Minggu, 30 April 2017

DUH ELIT POLITIK, LEMBAGAMU MODERN PERILAKUMU PRIMITIF




DUH ELIT POLITIK; LEMBAGAMU MODERN PERILAKUMU PRIMITIF
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UDA Medan, Mantan Dekan FISIP Untag Jakarta
Published; 16 April 2017, Bantenlink.com
Cat: Judul nan bombastis ini dibuat oleh Edy Syahputra Tanjung, alumnus Komunikasi FISIP Untag Jakarta. Sekarang ia tinggal di Tangerang.

Setiap hari dijalanan sering  terlihat pengendara sedang naik motor-mobil sambil pegang hp di telinganya. Mereka begitu asyik berbicara, tak peduli bahwa itu berbahaya, dan secara resmi dilarang oleh polisi. Begitu pula penumpangnya, merasa tidak ada yang mengawasi- melarang, kerapkali membuang sampah ke jalan.
Tidak cukup disitu, para supir termasuk penumpangnya , meski dilarang jangan merokok di tempat yang bukan tempat merokok, seperti di dalam kenderaan tersebut tetap saja merokok. Pemandangan umum pada seluruh kenderaan. Terlebih-lebih di kenderaan pribadi, nan tak jarang adalah mobil mewah, dimana pemiliknya adalah insan-insan terpelajar. Bagaimana perilaku primitif/kampungan mengemuka di era  (katanya) modern? Apakah itu sifat masyarakat  yang tercermin pada elit politik yang sedang berakrobat saat ini?

Distorsi Fungsi Lembaga
Akhir-akhir ini banyak anomali dalam lembaga pemerintahan, sistim politik, maupun ketatanegaraan. Anomali ini antara lain adalah; korupsi berjamaah e-ktp, amnesianya Mahkamah Agung, adu jotos sesama anggota DPD, dan dicekalnya ketua DPR keluar negeri. Aneh bin ajaib bagaimana eksekutif/birokrasi kolaborasi dengan legislatif/DPR menggarong uang rakyat dalam pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) sukar diterima akal sehat.
Modus penggarongan yang dilakukan sangat apik. Dari mulai perencanaan, proses, hingga eksekusi dilakukan dengan jenial. Meminjam adagium Mahkamah Konstitusi (MK), dipraksiskan secara terstruktur, sistemik dan masif. Luar biasa, tugas, fungsi, dan eksistensi yang seharusnya dipraktekkan untuk melayani rakyat, berubah menjadi maling, pencuri, dan atau garong.
Tugas pemerintah sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945  adalah; melindungi segenap warga negara dan tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan, dan mencerdaskan bangsa. Bukan untuk menggarong uang rakyat. Begitu pula dalam teori-teori politik modern, pemerintah itu adalah instrumen melayani rakyat (Easton, Almond, Huntington, Weber etc).    
Tidak hanya di Indonesia yang menganut ideologi luhur yang bernama Pancasila. Dinegara-negara lain yang berideologi liberal-kapitalis, sosialis-komunis dan sebagainya, tujuan pemerintahan/negaranya sama dengan tujuan negara kita. Pada umumnya adalah untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan keadilan.
Meski belum bisa diwujudkan 100 persen, negara-negara tersebut selalu berikhiar kesana (mencapai tujuannya). Jarang terdengar bahwa lembaga-lembaga negara tersebut berjamaah melakukan korupsi. Kalaupun terjadi korupsi dominan kepada personal/individual, bukan secara kelembagaan, alias terstruktur, sistemik, dan masif.
Perilaku primitif/kuno/kampungan demikian semakin sempurna mengingat lembaga yang seharusnya menjaga keadilan, yakni Mahkamah Agung (MA) ikut terimbas. MA entah dengan pertimbangan hukum dari mana membatalkan sekaligus menyetujui keputusan yang dibuatnya sendiri.
MA yang membatalkan masa jabatan DPD 2,5 tahun, tapi MA juga yang melantik pimpinan DPD yang  dibatalkannya itu. Bagaimana bisa terjadi seperti ini? Apakah MA sudah amnesia/lupa diri? Sudah berubah eksistensi dirinya dari pendekar keadilan ke Mafia Agung?  Sukar menjawabnya.
Yang jelas dan pasti, jika benteng keadilannya  sudah jebol, tamatlah riwayat sistim politik, pemerintahan, dan ketatanegaraan bangsa itu. Kemana lagi mencari keadilan kalau lembaga-lembaga pemerintahan yang lain bertikai? Apa ke langit ketujuh? Ke rumput yang bergoyang? Atau ke auto pilot?
Pertanyaannya semakin menggelitik mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) yang hakim anggotanya (Patrialis Akbar), bahkan mantan ketuanya (Akil Mohtar) terlibat korupsi. Ditambah lagi dengan ketua DPD yang tertangkap tangan OTT KPK, adu jotos sesama anggota DPD, dan dicekalnya Ketua DPR ke luar negeri, mencerminkan lembaga-lembaga negara sudah diujung tanduk.

Perilaku Primitif
Di ujung tanduk karena perilaku elit-elitnya yang menyimpang, yng kampungan, atau primitif. Bagaimana lembaga-lembaga modern yng seharusnya tertata legal rasional melayani masyarakat (meminjam Weber) berubah menjadi sebaliknya, yakni melayani diri, klik, dan gerombolannya masing-masing.
Apa yang keliru dengan kelembagaan tersebut? Prof J. Resink, guru besar FHUI, tahun 1960-an menyatakan keheranannya. Ia heran karena negara ini doyan mengimpor lembaga-lembaga modern dari Barat, tapi masyarakatnya ternyata masih beraja-raja. Artinya lembaga yang seharusnya difungsikan atas/dengan masyarakat yang sudah egaliter, realitanya di atas masyarakat yang bertingkat-tingkat.
Jelas tidak konek. Maksud hati melembagakan demokrasi, yang mencuat aristocracy, oligarchi, atau sistim-sistim yang masih primitif. Jadilah seperti saat ini lembaganya modern, tapi perilaku elit-elitnya primitif. Demokrasi kebablasan urai Jokowi baru-baru ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar