PANCASILA DALAM TATA
GEO POLITIK INTERNASIONAL
Oleh: Reinhard Hutapea
Disampaikan dalam
diskusi GMNI FIB USU, Sabtu, 3 Feb 2018
Pengantar diskusi
Tema ini mungkin lebih tepat bila
dibuat seperti ini “Pancasila Dalam Tatanan Global”. Kata, kalimat, atau frasa
“geo” nya dihilangkan, karena dianggap kurang tepat. Secara harfiah geo
mengandung makna “geografi, ilmu bumi, atau dalam studi HI sering dikonotasikan
dengan “studi kawasan” (regionalism), yang punya arti/konsep tersendiri, yang
berbeda, atau lbih khusus apabila dibandingkan dengan sistim/tatanan
internasional. Itulah alasan penulis menawarkan tema baru tersebut. Atau mungkin
ada pemahaman lain dari panitia perumus diskusi mengapa tampil judul seperti
itu ?
Berdasarkan argumen demikian maka
persfektif yang tepat mendekatinya adalah persfektif historis. Pendekatan
kesejarahan, yakni pendekatan yang mendeskripsikan-menarasikan bagaimana
sejarah, latar belakang, atau perkembangan Pancasila sejak dicetuskan hingga
hari ini dalam konteks (kancah) internasional.
Internasionalisasi
Pancasila
Dalam proses kelahirannya, (sebagaimana
fakta historisitasnya/pidato 1 Juni 1945), diwarnai atau dimotivasi suasana
internasional saat itu, yakni tanda-tanda kekalahan fasist/Jepang dalam
perang dunia II sudah di ambang pintu. Oleh karena itu dipersepsikan menjadi
saat yang tepat mempersiapkan bangsa ini lepas dari belenggu kolonialisme/imperialisme
sebagaimana yang sudah lama dicita-citakan
Pada waktu itu sebagaimana kita
ketahui bersama, mayoritas bangsa-bangsa di dunia ini dijajah oleh bangsa
asing, yakni bangsa-bangsa Eropa pada umumnya. Inggris, Perancis, Jerman,
Italia, dan khususnya Belanda yang menjajah Indonesia menjadi aktor-aktor utama
kolonialisme. Meski tidak satu-satunya, variabel/determinant,
pembentukan dasar negara, yakni
Pancasila sangat diwarnai psikologis anti kolonialisme demikian (Ruslan Abdulgani,
1993: 1)
Sebagai manifestasinya Anti
kolonialisme, menjadi satu sila utama/selain sila kebangsaan dalam perumusan Pancasila....Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Dan sebagai penjabaran atau dasar hukumnya dengan tegas
telah pula dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945. Suatu model yang khas, sebab
jarang negara-negara lain melakukan pola unik tersebut. Sangkin istimewanya
kebijakan demikian memancing pengamat asing berkomentar. Lebih jelasnya kita
kutip dibawah ini:
Apabila kita meneliti kembali isi
Pembukaan UUD 1945 itu, maka jelaslah bahwa Pancasila itu berjiwa
anti-kolonialisme. Berkatalah seorang pengamat politik bangsa Belanda J.F.Rutgers dalam salah satu artikel nya
pada tahun 1950-an bahwa dari semua negara baru di Asia Tenggara, maka
Indonesia dalam UUD-nya yang paling pertama dan yang paling tegas melukiskan
latar belakang psikologis yang sesungguhnya dari pada semua revolusi yang anti
kolonialisme (Roeslan Abdoelgani, 1993:1)
Pernyataan konstitusional yang sangat
tegas menolak kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pernyataan
yang kemudian diimplementasikan dalam kancah sesungguhnya, yakni iikut aktif
membantu negara-negara terjajah mencapai kemerdekaan dan mendorong perdamaian
dunia yang abadi.
Konperensi Asia Afrika tahun 1955
adalah wujudnya. Bagaimana dalam suasana yang sangat terbatas, penuh tantangan,
dan menjamurnya subversif dari luar, konperensi itu sukses menggalang kekuatan
Asia Afrika mencapai tujuannya, yakni membebaskan diri dari belenggu
kolonialisme. Bangsa-bangsa Asia Afrika yang semuanya terjajah, bak sihir dari
KAA bangkit melawan penjajah, dan satu persatu mencapai kemerdekaannya.
Konperensi luar biasa yang akhirnya
mematahkan kekuatan-kekuatan establish,
status quo, dan konservatif dunia berantakan hancur lebur, yang membuat
kiprah diplomasi, kiprah politik luar negeri Indonesia, khususnya kiprah Bung
Karno dalam pentas politik dunia menjadi harum semerbak difora mondial.
Tidak cukup disitu. Dengan kelihaian
diplomasi dan politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia berhasil
mendorong negara-negara lain, yakni negara-negara yang tak mau terseret dalam
perang dingin (cold war) membentuk
kekuatan tandingan. Kekuatan yang kemudian populer dengan sebutan “Non Blok” (non aligned) yang dicetuskan di Belgrado/Beograd Yugoslavia tahun 1961.
Dalam bahasa lain sering juga disebut
dengan istilah “Dunia Ketiga”, dunia yang berada ditengah-tengah Dunia Pertama
blok Amerika dan kawan-kawan, dan Dunia Keduanya blok Uni Soviet dan
kawan-kawan. Tidak Amerika cs....tidak Uni Soviet cs.....tapi dunia ketiga.
Itulah mottonya. Atau persetan Amerika, persetan Uni Soviet, tapi kita dunia
ketiga yang non blok
Selain itu/selanjutnya, KAA juga
berhasil mendorong gagasan-gagasan baru dalam bidang Orde Ekonomi dan Informasi
Internasional Baru, untuk membangun Dunia Baru yang bebas dari penindasan,
bebas dari ketakutan, bebas pula dari ancaman bahaya perang, baik konvensional
maupun nuklir. Meminjam pendapat Amadou
Mahtar M Bow (Dirjen UNESCO) tahun 1984 The
Bandung Conference marke a turning point in the pattern of international
relations, not only as they affect politics and economics, but also the
perception of cultural identity[1]
Seiring dengan gerakan demikian,
pidato Bung Karno di PBB pada tanggal 30 september 1960 yang bertema “To Build The World a New” adalah
pamungkas perjuangan/promosi Pancasila dalam fora internasional. Pada waktu itu
Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai ideologi PBB, sebagai ideologi dunia, karena sifatnya yang
sangat universal. Tidak sebagaimana “Declaration
Of Independence dan Manifesto Komunis”
yang hanya diikuti pengikut-pengikutnya nan partisan, yang terus berseteru
dalam perang dingin, sehingga dunia jauh dari perdamaian abadi. Pancasila
menjadi solusinya urai Bung Karno dalam forum yang bersejarah tersebut.
Dengan gaya yang retorik, memukau,
dan rasional Bung Karno mengkuliahi peserta sidang PBB , betapa sila-sila
Pancasila itu sangat pas untuk menjadi ideologi dunia. Bung Karno mendapat
applaus, dan membuat kiprah dan
ketokohannya disegani dan dihormati dunia.
Deinternasionalisasi
Pancasila
Sayang seribu sayang, era itu rupanya
tidak permanen. Beberapa tahun kemudian ia digulingkan dari singgasana
kekuasaan melalui peristiwa yang populer dengan pembrontakan G 30 S.
Pembrontakan yang hingga hari ini masih penuh teka-teki, karena versinya tidak
tunggal. Yang pasti sejak peristiwa itu berubahlah
tatanan ekonomi, sosial, politik, dan khususnya kebijakan internasional secara
total. Untuk kepentingan pertemuan kita sore ini saya menyebutnya sebagai
“deinternasionalisasi, desukarnoisasi, dan depancasilaisasi.
Deinternasionalisasi, karena peran
aktif diplomasi dan politik luar negeri yang dijalankan rezim sebelumnya telah
dipotong hingga titik nadir. Rezim Soeharto yang menggantikan pemerintahan Bung
Karno berpendapat bahwa agresifitas politik luar negeri yang dijalankan
sebelumnya itu tidak realistis, hanya mercu suar belaka. Untuk apa hebat secara
internasional, sementara keadaan dalam negerinya keropos, miskin, dan penuh
konflik. Yang dibutuhkan bukan mercu suar-mercusuar seperti itu, melainkan pembangunan ekonomi. Politik
no, ekonomi yes, atau pembangunan yes, politik no, itulah semboyannya.
Meski tak pernah diakui, politik luar
negeri kita yang sebelumnya bersifat bebas aktif itu tidak lagi seperti itu,
karena sudah masuk dalam orbit Barat yang dikomandoi AS. Sebagai konsekwensi logis
dari perang dingin, dimana AS dan sekutunya melakukan containment policy, maka negara-negara yang ada dalam orbitnya
harus mengikuti dikte-dikte dari adikuasa tersebut.
Masalahnya semakin runyam, amburadul
dan acakadut, mengingat Indonesia meminta bantuan/utang kepada negara-negara
demikian dalam pembangunan ekonominya. Negara-negara donor yang bergabung dalam
satu konsorsium yang bernama International
Government Group on Indonesia (IGGI) ini, hebatnya lagi di pimpin mantan
penjajah Indonesia, yakni Belanda. Dapat dibayangkan seperti apa jadinya
Indonesia dihadapan negara-negara pemberi utang tersebut.
Sebagaimana hukum besi politik
ketergantungan/dependencia, maka peri-peri akan tergantung kepada centrum. Artinya Indonesia akan menuruti
kepentingan negara-negara tersebut. Apa yang mereka inginkan, meski itu
berlawanan dengan jati diri, ideologi, dan budaya negeri ini harus dituruti. Dalam
konteks seperti ini kita bicara Pancasila?
Jelas konyol. Sungguh suatu kekonyolan yang tak ada taranya.
Pancasila hanya ada dalam text book dan pidato. Yang dipraktekkan
adalah ideologi para donor yang berkonspirasi dalam IGGI, IMF, Bank Dunia, GATT/WTO. Gejala atau indikasinya dapat
dilihat dari praksis-praksis ekonomi-politik yang dipentaskan, seperti UU No 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang populer dengan sebutan open door policy, alias politik pintu
terbuka.
UU yang membuka diri kepada kapitalis
internasional secara kasat mata, yang dalam derivasinya membuat ekonomi-politik
negeri ini semakin hari semakin tidak berdaulat, tidak berdikari, dan tidak
berkepribadian. Mungkin inilah dulu yang disebut Bung Karno sebagai neo
kolonialisme-neo imperialisme, alias nekolim.
Meski secara juridis kita merdeka,
kenyataan dalam pola ekonomi-politik, maupun budayanya kita tetap terjajah.
Kita hanya manut, dan melaksanakan apa yang ditetapkan rezim internasional yang
mana negeri ini telah mengikatkan diri. Sebagai penguat argumen demikian dapat
kita lihat lihat pada:
·
Terseret
dan terjerembabnya pada dikte-dikte Konsensus Washington yang populer dengan
sebutan “neolib”
·
Latahnya
mengikuti pembentukan blok-blok ekonomi baru, seperti AFTA, APEC dan lain-lain
·
Terjeratnya
dalam 50 Letter of Intent, LOI IMF
Reinternasionalisasi
Pancasila ?
Sekian ilustrasi masih dapat kita
hadirkan sekian banyak lagi, betapa Pancasila tidak lagi menjadi acuan bangsa
ini, namun untuk kepentingan diskusi sore ini dianggap sudah memadai. Yang
pasti dan jelas, itulah yang mengantar dan mewarnai negeri ini ketika
menumbangkan raja diktator Soeharto dan memasuki era reformasi.
Era yang pada awalnya menjanjikan
ke......, namun dalam perjalanannya tidak sebagaimana yang diharapkan. Apakah
karena kekecewaan itu, atau ada determinant lain, pada peringatan hari lahirnya
Pancasila tahun 2011, tampil public opinion betapa Pancasila semakin jauh
ditinggalkan........Adalah Prof Dr Sri Edi Swasono yang bernyanyi merdu dan
berlirik puitis...tidak usah kaget jika negara lain yang melaksanakan Pancasila,
sebaliknya negara ini semakin melupakannya.
Dinegeri-negeri lain diakui
keakuratannya, namun di sini sebaliknya. Prof Dr Pytr Hessling, seorang
Indonesianist dari Fakultas Ekonomi Universitas Erasmuis Rotterdam, yang
mengasuh program Studi/mata kuliah Internasional dan Manajemen, di depan 3
stafnya, serta 3 orang Indonesia yang sedang menyelesaikan PhD di universitas
tersebut menyatakan dengan lantang , bahwa sila ke empat Pancasila adalah
konsep yang valid dan reliable dalam pembangunan kelembagaan bagi suatu
organisasi manajemen. Lebih jelasnya ia menyatakan:.....konsep
musyawarah dan mufakat ala Indonesia sebagai dasar pembangunan kelembagaan bagi
suatu organisasi dan manajemen
Sebagai ilmu/science, Prof Dr Pytr
Hessling menyatakan bahwa suatu konsep-konsep umum perlu dikemukakan secara
jelas dalam penataan organisasi dan manajemen, seperti pengambilan keputusan
manajemen di Indonesia, yakni:
Gotong
royong (mutual aid)
Musyawarah
dan mufakat (desition by consensus),
serta
Penghormatan
kepada yang lebih tua, atau dituakan
Jelas dan terang:
Lebih
efektif daripada voting
Fakta
sudah go international sejak lama
Kongkritnya (menurut para ilmuwan
Barat pada umumnya ) ,.....”Pancasila adalah suatu nilai-nilai dan konsep yang
mampu memberikan kontribusi bagi proses inovasi dan lingkungan”. Lalu ?
Pengakuan tinggal pengakuan, pujian
tinggal pujian, keledai jalan terus. Keprihatinan bahwa nilai-nilai Pancasila
terus ditinggalkan, berjalan terus, tanpa ada upaya menghentikannya. Perubahan
politik dunia yang begitu cepat, seperti:
Ø Terus melesatnya RRC sebagai raksasa
ekonomi
Ø Ditemukannya sumber-sumber minyak dan
gas di AS
Ø Merosotnya kapitalisme AS
Ø Berubahnya peta politik di beberapa
kawasan
Ø Tampilnya Donald Trump nan ultra
nasionalistik
Ø Keluarnya Inggris dari Uni Eropa
Ø Memanasnya semenanjung Korea
Ø Penguasaan teknologi IT oleh Rusia
Ø Tampilnya konflik dibeberapa kawasan
Ø Etc
Tetap tidak bergeming. Apakah itu
yang melatar belakangi lahirnya Unit Kerja Presiden Pembangunan Ideologi
Pancasila (UKP PIP) yang sedang menggeliat saat ini ? Lalu mereka mau membuat
apa ? Mari sama-sama kita diskusikan.
Medan, 3 Maret 2018
REFERENSI
Abdulgani Ruslan, 1993, Proses Pengembangan Pancasila,
Yayasan Widya Patria, Yogyakarta
Stiglitz J, 2002, Globalization and Its Discontents, Penguin,
New York
Stiglitz JE, 2007, Making Globalization Work, Mizan, Bandung
[1]
Konperensi Bandung merupakan suatu titik balik dalam pola hubungan
internasional. Tidak hanya yang menyangkut masalah-masalah politik dan ekonomi,
tetapi juga mengenai persepsi tentang identitas budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar