PERAN NEGARA DAN ORGANISASI INTERNASIONAL TERHADAP LINGKUNGAN
HIDUP DAN PERUBAHAN IKLIM
Oleh Reinhard Hutapea
Disampaikan
pada seminar POSTMAHI HI FISIP UNTAG, 19 Juni 2010
Pendahuluan
Tanggal 5 Juni yang lalu baru saja kita memperingati
hari Lingkungan Sedunia[1]
. tidak begitu ramai, namun pesan-pesan yang disampaikan cukup substantive.
Hampir semua media cetak pada tanggal tersebut menurunkan artikel-artikel
tentang Lingkungn hidup. Pesannya masih seperti sebelum-sebelumnya. Belum ada
yang baru, masih serba prihatin, sampai-sampai wakil Presiden
berkilah:…hentikan pidato tentang lingkungan. Mengapa beliau menyatakan
demikian?, mungkin karena belum ada upaya yang jelas tentang perbaikan
kerusakan lingkungan. Semua prihatain, semua mewacanakannya, tapi tetap saja
tidak ada ikhtiar perbaikan.Sekian pertemuan, sekian seminar internasional,
sekian Protokol yang sudah dicetuskan, tetap sebatas kertas yang indah nan
ilmiah, namun tidak ada terobosan yang berarti. Kenapa, mengapa demikian? jawabannya
cukup abstrak dan berliku-liku. Akan tetapi sebelum sampai kepada pembahasan
tersebut ideal kiranya diuraikan kenapa jurusan Hubungan Internasional membahas
lingkungan hidup
Kurikulum HI
Lingkungan Hidup saat ini resmi menjadi salah satu
bahasan dalam Ilmu Hubungan Internasional. Di UGM, bahkan ada satu mata kuliah
yang namanya “seminar lingkungan”, dimana yang aktif tidak lagi dosennya,
melainkan para mahasiswa. Mahasiswa didorong untuk membaca, membahas,
berdiskudi hingga pada tujuan akhir mata kuliah tersebut yakni melahirkan”
rekomendasi” untuk disampaikan kepada pihak yang berwenang. HI FISIP UNTAG juga
melaksanakan hal yang sama.
Dalih mengapa masalah lingkungan menjadi kurikulum HI
adalah karena masalah lingkungan sudah menjadi issu dunia, issu mondial atau
issu global. Tiada tempat, tiada bangsa, dan tiada negara yang luput dari
masalah lingkungan. Lingkungan sebagai tempat kehidupan adalah suatu sistem,
bukan suatu yang parsial yang dapat dikotak-kotakkan atau dipisah-pisahkan.
Sebagai suatu sistem dunia ia mempengaruhi seluruh kehidupan disetiap penjuru
dunia tersebut[2]
Dalam bukunya Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Robert Jackson dan George Sorensen (2005) mencantumkan Lingkungan Hidup sebagai
satu bahasan tersendiri, setelah sebelumnya masalah-masalah ekonomi (Ekonomi
Politik Internasional). Ternyata bukan cuma di HI, pada kurikulum Ilmu-ilmu
lain juga masalah lingkungan telah masuk pembahasannya. Tidak lagi seperti
dulu, yakni hanya bahasan ilmu Biologi pada umumnya
Sesuai dengan perkembangan jaman yang tidak statis, maka
Ilmu HI juga sudah banyak mengalami perubahan. Kalau pada awal terbentuknya
ilmu ini, bahasan yang banyak di bahas adalah masalah-masalah “security”, yakni
masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah keamanan dunia. Hal ini sejalan
karena pada waktu itu, dunia ini sedang diwarnai oleh “perang, ancaman,
agitasim provokasi hingga perang yang tidak melibatkan langsung actor-aktornya
alias perang dingin (cold war). HI pada waktu itu didominasi oleh perang dan
damai, politik, ideology dan militer. Buku-buku yang terbit pun pada waktu itu
mayoritas tentang perang dan damai. Mata-mata kuliah seperti Ilmu perang,
Politik Luar Negeri, Politik Internasional, ide-ide politik, konflik dan
resolusi menjadi sangat mengemuka.
Pasca berakhirnya perang dingin, yakni ditandai dengan
ambruknya almarhum Uni Soviet, masalah-masalah ekonomi mengemuka. Ekonomi yang
sebelumnya hanya subordinate dari politik (security) menjadi sejajar dengan masalah-masalah
politik. Dari “low politics” menjadi “high politics”.
Suasana ini
disambut oleh Ilmu HI, yakni dengan memasukkan bahasan ekonomi dalam
kurikulumnya. Supaya berbeda dengan ilmu ekonomi di Fakultas Ekonomi, maka mata
kuliah ini disebut dengan “Ekonomi Politik Internasional”.(EPI/Ekopolin).
Sejalan dengan tampilnya blok-blok ekonomi baru diberbagai belahan dunia ini,
seperti Uni Eropa, maka HI pun memasukkan mata kuliah “regionalisme” atau yang
lebih dikenal dengan “study kawasan” dalam kurikulumnya.
Seiring dengan pembahasan masalah-masalah ekonomi dalam
Ilmu HI, rupa-rupanya perkembangan ekonomi dunia juga berlangsung semakin pesat
dalam hal ketimpangannya. Pesat bagi segelintir Negara atau kekuatan-kekuatan
ekonomi lainnya seperti MNCs/TNCs[3],
tapi tidak bagi mayoritas bangsa-bangsa di dunia.
Perkembangan ekonomi
dunia pasca perang dingin begitu acumulatif. Segala kekuatan masing-masing
Negara atau khususnya actor-aktor ekonomi dieskalasikan sedemikian rupa……..supaya
terjadi akumulasi ekonomi yang sebesar-besarnya. Implikasi kemudian dari pola
seperti itu (acumulasi ekonomi tersebut) adalah “degradasi terhadap lingkungan”.
Segala sesuatu yang ada diupayakan agar serba bernilai ekonomis, serba
materalistik dan atau serba kapitalistik
Lingkungan Hidup oleh karenanya semakin terganggu, semakin
rusak, dan semakin mengancam kehidupan yang ada di dalamnya. Karena hampir
seluruh Negara melakukan akumulasi ekonomi tersebut, derivasi kemudian adalah menjadi kerusakan global. Inilah dalih
yang membuat Ilmu HI menjadikan
lingkungan satu bahasan/kurikulum tersendiri pada programnya. Sebelum ia
menjadi mata kuliah mayor (tersendiri), ia menjadi sub bahasan dalam mata
kuliah Ekonomi Politik Internasional.
Peran Negara dan
Organisasi Internasional
Makalah ini ditekankan kepada peran atau fungsi Negara
dan Organisasi Internasional. Artinya (walaupun tidak disebut dalam TOR) apa
yang akan dilakukan Negara dan Organisasi Internasional terhadap masalah
lingkungan. Mungkin kalau kita kembalikan kepada pertama sekali mempelajari
Ilmu HI maka peran Negara maupun Organisasi Internasional pasti sudah
diketahui. Dalam pengantar Ilmu HI maupun teori HI, sudah terang benderang
bahkan sudah sangat-sangat kasat mata apa yang disebut dengan Negara dan
Organisasi Internasional.
Negara (State) maupun Organisasi Internasional adalah
actor-aktor utama HI,Ia menjadi sangat sentral, menjadi unit analisis utama dalam
pembahasan-pembahasan HI, atau sering juga disebut sebagai subjek HI. Sebagai
actor maupun subjek, ia sudah jelas. Dalam lkhazanah Ilmu HI fungsi atau peran Negara
adalah:
Keamanan
Ketertiban
Kemakmuran
Kesejahteraan
Keadilan (Jackson and Sorensen, 2005)[4]
Masalah lingkungan, khususnya Kerusakan lngkungan sudah
pasti masuk dalam tanggung jawab negara . Artinya Negara harus berperan dalam
masalah itu. Tidak hanya mengakumulasi atau menggerus isinya, tapi, dan
terutama adalah melestarikannya Begitu pula organisasi-organisasi Internasional
sama dan sebangun dengan fungsi dan peran negara.
Dalam hal ini
yang utama dan terutama adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan
untuk menghindarkan perang dan menciptakan perdamaian. PBB dalam kiprahnya telah
mempunyai badan tersendiri mengurusi tentang kerusakan lingkungan.
Konperensi-konperensi mereka terhadap kerusakan lingkungan cukup intens
dilakukan
Salah satu upaya PBB untuk melestarikan lingkungan
adalah Protokol Kyoto. Dalam protocol tersebut telah diinstruksikan agar
Negara-negara segera mengurangi emisi carbon. Banyak yang sudah meratifikasi,
tapi yang paling diharapkan meratifiksi, karena dianggap paling banyak
memproduksi emisi karbon, yakni Amerika Serikat, ternyata belum bersedia.
Negara ini dengan segala dalihnya belum bersedia melaksanakan keputusan
Protocol Kyoto. Kenapa dan mengapa Negara adi daya tersebut tidak
meratifikasinya, cukup panjang alasannya[5]
Selain organisasi internasional yang intens
me….lingkungan ,Setiap Negara di dunia ini juga telah punya badan badan khusus
tentang lingkungan. Bahkan hampir semua Negara telah mempunyai satu kementerian
yang mengurusi lingkungan. Indonesia
punya KLH , Kementerian Lingkungan Hidup, begitu pula Negara-negara lain.
Organisasi-organisasi internasional diluar PBB begitu
juga. Green peace misalnya adalah nama yang sudah tidak asing bagi telinga
kita, sama dengan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) di Indonesia adalah
lembaga-lembaga yang sudah umum kita dengar dalam perjuangan lingkungannya.
Intelektual-intelektual pejuang Lingkungan juga sudah banyak
yang mengemuka. Kita dengar. Otto Somarwotho (alm) dan Emil Salim adalah
sosok-sosok yang intens memperjuangkan lingkungan di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka
sudah pasti akrab bagi penggiat lingkungan. Kalau Otto mengkajinya dominan dari
ilmu eksak (fisik/biology), Emil dari tinjauan ekonomi-sosial. Dari ilmu-ilmu yang
lain juga sudah banyak yang berspesialisasi terhadap lingkungan.
Asal Muasal Degradasi
Lingkungan
Degradasi atau kerusakan lingkungan yang akhir-akhir ini
berpengaruh terhadap perubahan iklim dapat dikaji dari berbagai ilmu maupun
dari berbagai persfektif. Penulis yang berlatar belakang Ilmu Ekonomi Politik
Internasional, akan melihatnya dari kacamata “ekonomi-politik”, khususnya dari
persfektif “liberal”. Persfektif ini sebelumnya populer dengan sebutan
“kapitalisme”. Isme atau paham yang memberhalakan “capital”. Perburuan capital,
modal atau uang menjadi tujuan utama. Bagaimana mengakumulasi capital adalah
tujuan utama bagi setiap kalangan, bangsa atau Negara yang menerapkannya.
Logikanya cukup sederhana. Untuk memenuhi capital setiap
bangsa atau Negara, sadar atau tidak telah melakukan pembagian kerja secara internasional.
Negara yang kuat, besar serta kaya, memburu capital melalui “komoditas” yang
sudah melalui “nilai lebih”. Komoditas ini adalah “barang dan jasa” yang sudah
melalui tahapan “manufactured”, atau bahasa canggihnya komoditas yang sudah
industrialized nan teknologis. Sebaliknya negara-negara yang lemah dan melarat,
yang mayoritas di dunia ini(NSB/Dunia lll) , untuk akumulasi capital hanya
mengandalkan komoditas primer, seperti Sumber Daya Alam (SDA). Sumber daya alam
ini pada umumnya adalah komoditas yang dominan dari hasil-hasil pertambangan,
hasil-hasil hutan/pertanian dan hasil-hasil alam lainnya.
Baik komoditas yang berbasis industri, teknologi maupun
yang berbasis sumber daya alam, kedua-duanya menyumbang kepada kerusakan
lingkungan. Komoditas teknologis
berimplikasi kepada semakin besarnya limbah, polusi dan atau yang
popular saat ini, yakni emisi carbon. Pabrik-pabrik, otomotif, elektonika dan
lain-lain komoditas teknologis telah mencemari lingkungan dimana pabrik-pabrik
itu beroperasi. Demikian pula penggerusan besar-besaran pertambangan,
hasil-hasil hutan di Negara-negara Sedang Berkembang/Dunia III telah membuat
kerusakan lingkungan yang semakin parah dari waktu ke waktu.
Pemikiran tersebut, yakni rusaknya lingkungan akibat
sistim kapitalisme sejalan dengan tulisan Arianto Sangaji pada tanggal 5 Juni
2010 di harian Kompas 5 Juni 2010 yang lalu. Beliau menyatakan bahwa kerusakan
lingkungan adalah karena sistim kapitalisme yang berlangsung saat ini. Lebih
rincinya beliau menyatakan:
Sekurang-kurangnya ada dua argumentasi melandasi anggapan tentang
masalah lingkungan hidup tertanam di dalam kapitalisme. Pertama, dengan berbasis
kompetisi, karakter utama sistem ini adalah perlombaan produksi komoditas
semurah mungkin, dimana sumber daya alam disubordinasikan ke dalam logika ini.
Tidak heran eksploitasi dan karenanya destruksi terhadap alam (dan juga buruh)
menjadi keharusan. Karakter kedua sistem ini adalah keharusan akumulasi tanpa
batas melalui ekspansi spasial yang progresif. Korporasi-korporasi
transnasional bergerak leluasa melintasi tembok-tembok Negara mengonversi
permukaan bumi untuk industri ekstraktif. Pada masa lalu, prakteknya melalui
kolonialisme, dan dalam 40 tahun terakhir, berlangsung di bawah rubric
neoliberalisme (Kompas, 5 Juni 2010)
Kata kunci baru dari kutipan ini adalah “neoliberalisme
dan korporasi transnasional”. Dua kata yang saling mengisi. Neoliberal adalah
ideologinya dan korporasi transnasional adalah pelaksananya. Neoliberal
sebagaimana dikatakan Stiglitz adalah aliran ekonomi yang memberikan kedaulatan
penuh kepada pasar. Sering juga disebut sebagai “market fundamentalism”. Aliran
ini muncul dari kesepakatan Ronald Reagan dan Margareth Thatcher pada tahun
1980-an
Kalau liberal (tanpa neo) sebelumnya masih mengakui
peran Negara terhadap ekonomi, sebagaimana dititahkan ekonom besar Inggris,
Keynes, pada neoliberal, peran itu telah ditiadakan sama sekali. Neoliberal
yang berslogan……pengetatan fiscal, privatisasi dan liberalisasi,
sungguh-sungguh telah memangkas peran Negara. Negara sebagaimana yang dikenal
dalam paham liberalisme klasik, fungsinya hanya sekedar penjaga malam
Apa, mengapa dan
bagaimana aliran neolibera ini berlangsung ideal kita kutif pendapat Stiglitz,
seorang ekonom besar, mantan penasihat Bill Clinton, mantan direktur Bank Dunia
dan saat ini gurubesar Columbia University serta pemenang nobel ekonomi pada
tahun 2001.
Fiscal austerity, privatization, and market liberalization were the
three pillars of Washington Consensus advice throughout the 1980s and 1990s.
the Washington Consensus policies were designed to respond to the very real
problem in Latin America, and made
considerable sense. In the 1980s, the government of those countries had often
run huge deficits. Losses inefficient, governments of those countries had often
run huge deficits. Losses inefficient government enterprises contributed to
those deficits. Insulated from competition by protectionist measures,
inefficient private firms forced customers to pay high prices. Loose monetary
policy led to inflation running out of control. countries persistently run large deficits and sustained
growth is not possible with hyperinflation. Some level of fiscal discipline is
required. Most countries would be better of with governments focusing on
providing essential public services rather than running enterprises that would
arguably perform better in the private sector, and so privatization often makes
sense. When trade liberalization – the lowering of tariffs and elimination of
other protectionist measures – is done in the right way and at the right pace,
so that new jobs are created as
inefficient jobs, are destroyed there can be significant efficiency
gains. (Stiglitz, 2002:53)
Consensus Washington
dirancang untuk merespons
masalah-masalah yang terjadi di Amerika Latin, dan kebijakan-kebijakan tersebut
tepat untuk masalah itu. Sebagaimana faktanya pada tahun-tahun 1980-an
pemerintah-pemerintah di Amerika Latin
mengalami deficits yang sangat besar. Hal ini terjadi akibat campur
tangan Negara yang terlalu besar pada sector ekonomi. Dengan campur tangan yang
terlalu besar ini terjadilah penyakit-penyakit ekonomi, seperti inflasi yang
besar, persaingan yang tidak jalan dan lain-lain penyakit ekonomi yang tidak
efisien
Untuk kasus tersebut, privatisasi menjadi alternative
yang mendekati atau mungkin yang paling masuk akal. Ketika liberalisasi
diterapkan, yakni menurunkan tariff dan menghapuskan sejumlah proteksi,
dilaksanakan dengan cara yang tepat dan dengan kecepatan yang sesuai, dengan
sendirinya akan tercipta lapangan pekerjaan yang baru, sementara lapangan
pekerjaan yang tidak efisien dihilangkan, sehingga akan terjadi peningkatan
efisiensi yang significan
Pola demikian sesungguhnya hanyalah “cara atau metode”,
bukan “tujuan (goal). Akan tetapi dalam kenyataannya, kebijakan-kebijakan yang
ditelorkan oleh Konsesnsus Washington
ini menjadi tujuan, bahkan menjadi tujuan utama atau tujuan akhir. Kita kutif
pendapat Stiglitz:
The problem was that many of these policies because ands in
themselves, rather than means to more equitable and sustainable growth. In
doing so these policies were pushed too far, too fast, and too the exclusions
of other policies that were needed (Stglitz, 2002:53-54)
Dapat dibayangkan karena ia seharusnya adalah “alat”,
tapi kemudian menjadi tujuan, yang didorong begitu jauh dan sangat-sangat
cepat, tidak mencapai yang diharapkan……..bahkan membuat suasana semakin runyam
Runyam karena entah dasar dan tujuan apa,
lembaga-lembaga ekonomi dunia, khususnya IMF, Bank Dunia dan WTO menjadikan
Consesnsus Washington
nan neoliberal ini menjadi ideology ekonomi-moneter dunia. Setiap Negara yang
berhubungan dengan lembaga-lembaga ini harus mengikuti apa yang menjadi
kebijakan Washington.
Tidak terkecuali Indonesia
yang mengalami krisis moneter pada medio 1997an mengikuti dengan sempurna
“perintah-perintah atau dikte-dikte IMF”. Akibat perintah atau dikte ini,
hingga saat ini, detik ini perekonomian
kita masih belum pulih.
Tidak hanya tidak pulih, malah dalam derivasinya telah
memunculkan implikasi-implikasi yang negative, seperti yang kita bicarakan saat
ini, yakni tentang kerusakan lingkungan.
Karena ia semata-mata hanya mengejar pertumbuhan (baca
bukan pembangunan), sudah pasti akan mentitahkan bagaimana mengakumulasi
capital sebesar-besarnya, tanpa memperdulikan, apakah akumulasi itu merusak
atau ………meminjam bahasa Drajad Wibowo, mengikuti Consensus Washington secara membabi buta. Yah seperti
babi buta itu.
Kampus Merah Putih
Jakarta,
19 Juni 2010
PERAN NEGARA
DAN ORGANISASI INTERNASIONAL
TERHADAP
LINGKUNGAN DAN PERUBAHAN IKLIM
OLEH: REINHARD HUTAPEA
DISAMPAIKAN PADA SEMINAR POSTMAHI HI FISIP UNTAG
19 JUNI 2010
[1] Tema hari lingkungan tahun ini adalah “banyak spesies, satu planet,
satu masa depan. Tahun 2010 ini dijadikan sebagai tahun kampanye pentingnya
biodiversitas. Selain ditetapkan sebagai tahun biodiversitas internasional,
pada Oktober mendatang akan dilaksanakan pertemuan para pihak Konvensi
Keragaman Biologi di Jepang. Pertemuan ini dirasa penting karena keterancaman
biodiversitas. Jika lingkungan, terutama ekosistem tropis terus menerus
dihancurkan, dalam seabad bumi akan kehilangan setengah spesies penghuninya.
Richard Leakey menyebut suasana saat ini dengan istilah kepunahan keenam
(Yansen dalam Kompas, 5 Juni 2010)
[2] Issu ini mengemuka terutama sejak Club of Rome mengadakan pertemuan
pada akhir 1970-an. Mereka melihat bahwa pola pengelolaan dunia yang titik
sentralnya pada pertumbuhan ekonomi sudah pada tahaf membahayakan. Sumberdaya
terbatasa, sementara terus menerus dieksploitasi. Club ini menyarankan supaya
ditempuh pertumbuhan nol, apabila dunia ini ingin lestari
[3] MNCs/TNCs adalah korporasi atau perusahaan yang berusaha dibanyak
Negara. Mereka mempunyai kekuatan dalam hal : modal, teknologi, organisasi dan
ideology (Richard Barnett & Ronald Muller, 1974, Global Reach)
[4] Masalah bagaimana setiap Negara mengimplementasikan fungsi atau
peran ini adalah tergasntung pada system yang dianutnya. Ada Negara yang
sungguh-sungguh melaksanakan fungsi dan peran tersebut secara absolute. Artinya
semua urusan demikian dilaksanakan penuh oleh Negara. Sebagian Negara
menyerahkan pengelolaan kemakmuran atau kesejahteraan kepada pihak swasta,
karena swasta yang dianggap lebih efisien dalam hal itu. Sementara fungsi
Negara dominant hanya pada fungsi keamanan, politik luar negeri dan hukum.
[5] Pada umumnya alasan mengapa AS tidak bersedia meratifikasi Protocl
Kyoto ini adalah demi kelangsungan ekonominya. Jika diratifikasi,
konsekwensinya Negara adidaya ini harus mengurangi agresifitas industrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar