MEMBANGUN
MUSYAWARAH DESA
MENGELOLA
DANA 1 M
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS
UNITAS Palembang
Published, Harian Banyuasin, 25 Okt 2015
Banyak yang tak menyadari bahwa saat ini adalah era
yang paling tepat mengimplementasikan kedaulatan rakyat. Saat yang pas untuk
mempraksiskan pesan konstitusi/UUD 1945 dan teori-teori demokrasi yang diajarkan
dilembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
Tidak lagi sebagaimana yang berlangsung selama ini,
nyaris tak ada relevansi antara konstitusi dan sistim politik/pemerintahan,
antara teori dan praktek. Teorinya demokrasi, realita otoriter . Instrumennya partai politik kenyataannya hanya komplotan
politik. Dan lain-lain tatanan yang jauh dari harapan.
Munafik,
tak bertanggung jawab, feodal, percaya tahyul dan watak lemah urai almarhum
Mohtar Lubis akhir 1970-an menggambarkan kultur politik yang berlangsung kala
itu. Kultur yang jauh dari tradisi demokrasi partisifatif yang mensiratkan
kebebasan, kesetaraan dan toleransi.
Betapa tidak? Semua segmen-segmen kehidupan diatur
dari atas, dari elit dan dari Jakarta (top down). Rakyat khususnya yang tinggal
di desa dipaksa harus ikut apa yang sudah
diputuskan dari atas alias dari pemerintah pusat
Mencapai tujuan nasional
Satu-satunya aktor hanyalah pemerintah pusat.
Sedangkan pemerintah dibawahnya, seperti pemprov, pemkab/pemkot menjadi
pilar-pilar pendukung utama memuluskan perintah-perintah
pusat ketingkat akar rumput alias desa.
Desa dengan segalaperangkatnya yang sudah lama
terlembaga tanpa syarat harus menerima dikte-dikte dari atas. Dengan artian lain pemerintahan akar rumput ini hanya sebagai
objek bersama masyarakatnya. Objek yang terus tereksploitasi sehingga hanya
menjadi pengekor yang tumpul kreatifitasnya.
Mekipun tidak sesuai dengan tradisi, jati diri dan
budaya aslinya pola-pola yang tidak demokratis tersebut terpaksa dituruti karena
dioperasikan secara otoriter dan massif. Desa tiada pilihan lain selain limbung, linglung dan lunglai tak berdaya
ibarat petani yang kedalaman air telah sampai pada lehernya.
Sebagaimana di era penjajahan atau kerajaan yang
sangat absolut, demi sekedar mempertahankan hidup mereka (masyarakat) pasrah
menerima. Daripada hidup sia-sia diterkam rezim otoriter, mendingan dinikmati
saja, yakni menikmati yang salah dengan
munafik.
Demikianlah pranata sosil-politik dan ekonomi yang
berlangsung pada era Orde baru, yang direvisi Orde Reformasi dengan konsep
demokratisasinya. Reformasi yang digerakkan para mahasiswa dan klangan
intelektual bertekad mengembalikan kehidupan kepada daulat rakyat.
Dimulai dengan pembrangusan otoritarianisme Soeharto,
amandemen UUD 1945, hingga (khususnya) ditetapkannya otonomi daerah pada tahun
2001. Semua ini diharapkan agar
kesejahteraan masyarakat cepat terealisir. Dengan otonomi percepatan tujuan
negara diharapkan akan terealisir.
Konsekwensinya kehidupan politik, khususnya politik
pembangunan tidak lagi dimonopoli Jakarta. Daerah , yakni kabupaten dan kota diberi
keleluasaan mengelola sumbersumber dayanya sejauh itu sesuai dengan tujuan
nasional sebagaimana termaktub dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945.
Kesempatan bagi rakyat
Sungguh suatu terobosan yang revolusioner. Di
negara-negara maju sekalipun otonomi lazimnya diberi hanya kepada tingkat 1
(provinsi/perfektur). Kalau di AS diberikan kepada negara-negara bagian
(federal), di Jepang kepada apa yang disebut dengan ferfektur
Apakah karena terlalu maju, salah konsep atau ada
determinant lain ternyata jauh harapan dari kenyataan. Maksud hati memeluk
gunung apa daya tangan tak sampai. Kesejahteraan yang dinantikan sejak lama tak
kunjung-kunjung tiba, ibarat panggang jauh dari api.
Pemerintahan otonomi tidak cakap, tidak profesional
dan tidak melayani sebagaimana tujuan semula. Meminjam Max Weber legal tapi
tidak rasional atau struktural tapi tidak fungsional. Lembaganya keren tapi
perilakunya primitif alias kampungan. Bagaimana tidak? Mayoritas kepala
daerahnya masuk KPK karena kasus-kasus tak terpuji.
Masyarakat sebagaimana era-era sebelumnya kembali
gigit jari. Sambil merenung dan memegang dagunya, masyarakat bersenandung
mengikuti lagunya Iwan Fals “bongkar”. Bongkar kemunafikan, bongkar politik
dinasti, dan terutama bongkar KKN. Senandungnya rupanya direspons para dewa.
Pada tahun 2014 lahirlah UU No 6 tahun 2014 tentang
desa plus petunjuk pelaksanannya dalam
PP No 43 tahun 2014. Desa diberi otonomi mengelola dana Rp 1 Milyar pertahun.
Selain sudah ada sebelumnya program-program dari
pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, desa diberi kesempatan mewujudkan
keinginan-keinginannya yang luput dari program-program yang berlangsung selama
ini. Suatu kesempatan besar mengoreksi atau menyempurnakan
kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan bahkan kefatalan- kefatalan
pembangunan yang berlangsung sejak lama. Ini kesempatan bagi rakyat mewujudkan
aspirasi, kepentingan dan kedaulatannya.
Metode atau Strateginya
Keinginan-keinginan yang selama ini tidak tercapai,
dengan UU Desa yang baru dapat dimanifestasikan dengan leluasa. Bagaimana
caranya? Dan apa hambatannya?. Caranya adalah kembali ke khittah, ke tradisi, ke
jati diri atau ke budaya aslinya. Pola-pola musyawarah, urun rembug dan
sejenisnya yang sudah sejak lama-turun-temurun kembali diaktifkan.
Setiap warga desa tanpa kecuali aktif bermusyawarah/urun
rembug membahas, memilih dan memutuskan aspirasi (baca program) yang
dibutuhkannya. Perangkat desa, yakni kepala desa, sekretaris desa dan Lembaga
Musyawarah Desa memfasilitasi musyawarah supaya berjalan demokratis.
Bisa saja seluruh warga desa diikutkan. Namun cara
yang sangat demokratis ini mungkin membutuhkan waktu, tenaga dan persiapan yang relatif lama. Cara yang paling efisien
adalah memilih dari masing-masing warga, tokoh-tokoh masyarakat dan mungkin
kalangan LSM yang sudah ada di desa itu.
Biarkan kalangan-kalangan tersebut berembug dengan
bebas, transparan dan penuh kebersamaan/egaliter. Perangka desa dan kemungkinan
para pakar yang mungkin disertakan mendampingi juga hanya sebagai fasilitator.
Sekali lagi hanya sebagai fasilitator. Jangan
direkayasa sebagaimana yang berlangsung selama ini. Musrembang des yang sudah
berlangsung, kenyataannya hanya
formalitas. Ide, program dan iinfrastrukturnya sudah dipersiapkan dari atas,
namun disuarakan dari bawah.
Cara-cara konyol seperti itu sudah harus diakhiri. Biarkan
forum musyawarah yang membahas, menseleksi dan menentukan segalanya. Dari
mereka, oleh mereka dan untuk mereka begitu yargonnya. Inilah republik desa
sebagaimana hakiki masyarakat kita sebagai
yang bermukim di akar rumput.
Suatu tugas yang tidak ringan mengingat pola-pola
demokratis sudah lama hilang dan dihilangkan. Model-model yang dipraksiskan
selama ini selalu “tuntas” alias tuntunan dari atas atau top down. Semuanya
serba juknis (petunjuk teknis) dan juklak (petunjuk pelaksanaan) yang akhirnya mematikan
kreatifitas/inovasi dari bawah.
Mentalitas yang terbangun sebagaimana konsekwensinya adalah
mentalitas yang berketergantungan ke atas, ke kota, dan ke pejabat elitist yang
membuat pejabat dibawahnya hanya berfungsi sebagai pelaksana/tukang dan baut.
Bisa mengoperasikan tapi tidak bisa mencipta.
Karena mentalitas seperti itu yang dilembagakan, ketika
terjadi perubahan (sosial change), yakni paradigmanya dibalik mereka
sungguh-sungguh tidak siap. Mereka kagok alias tak tahu apa yang akan
diperbuat.
Demikianlah yang terjadi dengan pemanfaatan dana desa 1 M.
Aparatur desa sungguh-sungguh tidak siap. Begitu pula masyarakat sebagai
derivasinya juga terpengaruh mental menunggu dari atas, hilang daya cipta dan
ogah berpikir panjang. Disinilah titik krusial masalah yakni bagaimana
mendorong mereka agar aktif berpartisipasi, yakni aktif memperjuangkan hak dan
kebutuhan-kebutuhannya. Fasilitator harus sanggup mendorong proses berat ini.
Fasilitator sebagaimana hakikinya harus sanggup
menjadi motivator, dinamisator sekaligus stabilisator. Kaum ini adalah mahluk
yang punya pengetahuan yang luas yang sanggup mengikuti pesan Ki Hajar
Dewantara, ing ngarso sung tulodho (di depan memberi contoh), ing madyo mangun
karso (di tengah mendinamisir) dan tut wuri handayani (di belakang mendorong).
Apabila misalnya urun rembug masih macet, strategi
yang lain masih banyak. Salah satunya adalah mengajukan beberapa konsep
(pembangunan) dari beberapa kalangan/ahli kepada forum musyawarah. Katakanlah 5
konsep yng berbeda. Masing-masing pembawa konsep mensosialisasikan/menguraikan
konsep-konsepnya kepada forum musyawarah.
Selanjutnya peserta musyawarah diminta menilai dan
memutuskan mana dari kelima konsep tersebut yang dapat direalisasikan.
Kongkritnya sejuta satu macam strategi dapat ditempuh.
Yang penting intinya adalah “dari, oleh dan untuk mereka” (demokrasi).
Sedangkan masalah lain yang akan mengikutinya adalah masalah teknis, seperti bagaimana penyusunan
proposal, menghitung proyek, mengajukan permohonan, cara pelaporan,
penterjemahan, pengoperasian adalah tugas para pendamping/fasilitator.
Niat atau kemauan politik
Para pendamping/fasilitator bisa saja suatu “Konsultan,
LSM, pakar-pakar pedesaan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan lain-lain.
Mereka adalah kaum yang sudah paham luar dalam masalah-masalah pembangunan
pedesaan dan pembangunan pada umumnya
Mereka juga sudah fasih/menguasai Peraturan, Hukum UU, PP dan sejenisnya. Begitu pula teori-teori
yang dimiliki akan empirik dalam realitanya. Mengapa belum jalan pada hal
perangkat ini lebih dari cukup dinegeri ini? Kecenderungannya niat yang belum
lahir
Niat, komitmen atau will belum terbangun. Jika
nilai-nilai ini sudah terbentuk niscaya tidak ada masalah. Akan tetapi jika sebaliknya
(niat itu tidak ada), atau memang sudah terpengaruh penyakit-penyakit sosial
sebelum ini, yakni KKN maka upaya pengelolaan dana 1M itu akan sirna
berkeping-keping. Nasibnya sama saja dengan kepala-kepala daerah tingkat II
ketika diberi otonomi, yakni mayoritas tersangkut KKN dan masuk hotel prodeo.
Sebelum mendarat kesana (hotel prodeo) sebaiknya
direnungkan dalam-dalam. Pembangunan desa tidak sama dengan pembangunan
kabupaten. Pembangunan desa karena berada di akar rumput (grassrooth) langsung terdeteksi oleh rakyat karena berada
dihadapannya. Sedangkan kabupaten tidak karena masih dua tingkat di atasnya,
yakni tingkat kecamatan dan Kabupaten/kota.
Konsekwensinya jika
korupsi dilakukan di tingkat desa akan cepat ketahuan. Cepat ketangkap mata
telanjang rakyat. Oleh karena itu kalau
mau selamat dan sama –sama beruntung, pola-pola haram jadah itu dihindari.
Diganti dengan mindset dan mainstream
baru, yakni sungguh-sungguh mempraktekkan pemerintahan yang demokratis, yang segera mwujudkan tujuan
nasional, yakni masyarakat yang aman, sejahtera dan cerdas sebagaimana pesan alinea
ke 4 pembukaan UUD 1945. Merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar