Senin, 10 April 2017

DPD; DEWAN PERWAKILAN DIRINYA (rev)




Oleh : Reinhard Hutapea
Published, 10 April 2017, Jurnal Asia.
Cat: Judul ini sudah pernah di muat di media lain/pilkita.com, namun telah direvisi/disesuaikan dengan perkembangan

Jurnal Asia 4 April 2017 menulis head line yang fantastik, yakni “Ricuh Rapat DPD ala Smack Down; Dibanting hingga jatuh dari podium”. Rapat yang seharusnya lebih mengedepankan  akal sehat, berubah menjadi  anarkhis-vandalis, karena melesatkan adu otot, atau  perkelahian fisik sesama anggota. Sungguh memalukan.
Kejadian yang bibitnya sesungguhnya telah terjadi setahun yang lalu (11 April 2016). Pada waktu itu seorang anggota yang tidak setuju dengan pimpinan sidang, dengan beringas maju ke depan, namun dihentikan oleh teman-temannya sehingga tidak sempat mencuat smack down.
Mau smack down atau bukan yang pasti inti persoalan tetap sama, yakni masa jabatan Ketua DPD. Sebagian (60 orang) menginginkan agar masa jabatan ketua dibatasi hanya 2,5 tahun. Yang lain  sebaliknya tetap bertahan pada aturan yang baku (UU MD3 Tahun 2014), yakni  lima tahun. Tak pelak lagi kedua pihak terjerembab kepada anarkhisme, yakni masing-masing menganggap diri dan argumentasinya paling benar.
Demikianlah sentral konflik DPD yang meruncing karena sebagian anggotanya sudah ngebet memilih ketua baru pada tanggal 3 April, sementara Mahkamah Agung (MA) telah membatalkannya pada tanggal 30 Maret 2017. Lalu  apa yang mereka kejar ditengah lembaganya yang disfungsional ? Hanya sekedar memperebutkan ketua?
 Yang pasti sejak kelahirannya (melalui amandemen UUD 1945) tahun 2002 hingga hari ini  posisinya tidak jelas. Lembaga legislatif, namun  tidak dapat mengeksekusi Undang-Undang  (Almond, 1995), legal tapi irrasional ( Max Weber),  atau meminjam ilmu gaib “ada tapi tiada”. Mungkin  itulah realitanya sejak  naik pentas/ikut pemilu tahun 2004.

Lembaga Disfungsional
Hingga detik ini, meski sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa mereka ikut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (putusan No 79/PUU-XII/2014 dan No92/PUU-X/2012), kenyataannya belum pernah dijalankan. Pembuatan UU masih tetap monopoli saudaranya tuanya, yakni DPR. DPR bersama Pemerintah/Kabinet masih tetap penentu pembentukan keputusan-keputusan politik melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas konstitusionalnya yang diamanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan saran. Tidak ikut mengeksekusi.
Pada   sidang pembukaan pembahasan Undang-Undang (UU), termasuk pada fungsi pokoknya, yakni pembahasan masalah-masalah otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya hanya sekedar memberikan pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya, seperti sidang panja, pansus dan sejenisnya sampai pada pengambilan keputusan (eksekusi) DPD tidak diberikan peran  (meski  keputusan MK, sudah mengijinkan).
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan (power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dahulu,  hanya memberi pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan. Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
            Bedanya dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah kalau DPA, merupakan  lembaga tersendiri, DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama dihuni  agar rumahnya yang bernama MPR menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan “bicameral”, sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang diterapkan pada era Orde Baru.
Empiriknya  hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan kosong melompong. Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang dikunci rapat-rapat meski ada penghuninya.  Mengapa  seperti itu ?, Apakah kamar tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ?  tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang disengaja atau hukum karma dari  amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang seharusnya menjadi penguat dan penyeimbang DPR perannya direduksi sedemikian rupa sehinga kekuatannya menjadi marginal atau impoten
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada kiprahnya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab sebagaimana dikatakan sebelumnya tidak turut dalam pembahasan (meski sudah diizinkan MK) hingga eksekusi Undang-Undang, sementara hak, seperti gaji dan fasilitas lainnya sama dengan anggota DPR .
Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi lain yang menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah lebih baik digunakan kepada yang lebih membutuhkan?, tidakkah untuk sementara hentikan saja pendapatannya mengingat keuangan negara yang sangat kritis?, mengapa biaya-biaya operasional di tempat lain, seperti biaya perjalanan dinas, uang rapat, dan anggaran gedung lain dipotong, tapi pendapatan DPD yang terang-terangan tak fungsional dilembagakan terus ?

Dewan Perwakilan Dirinya
Pertanyaan pertanyaan peka demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti dan kasat mata adalah bahwa DPD disfungsional. Sudah tiga periode (2004, 2009, dan 2014) berjalan tanpa fungsi sebagaimana layaknya suatu parlemen dua kamar (bicameral). Meski sudah penuh dengan kritik bahkan hujatan, entah mengapa kekeliruan ini terus dilestarikan. Lalu untuk apa lagi DPD merubah struktur kepemimpinannya dari lima tahun menjadi 2,5 tahun?. Jawabannya jelas, yakni hanya demi kepentingan elit-elitnya. Oleh karena itu lembaganya rubah saja namanya menjadi “Dewan Perwakilan dirinya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar