Jumat, 07 April 2017

NASIONALISME TRUMP; DARI GLOBALIS KE REALIS




NASIONALISME TRUMP; DARI GLOBALIS KE REALIS
Oleh : Reinhard Hutapea
Publisched : Waspada, 7 April 2017
Ketika Trump tampil sebagai calon Republik, banyak kalangan yang gusar, pesimis, dan mengolok-oloknya. Betapa tidak, penampilannya yang nyentrik, plus program-programnya yang melawan arus, tidak lazim bagi negeri yang selama ini dianggap sebagai super power, mascot demokrasi, dan atau khususnya kampiun pasar bebas.
Oleh karena itu  tidak ada yang menyangka Trump akan unggul dalam pemilu AS. Dimana-mana tempat pengumpul pendapat  (polling) selalu mengunggulkan Hillary Clinton. Apalagi dalam setiap debat di layar kaca Hillary selalu tampil lebih meyakinkan sehingga public opinion selalu berpihak padanya.
Namun apapun yang mau dikatakan, kenyataan berkata lain. Masyarakat AS memilih tokoh yang dituding kontroversial. Tokoh yang dianggap merusak tatanan (order) dunia, tapi tidak untuk negerinya. Trump dengan cerdik telah mengartikulasikan aspirasi rakyatnya, meski  bertolak belakang dengan sistem yang berjalan selama ini.
Dalam teori pemerintahan yang berkedaulatan rakyat inilah demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi yang dalam empiriknya ternyata membuat berbagai kalangan, negara bingung, gamang, marak polemik, hingga cemoohan karena kebijakan yang berubah, bias/melawan arus global.

Keterpurukan Ekonomi
Trump memang fenomenal dan radikal. Tidak saja berbeda dengan lawan politiknya dari Demokrat yang sangat mengangungkan HAM, Demokrasi dan Globalisasi, namun juga dari partainya sendiri, Republik, yang mengagungkan persekutuan internasional dan pasar bebas.
Bak meteor yang terjun dari langit, Trump mendobrak  tradisi turun-temurun tersebut. Beliau merubah postur negaranya 180 derajad,  yakni dari/sebagai kampiun penjaga keamanan mondial, pewarna kebudayaan dunia, dan pendorong perdagangan bebas, ke arah yang lebih realis-nasionalistik.  
Baginya posisi  agung sebagai pemimpin dunia, sudah tidak trend/model, sudah afkir alias  tidak dibutuhkan lagi, karena telah merugikan ekonomi-politik Amerika secara significan. Hal ini dapat kita baca dari kata-katanya sendiri...”semua kerjasama politik, militer, dan ekonomi internasional memperlemah Amerika, dan dengan itu menciutkan Lebensraum di dalam Amerika itu sendiri, karena Lebensraum yang terlalu terbuka akan menekan Amerika sendiri: lapangan kerja yang hilang, neraca perdagangan yang merugikan, kerjasama internasional yang lebih menjadi beban” urainya bersemangat (Dhakidae, D, K, 6/3/17)
Dengan kata lain kebijakan mercu suar  yang pada awalnya menguntungkan negerinya, namun dalam perjalanannya menjadi beban berat bagi ekonomi-politiknya. Beban  yang tampil sebagai konsekwensi logis dari kepemimpinnnya pasca perang dunia ke II untuk,   membendung Komunisme (Containment policy), menjaga keamanan dunia (World security) dan membangun pasar bebas (Free market).
 Betapa besar biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan militer, pembendungan ideologi kiri, dan khususnya pemeliharaan fakta-fakta pertahanan membuat perekonomian lokalnya semakin lama semakin terpuruk Begitu pula untuk membangun Rezim-Rezim Ekonomi Internasional yang dikomandoinya (IMF, Bank Dunia, WTO) untuk  kelangsungan liberalisasi perdagangan sudah pasti membebani perekonomiannya.
Disisi lain, negara-negara yang berada dalam orbit atau payung perlindungannya pasca perang dunia II, seperti Jepang, Jerman/Eropa Barat pada umumnya, Korea Selatan, Hongkong, Singapura, Arab Saudi, Canada, Meksiko dan lain-lain  semakin lama semakin makmur dan sejahtera, yang pada akhirnya mengancam balik perekonomian AS sendiri.
 Dengan memanfaatkan payung nuklir AS, sekutu-sekutunya membangun perekonomiannya melesat karena, selain tidak mengeluarkan biaya untuk pertahanannya, juga terlindungi dalam persaingan perdagangan Internasional. Sebaliknya dengan AS yang menanggung beban tersebut, lama kelamaan menjadi bangkrut karena pembiayaan yang terus-menerus membengkak.
Kehidupan ekonominya  nyungsep hingga ke tapal batas yang sukar ditoleransi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dari angka-angka tiga indikator ekonomi yang di tulis Anton Hendranata (K, 8/3/17)). Pertama, sudah 40 tahun perekonomian AS terperangkap dalam defisit perdagangan barang. Defisit ini meningkat drastis nyaris 14 kali lipat dalam kurun waktu 1971-1977, dari $ 2,3 milyar menjadi $ 31 milyar. Tidak cukup disitu defisit ini terus menggelembung hingga $ 763 milyar pada tahun 2015.
Kedua, pertumbuhan ekonomi AS terlihat jalan ditempat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah krisis ekonomi global 2008. Pertumbuhannya hanya antara 1,5 – 2,5 persen sejak tahun 2010, sementara yang diharapkan adalah antara 3,5 – 4,5 persen. Ketiga, sebagai implikasinya sebagaimana sering diutarkan Trump membuat banyak rakyat  yang menganggur.
Disisi lain kaum pendatang (immigran) yang beremigrasi ke negeri adikuasa tersebut semakin hari semakin makmur, karena ketrampilannya yang ternyata lebih berkualitas dari pekerja AS sendiri. Sungguh tragis...dalam bahasa Trump negerinya disebut sebagai dan sedang meluncur ke neraka, dan tidak ada orang, pihak dan negeri lain yang memikirkannya selain dia (ibid Dhakidae). Mau dipertahankan ke konyolan ini?

Dari Globalis ke realis
Tidak urai Trump dengan tegas. Stop semua itu. Kini saatnya membalikkan keadaan, yakni menempatkan kepentingan AS di atas segala-galanya, American first. Persetan dengan dunia internasional, pemimpin dunia, dan motor pasar bebas. Amerika untuk Amerika begitulah mottonya. Membeli produk Amerika dan mempekerjakan bangsa Amerika (Buy American and hire American) yang selama ini terabaikan sudah harus ditempuh dan tak bisa lagi ditunda-tunda. Bagaimana caranya? Balikkan keadaan.
Sebagaimana di deskripsikan William Liddle (K, 16/2/17)  strategi pembalikan demikian menmpuh tiga metode, yakni pertama, menolak perdagangan bebas. Trump beranggapan bahwa pasar bebas telah menimbulkan ketidak adilan bagi masyarakat Amerika, karena hanya 15% yang dimiliki buruh, selebihnya (85%) dikuasai perusahaan-perusahaan besar.
Kedua, menolak persekutuan Internasional. Trump menganggap organisasi-organisasi Internasional yang eksist saat ini sudah tidak lagi relevan. Organisasi ini terutama adalah NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang dalam bahasa Trump dianggap sudah usang. Begitu pula organisasi-organisasi perdagangan , seperti NAFTA, APEC, dan pendahulunya IMF, WB, dan WTO.
Ketiga, nah ini yang paling fenomenal yakni menolak imigrasi non kulit putih. Trump berpendapat bahwa immigran-immigran yang datang dan bekerja di AS telah membuat masyarakatnya resah dan terpinggirkan. Sebagaimana disebut di atas mayoritas pekerja yang makmur dan sejahtera disana adalah kaum pendatang bukan pribumi.
Terang sudah, Trump telah beraksi. Ia telah menanggalkan peran lama negaranya sebagai globalis menjadi lebih realis-nasionalis. Peran yang seharusnya di disimak Indonesia demi pembangunan wawasan kebangsaan/nasionalismenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar