Kamis, 27 Juli 2017

EKONOMI PANCASILA; MITOS ATAU REALITAS?




 EKONOMI PANCASILA; MYTHOS ATAU REALITAS ?
 Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan, Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Published, Waspada, 18 Juli 2017
Gus Dur (Abdurachman Wahid) adalah sosok yang piawai menyampaikan pesan serius dengan melawak/bercanda. Orang akan terpingkel-pingkel apabila ia mementaskan dagelan-dagelannya. Salah satu dagelan/kelucuan yang penulis ingat adalah ketika beliau menyampaikan pandangannya tentang empat hal, dimana Indonesia konon tidak termasuk kedalam empat hal tersebut.
Ke empat hal itu adalah sebagai berikut; pertama ada bangsa yang banyak bicara, namun banyak bekerja (AS, China),  kedua, banyak bicara, sedikit bekerja (India dan Pakistan), ketiga, sedikit bicara, sedikit bekerja Nigeria dan Angola), sedikit bicara, banyak bekerja (Jepang dan Korsel). Ketika seseorang bertanya kepada Gus Dur, Indonesia masuk kategori mana, maka Gus Dur menjawab tidak masuk ke empat kategori tersebut, karena di Indonesia  yang dibicarakan beda dengan yang dikerjakan......sontak orang pada tertawa.
Tertawa sambil membenarkan apa yang dikatakan Gus Dur, yakni bahwa orang Indonesia itu sesungghnya hipokrit. Sifat masyarakat yang (disadari atau sebaliknya) masih kental hingga detik ini. Sifat yang lazimnya melesat dalam masyarakat feodal, atau pemerintahan patrimonial/kerajaan. Sifat yang seharusnya telah hilang, karena kita sudah mengadopsi tatanan modern, namun realitanya masih terus berlangsung.
Fakta anyar yang kita saksikan akhir-akhir ini adalah teriakan-teriakan elit politik yang ngomongnya A tapi maksudnya B (bukan A). Ngoceh pembelaan agama, tapi lain yang dilakonkan. Nyerocos adili Kaesang, namun tujuannya agar Jokowi lengser. Teriak hak angket, namun karena takut kedoknya  ketahuan, dan lain-lain perilaku munafik lainnya.  
Gita Orde Baru yang bersenandung mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, adalah fakta historis bahwa gita dan senandung itu hanya jargon belaka. Bagaimana Orde Baru teriak “ekonomi yes-politik no”, namun yang mencuat justru sebaliknya, adalah fakta apa yang dibicarakan lain dari yang dilaksanakan.
 Jadi agak unik jika   Ketua MPR, Zulkifli Hasan baru-baru  ini (dalam simposium “Perekonomian Indonesia dan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945”, 12 Juli, 2007) masih mengulagi hal yang sama. Beliau  teriak  kencang agar Ekonomi Pancasila segera diterapkan, karena itu adalah  amanat konstitusi dan ikhtiar untuk meretas kesenjangan sosial yang terus membengkak. Atau memang sudah waktunya?
Kronologi Distorsi Ekonomi Pancasila
Yang pasti sejak lama elit-elit pengambil keputusan negeri ini tidak pernah menjadikan sila kelima Pancasila, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai paradigma-konsep-teori, dan operasional (Syafii Maarif,2017). Ia hanya tertulis dalam ideologi dan konstitusi, dan di dongeng-dongengkan dengan manis dan merdu ke masyarakat, namun yang dipraktekkan adalah antitesenya, yakni ekonomi pasar bebas.  
Ekonomi yang terjun tanpa parasut, dan didasarkan hanya kepada kedaulatan pasar, persaingan (competition), bukan kepada kedaulatan rakyat dan kerjasama (cooperation, Sri Edi Swasono, 2012) sebagaimana substansi dan hakiki Pancasila dengan sistim kekeluargaan-gotong royongnya. Lebih lanjut dapat dirujuk pada pasal 33 ayat 1,2, dan 3 UUD 1945.
Dalam konteks demikian aktor atau pelaku ekonomi adalah negara (BUMN/BUMD/BUMDES) dan Koperasi (lihat penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen). Artinya yang menjadi motor dalam pembangunan ekonomi adalah negara dan koperasi. Namun oleh rezim Orde baru entah dapat wahyu dari mana aktornya ditambah satu lagi, yakni “swasta/individu/ partikelir”, menjadi “negara, koperasi, dan swasta”
Dalam prakteknya sudah dapat dipastikan, yakni apabila ketiga aktor itu dibiarkan bersaing secara bebas, swasta akan jauh lebih unggul. Swasta sebagaimana hakiki, historis dan konsep ekonominya mempunyai tiga keunggulan telak, yakni “modal (capital), teknologi, dan manajemen”. Dengan  kelebihannya ini, swasta akan menyodok negara ke pinggiran (pheri-pheri), dan koperasi yang seharusnya menjadi soko guru ekonomi ke arah sakratul maut.
Kenyataan seperti itulah yang empirik dalam panggung ekonomi Orde baru. Realita yang semakin runyam, sebab selain model pembangunan ekonominya an sich hanya didasarkan kepada “pertumbuhan” (bukan pemerataan/keadilan), mesin birokrasi pemerintalahannya pun menganak emaskan pihak swasta.
Pihak swasta mendapatkan akses istimewa terhadap seluruh akses-akses perekonomian, seperti  akses kredit, izin usaha, pasar, dan lain-lain mekanisme/privilese ekonomi-politik. Sebaliknya dengan BUMN/BUMD, apalagi Koperasi mengalami kesukaran terhadap akses-akses tersebut. Dengan dalih efek penetesan kebawah (tricle down effect) , swasta diakselerasikan, atau diistimewakan konon supaya segera menciptakan lapangan kerja sekaligus perputaran ekonomi.
Sebaliknya dengan BUMN yang selanjutnya dianggap tidak ekonomis (?) kurang diberi perhatian. Bahkan semakin memprihatinkan karena dijadikan bancakan birokrasi. Analog dengan koperasi yang yang sebelumnya dinobatkan sebagai soko guru perekonomian mengalami apa yang disebut “ hidup segan mati tak mau”.  
Dengan demikian sempurnah sudah pembantaian/pembunuhan sistim ekonomi Pancasila yang ber aktor negara dan koperasi menjadi sistim ekonomi yang “liberal-kapitalis puriten”. Lebih puriten, bahkan mungkin super puriten dibandingkan dengan negara-negara penganutnya, karena melesat tanpa rambu-rambu dan syarat-syarat yang seharusnya mengiringinya.
 Pertumbuhan ekonomi yang seyogianya diikuti dengan pertumbuhan manufactur sebesar 10 persen, dan pembangunan/modernisasi lembaga-lembaga sosial handal yang setara dengan pertumbuhan ekonominya realitanya tidak berjalan sama sekali (lihat teori WW.Rostow).
Oleh karena itu, pertumbuhan yang konsisten meningkat tersebut, tidak memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, melainkan hanya dinikmati segelintir orang, seperti para konglomerat dan sedikit elit birokrat. Dalam bahasa, HW.Arndt (1980) model ini disebut sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”, sebab kemiskinan, dan ketidak-adilan tidak bergeming sama sekali.
Meski mengalami revisi yang significan, yakni dengan mencantumkan pemerataan sebagai paradigma, konsep, dan operasional pembangunan pada Pelita II, 1978, keadaan tidak bergeming. Revisi tersebut hanya di atas kertas. Bahkan seiring dengan perkembangan rezim ekonomi global yang dimotori Ronald Reagan-Margareth Thatcher yang memaksakan Konsensus Washington awal 1980-an menggiring perekonomian Indonesia semakin super liberal-kapitalistik.
Kebijakan yang dikenal sebagai neo liberal (neolib) atau fundamentalisme pasar (Stiglitz, 2001) demikian, memaksa Indonesia yang sebelumnya masih mengadopsi model Keynesian, yakni penetrasi negara pada perekonomian, harus murni tunduk kepada pasar.
Dengan jargon deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi, meski tak pernah diakui teknokrat Orde Baru, sistim perekonomian Indonesia semakin jauh meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Dengan segala pembenarannya para teknokrat tetap mengatakan bahwa perjalanan ekonomi tetap  on the track, walaupun pada akhirnya terjerumus pada krisis moneter pada medio 1997-an.
Mithos atau Realitas ?
Ekses negatif  demikian masih dapat diuraikan sekian panjang lagi, namun untuk kepentingan artikel ini dianggap sudah memadai. Yang jelas sejak Bung Karno/Orde Lama yang konsisten menjalankan ekonomi Pancasila dilengserkan, pola, model, dan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia telah out of context. Dengan kata lain telah keluar atau meninggalkan sistim ekonomi konstitusi/Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pasal 33 UUD 1945.
Anehnya setelah Orde Baru/Soeharto tumbang dan tampil era reformasi, masalah ini tidak tersentuh sama sekali. Reformasi yang berhembus kencang hanya merubah sistim politik secara radikal hingga kebablasan, namun tidak akan sistim ekonomi. Celakanya lagi ketika IMF menanyakan kepada DPR hasil pemilu 1999, apakah mereka masih menerima pasar sebagai sistim ekonomi, tak satupun yang menolak, semua setuju....lalu mengapa sekarang teriak-teriak menerapkan ekonomi Pancasila ?
 Aneh, semoga saja ajakan ketua MPR diatas tidak sekedar permainan kekuasaan atau mythos belaka, melainkan realitas untuk meretas kesenjangan sosial yang terus membengkak. Semoga 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar