Minggu, 28 Mei 2017

DINASTI POLITIK DAN REALITAS SOSIAL




DINASTI POLITIK DAN REALITAS SOSIAL
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar MIP UNITAS  Palembang, Staf ahli DPR RI 1999-2009,
 sedang studi S3 Agribisnis  UNSRI

Tertangkapnya ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mohtar oleh KPK beberapa waktu i lalu, tidak saja menyempurnakan bahwa semua lembaga tinggi negara  terjerat korupsi. Namun   juga menyeret langsung salah satu Gubernur yang berlumur dinasti politik kepusarannya.
Beliau  adalah Ratu Atut Chosiah, orang nomor satu Banten. Yang selain dituding terlibat money politics dalam pilkada-pilkada, terutama  adalah , terlibatnya keluarga besarnya dalam jabatan-jabatan politik,ekonomi dan sosial  di daerahnya. Lima dari delapan kepala daerah tingkat dua, adalah saudara-saudaranya. Begitu pula akan jabatan-jabatandi/ ke pusat, seperti suaminya yang anggota DPR RI, anaknya anggota DPD RI.
Analog  dalam bidang ekonomi. Atut  dan keluarganya ditengarai masuk empat besar pengusaha Banten. Asset-asset ekonomi di daerahnya banyak  dikuasai diri,  keluargan dan kalangan-kalangan dekatnya. Tidak jauh beda ketika Soeharto berkuasa, dimana asset-asset ekonomi banyak dipegang oleh anak-anak dan croninya (Yoon Hwan Shin, 1994, Robison R, 1990)
Tidak hanya dalam bidang politik (tahta)  dan ekonomi (harta), ternyata juga pada  organisasi-organisasi sosial, seperti LSM, Ormas mayoritas dikuasai oleh keluarga dan orang-orang dekatnya.  Mengapa pola primitif demikian terjadi dalam era kosmopolitan ? semata-mata karena keluarga Atut yang kemaruk ? atau justru sistim - kultur masyarakat sendiri yang mendukungnya ?

Antitese demokrasi
Secara singkat jawabannya sudah pasti karena kemaruk. Kalau tidak  mana mungkin ketidaklaziman tersebut  terjadi. Jika saja, Atut dan keluarganya etis, bisa saja menolak berbagai jabatan bergengsi itu agar tidak menjadi cercaan dikemudian hari. Tidak malah menggunakan, wewenang/otoritas  yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi dan keluarga.
Bahasa gaul atau ilmiahnya  tidak akan menempuh “oligarkhis”dalam kekuasaannya. Atut sebagaimana para pemimpin-pemimpin lain telah paham bahwa oligarkhi adalah sistim kekuasaan yang sesuai pada era kuno nan primitive.  Kekuasaan yang masih patrimonial, yang berlangsung pada  jaman baheula, atau era kegelapan  abad pertengahan, yang tidak cocok dengan situasi saat ini.
            Kala itu sebagaimana setting historisnya adalah  kehidupan yang penuh dengan  feodalisme, serba hierarkhis, atau berkasta-kasta. Susunan atau struktur masyarakat  tertata dengan relasi “atasan-bawahan, penguasa – yang dikuasai,dan hamba versus sahaya. Kehidupan yang tidak horizontal, melainkan vertical.
Dalam struktur seperti itu  wajar saja  mencuat  politik dinastik. Satu keluarga,klik  atau kelas tertinggi yang tak jarang dikonotasikan mempunyai kekuatan adikodrati akan mengoperasionalkan keluarga, klik atau faksinya dalam seluruh tatanan kemasyarakatan. Tidak terkecuali dalam jabatan-jabatan politik dan ekonomi.
Selain karena berasal dari kelas dan kasta tertinggi, sesuai dengan kelaziman konstatasi seperti itu, kelas terendah, yakni mayoritas masyarakat, karena kesadarannya tidak mungkin merebutnya. Kaum ini,  sadar bahwa mereka adalah “abdi” tanpa syarat kepada kelas diatasnya.
 Inilah pengejawantahan struktur masyarakat dalam era feudal atau patrimonial nan primitive. Yakni  masyarakat yang tidak bebas, tidak setara sebagaimana pesan demokrasi modern.
Konsekwensinya sikap, karakter, mentalitas atau ethos yang terbangun, juga akan seperti itu. Yakni ethos hierarkhis yang bertingkat-tingkat atau beraja-raja. Ethos yang selalu mengalah dan kalah, meski sesungguhnya ia benar. Maksimal yang dapat dilakukan hanya ngerundel, menggerutu, atau berbisik-bisik diluar panggung. Artinya kelas bawah nan mayoritas telah terlembaga mentalitas yang hanya mendongak atau berorientasi ke atas (bottom up).
 Sebaliknya kelas atas, tanpa reserve hanya berlakon melotot atau menjalankan perintah ke bawah (top down) , ke kelas yang mayoritas tadi. Sistim komando, atau komunikasi satu arah tak lebih tak kurang.
 Sekali lagi polanya tetap..hierarkhis…vertical…dan asimetri. Suatu anti tesa dari paradigm 
kosmopolitanisme yang berlabel  kesetaraan, egalitarian, simetri dan atau khususnya demokratis


Hipokrit
Menjadi kontradiktif/aneh, kalau praksis-praksis primitif itu masih berlangsung dalam era yang (katanya) sudah demokratis, bahkan cosmopolitan.  Lebih aneh lagi, karena kedinastian nan primitive tersebut dipentaskan langsung  berhadapan   dengan Ibukota Negara nan megapolitan. Tidak misalnya  di Papua, Minahasa atau Aceh nun jauh disana.
Sungguh suatu mozaik yang paradoksal, dichotomis atau hitam-putih.   Ibukota yang cosmopolitan vis a vis dengan satelitnya nan primitif. Rupa-rupanya Ibukota yang demokratis, megapolitan tidak  ada pengaruhnya terhadap  Banten nan dinastik. Banten is Banten, Ibukota is Ibukota, begitu faktanya
            Namun kalau diterawang lebih seksama, jangan-jangan apa yang dipraksiskan di Banten,   adalah karakter  asli  Indonesia sesungguhnya. Karakter yang selalu bertolak belakang dalam dirinya. Meminjam Koentjaraningrat (1972) antara kepercayaan/kognisi dan perilakunya tidak sejalan
Dikatakan  menganut kedaulatan rakyat, namun yang berlangsung (secara hakiki) adalah patrimonial/kerajaan. Begitu pula dalam relasi sosial-ekonomi dikatakan menganut pola “kerjasama” (cooperation), faktanya adalah persaingan bebas (competition), dan lain-lain nilai yang paradoksal.
Paradox Indonesia. Indonesia paradox, mungkin itulah realitanya. Meski menyakitkan apa yang disinyalir Mohtar Lubis tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki (TIM) bahwa manusia Indonesia itu “hipokrit, enggan bertanggung jawab, feudal, percaya tahyul dan wataknya lemah”, mendekati kebenarannya saat ini.
Oleh karena itu  kita sebaiknya tidak usah hipokrit bahwa Indonesia itu selalu menjalankan dua hal yang saling bertolak belakang secara bersama-sama. Demokrasi dipraktekkan, sebaliknya kerajaan juga dipraksiskan. Saling tindih menindih sehingga out putnya sering amburadul atau berantakan berkeping-keping.

Nation and character building
Antitese pelembagaan demikianlah yang tak tuntas diselesaikan Indonesia sejak  kemerdekaannya. Secara hukum negeri ini merdeka, namun secara fungsional kemasyarakatan, hampir tanpa perubahan sosial (social change). Artinya meski sudah merdeka, mental, karakter atau ethosnya masih permanen terjajah. Inlander  atau rendah diri urai Sri Edi Swasono suatu waktu (2012). Dengan kasar Bung Karno dulu menyebutnya  sebagai “mental koeli-bangsa koeli”.
Atas dasar itulah pemimpin besar revolusi tersebut menawarkan antitese atau terapi yang bernama  nation and character building” , alias pembangunan karakter dan pembangunan kebangsaan. Pembangunan fundamental yang harus dituntaskan suatu bangsa sebelum membangun yang lain-lainnya. Sayang sebelum konsep itu dijalankan, ia keburu  terjungkal sehingga cita-citanya layu sebelum berkembang
Kalau saja cita-cita agung tersebut teraplikasi sebagaimana pengalaman-pengalaman negara lain membangun karakter bangsanya, masalah-masalah  yang dihadapi Banten saat ini dengan oligarkhinya, mungkin tidak akan pernah tampil kepermukaan. Kepentingan-kepentingan sempit (vested interest), seperti dinasti/oligarchi tidak mempunyai tempat pada bangsa yang telah berkarakter. Apakah hanya monopoli Banten? Tidak
 Kalau kita mau jujur sesungguhnya apa yang dialami Banten dengan mega oligarchinya, juga terjadi di daerah-daerah lain. Tidak semata-mata monopoli kekuasaan Atut. Bedanya hanyalah bahwa Banten sudah dipermalukan  media. Yang lain sebagaimana teori arisannya Ahmad Mubarok, tinggal menunggu gilirannya.
Oleh karena itu , agar penyakit kronis itu tidak menular terus sudah waktunya dihentikan. Stop semua itu. Mari kita selesaikan secara mendasar, yakni kembali ke khittah semula,  yakni “nation and character building”. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar