EKONOMI POLITIK, DEVISA, DAN KABINET
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf Centre for Nasionalism Studies & Staf
pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Suara
Pembaruan, 22 Agustus 2000
Ketika
Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan umum yang relatif jujur dan adil
hingga terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, banyak kalangan merasa optimis
dan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di
dunia. Hal ini mungkin bukan predikat yang berlebihan, sebab
prasyarat-prasyarat untuk untuk itu secara teoritis dan empiris sudah teruji,
seperti adanya kompetisi yang bebas antara kekuatan-kekuatan politik,
partisipasi masyarakat yang besar dan pemilihn umum. Tidak cukup di situ,
optimisme ini semakin antusias ketika kebebasan-kebebasan politik bertiup
dengan kencang.
Perjalanan
demokrasi menjadi tersandung ketika kehidupan ekonomi masyarakat tidak kunjung
pulih dari krisis, yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 dan
kecenderungannya belum dapat di sentuh oleh kemajuan politik yang relatif lebih
demokratis.
Demokrasi
kembali mendapat ujian berat. Pada negara-negara yang telah dewasa,
melaksanakan demokrasi, dan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah prasyarat
yang tidak dapat di tawar-tawar. Demokrasi tidak mungkin terwujud, kalau
masyarakatnya masih melarat dan penuh dengan ketimpangan-ketimpangan ekonomi.
Atas dasar inilah barangkali pendekar ilmu politik, Samuel Huntington
menyatakan bahwa prasyarat utama demokrasi adalah kesetaraan dan kesejahteraan
ekonomi
Ketergantungan.
Melihat
pola-pola pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Gus Dur dan
Megawati, kelihatannya memang belum beranjak dari tatanan sistem lama. Konteks
ini dapat dibuktikan dari ketergantungan kita kepada rezim internasional,
seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Persyaratan-persyaratan yang diciptakan oleh
rezim internasional ini begitu mengikat dari tingkat otoritas tertinggi hingga
tingkat terendah sehingga tidak membutuhkan lagi peran serta insan-insan
Indonesia baik itu eksekutif maupun legislatif.
Suatu
ironi bahwa model pembangunan Indonesia belum mengubah paradigmanya. Sudah
terbukti gagal, masih diteruskan. Pengalaman negara-negara lain, seperti
Meksiko sesungguhnya menjadi pelajaran yang berharga, sebab negara ini yang
100% mengikuti saran IMF, ternyata tetap gagal mereformasi ekonominya. Meksiko
akhirnya kembali terjerembab ke dalam krisis yang jauh lebih dahsyat.
Apa,
kenapa, dan mengapa Indonesia masih terus menggantungkan dirinya kepada rezim
internasional? Jawabannya mungkin tidak terlalu sulit, yaitu agar Indonesia
dapat memperoleh utang luar negeri. Negeri ini masih yakin dengan utang sebagai
“pahala” dan sumber utama pembangunan, pada hal jumlahnya sudah pada titik
bahaya. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang US $ 150 miliar dapat diibaratkan
dengan seorang pendaki gunung yang membawa
beban di pundaknya satu barel air. Atau, dalam perhitungan rupiah, setiap bayi
Indonesia yang lahir langsung punya utang sebesar tiga juta rupiah. Suatu beban
yang sangat berat.
Dari
penelitian yang seksama, utang luar negeri ini konon tidak semata-mata
kesalahan Indonesia, melainkan juga oleh korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat
Bank Dunia, yang menurut perhitungan Jeffrey Winters sekitar 33%, namun
Indonesia yang tetap menanggung resikonya. Apakah pola demikian masih terus
dilakukan?
Perubahan
Paradigma
Pembangunan
ekonomi dengan titik sentral pada pertumbuhan ekonomi yang di tempuh rezim Orde
Baru yang kecenderungannya masih diteruskan pemerintahan Gus Dur dan Megawati,
sesungguhnya adalah apa yang di sebut dengan istilah the catching up fallacy alias mengejar upaya yang palsu. Dikatakan
demikian karena ukuran yang digunakan adalah angka pertumbuhan ekonomi dan
sekian ukuran-ukuran lain yang kuantitatif. Dalam pertumbuhan ekonomi misalnya
angka yang diklasifikasikan berhasil adalah 5%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 5% tidak akan pernah sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat, Jepang, dan Eropa dengan angka yang sama (5%). Disinilah letak
kepalsuannya.
Model
pembangunan dengan focus pertumbuhan ekonomi demikian dicanangkan PBB medio
tahun 1960-an. PBB saat itu menetapkan bahwa tingkat keberhasilan pembangunan
suatu negara, apabila berhasil mencapai angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5%
pertahun. Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, pendapat demikian adalah hasil
pemikiran W.W.Rostow, seorang economic historian Amerika Serikat yang
terkenal dengan teori “pentahapannya” (the stages theory). Rostow melihat
perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap seperti masyarakat tradisionil,
pratinggal landas, tinggal landas, hingga masyarakat konsumsi tingkat tinggi.
Indonesia
di era Soeharto, meskipun tidak persis sama, mengadopsi model pembangunan
ekonomi yang diteorikan Rostow. Konstatasi ini dapat dibuktikan dengan adanya
pelita-pelita, yang pada pelita ke enam (tahun 1966) diharapkan Indonesia telah
tinggal landas (take off), yaitu
telah mandiri dalam melaksanakan pembangunannya. Namun apa kata, ibarat pesawat
yang akan tinggal landas karena keberatan beban dan landasan yang rapuh, malah
terlindas dan dilindas ke jurang yang cukup dalam. Pesawat itu hingga saat ini
masih ngendon di jurang tersebut dan belum tahu kapan dapat di angkat kembali.
Indonesia belum di angkat ke landasan yang sesungguhnya, membuat kehidupan
masyarakat semakin penuh dengan ketidak pastian.
Kemelaratan
menjamur dimana-mana, yang akhirnya bermuara kepada keputusasaan. Kemerdekaan
dan pembangunan yang diharapkan membawa Indonesia ke “jembatan emas” semakin
jauh dari kenyataan.
Kenyataan
Indonesia saat ini adalah keterpurukan. Mengapa keadaan itu dapat terjadi?
Sudah waktunya kita renungkan bersama. Hipotesisnya mungkin adalah bahwa
tatanan pembangunan yang dioperasikan untuk mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak tepat.
Pola demikian sudah waktunya diubah, yakni sistem pembangunan yang mengutamakan
eksistensi dan jati diri bangsa kita sendiri.
Alternatif
kehutanan
Pembangunan
yang sesuai dengan Indonesia adalah pembangunan yang berasal dari, oleh, dan
untuk bangsanya sendiri. Tidak meniru-niru atau mengadopsi begitu saja model
yang dilakukan atau diciptakan bangsa lain. Sistem pembangunan yang berhasil di
negara lain belum tentu dapat diterapkan di Indonesia, sebab sistem sosial dan
kebudayaan masing-masing negara berbeda. Di awal kemerdekaan, Soekarno telah
memberikan jawaban final, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam
ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Konsep yang populer dengan
istilah “Trisakti” ini sempat berkibar, namun tidak berapa lama kemudian tidak
di pakai lagi karena Soekarno keburu dijatuhkan pada tahun 1965.
Salah
satu argumen mengapa Soekarno dijatuhkan adalah kegagalannya membangun
perekonomian. Keadaan ekonomi di akhir kekuasaannya terpuruk begitu dalam yang
dimanifestasikan dengan tingkat inflasi sebesar 650%. Pengalaman pahit ini
rupanya menjadi pelajaran bagi rezim Orde Baru. Agar tidak terulang kesalahan
yang sama, rezim Orde Baru mengambil kebijakan yang berbalikan dengan kebijakan
rezim sebelumnya, yakni menetapkan ekonomi menjadi panglima. Jargonnya yang
terkenal adalah ekonomi yes, politik no.
Dalam
perjalanan dan realitanya kebijakan inipun ternyata mengalami nasib yang sama.
Keadaan ekonomi di era Soekarno, khususnya di era Soeharto tetap tidak dapat di
angkat ke arah yang lebih baik.
Konstatasi
demikian sudah waktunya diselesaikan. Kekeliruan-kekeliruan yang pernah terjadi
agar tidak terulang kembali. Salah satu kekeliruan ini adalah kita mencoba
menggantungkan diri kepada utang dan bantuan luar negeri, terlalu berharap akan
hasil industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam, sehingga identitas dan
jati diri Indonesia nyaris hilang. Agar identitas dan jati diri ini tidak
hilang, salah satu dimensi yang segera dibenahi adalah perbaikan ekonomi,
khususnya bagaimana dengan cepat dapat mendatangkan devisa.
Devisa
ini menurut beberapa tulisan dari pakar kehutanan, Ir Titus Sarijanto MSc di
suara pembaruan, dapat mengoptimalkan hasil kehutanan. Hutan, secara khusus
pertanian dan perkebunan secara umum adalah comparative advantage (andalan)
Indonesia terhadap negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang dan
Eropa yang unggul dalam industri dan teknologi.
Komunitas
ini sebagaimana faktanya adalah khas negara tropis sebagai fotosintesis dari
bahan baku air, udara, tanah, dan sinar matahari yangsemuanya tersedia dengan
cukup di Indonesia.
Dengan
perhitungan yang seksama dalam tulisannya itu, Titus Sarijanto sampai pada
kesimpulan bahwa apabila hutan dikelola dengan maksimal akan menghasilkan
devisa yang sama jumlahnya dengan utang yang akan dicairkan dari IMF, bisa
menampung tenaga kerja yang cukup besar, yakni sekitar 6 juta orang, ramah
lingkungan, tidak akan menimbulkan gejolak sosial khususnya dengan masyarakat
sekitar hutan, meningkatkan kesejahteraan. Dan di atas itu semua, akan
mengundang investor internasional menanamkan modalnya di Indonesia. Suatu
terobosan yang cukup rasional.
Terobosan
yang sangat inovatif ini hendaknya di dengar oleh para pengambil keputsan,
khususnya presiden yang sedang sibuk menentukan personalia kabinet. Presiden
hendaknya tetap bijaksana, tidak terjebak makro-politik dan makro ekonomi
semata, sebab kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah mendatangkan
devisa secepat mungkin, dengan tetap memelihara identitas jati diri dan
kedaulatan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar