Minggu, 23 April 2017

PERAN NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUBAHAN IKLIM




PERAN NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUBAHAN IKLIM
Oleh Reinhard Hutapea
Disampaikan pada seminar POSTMAHI HI FISIP UNTAG, 19 Juni 2010

Pendahuluan
Tanggal 5 Juni yang lalu baru saja kita memperingati hari Lingkungan Sedunia[1] . tidak begitu ramai, namun pesan-pesan yang disampaikan cukup substantive. Hampir semua media cetak pada tanggal tersebut menurunkan artikel-artikel tentang Lingkungn hidup. Pesannya masih seperti sebelum-sebelumnya. Belum ada yang baru, masih serba prihatin, sampai-sampai wakil Presiden berkilah:…hentikan pidato tentang lingkungan. Mengapa beliau menyatakan demikian?, mungkin karena belum ada upaya yang jelas tentang perbaikan kerusakan lingkungan. Semua prihatain, semua mewacanakannya, tapi tetap saja tidak ada ikhtiar perbaikan.Sekian pertemuan, sekian seminar internasional, sekian Protokol yang sudah dicetuskan, tetap sebatas kertas yang indah nan ilmiah, namun tidak ada terobosan yang berarti. Kenapa, mengapa demikian? jawabannya cukup abstrak dan berliku-liku. Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan tersebut ideal kiranya diuraikan kenapa jurusan Hubungan Internasional membahas  lingkungan hidup

Kurikulum HI
Lingkungan Hidup saat ini resmi menjadi salah satu bahasan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Di UGM, bahkan ada satu mata kuliah yang namanya “seminar lingkungan”, dimana yang aktif tidak lagi dosennya, melainkan para mahasiswa. Mahasiswa didorong untuk membaca, membahas, berdiskudi hingga pada tujuan akhir mata kuliah tersebut yakni melahirkan” rekomendasi” untuk disampaikan kepada pihak yang berwenang. HI FISIP UNTAG juga melaksanakan hal yang sama.
Dalih mengapa masalah lingkungan menjadi kurikulum HI adalah karena masalah lingkungan sudah menjadi issu dunia, issu mondial atau issu global. Tiada tempat, tiada bangsa, dan tiada negara yang luput dari masalah lingkungan. Lingkungan sebagai tempat kehidupan adalah suatu sistem, bukan suatu yang parsial yang dapat dikotak-kotakkan atau dipisah-pisahkan. Sebagai suatu sistem dunia ia mempengaruhi seluruh kehidupan disetiap penjuru dunia tersebut[2]
Dalam bukunya Pengantar Studi Hubungan Internasional, Robert Jackson dan George Sorensen (2005) mencantumkan Lingkungan Hidup sebagai satu bahasan tersendiri, setelah sebelumnya masalah-masalah ekonomi (Ekonomi Politik Internasional). Ternyata bukan cuma di HI, pada kurikulum Ilmu-ilmu lain juga masalah lingkungan telah masuk pembahasannya. Tidak lagi seperti dulu, yakni hanya bahasan ilmu Biologi pada umumnya
Sesuai dengan perkembangan jaman yang tidak statis, maka Ilmu HI juga sudah banyak mengalami perubahan. Kalau pada awal terbentuknya ilmu ini, bahasan yang banyak di bahas adalah masalah-masalah “security”, yakni masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keamanan dunia. Hal ini sejalan karena pada waktu itu, dunia ini sedang diwarnai oleh “perang, ancaman, agitasim provokasi hingga perang yang tidak melibatkan langsung actor-aktornya alias perang dingin (cold war). HI pada waktu itu didominasi oleh perang dan damai, politik, ideology dan militer. Buku-buku yang terbit pun pada waktu itu mayoritas tentang perang dan damai. Mata-mata kuliah seperti Ilmu perang, Politik Luar Negeri, Politik Internasional, ide-ide politik, konflik dan resolusi menjadi sangat mengemuka.
Pasca berakhirnya perang dingin, yakni ditandai dengan ambruknya almarhum Uni Soviet, masalah-masalah ekonomi mengemuka. Ekonomi yang sebelumnya hanya subordinate dari politik (security)  menjadi sejajar dengan masalah-masalah politik. Dari “low politics” menjadi “high politics”.
 Suasana ini disambut oleh Ilmu HI, yakni dengan memasukkan bahasan ekonomi dalam kurikulumnya. Supaya berbeda dengan ilmu ekonomi di Fakultas Ekonomi, maka mata kuliah ini disebut dengan “Ekonomi Politik Internasional”.(EPI/Ekopolin). Sejalan dengan tampilnya blok-blok ekonomi baru diberbagai belahan dunia ini, seperti Uni Eropa, maka HI pun memasukkan mata kuliah “regionalisme” atau yang lebih dikenal dengan “study kawasan” dalam kurikulumnya.
Seiring dengan pembahasan masalah-masalah ekonomi dalam Ilmu HI, rupa-rupanya perkembangan ekonomi dunia juga berlangsung semakin pesat dalam hal ketimpangannya. Pesat bagi segelintir Negara atau kekuatan-kekuatan ekonomi lainnya seperti MNCs/TNCs[3], tapi tidak bagi mayoritas bangsa-bangsa di dunia.
 Perkembangan ekonomi dunia pasca perang dingin begitu acumulatif. Segala kekuatan masing-masing Negara atau khususnya actor-aktor ekonomi dieskalasikan sedemikian rupa……..supaya terjadi akumulasi ekonomi yang sebesar-besarnya. Implikasi kemudian dari pola seperti itu (acumulasi ekonomi tersebut) adalah “degradasi terhadap lingkungan”. Segala sesuatu yang ada diupayakan agar serba bernilai ekonomis, serba materalistik dan atau serba kapitalistik
Lingkungan Hidup oleh karenanya semakin terganggu, semakin rusak, dan semakin mengancam kehidupan yang ada di dalamnya. Karena hampir seluruh Negara melakukan akumulasi ekonomi tersebut, derivasi kemudian  adalah menjadi kerusakan global. Inilah dalih yang membuat Ilmu HI  menjadikan lingkungan satu bahasan/kurikulum tersendiri pada programnya. Sebelum ia menjadi mata kuliah mayor (tersendiri), ia menjadi sub bahasan dalam mata kuliah Ekonomi Politik Internasional.

Peran Negara dan Organisasi Internasional
Makalah ini ditekankan kepada peran atau fungsi Negara dan Organisasi Internasional. Artinya (walaupun tidak disebut dalam TOR) apa yang akan dilakukan Negara dan Organisasi Internasional terhadap masalah lingkungan. Mungkin kalau kita kembalikan kepada pertama sekali mempelajari Ilmu HI maka peran Negara maupun Organisasi Internasional pasti sudah diketahui. Dalam pengantar Ilmu HI maupun teori HI, sudah terang benderang bahkan sudah sangat-sangat kasat mata apa yang disebut dengan Negara dan Organisasi Internasional.
Negara (State) maupun Organisasi Internasional adalah actor-aktor utama HI,Ia menjadi sangat sentral, menjadi unit analisis utama dalam pembahasan-pembahasan HI, atau sering juga disebut sebagai subjek HI. Sebagai actor maupun subjek, ia sudah jelas. Dalam lkhazanah Ilmu HI fungsi atau peran Negara  adalah:
Keamanan
Ketertiban
Kemakmuran
Kesejahteraan
Keadilan (Jackson and Sorensen, 2005)[4]

Masalah lingkungan, khususnya Kerusakan lngkungan sudah pasti masuk dalam tanggung jawab negara . Artinya Negara harus berperan dalam masalah itu. Tidak hanya mengakumulasi atau menggerus isinya, tapi, dan terutama adalah melestarikannya Begitu pula organisasi-organisasi Internasional sama dan sebangun dengan fungsi dan peran negara.
 Dalam hal ini yang utama dan terutama adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk menghindarkan perang dan menciptakan perdamaian. PBB dalam kiprahnya telah mempunyai badan tersendiri mengurusi tentang kerusakan lingkungan. Konperensi-konperensi mereka terhadap kerusakan lingkungan cukup intens dilakukan
Salah satu upaya PBB untuk melestarikan lingkungan adalah Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut telah diinstruksikan agar Negara-negara segera mengurangi emisi carbon. Banyak yang sudah meratifikasi, tapi yang paling diharapkan meratifiksi, karena dianggap paling banyak memproduksi emisi karbon, yakni Amerika Serikat, ternyata belum bersedia. Negara ini dengan segala dalihnya belum bersedia melaksanakan keputusan Protocol Kyoto. Kenapa dan mengapa Negara adi daya tersebut tidak meratifikasinya, cukup panjang alasannya[5]
Selain organisasi internasional yang intens me….lingkungan ,Setiap Negara di dunia ini juga telah punya badan badan khusus tentang lingkungan. Bahkan hampir semua Negara telah mempunyai satu kementerian yang mengurusi lingkungan. Indonesia punya KLH , Kementerian Lingkungan Hidup, begitu pula Negara-negara lain.
Organisasi-organisasi internasional diluar PBB begitu juga. Green peace misalnya adalah nama yang sudah tidak asing bagi telinga kita, sama dengan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Indonesia adalah lembaga-lembaga yang sudah umum kita dengar dalam perjuangan lingkungannya.
Intelektual-intelektual pejuang Lingkungan juga sudah banyak yang mengemuka. Kita dengar. Otto Somarwotho (alm) dan Emil Salim adalah sosok-sosok yang intens memperjuangkan lingkungan di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka sudah pasti akrab bagi penggiat lingkungan. Kalau Otto mengkajinya dominan dari ilmu eksak (fisik/biology), Emil dari tinjauan ekonomi-sosial. Dari ilmu-ilmu yang lain juga sudah banyak yang berspesialisasi terhadap lingkungan.

Asal Muasal Degradasi Lingkungan
Degradasi atau kerusakan lingkungan yang akhir-akhir ini berpengaruh terhadap perubahan iklim dapat dikaji dari berbagai ilmu maupun dari berbagai persfektif. Penulis yang berlatar belakang Ilmu Ekonomi Politik Internasional, akan melihatnya dari kacamata “ekonomi-politik”, khususnya dari persfektif “liberal”. Persfektif ini sebelumnya populer dengan sebutan “kapitalisme”. Isme atau paham yang memberhalakan “capital”. Perburuan capital, modal atau uang menjadi tujuan utama. Bagaimana mengakumulasi capital adalah tujuan utama bagi setiap kalangan, bangsa atau Negara yang menerapkannya.
Logikanya cukup sederhana. Untuk memenuhi capital setiap bangsa atau Negara, sadar atau tidak telah melakukan pembagian kerja secara internasional. Negara yang kuat, besar serta kaya, memburu capital melalui “komoditas” yang sudah melalui “nilai lebih”. Komoditas ini adalah “barang dan jasa” yang sudah melalui tahapan “manufactured”, atau bahasa canggihnya komoditas yang sudah industrialized nan teknologis. Sebaliknya negara-negara yang lemah dan melarat, yang mayoritas di dunia ini(NSB/Dunia lll) , untuk akumulasi capital hanya mengandalkan komoditas primer, seperti Sumber Daya Alam (SDA). Sumber daya alam ini pada umumnya adalah komoditas yang dominan dari hasil-hasil pertambangan, hasil-hasil hutan/pertanian dan hasil-hasil alam lainnya.
Baik komoditas yang berbasis industri, teknologi maupun yang berbasis sumber daya alam, kedua-duanya menyumbang kepada kerusakan lingkungan. Komoditas teknologis  berimplikasi kepada semakin besarnya limbah, polusi dan atau yang popular saat ini, yakni emisi carbon. Pabrik-pabrik, otomotif, elektonika dan lain-lain komoditas teknologis telah mencemari lingkungan dimana pabrik-pabrik itu beroperasi. Demikian pula penggerusan besar-besaran pertambangan, hasil-hasil hutan di Negara-negara Sedang Berkembang/Dunia III telah membuat kerusakan lingkungan yang semakin parah dari waktu ke waktu.
Pemikiran tersebut, yakni rusaknya lingkungan akibat sistim kapitalisme sejalan dengan tulisan Arianto Sangaji pada tanggal 5 Juni 2010 di harian Kompas 5 Juni 2010 yang lalu. Beliau menyatakan bahwa kerusakan lingkungan adalah karena sistim kapitalisme yang berlangsung saat ini. Lebih rincinya beliau menyatakan:
Sekurang-kurangnya ada dua argumentasi melandasi anggapan tentang masalah lingkungan hidup tertanam di dalam kapitalisme. Pertama, dengan berbasis kompetisi, karakter utama sistem ini adalah perlombaan produksi komoditas semurah mungkin, dimana sumber daya alam disubordinasikan ke dalam logika ini. Tidak heran eksploitasi dan karenanya destruksi terhadap alam (dan juga buruh) menjadi keharusan. Karakter kedua sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa batas melalui ekspansi spasial yang progresif. Korporasi-korporasi transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok Negara mengonversi permukaan bumi untuk industri ekstraktif. Pada masa lalu, prakteknya melalui kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah rubric neoliberalisme (Kompas, 5 Juni 2010)

Kata kunci baru dari kutipan ini adalah “neoliberalisme dan korporasi transnasional”. Dua kata yang saling mengisi. Neoliberal adalah ideologinya dan korporasi transnasional adalah pelaksananya. Neoliberal sebagaimana dikatakan Stiglitz adalah aliran ekonomi yang memberikan kedaulatan penuh kepada pasar. Sering juga disebut sebagai “market fundamentalism”. Aliran ini muncul dari kesepakatan Ronald Reagan dan Margareth Thatcher pada tahun 1980-an
Kalau liberal (tanpa neo) sebelumnya masih mengakui peran Negara terhadap ekonomi, sebagaimana dititahkan ekonom besar Inggris, Keynes, pada neoliberal, peran itu telah ditiadakan sama sekali. Neoliberal yang berslogan……pengetatan fiscal, privatisasi dan liberalisasi, sungguh-sungguh telah memangkas peran Negara. Negara sebagaimana yang dikenal dalam paham liberalisme klasik, fungsinya hanya sekedar penjaga malam
 Apa, mengapa dan bagaimana aliran neolibera ini berlangsung ideal kita kutif pendapat Stiglitz, seorang ekonom besar, mantan penasihat Bill Clinton, mantan direktur Bank Dunia dan saat ini gurubesar Columbia University serta pemenang nobel ekonomi pada tahun 2001.
Fiscal austerity, privatization, and market liberalization were the three pillars of Washington Consensus advice throughout the 1980s and 1990s. the Washington Consensus policies were designed to respond to the very real problem in Latin America, and made considerable sense. In the 1980s, the government of those countries had often run huge deficits. Losses inefficient, governments of those countries had often run huge deficits. Losses inefficient government enterprises contributed to those deficits. Insulated from competition by protectionist measures, inefficient private firms forced customers to pay high prices. Loose monetary policy led to inflation running out of control. countries  persistently run large deficits and sustained growth is not possible with hyperinflation. Some level of fiscal discipline is required. Most countries would be better of with governments focusing on providing essential public services rather than running enterprises that would arguably perform better in the private sector, and so privatization often makes sense. When trade liberalization – the lowering of tariffs and elimination of other protectionist measures – is done in the right way and at the right pace, so that new jobs are created as  inefficient jobs, are destroyed there can be significant efficiency gains. (Stiglitz, 2002:53)

Consensus Washington dirancang  untuk merespons masalah-masalah yang terjadi di Amerika Latin, dan kebijakan-kebijakan tersebut tepat untuk masalah itu. Sebagaimana faktanya pada tahun-tahun 1980-an pemerintah-pemerintah di Amerika Latin  mengalami deficits yang sangat besar. Hal ini terjadi akibat campur tangan Negara yang terlalu besar pada sector ekonomi. Dengan campur tangan yang terlalu besar ini terjadilah penyakit-penyakit ekonomi, seperti inflasi yang besar, persaingan yang tidak jalan dan lain-lain penyakit ekonomi yang tidak efisien
Untuk kasus tersebut, privatisasi menjadi alternative yang mendekati atau mungkin yang paling masuk akal. Ketika liberalisasi diterapkan, yakni menurunkan tariff dan menghapuskan sejumlah proteksi, dilaksanakan dengan cara yang tepat dan dengan kecepatan yang sesuai, dengan sendirinya akan tercipta lapangan pekerjaan yang baru, sementara lapangan pekerjaan yang tidak efisien dihilangkan, sehingga akan terjadi peningkatan efisiensi yang significan
Pola demikian sesungguhnya hanyalah “cara atau metode”, bukan “tujuan (goal). Akan tetapi dalam kenyataannya, kebijakan-kebijakan yang ditelorkan oleh Konsesnsus Washington ini menjadi tujuan, bahkan menjadi tujuan utama atau tujuan akhir. Kita kutif pendapat Stiglitz:
The problem was that many of these policies because ands in themselves, rather than means to more equitable and sustainable growth. In doing so these policies were pushed too far, too fast, and too the exclusions of other policies that were needed (Stglitz, 2002:53-54)

Dapat dibayangkan karena ia seharusnya adalah “alat”, tapi kemudian menjadi tujuan, yang didorong begitu jauh dan sangat-sangat cepat, tidak mencapai yang diharapkan……..bahkan membuat suasana semakin runyam
Runyam karena entah dasar dan tujuan apa, lembaga-lembaga ekonomi dunia, khususnya IMF, Bank Dunia dan WTO menjadikan Consesnsus Washington nan neoliberal ini menjadi ideology ekonomi-moneter dunia. Setiap Negara yang berhubungan dengan lembaga-lembaga ini harus mengikuti apa yang menjadi kebijakan Washington. Tidak terkecuali Indonesia yang mengalami krisis moneter pada medio 1997an mengikuti dengan sempurna “perintah-perintah atau dikte-dikte IMF”. Akibat perintah atau dikte ini, hingga saat ini, detik ini  perekonomian kita masih belum pulih.
Tidak hanya tidak pulih, malah dalam derivasinya telah memunculkan implikasi-implikasi yang negative, seperti yang kita bicarakan saat ini, yakni tentang kerusakan lingkungan.
Karena ia semata-mata hanya mengejar pertumbuhan (baca bukan pembangunan), sudah pasti akan mentitahkan bagaimana mengakumulasi capital sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan, apakah akumulasi itu merusak atau ………meminjam bahasa Drajad Wibowo, mengikuti Consensus Washington secara membabi buta. Yah seperti babi buta itu.

                                                                                             Kampus Merah Putih
                                                                                             Jakarta, 19 Juni 2010















PERAN NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL
TERHADAP LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN IKLIM









OLEH: REINHARD HUTAPEA











DISAMPAIKAN PADA SEMINAR POSTMAHI HI FISIP UNTAG
19 JUNI 2010


[1] Tema hari lingkungan tahun ini adalah “banyak spesies, satu planet, satu masa depan. Tahun 2010 ini dijadikan sebagai tahun kampanye pentingnya biodiversitas. Selain ditetapkan sebagai tahun biodiversitas internasional, pada Oktober mendatang akan dilaksanakan pertemuan para pihak Konvensi Keragaman Biologi di Jepang. Pertemuan ini dirasa penting karena keterancaman biodiversitas. Jika lingkungan, terutama ekosistem tropis terus menerus dihancurkan, dalam seabad bumi akan kehilangan setengah spesies penghuninya. Richard Leakey menyebut suasana saat ini dengan istilah kepunahan keenam (Yansen dalam Kompas, 5 Juni 2010)
[2] Issu ini mengemuka terutama sejak Club of Rome mengadakan pertemuan pada akhir 1970-an. Mereka melihat bahwa pola pengelolaan dunia yang titik sentralnya pada pertumbuhan ekonomi sudah pada tahaf membahayakan. Sumberdaya terbatasa, sementara terus menerus dieksploitasi. Club ini menyarankan supaya ditempuh pertumbuhan nol, apabila dunia ini ingin lestari
[3] MNCs/TNCs adalah korporasi atau perusahaan yang berusaha dibanyak Negara. Mereka mempunyai kekuatan dalam hal : modal, teknologi, organisasi dan ideology (Richard Barnett & Ronald Muller, 1974, Global Reach)
[4] Masalah bagaimana setiap Negara mengimplementasikan fungsi atau peran ini adalah tergasntung pada system yang dianutnya. Ada Negara yang sungguh-sungguh melaksanakan fungsi dan peran tersebut secara absolute. Artinya semua urusan demikian dilaksanakan penuh oleh Negara. Sebagian Negara menyerahkan pengelolaan kemakmuran atau kesejahteraan kepada pihak swasta, karena swasta yang dianggap lebih efisien dalam hal itu. Sementara fungsi Negara dominant hanya pada fungsi keamanan, politik luar negeri dan hukum.
[5] Pada umumnya alasan mengapa AS tidak bersedia meratifikasi Protocl Kyoto ini adalah demi kelangsungan ekonominya. Jika diratifikasi, konsekwensinya Negara adidaya ini harus mengurangi agresifitas industrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar