Rabu, 19 April 2017

EKONOMI POLITIK, DEVISA, DAN KABINET





EKONOMI POLITIK, DEVISA, DAN KABINET
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf Centre for Nasionalism Studies & Staf pengajar FISIP UNTAG Jakarta
Published, Suara Pembaruan, 22 Agustus 2000

Ketika Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan umum yang relatif jujur dan adil hingga terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden, banyak kalangan merasa optimis dan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Hal ini mungkin bukan predikat yang berlebihan, sebab prasyarat-prasyarat untuk untuk itu secara teoritis dan empiris sudah teruji, seperti adanya kompetisi yang bebas antara kekuatan-kekuatan politik, partisipasi masyarakat yang besar dan pemilihn umum. Tidak cukup di situ, optimisme ini semakin antusias ketika kebebasan-kebebasan politik bertiup dengan kencang.
Perjalanan demokrasi menjadi tersandung ketika kehidupan ekonomi masyarakat tidak kunjung pulih dari krisis, yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 dan kecenderungannya belum dapat di sentuh oleh kemajuan politik yang relatif lebih demokratis.
Demokrasi kembali mendapat ujian berat. Pada negara-negara yang telah dewasa, melaksanakan demokrasi, dan keberhasilan pembangunan ekonomi adalah prasyarat yang tidak dapat di tawar-tawar. Demokrasi tidak mungkin terwujud, kalau masyarakatnya masih melarat dan penuh dengan ketimpangan-ketimpangan ekonomi. Atas dasar inilah barangkali pendekar ilmu politik, Samuel Huntington menyatakan bahwa prasyarat utama demokrasi adalah kesetaraan dan kesejahteraan ekonomi

Ketergantungan.
Melihat pola-pola pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan Gus Dur dan Megawati, kelihatannya memang belum beranjak dari tatanan sistem lama. Konteks ini dapat dibuktikan dari ketergantungan kita kepada rezim internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Persyaratan-persyaratan yang diciptakan oleh rezim internasional ini begitu mengikat dari tingkat otoritas tertinggi hingga tingkat terendah sehingga tidak membutuhkan lagi peran serta insan-insan Indonesia baik itu eksekutif maupun legislatif.
Suatu ironi bahwa model pembangunan Indonesia belum mengubah paradigmanya. Sudah terbukti gagal, masih diteruskan. Pengalaman negara-negara lain, seperti Meksiko sesungguhnya menjadi pelajaran yang berharga, sebab negara ini yang 100% mengikuti saran IMF, ternyata tetap gagal mereformasi ekonominya. Meksiko akhirnya kembali terjerembab ke dalam krisis yang jauh lebih dahsyat.
Apa, kenapa, dan mengapa Indonesia masih terus menggantungkan dirinya kepada rezim internasional? Jawabannya mungkin tidak terlalu sulit, yaitu agar Indonesia dapat memperoleh utang luar negeri. Negeri ini masih yakin dengan utang sebagai “pahala” dan sumber utama pembangunan, pada hal jumlahnya sudah pada titik bahaya. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang US $ 150 miliar dapat diibaratkan dengan seorang pendaki gunung yang  membawa beban di pundaknya satu barel air. Atau, dalam perhitungan rupiah, setiap bayi Indonesia yang lahir langsung punya utang sebesar tiga juta rupiah. Suatu beban yang sangat berat.
Dari penelitian yang seksama, utang luar negeri ini konon tidak semata-mata kesalahan Indonesia, melainkan juga oleh korupsi yang dilakukan pejabat-pejabat Bank Dunia, yang menurut perhitungan Jeffrey Winters sekitar 33%, namun Indonesia yang tetap menanggung resikonya. Apakah pola demikian masih terus dilakukan?

Perubahan Paradigma
Pembangunan ekonomi dengan titik sentral pada pertumbuhan ekonomi yang di tempuh rezim Orde Baru yang kecenderungannya masih diteruskan pemerintahan Gus Dur dan Megawati, sesungguhnya adalah apa yang di sebut dengan istilah the catching up fallacy alias mengejar upaya yang palsu. Dikatakan demikian karena ukuran yang digunakan adalah angka pertumbuhan ekonomi dan sekian ukuran-ukuran lain yang kuantitatif. Dalam pertumbuhan ekonomi misalnya angka yang diklasifikasikan berhasil adalah 5%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% tidak akan pernah sebanding dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa dengan angka yang sama (5%). Disinilah letak kepalsuannya.
Model pembangunan dengan focus pertumbuhan ekonomi demikian dicanangkan PBB medio tahun 1960-an. PBB saat itu menetapkan bahwa tingkat keberhasilan pembangunan suatu negara, apabila berhasil mencapai angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5% pertahun. Meskipun tidak dikatakan dengan jelas, pendapat demikian adalah hasil pemikiran W.W.Rostow, seorang economic historian Amerika Serikat yang terkenal dengan teori “pentahapannya” (the stages theory). Rostow melihat perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap seperti masyarakat tradisionil, pratinggal landas, tinggal landas, hingga masyarakat konsumsi tingkat tinggi.
Indonesia di era Soeharto, meskipun tidak persis sama, mengadopsi model pembangunan ekonomi yang diteorikan Rostow. Konstatasi ini dapat dibuktikan dengan adanya pelita-pelita, yang pada pelita ke enam (tahun 1966) diharapkan Indonesia telah tinggal landas (take off), yaitu telah mandiri dalam melaksanakan pembangunannya. Namun apa kata, ibarat pesawat yang akan tinggal landas karena keberatan beban dan landasan yang rapuh, malah terlindas dan dilindas ke jurang yang cukup dalam. Pesawat itu hingga saat ini masih ngendon di jurang tersebut dan belum tahu kapan dapat di angkat kembali. Indonesia belum di angkat ke landasan yang sesungguhnya, membuat kehidupan masyarakat semakin penuh dengan ketidak pastian.
Kemelaratan menjamur dimana-mana, yang akhirnya bermuara kepada keputusasaan. Kemerdekaan dan pembangunan yang diharapkan membawa Indonesia ke “jembatan emas” semakin jauh dari kenyataan.
Kenyataan Indonesia saat ini adalah keterpurukan. Mengapa keadaan itu dapat terjadi? Sudah waktunya kita renungkan bersama. Hipotesisnya mungkin adalah bahwa tatanan pembangunan yang dioperasikan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak tepat. Pola demikian sudah waktunya diubah, yakni sistem pembangunan yang mengutamakan eksistensi dan jati diri bangsa kita sendiri.

Alternatif kehutanan
Pembangunan yang sesuai dengan Indonesia adalah pembangunan yang berasal dari, oleh, dan untuk bangsanya sendiri. Tidak meniru-niru atau mengadopsi begitu saja model yang dilakukan atau diciptakan bangsa lain. Sistem pembangunan yang berhasil di negara lain belum tentu dapat diterapkan di Indonesia, sebab sistem sosial dan kebudayaan masing-masing negara berbeda. Di awal kemerdekaan, Soekarno telah memberikan jawaban final, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Konsep yang populer dengan istilah “Trisakti” ini sempat berkibar, namun tidak berapa lama kemudian tidak di pakai lagi karena Soekarno keburu dijatuhkan pada tahun 1965.
Salah satu argumen mengapa Soekarno dijatuhkan adalah kegagalannya membangun perekonomian. Keadaan ekonomi di akhir kekuasaannya terpuruk begitu dalam yang dimanifestasikan dengan tingkat inflasi sebesar 650%. Pengalaman pahit ini rupanya menjadi pelajaran bagi rezim Orde Baru. Agar tidak terulang kesalahan yang sama, rezim Orde Baru mengambil kebijakan yang berbalikan dengan kebijakan rezim sebelumnya, yakni menetapkan ekonomi menjadi panglima. Jargonnya yang terkenal adalah ekonomi yes, politik no.
Dalam perjalanan dan realitanya kebijakan inipun ternyata mengalami nasib yang sama. Keadaan ekonomi di era Soekarno, khususnya di era Soeharto tetap tidak dapat di angkat ke arah yang lebih baik.
Konstatasi demikian sudah waktunya diselesaikan. Kekeliruan-kekeliruan yang pernah terjadi agar tidak terulang kembali. Salah satu kekeliruan ini adalah kita mencoba menggantungkan diri kepada utang dan bantuan luar negeri, terlalu berharap akan hasil industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam, sehingga identitas dan jati diri Indonesia nyaris hilang. Agar identitas dan jati diri ini tidak hilang, salah satu dimensi yang segera dibenahi adalah perbaikan ekonomi, khususnya bagaimana dengan cepat dapat mendatangkan devisa.
Devisa ini menurut beberapa tulisan dari pakar kehutanan, Ir Titus Sarijanto MSc di suara pembaruan, dapat mengoptimalkan hasil kehutanan. Hutan, secara khusus pertanian dan perkebunan secara umum adalah comparative advantage (andalan) Indonesia terhadap negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa yang unggul dalam industri dan teknologi.
Komunitas ini sebagaimana faktanya adalah khas negara tropis sebagai fotosintesis dari bahan baku air, udara, tanah, dan sinar matahari yangsemuanya tersedia dengan cukup di Indonesia.
Dengan perhitungan yang seksama dalam tulisannya itu, Titus Sarijanto sampai pada kesimpulan bahwa apabila hutan dikelola dengan maksimal akan menghasilkan devisa yang sama jumlahnya dengan utang yang akan dicairkan dari IMF, bisa menampung tenaga kerja yang cukup besar, yakni sekitar 6 juta orang, ramah lingkungan, tidak akan menimbulkan gejolak sosial khususnya dengan masyarakat sekitar hutan, meningkatkan kesejahteraan. Dan di atas itu semua, akan mengundang investor internasional menanamkan modalnya di Indonesia. Suatu terobosan yang cukup rasional.
Terobosan yang sangat inovatif ini hendaknya di dengar oleh para pengambil keputsan, khususnya presiden yang sedang sibuk menentukan personalia kabinet. Presiden hendaknya tetap bijaksana, tidak terjebak makro-politik dan makro ekonomi semata, sebab kebutuhan yang paling mendesak saat ini adalah mendatangkan devisa secepat mungkin, dengan tetap memelihara identitas jati diri dan kedaulatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar