Minggu, 14 Mei 2017

DEMOKRASI DELIBERATIF; SOLUSI PASCA PILKADA



  
 DEMOKRASI DELIBERATIF, SOLUSI PASCA PILKADA
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur  CEPP PPS UNITAS  Palembang. Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published, Sriwijaya Post, 22 April 2013

Setelah negeri ini mempraktekkan pemilihan langsung dalam menentukan pemimpin-pemimpin politik, seperti Walikota/Bupati, Gubernur dan DPRD-DPRDnya, ternyata  tidak menghasilkan pemimpin demokratis sebagaimana diharapkan semula.
 Substansi demokrasi, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi” seperti pesan reformasi akhir 1990-an  semakin lama semakin jauh dari harapan. Bahkan atau  lebih miris lagi ; 35% kepala daerah tingkat II/Walikota/Bupati, 25% kepala daerah tingkat I/Gubernur  terpilih, terlibat korupsi, alias penggarongan uang rakyat.

Pemimpin Demokratik
 Melihat realita seperti itu, yakni jauhnya harapan (ekspektasi) dan kenyataan (kapasitas), ada baiknya kita pertanyakan kembali, untuk apa sebenarnya kita  melakukan pemilihan kepala daerah ( pilkada) secara langsung, yakni satu orang satu suara (one man one vote). Adakah itu sungguh-sungguh , mewujudkan imperative Undang Undang ?, mewujudkan demokrasi ?,  memperoleh kekuasaan ? memilih sosok  pemimpin sejati?.
            Jawabannya tidak hitam putih, multi variasi dan tergantung dari sudut mana melihatnya. Secara umum harapannya  mewujudkan semuanya, yakni menampilkan pemimpin yang demokratis, yang memiliki otoritas,dan terpilih melalui koridor  yang sudah disepakati (Konstitusi/UU). Tidak sekedar menang, apalagi menang-menangan.
Dengan kata lain pilkada yang berlangsung secara demokratis  akan menghasilkan pemimpin yang  dicita-citakan yakni, pemimpin  yang memiliki” integritas, komitmen, dedikasi dan kompetensi . Tidak pemimpin semu, tidak juga pemimpin yang ibarat kucing dalam karung, tidak pecundang, apalagi garong/klepto, yang hanya mementingkan diri, kelompok atau gerombolannya sendiri . Sudah pasti tidak seperti itu, melainkan pemimpin yang sungguh-sungguh moderat dan demokratis
            Pemimpin demokratis demikian, selanjutnya diharapkan akan menakhodai kapal pemerintahan atau mesin birokrasi mewujudkan” aspirasi, kepentingan dan kedaulatan rakyat”. Kedaulatan yang berwujud “aman, sejahtera dan cerdas sebagaimana pesan konstitusi (UUD 1945) akan segera termanifestasi.
Pesan atau imperative Konstitusi sebagaimana hakiki dan substansinya adalah kata akhir legitimasi. Oleh karena itu siapapun, kalangan manapun, partai manapun yang memerintah tanpa kecuali wajib mewujudkannya .
 Masalah “jalan, strategi atau kiat” apa yang akan ditempuh mencapai hakiki konstitusi tersebut terserah pada pemimpin demokratis tersebut. Banyak strategi mencapai tujuan kata ahli-ahli kebijakan.
Mau strategi keras, lunak, semi keras, nasionalistik, ultra revolusioner,  dan sekian strategi lagi silahkan seleksi. Yang pasti dasar dan tujuan yang tertera pada Konstitusi/UUD termanifestasi dengan dinamis.  

Kiat Politik, Bukan Verba
Dalam pemilihan Walikota/Bupati, Gubernur hingga Presiden  “ strategi, kiat, seni ” inilah seharusnya yang menjadi tema sentral. Bukan aspek-aspek diluar itu. Artinya  strategi apa yang ditempuh sang calon mewujudkan  program yang dicanangkan, mengingat ia adalah pemimpin politik. Bukan birokrat, teknokrat atau staf ahli. Domainnya jelas berbeda. Yang satu pemimpin, yang lain pelaksana
Realita  selama ini menunjukkan bahwa para calon pada umumnya menawarkan tiga hal secara general, yakni (a) keamanan, (b) kesejahteraan, dan (c) kecerdasan. Dengan berbagai cara ketiga nilai nan kualitatif normatif ini, agar menarik sering dikemas dengan berbagai “verba” nan euphemism dan retoris, namun tidak jelas apa kongkrit  atau sekedar khayalan
Sebagai calon pemimpin politik, sebaiknya harus dapat menunjukkan  kiat  apa  yang akan ditempuh mencapai program yang ditawarkan. Bukan verba –verba normative-kualitatif  seperti; keamanan, kesejahteraan dan keadilan yang menjadi domain para birokrat dan teknokrat.
            Para birokrat dan teknokrat plus staf ahlinya lebih piawai melaksanakan nilai-nilai nan kwalitatif-normatif tersebut tinimbang pemimpin politis, karena  sejak awal fungsi mereka adalah pelaksana teknis dan administrative dari keputusan atau kebijakan politik. Jangan dibalik-balik, nanti dunia jadi terbalik
Oleh karena itu jauh  lebih kongkrit, jika para calon-calon pemimpin politik itu menunjukkan kiat bagaimana mengobati tiga penyakit kronis  kota-kota besar pada umumnya di Indonesia, yakni (a) birokrasi yang korup,(b) kemiskinan nan fenomenologis dan (c) kerusakan lingkungan yang fatal.
Persis atau kongkritnya, kepemimpinan seperti apa yang akan diterapkan jika mereka menang dalam pemilihan untuk meretas ketiga penyakit endemic tersebut. Apakah birokratik, demokratik, otoriter, facist, paternalistic, dan sejuta model lain
Diuraikan secara jelas, detil, runtut, sistemik, dan rasional apa kiat-kiatnya. Lebih bagus kalau dibuat dalam satu naskah utuh lalu diberikan, kalau mungkin untuk setiap calon pemilih atau masyarakat pada umumnya.

Demokrasi Deliberatif Habermasch
Tidak sebagaimana yang terjadi selama ini, serba sekedar-sekedaran atau seadanya. Semua, tanpa kecuali  serba sekedar-sekedaran alias sekedar procedural atau legal-formal. Program kerja, visi, misi  (jangan-jangan sesungguhnya tidak ada) hanya sekedar memenuhi persyaratan. Begitu pula, debat atau dialog hanya sekedar-sekedaran.
 Yang tidak sekedar  alias kongkrit dan terang benderang sampai-sampai jenuh melihatnya hanyalah baliho dan slogan sang calon
Baliho yang dalam kualitas kampanye sesungguhnya adalah instrument kampanye yang paling rendah mutunya bertebaran diseluruh penjuru. Tidak  peduli  ditempat yang diizinkan atau dilarang, yang penting baliho sang calon terpampang dengan jelas, photogenic, dan seksi. 
            Disamping photo  nan seksi  photogenic tersebut, apakah itu visi, misi atau program sang calon lazimnya tertera pesan-pesan singkat yang ditulis sangat indah, seperti, ….sejahtera, unggul, baru, aman, lebih baik,pendidikan gratis,berobat gratis dan lain-lain nilai normative-kwalitatif nan sloganistis.
Kalau itu yang menjadi  program, misi atau visinya, berarti  sang calon tak lebih tak kurang hanya menawarkan   konstituen atau pemilih  “makan baliho dan minum  slogan” jika ia terpilih.
Bukan makan nasi atau minum air sebagaimana mestinya. Apa hanya atau memang seperti ini yang  diharapkan dari suatu pemilihan yang konstitusional-demokratis?. Bagi kaum yang normal pikirannya  sudah pasti tidak, kecuali yang  miring antenanya.
Demokrasi konstitusional sebagaimana hakikinya berpijak di atas rasionalitas, bukan emosional apalagi tipu-tipuan nan kamuflastis. Prinsip-prinsip  kebebasan, kesetaraan dan toleransi sebagai nilai utamanya selalu didasarkan atas  “fakta, pandangan ke depan, dan    kepentingan mayoritas masyarakat”. Bukan pertunjukan segelintir apalagi satu orang (one man show)
 Oleh karena itu  sesudah pilkada berlangsung, masyarakat tidak boleh diam seribu basa, cuek atau tidak peduli. Masyarakat harus aktif, tanpa henti alias terus menerus  mengawasi pemimpin terpilih . terlalu mahal biayanya jika hanya diserahka  kepada DPRD atau institusi-institusi resmi lainnya. Harus aktif mengawasi
Aktif mengontrol  terutama dengan anggota-anggota masyarakat lain yang sungguh-sungguh telah sadar akan hak dan kewajibannya. Kalangan ini digalang sedemikian rupa sampai benar-benar menjadi kekuatan sosial yang ampuh (civil society). Tidak melalui lembaga-lembaga resmi seperti disebutkan sebelumnya, yakni  DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dan sejenisnya.
Jauh diatas itu digalang melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan yang sudah instituzionalized, rasional dan partisipatif, sebagaimana hakiki demokrasi deliberative  menurut Jurgen Habermasch.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar