DEMOKRASI DELIBERATIF, SOLUSI PASCA PILKADA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS Palembang. Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published, Sriwijaya Post, 22 April 2013
Setelah negeri ini mempraktekkan pemilihan langsung
dalam menentukan pemimpin-pemimpin politik, seperti Walikota/Bupati, Gubernur
dan DPRD-DPRDnya, ternyata tidak
menghasilkan pemimpin demokratis sebagaimana diharapkan semula.
Substansi
demokrasi, seperti “kebebasan, kesetaraan dan toleransi” seperti pesan reformasi
akhir 1990-an semakin lama semakin jauh
dari harapan. Bahkan atau lebih miris
lagi ; 35% kepala daerah tingkat II/Walikota/Bupati, 25% kepala daerah tingkat
I/Gubernur terpilih, terlibat korupsi,
alias penggarongan uang rakyat.
Pemimpin Demokratik
Melihat realita
seperti itu, yakni jauhnya harapan (ekspektasi) dan kenyataan (kapasitas), ada
baiknya kita pertanyakan kembali, untuk apa sebenarnya kita melakukan pemilihan kepala daerah ( pilkada)
secara langsung, yakni satu orang satu suara (one man one vote). Adakah itu
sungguh-sungguh , mewujudkan imperative Undang Undang ?, mewujudkan demokrasi ?,
memperoleh kekuasaan ? memilih sosok pemimpin sejati?.
Jawabannya
tidak hitam putih, multi variasi dan tergantung dari sudut mana melihatnya. Secara
umum harapannya mewujudkan semuanya,
yakni menampilkan pemimpin yang demokratis, yang memiliki otoritas,dan terpilih
melalui koridor yang sudah disepakati
(Konstitusi/UU). Tidak sekedar menang, apalagi menang-menangan.
Dengan kata lain pilkada yang berlangsung secara
demokratis akan menghasilkan pemimpin
yang dicita-citakan yakni, pemimpin yang memiliki” integritas, komitmen, dedikasi
dan kompetensi . Tidak pemimpin semu, tidak juga pemimpin yang ibarat kucing
dalam karung, tidak pecundang, apalagi garong/klepto, yang hanya mementingkan
diri, kelompok atau gerombolannya sendiri . Sudah pasti tidak seperti itu,
melainkan pemimpin yang sungguh-sungguh moderat dan demokratis
Pemimpin
demokratis demikian, selanjutnya diharapkan akan menakhodai kapal pemerintahan atau
mesin birokrasi mewujudkan” aspirasi, kepentingan dan kedaulatan rakyat”.
Kedaulatan yang berwujud “aman, sejahtera dan cerdas sebagaimana pesan konstitusi
(UUD 1945) akan segera termanifestasi.
Pesan atau imperative Konstitusi sebagaimana hakiki dan
substansinya adalah kata akhir legitimasi. Oleh karena itu siapapun, kalangan
manapun, partai manapun yang memerintah tanpa kecuali wajib mewujudkannya .
Masalah “jalan,
strategi atau kiat” apa yang akan ditempuh mencapai hakiki konstitusi tersebut terserah
pada pemimpin demokratis tersebut. Banyak strategi mencapai tujuan kata
ahli-ahli kebijakan.
Mau strategi keras, lunak, semi keras, nasionalistik,
ultra revolusioner, dan sekian strategi
lagi silahkan seleksi. Yang pasti dasar dan tujuan yang tertera pada
Konstitusi/UUD termanifestasi dengan dinamis.
Kiat Politik, Bukan Verba
Dalam pemilihan Walikota/Bupati, Gubernur hingga
Presiden “ strategi, kiat, seni ” inilah
seharusnya yang menjadi tema sentral. Bukan aspek-aspek diluar itu. Artinya strategi apa yang ditempuh sang calon mewujudkan
program yang dicanangkan, mengingat ia
adalah pemimpin politik. Bukan birokrat, teknokrat atau staf ahli. Domainnya jelas
berbeda. Yang satu pemimpin, yang lain pelaksana
Realita selama
ini menunjukkan bahwa para calon pada umumnya menawarkan tiga hal secara
general, yakni (a) keamanan, (b) kesejahteraan, dan (c) kecerdasan. Dengan
berbagai cara ketiga nilai nan kualitatif normatif ini, agar menarik sering dikemas
dengan berbagai “verba” nan euphemism dan retoris, namun tidak jelas apa kongkrit
atau sekedar khayalan
Sebagai calon pemimpin politik, sebaiknya harus dapat
menunjukkan kiat apa yang akan ditempuh mencapai program yang
ditawarkan. Bukan verba –verba normative-kualitatif seperti; keamanan, kesejahteraan dan keadilan
yang menjadi domain para birokrat dan teknokrat.
Para
birokrat dan teknokrat plus staf ahlinya lebih piawai melaksanakan nilai-nilai
nan kwalitatif-normatif tersebut tinimbang pemimpin politis, karena sejak awal fungsi mereka adalah pelaksana
teknis dan administrative dari keputusan atau kebijakan politik. Jangan dibalik-balik,
nanti dunia jadi terbalik
Oleh karena itu jauh lebih kongkrit, jika para calon-calon pemimpin
politik itu menunjukkan kiat bagaimana mengobati tiga penyakit kronis kota-kota besar pada umumnya di Indonesia,
yakni (a) birokrasi yang korup,(b) kemiskinan nan fenomenologis dan (c)
kerusakan lingkungan yang fatal.
Persis atau kongkritnya, kepemimpinan seperti apa yang
akan diterapkan jika mereka menang dalam pemilihan untuk meretas ketiga penyakit
endemic tersebut. Apakah birokratik, demokratik, otoriter, facist,
paternalistic, dan sejuta model lain
Diuraikan secara jelas, detil, runtut, sistemik, dan rasional
apa kiat-kiatnya. Lebih bagus kalau dibuat dalam satu naskah utuh lalu
diberikan, kalau mungkin untuk setiap calon pemilih atau masyarakat pada
umumnya.
Demokrasi Deliberatif Habermasch
Tidak sebagaimana yang terjadi selama ini, serba sekedar-sekedaran
atau seadanya. Semua, tanpa kecuali serba
sekedar-sekedaran alias sekedar procedural atau legal-formal. Program kerja,
visi, misi (jangan-jangan sesungguhnya tidak
ada) hanya sekedar memenuhi persyaratan. Begitu pula, debat atau dialog hanya sekedar-sekedaran.
Yang tidak
sekedar alias kongkrit dan terang
benderang sampai-sampai jenuh melihatnya hanyalah baliho dan slogan sang calon
Baliho yang dalam kualitas kampanye sesungguhnya adalah
instrument kampanye yang paling rendah mutunya bertebaran diseluruh penjuru.
Tidak peduli ditempat yang diizinkan atau dilarang, yang
penting baliho sang calon terpampang dengan jelas, photogenic, dan seksi.
Disamping
photo nan seksi photogenic tersebut, apakah itu visi, misi
atau program sang calon lazimnya tertera pesan-pesan singkat yang ditulis sangat
indah, seperti, ….sejahtera, unggul,
baru, aman, lebih baik,pendidikan gratis,berobat gratis dan lain-lain nilai
normative-kwalitatif nan sloganistis.
Kalau itu yang menjadi program, misi atau visinya, berarti sang calon tak lebih tak kurang hanya menawarkan
konstituen atau pemilih “makan baliho dan minum slogan” jika ia terpilih.
Bukan makan nasi atau minum air sebagaimana mestinya.
Apa hanya atau memang seperti ini yang diharapkan
dari suatu pemilihan yang konstitusional-demokratis?. Bagi kaum yang normal
pikirannya sudah pasti tidak, kecuali
yang miring antenanya.
Demokrasi konstitusional sebagaimana hakikinya
berpijak di atas rasionalitas, bukan emosional apalagi tipu-tipuan nan
kamuflastis. Prinsip-prinsip kebebasan,
kesetaraan dan toleransi sebagai nilai utamanya selalu didasarkan atas “fakta, pandangan ke depan, dan kepentingan mayoritas masyarakat”. Bukan
pertunjukan segelintir apalagi satu orang (one man show)
Oleh karena itu
sesudah pilkada berlangsung, masyarakat tidak
boleh diam seribu basa, cuek atau tidak peduli. Masyarakat harus aktif, tanpa
henti alias terus menerus mengawasi pemimpin
terpilih . terlalu mahal biayanya jika hanya diserahka kepada DPRD atau institusi-institusi resmi
lainnya. Harus aktif mengawasi
Aktif mengontrol
terutama dengan anggota-anggota masyarakat lain yang sungguh-sungguh telah
sadar akan hak dan kewajibannya. Kalangan ini digalang sedemikian rupa sampai
benar-benar menjadi kekuatan sosial yang ampuh (civil society). Tidak melalui
lembaga-lembaga resmi seperti disebutkan sebelumnya, yakni DPRD, Kejaksaan, Kepolisian dan sejenisnya.
Jauh diatas itu digalang melalui lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang sudah instituzionalized, rasional dan partisipatif,
sebagaimana hakiki demokrasi deliberative menurut Jurgen Habermasch.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar