PIDATO POLITIK PEMUDA DEMOKRAT
2008
PADA HARI
ULANG TAHUN
PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA
OLEH: H.FACHRUDDIN
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Marhaen! Marhaen! Marhaen!
Yang Terhormat,
………………….
………………….
Panitia Hari Ulang Tahun
Para peserta seminar politik
Aksi Kebangsaan
Para Undangan dan
Rekan-rekan Wartawan Media
Cetak maupun Media Elektronik
Marilah kita memanjatkan puji dan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT, karena atas perkenaannyalah kita dapat
berkumpul ditempat yang bersejarah, sejuk dan berbahagai ini untuk menghadiri
dan mengikuti Perayaan Hari Ulang Tahun Pemuda Demokrat Indonesia ke enampuluh
satu dalam keadaan sehat walafiat
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
tujuan rutin dari suatu peringatan Ulang Tahun suatu organisasi pada umumnya adalah,
pertama, merayakan atau mensyukuri perjalanan organisasi (usia) yang sudah
ditempuh, kedua, instropeksi atau evaluasi apa-apa yang sudah diperbuat selama
ini, ketiga, memantapkan arah, sasaran dan program kerja, keempat, adalah
melahirkan suatu terobosan (rekomendasi) yang dirasakan penting terhadap suatu
peristiwa.
Saudara Saudara Yang Terhormat
Perayaan kali ini mempunyai nilai yang
khusus, sebab mulai pagi hingga sore tadi, kita telah melaksanakan seminar
politik Wawasan Kebangsaan dengan bekerjasama dengan Direktortat Jenderal
Kesatuan Pembangunan Politik (Dirjen Kesbangpol) Departemen Dalam Negeri. Dalam
seminar tersebut telah dibahas, apa sesungguhnya wawasan Kebangsaan atau
Nasionalisme, bagaimana sejarahnya, bagaimana pelaksanaannya, adakah tantangan-tantangan
terhadapnya? Telah dibahas secara mendalam oleh beberapa pembicara yang
kompeten untuk itu
Selain itu untuk menghargai kebudayaan atau
kesenian kita, tadi sore, yakni jam 16.00 sampai jam 18.00 WIB telah
diselenggarakan pagelaran kebudayaan dari berbagai suku kita. Suatu pagelaran
yang sungguh-sungguh mengetengahkan kesenian-kesenian asli daerah dan suatu teatrikal
yang menggambarkan keadaan bangsa kita dewasa ini. Pagelarannya sebagaimana
baru berlangsung sudah sama-sama kita, nikmati, kecuali bagi mereka yang baru
saja hadir.
Saudara-saudara yang terhormat
Pelaksanaan seminar dengan tema Wawasan
Kebangsaan, pagelaran budaya nusantara dan pemilihan tempat bersejarah, sengaja
kami lakukan , mengingat keberadaan, eksistensi atau watak Pemuda Demokrat Indonesia adalah
pada nilai-nilai tersebut. Karakter Pemuda Demokrat Indonesia 100% adalah Wawasan Kebangsaan yang dulu
istilahnya terkenal dengan sebutan “Nasionalisme”
Nasionalisme menjadi latar belakang
lahirnya Pemuda Demokrat Indonesia
pada tanggal 31 Mei 1947 di Solo. Pemuda Demokrat Indonesia yang sangat mencintai
kemerdekaan yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, merasa terpanggil
untuk dapat mengisinya. Membantu pejuang-pejuang nasional, dan pendiri-pendiri negara
yang pada saat itu terus dirongrong Belanda yang tidak ikhlas melihat Indonesia
merdeka
Belanda tidak henti-hentinya memprovokasi,
memecah belah dan mengadakan aksi fisik. Pemuda Demokrat Indonesia yang bertekad
mempertahankan kemerdekaan, sudah barang tentu tidak dapat menerima keadaan tersebut, dan
sebagai konsekwensinya ikut angkat senjata hingga Belanda angkat kaki tahun
1949.
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia,
perjuangan fisik berubah menjadi perjuangan politik. Pemuda Demokrat yang
berideologi nasionalis, selanjutnya merubah perjuangannya, sesuai dengan
perkembangan yang ada, yakni tidak lagi ikut mengangkat senjata, tapi berpartisipasi
aktip dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebagai
manifestasinya organisasi ini meleburkan diri kedalam partai yang sama azas dan
ideologinya yakni Partai Nasional Indonesia (PNI)
Tahun 1963, Pemuda Demokrat Indonesia
menyatukan diri dengan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) , dan resmi menjadi
underbouw PNI. Bersama Partai yang didirikan Bung Karno ini, Pemuda Demokrat
Indonesia yang sudah berafiliasi dengan GPM, selanjutnya mendapat
pelajaran-pelajaran dan latihan-latihan politik , yakni bagaimana seharusnya
berperan, berfungsi memperjuangkan cita-cita (ideology Marhaenisme), merebut
kekuasaan untuk mengimplementasikan ideologi besar tersebut untuk
sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bangsa dan negara
Setiap saat, hampir tiada henti, PNI
menggembleng kader-kader, khususnya organisasi sayapnya dengan
pendidikan-pendidikan politik yang benar. Partai sungguh-sungguh menjalankan
fungsinya sebagai “agregasi dan artikulasi politik”. Pemuda Demokrat yang sudah
meleburkan diri ke GPM, tidak terkecuali, mendapat pelatihan-pelatihan politik,
kepemimpinan dan lain-lain metode untuk menghasilkan suatu kader yang handal,
vocal dan militan
Terbukti memang, hingga hari ini
kader-kader yang pernah digembeleng bersama-sama PNI punya karakter yang khas
dan kuat, yakni sangat nasionalistik dan sangat mencintai negerinya. Mereka
kuat dan tegar terhadap prinsip dan pendirian politiknya Hal ini dikemukakan
untuk membedakannya dengan kader-kader yang menggejala akhir-akhir ini, yakni
kader-kader yang semata-mata (an sich) praktis-pragmatis, yang tidak
berpendirian, yang mirip kutu loncat, yang hanya mementingkan diri atau
kelompoknya saja. Pemuda Demokrat Indonesia sebaliknya tetap pada karakternya
yakni tetap idealistik, realistik dan melihat jauh ke depan.
Saudara-saudara yang terhormat
Akan tetapi ditengah-tengah penggemblengan
Pemuda Demokrat Indonesia
dalam PNI, terjadilah perubahan besar dinegeri ini. Pada pertengahan tahun
1960-an, Bung Karno dijatuhkan dari singgasana kekuasaan. Tidak hanya
dijatuhkan, namun jauh di atas itu adalah bahwa seluruh kebijakan-kebijakannya yang
ditempuhnya diporak-porandakan
Kebijakan-kebijakan yang pada umumnya
adalah berorientasi kepada kekuatan sendiri, atau berdikari dirubah total oleh
rezim Orde Baru yang berkuasa. Prinsip rezim baru adalah “Politik no- ekonomi
yes”, atau ‘Pembangunan yes-politik no”.
Politik bagi kekuatan baru ini dianggap
hanya sebagai biang kerok kekacauan, keributan yang menciptakan instabilitas.
Oleh karena itu semua institusi yang berhubungan dengan lembaga-lembaga politik
akan direstrukturisasi. Politik kepartaian akan disederhanakan. Partai yang
diizinkan hanyalah yang loyal kepada penguasa yang baru. PNI yang berazas
Marhaenisme dan identik dengan Bung Karno mengalami dilemma. Mau bertahan pada
prinsipnya atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang sudah berubah?
Sebagai manifestasinya ada dua kubu, yakni
yang bertahan dan yang menyesuaikan diri. Yang bertahan dikonotasikan sebagai
PNI ASU, sedangkan yang menyesuaiakan dengan perkembangan politik yang ada
disebut sebagai PNI Osa-Usep. Masing-masing pihak membenarkan jalan yang
ditempuhnya. Keadaan ini sudah barang tentu akan berimbas kepada organ-organ
yang dinaunginya, seperti GPM.
Sebagaimana yang terjadi pada PNI , hal inipun
terjadi pada pemuda-pemudanya. Ada
yang bertahan dalam prinsip, sebaliknya ada yang menyesuaikan diri dengan
perkembangan yang ada
Saudara-saudara yang terhormat
Suasana yang tidak kondusif demikian
semakin runyam, ketika salah satu arsitek Orde Baru yang bernama, Ali Murtopo,
mengutak-atik penataan kepemudaan di Indonesia. ia memperkenalkan konsep
atau gagasan yang disebut
1. professionalisasi,
2. institusionalisasi dan
3. transpolitisasi” pemuda.
Konsep inilah yang akhirnya mendasari
pelembagaan kegiatan kepemudaan dalam dua jalur, yaitu intra sekolah dan ekstra
sekolah. Kegiatan pemuda yang berada dalam lembaga pendidikan tinggi didasarkan
kepada pengaturan yang disebut dengan “Wawasan Almamater”. Suatu mekanisme yang
kenyatannya tidak dikelola secara otonom oleh kaum muda.
Pada jalur diluar sekolah, pengaturannya
berwujud kelembagaan kegiatan dalam apa yang disebut dengan Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) dan Karang Taruna. Akan tetapi sebagaimana kenyatannya,
pembentukan KNPI maupun Karang Taruna hanyalah instrumen untuk mengekang
politik pemuda. Pemuda boleh berpolitik, hanya apabila mendukung rezim yang
sedang berkuasa.
Melihat suasana yang tidak sehat tersebut,
beberapa tokoh GPM , tanpa membubarkan organisasi tersebut mendeklarasikan
kembali tampilnya Pemuda Demokrat Indonesia, tanggal 27 Agustus 1982.
Salah satu tokohnya adalah Bambang Haryanto (alm) dan bernaung secara
korporatis di bawah bendera KNPI. Pro dan kontra muncul dikalangan GPM maupun
kaum nasionalis pada umumnya. Yang tidak setuju dengan Pemuda Demokrat Indonesia
terus bernaung di bawah GPM yang diketuai Rahmawati Soekarnoputri dan memilih diluar
KNPI.
Saudara-saudara yang terhormat,
Menjelang akhir 1990-an, yakni ketika
kekuasan Soeharto sudah mulai kehilangan pamor dan mulainya angin reformasi
berhembus, Pemuda Demokrat Indonesia
mengkonsolidasikan diri, baik secara horizontal maupun vertical.. Secara
horizontal mengkonsolidasikan diri dengan keluarga besarnya, seperti eks-eks
PNI, eks-eks GMNI/Alumni dan kaum nasionalis lainnya. Pola ini dilakukan untuk
menyamakan visi, misi dan persepsi kepada suasana yang akan berubah (social and
political change). Selain itu adalah menghilangkan “gap” yang pernah terjadi,
baik yang disengaja, maupun yang sebaliknya (tidak disengaja)
Secara vertical melakukan kerjasama dengan
kekuatan-kekuatan progresif lainnya. Baik itu dengan organisasi-organisasi
kepemudaan, kekuatan-kekuatan politik dan organisasi-organisasi masyarakat
lainnya. Konsolidasi ini akhirnya menghasilkan apa yang dicita-citakan, yakni
tumbangnya kekuatan Orde Baru (Soeharto) oleh kekuatan-kekuatan reformis.
Akan tetapi meskipun Pemuda Demokrat Indonesia
turut melahirkan reformasi, tidak serta merta mengikuti pesan-pesan yang
dibawanya. Pemuda Demokrat Indonesia
punya catatan sendiri tentang reformasi. Catatan ini adalah bahwa, pesan-pesan
atau tuntutan reformasi itu tidak 100% pemikiran putra-putri Indonesia. Disinyalir kekuatan-kekuatan
kapital asing yang dimotori oleh IMF turut bermain di dalamnya.
Kenyataan ini kemudian mendapat
pembenarannya, yakni sejak krisis moneter 1997, Indonesia sudah bertekuk lutut
kepada organisasi keuangan internasional tersebut. Dan sewaktu semua
partai-partai politik pemenang pemilu 1999 ditanyakan IMF apakah masih dapat
menerima “mekanisme pasar” dalam sistim perekonomiannya, tak satupun yang
membantah.
Hal ini semakin terbukti kemudian, ketika saran-sarannya
tidak membuat perekonomian Indonesia semakin baik, malah sebaliknya
menjerumuskannya ke jurang yang yang semakin dalam, sebab memaksakan utang yang
seharusnya dibayar pihak swasta, dibayar
oleh negara melalui mekanisme APBN. Demikian pula dalam penyusunan-penyusunan
APBN banyak dicampuri IMF.
Bagaimana selanjutnya peran IMF ini dalam
perekonomian dan perpolitikan negeri ini tidak perlu kami jabarkan lebih jauh,
sebab kami yakin bahwa yang hadir saat ini sudah mengetahuinya lebih jauh.
Pidato ini selanjutnya akan diteruskan kepada apa sesungguhnya yang menjadi
renungan, pernyataan atau rekomendasi Pemuda Demokrat di usianya yang sudah
mencapai enam puluh satu tahun.
Saudara-saudara yang terhormat,
Kalau kita uraikan masalah-masalah yang
kita hadapi, mungkin tidak akan habis-habisnya diuraikan. Cukup banyak, panjang
dan luas. Akan tetapi walaupun demikian, izinkanlah kami memberi penilaian
tentang keadaan bangsa kita dewasa ini., sebab perayaan kali ini juga
bertepatan dengan bertepatan peringatan 100 tahun hari kebangkitan nasional dan
beberapa jam lagi adalah peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni. Pertanyaannya
adalah: sudah sejauh mana cita-cita kebangkitan nasional, khususnya cita-cita
kemerdekaan kita capai? Ibarat perhitungan matematika, sudah berapa persen?
Untuk menjawabnya tentu tidak sulit. Kita
perlu membuat ukuran, parameter atau standard. Kalau pada era kebangkitan
nasional, ukurannya adalah kemerdekaan!, yakni bebas dari penjajahan, pertanyannya
adalah apakah kita sudah merdeka dan lepas dari kolonialisme?. Jawabannya sudah
sama-sama kita ketahui. Kita sudah merdeka dan bebas dari kolonialisme. Tapi
apabila substansi kemerdekaan itu yang menjadi ukuran, apakah kita sudah
merdeka?. Disini masalahnya.
Apa rupanya
yang menjadi ukuran merdeka?. Untuk ini pun jawabannya cukup banyak. Pemuda
Demokrat Indonesia
sendiri telah membuat ukurannya. Ukuran ini dapat dilihat dari sifat dan tujuan
Pemuda Demokrat Indonesia,
sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasarnya. Sifat ini adalah:
1. anti kemiskinan
2. anti penindasan,
3. anti ketidakadilan
4. bebas dari kapitalisme
5. bebas dari imperialisme
6. bebas dari feodalisme
masihkah nilai-nilai itu tetap bertahan? apabila
keenam nilai-nilai tersebut masih ada atau masih bertahan, berarti kita belum
merdeka. Sungguh-sungguh bangsa ini belum merdeka. Mari kembali sama-sama kita
renungkan, sudah sejauh mana nilai-nilai tersebut dihapuskan.
Akan
tetapi supaya lebih afdol, ukuran yang dikemukakan Bung Karno adalah yang
paling umum. Bung Karno menyatakan bahwa bangsa itu telah merdeka apabila
mencapai tiga hal, yakni:
1. berdaulat dalam bidang politik
2. berdikari dalam bidang ekonomi, dan
3. berkepribadian dalam bidang kebudayaan
Kembali kita pertanyakan, sudah sejauh mana
nilai-nilai tersebut dilaksanakan!.
Jawabannya mungkin sudah sama-sama kita ketahui. Semakin hari, semakin lama
keadaan bangsa kita bukan semakin baik, melainkan sebaliknya terus terpuruk.
Minggu-minggu ini adalah catatan yang tidak
dapat kita lupakan, yakni naiknya harga BBM yang mendapat protes dimana-mana.
Pemerintah kecenderungannya tidak berpikir panjang sebelum kebijakan yang tidak
popular itu ditempuh.dengan kata lain pemerintah tidak pro rakyat, melainkan lebih
mengutamakan kepentingan-kepentingan asing, kepentingan pemodal dan kepentingan-kepentingan sempit lainnya
Saudara-saudara yang terhormat,
Itulah bukti bahwa negeri ini secara
ekonomi sesungguhnya belum merdeka. Pemerintah yang seharusnya melindungi
segenap, bangsa dan tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan dan
memberikan kecerdasan pada rakyatnya sebagai mana yang tertuang dalam pembukaan
UUD 1945, malah sebaliknya lebih mengutamakan
(pro) kepada kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri.
Suatu keadaan yang sesungguhnya sudah lama
diingatkan Bung Karno. Pemimpin besar revolusi ini jauh-jauh hari sudah
mengingatkan bahwa suatu waktu nanti akan datang penjajah baru yang tidak
memakai serdadu dan meriam, melainkan ekonomi. Penjajahan model baru ini jauh
lebih sadis dan kejam daripada penjajahan-penjajahan konvensional sebelumnya,
sebab akan memakai bangsa sendiri sebagai antek-anteknya. Istilah populernya
adalah “Nekolim”, alias neo kolonialisme, neo imperalisme.
Kenaikan BBM yang kita hadapi saat ini adalah
fakta dari peringatan Bung Karno tersebut, sebab kita lebih menghargai “pasar
internasional, ideologi neo liberal dan Consensus Washington, ketimbang
Pancasila, UUD 1945 dan lain-lain kepentingan rakyat.
Hal
ini sudah menggejala, sejak Bung Karno dijatuhkan dari takhta kekuasaan, dimana
rezim Orde Baru membuka lebar-lebar negeri ini kepada kapitalis internasional. Modal-modal
asing tanpa saringan masuk leluasa kenegeri ini dan menggerus kekayaan yang
terdapat di dalamnya. Begitu pula utang luar negeri yang katanya hanya
pelengkap.lama kelamaan menjadi menjadi sumber utama yang membuat Indonesia
terjerat dalam lingkaran setan utang luar negeri
Saudara-saudara yang terhormat
Setelah angin reformasi berhembus
diharapkan keadaan yang sangat tidak kondusif itu dapat diakhiri. Angin
reformasi yang menjanjikan perubahan mendasar dalam sistim ekonomi dan politik
sangat dinanti-nantikan rakyat karena sudah begitu lama menderita. Harapan ini
paling tidak diharapkan melalui partai-partai politik sebagai alat rakyat untuk
memperjuangkan aspirasinya. Namun apa kemudian yang terjadi? Harapan tinggal
harapan, partai-partai yang ada tidak menjalankan fungsinya sebagaimana
layaknya suatu partai politik
Sebagaimana sudah kita sebutkan diatas,
ketika semua partai-partai politik pemenang pemilu 1999 ditanyakan IMF apakah
masih dapat menerima mekanisme pasar atau tidak dalam sistim perkonomian
Indonesia. Ternyata semua partai tersebut tanpa kecuali,
tanpa syarat menerima pesan demikian. bukankah itu bertentangan dengan system
ekonomi kita sebagaimana yang dimanatkan UUD 1945? Khususnya pasal 33?.
Tidakkah itu ideologi negara atau bangsa yang seharusnya diperjuangkan? Mengapa
mereka para pemimpin-pemimpin partai politik itu menerima begitu saja?
Itulah suatu bukti bahwa partai-partai
politik kita tidak punya ideologi. Karena tidak punya ideologi sudah dapat kita
bayangkan, mereka tidak akan memperjuangkan konstituennya, melainkan hanya
kepentingan segelintir elit-elitnya (oligarkhi). Ini yang dirasakan masyarakat
saat ini, dan itu pula yang membuat banyak masyarakat sudah apatis terhadap
partai-partai politik.
Saudara-saudara yang terhormat
Keluhan-keluhan demikian tidak akan
habis-habisnya kita uraikan. Sekian hari, sekian bulan atau sekian tahun lagi
juga mungkin tidak akan habis-habisnya. Yang pasti bahwa negeri ini masih
sangat jauh dari nilai-nilai atau suatu substansi suatu negara yang merdeka,
sistim ekonomi-politiknya dan ketatanegarannya kacau balau, keadaan ekonominya
terus terpuruk, dan sekian kelemahan-kelemahan lainnya
Untuk inilah Pemuda Demokrat Indonesia
yang sejak awal kelahirannya bertujuan:
1. mempertahankan dan mengamankan Kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan
Masyarakat adil dan Makmur, material-spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD
1945
3. mewujudkan tercapainya perdamaian dunia
yang sempurna adan abadi yang menjamin hubungan antara bangsa atas dasar
persamaan hak dan derajad dalam suatu dunia baru yang bebas dari kapitalisme,
imperialisme, kolonialisme, feodalisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
akan terus mempertahankannya dan juga akan kembali ke
khittahnya, yakni sebagai organisasi yang “progresif revolusioner” sebagaimana
sudah dicetuskan dalam Kongres XIII November 2007 di Wisma Kinasih Bogor, dan
menjadikan Pemuda Demokrat menjadi rumah bagi kaum nasionalis, untuk
memperjuangkan cita-citanya, yakni:
·
berdaulat
dalam bidang politik
·
berdikari
dalam bidang ekonomi, dan
·
berkepribadian
dalam bidang kebudayaan.
Terima kasih Merdeka, Marhaen
Gedung Proklamasi, 31 Mei 2008
(H. FACHRUDDIN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar