EKONOMI
PANCASILA; MYTHOS ATAU REALITAS ?
Oleh: Reinhard
Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan, Staf Ahli DPR RI
2000-2009
Published,
Waspada, 18 Juli 2017
Gus Dur (Abdurachman
Wahid) adalah sosok yang piawai menyampaikan pesan serius dengan melawak/bercanda.
Orang akan terpingkel-pingkel apabila ia mementaskan dagelan-dagelannya. Salah
satu dagelan/kelucuan yang penulis ingat adalah ketika beliau menyampaikan
pandangannya tentang empat hal, dimana Indonesia konon tidak termasuk kedalam
empat hal tersebut.
Ke empat hal itu adalah
sebagai berikut; pertama ada bangsa yang banyak bicara, namun banyak bekerja
(AS, China), kedua, banyak bicara,
sedikit bekerja (India dan Pakistan), ketiga, sedikit bicara, sedikit bekerja
Nigeria dan Angola), sedikit bicara, banyak bekerja (Jepang dan Korsel). Ketika
seseorang bertanya kepada Gus Dur, Indonesia masuk kategori mana, maka Gus Dur
menjawab tidak masuk ke empat kategori tersebut, karena di Indonesia yang dibicarakan beda dengan yang
dikerjakan......sontak orang pada tertawa.
Tertawa sambil
membenarkan apa yang dikatakan Gus Dur, yakni bahwa orang Indonesia itu
sesungghnya hipokrit. Sifat masyarakat yang (disadari atau sebaliknya) masih
kental hingga detik ini. Sifat yang lazimnya melesat dalam masyarakat feodal,
atau pemerintahan patrimonial/kerajaan. Sifat yang seharusnya telah hilang,
karena kita sudah mengadopsi tatanan modern, namun realitanya masih terus
berlangsung.
Fakta anyar yang kita
saksikan akhir-akhir ini adalah teriakan-teriakan elit politik yang ngomongnya
A tapi maksudnya B (bukan A). Ngoceh pembelaan agama, tapi lain yang
dilakonkan. Nyerocos adili Kaesang, namun tujuannya agar Jokowi lengser. Teriak
hak angket, namun karena takut kedoknya
ketahuan, dan lain-lain perilaku munafik lainnya.
Gita Orde Baru yang bersenandung
mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, adalah fakta
historis bahwa gita dan senandung itu hanya jargon belaka. Bagaimana Orde Baru
teriak “ekonomi yes-politik no”, namun yang mencuat justru sebaliknya, adalah
fakta apa yang dibicarakan lain dari yang dilaksanakan.
Jadi agak unik jika Ketua MPR, Zulkifli Hasan baru-baru ini (dalam simposium “Perekonomian Indonesia
dan Kesejahteraan Sosial Berdasarkan UUD 1945”, 12 Juli, 2007) masih mengulagi
hal yang sama. Beliau teriak kencang agar Ekonomi Pancasila segera
diterapkan, karena itu adalah amanat
konstitusi dan ikhtiar untuk meretas kesenjangan sosial yang terus membengkak. Atau
memang sudah waktunya?
Kronologi
Distorsi Ekonomi Pancasila
Yang pasti sejak lama
elit-elit pengambil keputusan negeri ini tidak pernah menjadikan sila kelima
Pancasila, yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai paradigma-konsep-teori, dan operasional
(Syafii Maarif,2017). Ia hanya tertulis dalam ideologi dan konstitusi, dan di
dongeng-dongengkan dengan manis dan merdu ke masyarakat, namun yang
dipraktekkan adalah antitesenya, yakni ekonomi pasar bebas.
Ekonomi yang terjun
tanpa parasut, dan didasarkan hanya kepada kedaulatan pasar, persaingan
(competition), bukan kepada kedaulatan rakyat dan kerjasama (cooperation, Sri
Edi Swasono, 2012) sebagaimana substansi dan hakiki Pancasila dengan sistim
kekeluargaan-gotong royongnya. Lebih lanjut dapat dirujuk pada pasal 33 ayat
1,2, dan 3 UUD 1945.
Dalam konteks demikian
aktor atau pelaku ekonomi adalah negara (BUMN/BUMD/BUMDES) dan Koperasi (lihat
penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen). Artinya yang menjadi motor dalam
pembangunan ekonomi adalah negara dan koperasi. Namun oleh rezim Orde baru
entah dapat wahyu dari mana aktornya ditambah satu lagi, yakni “swasta/individu/
partikelir”, menjadi “negara, koperasi, dan swasta”
Dalam prakteknya sudah
dapat dipastikan, yakni apabila ketiga aktor itu dibiarkan bersaing secara
bebas, swasta akan jauh lebih unggul. Swasta sebagaimana hakiki, historis dan
konsep ekonominya mempunyai tiga keunggulan telak, yakni “modal (capital),
teknologi, dan manajemen”. Dengan
kelebihannya ini, swasta akan menyodok negara ke pinggiran (pheri-pheri),
dan koperasi yang seharusnya menjadi soko guru ekonomi ke arah sakratul maut.
Kenyataan seperti
itulah yang empirik dalam panggung ekonomi Orde baru. Realita yang semakin
runyam, sebab selain model pembangunan ekonominya an sich hanya didasarkan kepada “pertumbuhan” (bukan
pemerataan/keadilan), mesin birokrasi pemerintalahannya pun menganak emaskan
pihak swasta.
Pihak swasta
mendapatkan akses istimewa terhadap seluruh akses-akses perekonomian, seperti akses kredit, izin usaha, pasar, dan lain-lain
mekanisme/privilese ekonomi-politik. Sebaliknya dengan BUMN/BUMD, apalagi
Koperasi mengalami kesukaran terhadap akses-akses tersebut. Dengan dalih efek
penetesan kebawah (tricle down effect) , swasta diakselerasikan, atau
diistimewakan konon supaya segera menciptakan lapangan kerja sekaligus
perputaran ekonomi.
Sebaliknya dengan BUMN yang
selanjutnya dianggap tidak ekonomis (?) kurang diberi perhatian. Bahkan semakin
memprihatinkan karena dijadikan bancakan birokrasi. Analog dengan koperasi yang
yang sebelumnya dinobatkan sebagai soko guru perekonomian mengalami apa yang
disebut “ hidup segan mati tak mau”.
Dengan demikian sempurnah
sudah pembantaian/pembunuhan sistim ekonomi Pancasila yang ber aktor negara dan
koperasi menjadi sistim ekonomi yang “liberal-kapitalis puriten”. Lebih puriten,
bahkan mungkin super puriten dibandingkan dengan negara-negara penganutnya,
karena melesat tanpa rambu-rambu dan syarat-syarat yang seharusnya mengiringinya.
Pertumbuhan ekonomi yang seyogianya diikuti
dengan pertumbuhan manufactur sebesar 10 persen, dan pembangunan/modernisasi
lembaga-lembaga sosial handal yang setara dengan pertumbuhan ekonominya realitanya
tidak berjalan sama sekali (lihat teori WW.Rostow).
Oleh karena itu, pertumbuhan
yang konsisten meningkat tersebut, tidak memberikan kesejahteraan bagi seluruh
masyarakat, melainkan hanya dinikmati segelintir orang, seperti para
konglomerat dan sedikit elit birokrat. Dalam bahasa, HW.Arndt (1980) model ini disebut
sebagai “pertumbuhan yang menyengsarakan”, sebab kemiskinan, dan ketidak-adilan
tidak bergeming sama sekali.
Meski mengalami revisi
yang significan, yakni dengan mencantumkan pemerataan sebagai paradigma,
konsep, dan operasional pembangunan pada Pelita II, 1978, keadaan tidak
bergeming. Revisi tersebut hanya di atas kertas. Bahkan seiring dengan perkembangan
rezim ekonomi global yang dimotori Ronald Reagan-Margareth Thatcher yang
memaksakan Konsensus Washington awal 1980-an menggiring perekonomian Indonesia
semakin super liberal-kapitalistik.
Kebijakan yang dikenal
sebagai neo liberal (neolib) atau fundamentalisme pasar (Stiglitz, 2001) demikian, memaksa Indonesia yang sebelumnya masih
mengadopsi model Keynesian, yakni penetrasi negara pada perekonomian, harus murni
tunduk kepada pasar.
Dengan jargon
deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi, meski tak pernah diakui teknokrat
Orde Baru, sistim perekonomian Indonesia semakin jauh meninggalkan nilai-nilai
Pancasila. Dengan segala pembenarannya para teknokrat tetap mengatakan bahwa
perjalanan ekonomi tetap on the track, walaupun pada akhirnya
terjerumus pada krisis moneter pada medio 1997-an.
Mithos
atau Realitas ?
Ekses negatif demikian masih dapat diuraikan sekian panjang
lagi, namun untuk kepentingan artikel ini dianggap sudah memadai. Yang jelas
sejak Bung Karno/Orde Lama yang konsisten menjalankan ekonomi Pancasila dilengserkan,
pola, model, dan paradigma pembangunan ekonomi Indonesia telah out of context. Dengan kata lain telah
keluar atau meninggalkan sistim ekonomi konstitusi/Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam pasal 33 UUD 1945.
Anehnya setelah Orde
Baru/Soeharto tumbang dan tampil era reformasi, masalah ini tidak tersentuh
sama sekali. Reformasi yang berhembus kencang hanya merubah sistim politik secara
radikal hingga kebablasan, namun tidak akan sistim ekonomi. Celakanya lagi
ketika IMF menanyakan kepada DPR hasil pemilu 1999, apakah mereka masih
menerima pasar sebagai sistim ekonomi, tak satupun yang menolak, semua
setuju....lalu mengapa sekarang teriak-teriak menerapkan ekonomi Pancasila ?
Aneh, semoga saja ajakan ketua MPR diatas
tidak sekedar permainan kekuasaan atau mythos belaka, melainkan realitas untuk
meretas kesenjangan sosial yang terus membengkak. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar