DUH ELIT POLITIK; LEMBAGAMU MODERN
PERILAKUMU PRIMITIF
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UDA Medan, Mantan
Dekan FISIP Untag Jakarta
Published;
16 April 2017, Bantenlink.com
Cat: Judul nan bombastis ini dibuat
oleh Edy Syahputra Tanjung, alumnus Komunikasi FISIP Untag Jakarta. Sekarang ia
tinggal di Tangerang.
Setiap
hari dijalanan sering terlihat
pengendara sedang naik motor-mobil sambil pegang hp di telinganya. Mereka
begitu asyik berbicara, tak peduli bahwa itu berbahaya, dan secara resmi
dilarang oleh polisi. Begitu pula penumpangnya, merasa tidak ada yang
mengawasi- melarang, kerapkali membuang sampah ke jalan.
Tidak
cukup disitu, para supir termasuk penumpangnya , meski dilarang jangan merokok
di tempat yang bukan tempat merokok, seperti di dalam kenderaan tersebut tetap
saja merokok. Pemandangan umum pada seluruh kenderaan. Terlebih-lebih di
kenderaan pribadi, nan tak jarang adalah mobil mewah, dimana pemiliknya adalah
insan-insan terpelajar. Bagaimana perilaku primitif/kampungan mengemuka di era (katanya) modern? Apakah itu sifat masyarakat yang tercermin pada elit politik yang sedang berakrobat
saat ini?
Distorsi Fungsi Lembaga
Akhir-akhir
ini banyak anomali dalam lembaga pemerintahan, sistim politik, maupun
ketatanegaraan. Anomali ini antara lain adalah; korupsi berjamaah e-ktp, amnesianya
Mahkamah Agung, adu jotos sesama anggota DPD, dan dicekalnya ketua DPR keluar
negeri. Aneh bin ajaib bagaimana eksekutif/birokrasi kolaborasi dengan
legislatif/DPR menggarong uang rakyat dalam pembuatan kartu tanda penduduk
(KTP) sukar diterima akal sehat.
Modus
penggarongan yang dilakukan sangat apik. Dari mulai perencanaan, proses, hingga
eksekusi dilakukan dengan jenial. Meminjam adagium Mahkamah Konstitusi (MK),
dipraksiskan secara terstruktur, sistemik dan masif. Luar biasa, tugas, fungsi,
dan eksistensi yang seharusnya dipraktekkan untuk melayani rakyat, berubah
menjadi maling, pencuri, dan atau garong.
Tugas
pemerintah sebagaimana tertulis dalam alinea ke empat pembukaan UUD 1945 adalah; melindungi segenap warga negara dan
tumpah darah, mewujudkan kesejahteraan, dan mencerdaskan bangsa. Bukan untuk
menggarong uang rakyat. Begitu pula dalam teori-teori politik modern,
pemerintah itu adalah instrumen melayani rakyat (Easton, Almond, Huntington,
Weber etc).
Tidak
hanya di Indonesia yang menganut ideologi luhur yang bernama Pancasila.
Dinegara-negara lain yang berideologi liberal-kapitalis, sosialis-komunis dan
sebagainya, tujuan pemerintahan/negaranya sama dengan tujuan negara kita. Pada
umumnya adalah untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan dan keadilan.
Meski
belum bisa diwujudkan 100 persen, negara-negara tersebut selalu berikhiar
kesana (mencapai tujuannya). Jarang terdengar bahwa lembaga-lembaga negara
tersebut berjamaah melakukan korupsi. Kalaupun terjadi korupsi dominan kepada
personal/individual, bukan secara kelembagaan, alias terstruktur, sistemik, dan
masif.
Perilaku
primitif/kuno/kampungan demikian semakin sempurna mengingat lembaga yang
seharusnya menjaga keadilan, yakni Mahkamah Agung (MA) ikut terimbas. MA entah
dengan pertimbangan hukum dari mana membatalkan
sekaligus menyetujui keputusan yang dibuatnya sendiri.
MA
yang membatalkan masa jabatan DPD 2,5 tahun, tapi MA juga yang melantik pimpinan
DPD yang dibatalkannya itu. Bagaimana
bisa terjadi seperti ini? Apakah MA sudah amnesia/lupa diri? Sudah berubah
eksistensi dirinya dari pendekar keadilan ke Mafia Agung? Sukar menjawabnya.
Yang
jelas dan pasti, jika benteng keadilannya sudah jebol, tamatlah riwayat sistim politik,
pemerintahan, dan ketatanegaraan bangsa itu. Kemana lagi mencari keadilan kalau
lembaga-lembaga pemerintahan yang lain bertikai? Apa ke langit ketujuh? Ke
rumput yang bergoyang? Atau ke auto pilot?
Pertanyaannya
semakin menggelitik mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) yang hakim anggotanya
(Patrialis Akbar), bahkan mantan ketuanya (Akil Mohtar) terlibat korupsi.
Ditambah lagi dengan ketua DPD yang tertangkap tangan OTT KPK, adu jotos sesama
anggota DPD, dan dicekalnya Ketua DPR ke luar negeri, mencerminkan
lembaga-lembaga negara sudah diujung tanduk.
Perilaku Primitif
Di
ujung tanduk karena perilaku elit-elitnya yang menyimpang, yng kampungan, atau
primitif. Bagaimana lembaga-lembaga modern yng seharusnya tertata legal
rasional melayani masyarakat (meminjam Weber) berubah menjadi sebaliknya, yakni
melayani diri, klik, dan gerombolannya masing-masing.
Apa
yang keliru dengan kelembagaan tersebut? Prof J. Resink, guru besar FHUI, tahun
1960-an menyatakan keheranannya. Ia heran karena negara ini doyan mengimpor
lembaga-lembaga modern dari Barat, tapi masyarakatnya ternyata masih
beraja-raja. Artinya lembaga yang seharusnya difungsikan atas/dengan masyarakat
yang sudah egaliter, realitanya di atas masyarakat yang bertingkat-tingkat.
Jelas
tidak konek. Maksud hati melembagakan demokrasi, yang mencuat aristocracy,
oligarchi, atau sistim-sistim yang masih primitif. Jadilah seperti saat ini
lembaganya modern, tapi perilaku elit-elitnya primitif. Demokrasi kebablasan
urai Jokowi baru-baru ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar