itu. Kultur yang jauh dari tradisi demokrasi partisifatif yang mensiratkan kebebasan, kesetaraan dan toleransi.
Betapa tidak? Semua segmen-segmen kehidupan diatur dari atas, dari elit dan dari Jakarta (top down). Rakyat khususnya yang tinggal di desa  dipaksa harus ikut apa yang sudah diputuskan dari atas alias dari pemerintah pusat

Mencapai tujuan nasional
Satu-satunya aktor hanyalah pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah dibawahnya, seperti pemprov, pemkab/pemkot menjadi pilar-pilar pendukung utama  memuluskan perintah-perintah pusat ketingkat akar rumput alias  desa.
Desa dengan segalaperangkatnya yang sudah lama terlembaga tanpa syarat harus menerima  dikte-dikte dari atas. Dengan artian lain  pemerintahan akar rumput ini hanya sebagai objek bersama masyarakatnya. Objek yang terus tereksploitasi sehingga hanya menjadi pengekor yang tumpul kreatifitasnya.
Mekipun tidak sesuai dengan tradisi, jati diri dan budaya aslinya pola-pola yang tidak demokratis tersebut terpaksa dituruti karena dioperasikan secara otoriter dan massif. Desa tiada pilihan lain selain  limbung, linglung dan lunglai tak berdaya ibarat petani yang kedalaman air telah sampai pada lehernya.
Sebagaimana di era penjajahan atau kerajaan yang sangat absolut, demi sekedar mempertahankan hidup mereka (masyarakat) pasrah menerima. Daripada hidup sia-sia diterkam rezim otoriter, mendingan dinikmati saja,  yakni menikmati yang salah dengan munafik.
Demikianlah pranata sosil-politik dan ekonomi yang berlangsung pada era Orde baru, yang direvisi Orde Reformasi dengan konsep demokratisasinya. Reformasi yang digerakkan para mahasiswa dan klangan intelektual bertekad mengembalikan kehidupan kepada daulat rakyat.
Dimulai dengan pembrangusan otoritarianisme Soeharto, amandemen UUD 1945, hingga (khususnya) ditetapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Semua ini diharapkan  agar kesejahteraan masyarakat cepat terealisir. Dengan otonomi percepatan tujuan negara diharapkan akan terealisir.   
Konsekwensinya kehidupan politik, khususnya politik pembangunan tidak lagi dimonopoli Jakarta. Daerah , yakni kabupaten dan kota diberi keleluasaan mengelola sumbersumber dayanya sejauh itu sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945.

Kesempatan bagi rakyat      
Sungguh suatu terobosan yang revolusioner. Di negara-negara maju sekalipun otonomi lazimnya diberi hanya kepada tingkat 1 (provinsi/perfektur). Kalau di AS diberikan kepada negara-negara bagian (federal), di Jepang kepada apa yang disebut dengan ferfektur  
Apakah karena terlalu maju, salah konsep atau ada determinant lain ternyata jauh harapan dari kenyataan. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kesejahteraan yang dinantikan sejak lama tak kunjung-kunjung tiba, ibarat panggang jauh dari api.
Pemerintahan otonomi tidak cakap, tidak profesional dan tidak melayani sebagaimana tujuan semula. Meminjam Max Weber legal tapi tidak rasional atau struktural tapi tidak fungsional. Lembaganya keren tapi perilakunya primitif alias kampungan. Bagaimana tidak? Mayoritas kepala daerahnya masuk KPK karena kasus-kasus tak terpuji.
Masyarakat sebagaimana era-era sebelumnya kembali gigit jari. Sambil merenung dan memegang dagunya, masyarakat bersenandung mengikuti lagunya Iwan Fals “bongkar”. Bongkar kemunafikan, bongkar politik dinasti, dan terutama bongkar KKN. Senandungnya rupanya direspons para dewa.
Pada tahun 2014 lahirlah UU No 6 tahun 2014 tentang desa plus  petunjuk pelaksanannya dalam PP No 43 tahun 2014. Desa diberi otonomi mengelola dana Rp 1 Milyar pertahun.
Selain sudah ada sebelumnya program-program dari pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, desa diberi kesempatan mewujudkan keinginan-keinginannya yang luput dari program-program yang berlangsung selama ini. Suatu kesempatan besar mengoreksi atau menyempurnakan kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan bahkan kefatalan- kefatalan pembangunan yang berlangsung sejak lama. Ini kesempatan bagi rakyat mewujudkan aspirasi, kepentingan dan kedaulatannya.

Metode atau Strateginya
Keinginan-keinginan yang selama ini tidak tercapai, dengan UU Desa yang baru dapat dimanifestasikan dengan leluasa. Bagaimana caranya? Dan apa hambatannya?. Caranya adalah kembali ke khittah, ke tradisi, ke jati diri atau ke budaya aslinya. Pola-pola musyawarah, urun rembug dan sejenisnya yang sudah sejak lama-turun-temurun kembali diaktifkan.
Setiap warga desa tanpa kecuali aktif bermusyawarah/urun rembug membahas, memilih dan memutuskan aspirasi (baca program) yang dibutuhkannya. Perangkat desa, yakni kepala desa, sekretaris desa dan Lembaga Musyawarah Desa memfasilitasi musyawarah supaya berjalan demokratis.
Bisa saja seluruh warga desa diikutkan. Namun cara yang sangat demokratis ini mungkin membutuhkan waktu, tenaga dan persiapan  yang relatif lama. Cara yang paling efisien adalah memilih dari masing-masing warga, tokoh-tokoh masyarakat dan mungkin kalangan LSM yang sudah ada di desa itu.
Biarkan kalangan-kalangan tersebut berembug dengan bebas, transparan dan penuh kebersamaan/egaliter. Perangka desa dan kemungkinan para pakar yang mungkin disertakan mendampingi juga hanya sebagai fasilitator.
Sekali lagi hanya sebagai fasilitator. Jangan direkayasa sebagaimana yang berlangsung selama ini. Musrembang des yang sudah berlangsung,  kenyataannya hanya formalitas. Ide, program dan iinfrastrukturnya sudah dipersiapkan dari atas, namun disuarakan dari bawah.
Cara-cara konyol seperti itu sudah harus diakhiri. Biarkan forum musyawarah yang membahas, menseleksi dan menentukan segalanya. Dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka begitu yargonnya. Inilah republik desa sebagaimana hakiki masyarakat kita sebagai  yang bermukim di akar rumput.
Suatu tugas yang tidak ringan mengingat pola-pola demokratis sudah lama hilang dan dihilangkan. Model-model yang dipraksiskan selama ini selalu “tuntas” alias tuntunan dari atas atau top down. Semuanya serba juknis (petunjuk teknis) dan juklak (petunjuk pelaksanaan) yang akhirnya mematikan kreatifitas/inovasi dari bawah.
Mentalitas yang terbangun sebagaimana konsekwensinya adalah mentalitas yang berketergantungan ke atas, ke kota, dan ke pejabat elitist yang membuat pejabat dibawahnya hanya berfungsi sebagai pelaksana/tukang dan baut. Bisa mengoperasikan tapi tidak bisa mencipta.
Karena mentalitas seperti itu yang dilembagakan, ketika terjadi perubahan (sosial change), yakni paradigmanya dibalik mereka sungguh-sungguh tidak siap. Mereka kagok alias tak tahu apa yang akan diperbuat.
Demikianlah  yang terjadi dengan pemanfaatan dana desa 1 M. Aparatur desa sungguh-sungguh tidak siap. Begitu pula masyarakat sebagai derivasinya juga terpengaruh mental menunggu dari atas, hilang daya cipta dan ogah berpikir panjang. Disinilah titik krusial masalah yakni bagaimana mendorong mereka agar aktif berpartisipasi, yakni aktif memperjuangkan hak dan kebutuhan-kebutuhannya. Fasilitator harus sanggup mendorong proses berat ini.
Fasilitator sebagaimana hakikinya harus sanggup menjadi motivator, dinamisator sekaligus stabilisator. Kaum ini adalah mahluk yang punya pengetahuan yang luas yang sanggup mengikuti pesan Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), ing madyo mangun karso (di tengah mendinamisir) dan tut wuri handayani (di belakang mendorong).
Apabila misalnya urun rembug masih macet, strategi yang lain masih banyak. Salah satunya adalah mengajukan beberapa konsep (pembangunan) dari beberapa kalangan/ahli kepada forum musyawarah. Katakanlah 5 konsep yng berbeda. Masing-masing pembawa konsep mensosialisasikan/menguraikan konsep-konsepnya kepada forum musyawarah.
Selanjutnya peserta musyawarah diminta menilai dan memutuskan mana dari kelima konsep tersebut yang dapat direalisasikan.
Kongkritnya sejuta satu macam strategi dapat ditempuh. Yang penting intinya adalah “dari, oleh dan untuk mereka” (demokrasi). Sedangkan masalah lain yang akan mengikutinya  adalah masalah teknis, seperti bagaimana penyusunan proposal, menghitung proyek, mengajukan permohonan, cara pelaporan, penterjemahan, pengoperasian adalah tugas para pendamping/fasilitator.

Niat atau kemauan politik
Para pendamping/fasilitator bisa saja suatu “Konsultan, LSM, pakar-pakar pedesaan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lain-lain. Mereka adalah kaum yang sudah paham luar dalam masalah-masalah pembangunan pedesaan dan pembangunan pada umumnya  
Mereka juga sudah fasih/menguasai Peraturan, Hukum  UU, PP dan sejenisnya. Begitu pula teori-teori yang dimiliki akan empirik dalam realitanya. Mengapa belum jalan pada hal perangkat ini lebih dari cukup dinegeri ini? Kecenderungannya niat yang belum lahir
Niat, komitmen atau will belum terbangun. Jika nilai-nilai ini sudah terbentuk niscaya tidak ada masalah. Akan tetapi jika sebaliknya (niat itu tidak ada), atau memang sudah terpengaruh penyakit-penyakit sosial sebelum ini, yakni  KKN  maka upaya pengelolaan dana 1M itu akan sirna berkeping-keping. Nasibnya sama saja dengan kepala-kepala daerah tingkat II ketika diberi otonomi, yakni mayoritas tersangkut KKN dan masuk hotel prodeo.
Sebelum mendarat kesana (hotel prodeo) sebaiknya direnungkan dalam-dalam. Pembangunan desa tidak sama dengan pembangunan kabupaten. Pembangunan desa karena berada di akar rumput (grassrooth)  langsung terdeteksi oleh rakyat karena berada dihadapannya. Sedangkan kabupaten tidak karena masih dua tingkat di atasnya, yakni tingkat kecamatan dan Kabupaten/kota.
 Konsekwensinya jika korupsi dilakukan di tingkat desa akan cepat ketahuan. Cepat ketangkap mata telanjang rakyat. Oleh karena itu  kalau mau selamat dan sama –sama beruntung, pola-pola haram jadah itu dihindari. Diganti  dengan mindset dan mainstream baru, yakni sungguh-sungguh mempraktekkan pemerintahan yang  demokratis, yang segera mwujudkan tujuan nasional, yakni masyarakat yang aman, sejahtera dan cerdas sebagaimana pesan alinea ke 4  pembukaan UUD 1945. Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar