DINASTI
POLITIK DAN REALITAS SOSIAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf
pengajar MIP UNITAS Palembang, Staf ahli
DPR RI 1999-2009,
sedang studi S3 Agribisnis UNSRI
Tertangkapnya ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mohtar oleh KPK beberapa waktu i lalu, tidak
saja menyempurnakan bahwa semua lembaga tinggi negara terjerat korupsi. Namun juga
menyeret langsung salah satu Gubernur yang berlumur dinasti politik kepusarannya.
Beliau adalah Ratu Atut Chosiah, orang nomor satu
Banten. Yang selain dituding terlibat money politics dalam pilkada-pilkada, terutama
adalah , terlibatnya keluarga besarnya
dalam jabatan-jabatan politik,ekonomi dan sosial di daerahnya. Lima dari delapan kepala daerah
tingkat dua, adalah saudara-saudaranya. Begitu pula akan jabatan-jabatandi/ ke
pusat, seperti suaminya yang anggota DPR RI, anaknya anggota DPD RI.
Analog dalam bidang ekonomi. Atut dan keluarganya ditengarai masuk empat besar
pengusaha Banten. Asset-asset ekonomi di daerahnya banyak dikuasai diri, keluargan dan kalangan-kalangan dekatnya.
Tidak jauh beda ketika Soeharto berkuasa, dimana asset-asset ekonomi banyak
dipegang oleh anak-anak dan croninya (Yoon Hwan Shin, 1994, Robison R, 1990)
Tidak hanya
dalam bidang politik (tahta) dan ekonomi
(harta), ternyata juga pada organisasi-organisasi sosial, seperti LSM,
Ormas mayoritas dikuasai oleh keluarga dan orang-orang dekatnya. Mengapa pola primitif demikian terjadi dalam
era kosmopolitan ? semata-mata karena keluarga Atut yang kemaruk ? atau justru sistim
- kultur masyarakat sendiri yang mendukungnya ?
Antitese
demokrasi
Secara singkat jawabannya
sudah pasti karena kemaruk. Kalau tidak mana
mungkin ketidaklaziman tersebut terjadi.
Jika saja, Atut dan keluarganya etis, bisa saja menolak berbagai jabatan
bergengsi itu agar tidak menjadi cercaan dikemudian hari. Tidak malah menggunakan,
wewenang/otoritas yang diberikan rakyat untuk
kepentingan pribadi dan keluarga.
Bahasa gaul atau
ilmiahnya tidak akan menempuh “oligarkhis”dalam
kekuasaannya. Atut sebagaimana para pemimpin-pemimpin lain telah paham bahwa
oligarkhi adalah sistim kekuasaan yang sesuai pada era kuno nan primitive. Kekuasaan yang masih patrimonial, yang
berlangsung pada jaman baheula, atau era
kegelapan abad pertengahan, yang tidak
cocok dengan situasi saat ini.
Kala itu sebagaimana setting
historisnya adalah kehidupan yang penuh
dengan feodalisme, serba hierarkhis,
atau berkasta-kasta. Susunan atau struktur masyarakat tertata dengan relasi “atasan-bawahan,
penguasa – yang dikuasai,dan hamba versus sahaya. Kehidupan yang tidak
horizontal, melainkan vertical.
Dalam struktur
seperti itu wajar saja mencuat politik dinastik. Satu keluarga,klik atau kelas tertinggi yang tak jarang dikonotasikan
mempunyai kekuatan adikodrati akan mengoperasionalkan keluarga, klik atau
faksinya dalam seluruh tatanan kemasyarakatan. Tidak terkecuali dalam
jabatan-jabatan politik dan ekonomi.
Selain karena
berasal dari kelas dan kasta tertinggi, sesuai dengan kelaziman konstatasi
seperti itu, kelas terendah, yakni mayoritas masyarakat, karena kesadarannya
tidak mungkin merebutnya. Kaum ini, sadar bahwa mereka adalah “abdi” tanpa syarat
kepada kelas diatasnya.
Inilah pengejawantahan struktur masyarakat
dalam era feudal atau patrimonial nan primitive. Yakni masyarakat yang tidak bebas, tidak setara
sebagaimana pesan demokrasi modern.
Konsekwensinya sikap,
karakter, mentalitas atau ethos yang terbangun, juga akan seperti itu. Yakni
ethos hierarkhis yang bertingkat-tingkat atau beraja-raja. Ethos yang selalu
mengalah dan kalah, meski sesungguhnya ia benar. Maksimal yang dapat dilakukan
hanya ngerundel, menggerutu, atau berbisik-bisik diluar panggung. Artinya kelas
bawah nan mayoritas telah terlembaga mentalitas yang hanya mendongak atau
berorientasi ke atas (bottom up).
Sebaliknya kelas atas, tanpa reserve hanya berlakon
melotot atau menjalankan perintah ke bawah (top down) , ke kelas yang mayoritas
tadi. Sistim komando, atau komunikasi satu arah tak lebih tak kurang.
Sekali lagi polanya tetap..hierarkhis…vertical…dan asimetri. Suatu
anti tesa dari paradigm
kosmopolitanisme yang berlabel ”
kesetaraan, egalitarian, simetri dan atau khususnya demokratis”
Hipokrit
Menjadi kontradiktif/aneh,
kalau praksis-praksis primitif itu masih berlangsung dalam era yang (katanya) sudah
demokratis, bahkan cosmopolitan. Lebih
aneh lagi, karena kedinastian nan primitive tersebut dipentaskan langsung berhadapan dengan
Ibukota Negara nan megapolitan. Tidak misalnya di Papua, Minahasa atau Aceh nun jauh disana.
Sungguh suatu mozaik
yang paradoksal, dichotomis atau hitam-putih. Ibukota
yang cosmopolitan vis a vis dengan satelitnya nan primitif. Rupa-rupanya Ibukota
yang demokratis, megapolitan tidak ada
pengaruhnya terhadap Banten nan dinastik.
Banten is Banten, Ibukota is Ibukota, begitu faktanya
Namun kalau diterawang lebih seksama,
jangan-jangan apa yang dipraksiskan di Banten, adalah
karakter asli Indonesia sesungguhnya. Karakter yang selalu
bertolak belakang dalam dirinya. Meminjam Koentjaraningrat (1972) antara
kepercayaan/kognisi dan perilakunya tidak sejalan
Dikatakan menganut kedaulatan rakyat, namun yang
berlangsung (secara hakiki) adalah patrimonial/kerajaan. Begitu pula dalam
relasi sosial-ekonomi dikatakan menganut pola “kerjasama” (cooperation),
faktanya adalah persaingan bebas (competition), dan lain-lain nilai yang
paradoksal.
Paradox
Indonesia. Indonesia paradox, mungkin itulah realitanya. Meski menyakitkan apa
yang disinyalir Mohtar Lubis tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM) bahwa
manusia Indonesia itu “hipokrit, enggan bertanggung jawab, feudal, percaya
tahyul dan wataknya lemah”, mendekati kebenarannya saat ini.
Oleh karena itu kita sebaiknya tidak usah hipokrit bahwa
Indonesia itu selalu menjalankan dua hal yang saling bertolak belakang secara bersama-sama.
Demokrasi dipraktekkan, sebaliknya kerajaan juga dipraksiskan. Saling tindih
menindih sehingga out putnya sering amburadul atau berantakan berkeping-keping.
Nation and character building
Antitese pelembagaan
demikianlah yang tak tuntas diselesaikan Indonesia sejak kemerdekaannya. Secara hukum negeri ini
merdeka, namun secara fungsional kemasyarakatan, hampir tanpa perubahan sosial (social
change). Artinya meski sudah merdeka, mental, karakter atau ethosnya masih permanen
terjajah. Inlander atau rendah diri urai
Sri Edi Swasono suatu waktu (2012). Dengan kasar Bung Karno dulu menyebutnya sebagai “mental koeli-bangsa koeli”.
Atas dasar
itulah pemimpin besar revolusi tersebut menawarkan antitese atau terapi yang
bernama “nation and character building” , alias pembangunan karakter dan pembangunan
kebangsaan. Pembangunan fundamental yang harus dituntaskan suatu bangsa sebelum
membangun yang lain-lainnya. Sayang sebelum konsep itu dijalankan, ia keburu terjungkal sehingga cita-citanya layu sebelum
berkembang
Kalau saja cita-cita
agung tersebut teraplikasi sebagaimana pengalaman-pengalaman negara lain
membangun karakter bangsanya, masalah-masalah
yang dihadapi Banten saat ini dengan oligarkhinya, mungkin tidak akan
pernah tampil kepermukaan. Kepentingan-kepentingan sempit (vested interest),
seperti dinasti/oligarchi tidak mempunyai tempat pada bangsa yang telah
berkarakter. Apakah hanya monopoli Banten? Tidak
Kalau kita mau jujur sesungguhnya apa yang
dialami Banten dengan mega oligarchinya, juga terjadi di daerah-daerah lain. Tidak
semata-mata monopoli kekuasaan Atut. Bedanya hanyalah bahwa Banten sudah
dipermalukan media. Yang lain
sebagaimana teori arisannya Ahmad Mubarok, tinggal menunggu gilirannya.
Oleh karena itu
, agar penyakit kronis itu tidak menular terus sudah waktunya dihentikan. Stop
semua itu. Mari kita selesaikan secara mendasar, yakni kembali ke khittah
semula, yakni “nation and character building”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar