JERMAN,
KONSISTENSI IDEOLOGI TENGAH
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published Waspada, 12
Maret 2018
Ketika suatu partai
tidak mencapai suara mayoritas dalam pemilu, yakni di atas 50 persen, maka
untuk membentuk pemerintahan, ia harus berkoalisi dengan partai lainnya.
Sebagaimana substansi atau hakiki koalisi dalam sistim politik demokratis, maka
yang pertama-tama dirundingkan adalah kebijakan masing-masing partai, yakni
program kerja yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan tersebut. Kedua
sebagai konsekwensi atau lanjutan dari kebijakan tersebut adalah pembagian
kekuasaan, seperti jabatan menteri.
Suatu kompromi yang
tidak mudah tentunya, mengingat/sebab masing-masing partai telah mempunyai
kebijakan sendiri-sendiri sebagai manifestasi dari ideologinya. Partai yang
berdekatan ideologinya, lazimnya akan mudah berkompromi. Sebaliknya, yakni yang
jarak ideologinya jauh, bahkan bertentangan akan sukar mencapai kesepakatan.
Disisi lain, kompromi akan semakin sukar apabila jarak perolehan suaranya dalam
pemilu sangat berdekatan. Inilah yang terjadi dalam kasus koalisi Angela Merkel dari partai CDU/CSU dengan SPD, yang dipimpin Martin
Schultz.
Meski sama-sama dari
ideologi yang berdekatan, yakni sama-sama demokratis dan sama-sama sosialis
(sosdem), namun dalam kebijakan atau program kerjanya (yang ditawarkan ke
masyarakat) sangat berbeda. CDU-CSU,
walaupun sesungguhnya sosialis-demokrat, dalam sepak terjangnya agak condong ke
nasionalistik dan kapitalisme. Sebaliknya SPD
yang puriten sosialis universal. Bagaimana perbedaan/diskrepansinya dapat
dilihat dari misi atau program yang akan diimplementasikan.
Jalan
Terjal Koalisi
CDU/CSU
dalam hal immigran, mengambil kebijakan bahwa immigran yang masuk ke Jerman
harus dibatasi jumlahnya. Sebaliknya SPD,
yakni selama mereka (immigran tersebut) punya kapabilitas, kemampuan, dan
professionalitas yang mumpuni tidak perlu dibatasi. Dalam hal buruh, yang merupakan
karakteristik atau benchmark SPD, partai
ini konsisten terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kesehatannya.
Sebaliknya, CDU/CSU menganggap
kebijakan demikian memakan ongkos yang mahal.
Belum lagi sekian
banyak/ratusan issu-issu mikro lain yang kental diskrepansi/kontroversi/perbedaannya,
seperti masalah pertahanan/persenjataan, kebijakan luar negeri/Uni Eropa/Euro, pajak/perekonomian/energi,
lingkungan dan sebagainya, yang menyita waktu, kesabaran, dan pengorbanan.
Meminjam litani Angela Merkel, kompromi yang menyakitkan, karena harus mengorbankan
beberapa kebijakan yang sebelumnya belum pernah dikorbankan.
Kebijakan-kebijakan luar negeri dan keuangan yang sebelumnya 100 persen
kebijakan/milik CDU, kali ini harus
diserahkan kepada SPD, agar
pemerintahan dapat dijalankan.
Akan tetapi meski sudah
tercapai kesepakatan antar elit CDU/CSU
dengan SPD tidak berarti persoalan
telah selesai. Batu ujian nya masih harus dilalui satu lagi, yakni mengadakan
referendum kepada anggota-anggota SPD
yang berjumlah 465.000 orang apakah mereka setuju dengan kebijakan para
elit-elitnya. Faktanya memang setelah diadakan referendum, 65 persen
menyetujuinya.
Dengan persetujuan
demikian, Angela Merkel menjadi
kanselir untuk ke empat kalinya. Persis seperti yang dilalui mentornya dari CDU/CSU, Helmut Kohl, yang empat kali
juga menjabat kanselir (1982-1998). Sebelumnya pimpinan-pimpinan CDU/CSU juga, telah menjabat hal yang
sama, seperti Konrad Adenaur, tiga
kali, yakni dari tahun 1949 hingga 1963, Ludwig
Erhard, yang mengenalkan pasar sosial (social
market), satu kali, 1963-1966, dan Kurt Georg
Kiesinger, satu kali, 1966-1969. Disela-selanya diisi oleh pimpinan SPD, seperti, Willy Brandt, tiga kali, 1969-1974, Helmut Schmidt, dua kali, 1974-1982, Gerhard Schroder, dua kali, 1998-2005.
Pencapaian yang luar
biasa. Bagaimana sampai empat kali berturut-turut menjadi kanselir, apalagi
seorang perempuan, sudah pasti karena ia berprestasi. Berprestasi menakhodai
negerinya mewujudkan aspirasi rakyatnya, serta membawa Jerman menjadi negara yang
disegani dikancah global.
Konsistensi
Ideologi Tengah
Sebagaimana fakta
historisnya, terbukti , sejak perang dunia II hingga hari ini, pemerintahan
Jerman adalah salah satu (kalau bukan satu-satunya) pemerintahan yang paling stabil di dunia. Pemerintahan
yang sungguh-sungguh telah mempraksiskan sistim politik demokratis, good governance, birokrasi nan legal-rasional, dan lain-lain pola
demokrasi substantif khas Jerman, yakni sosialis-demokratis (sosdem)
Ideologi yang merupakan
jalan tengah antara liberal-kapitalisme
dengan sosialis-komunisme yang
berseteru pasca perang dunia II. Meski Jerman satu orbit dengan Amerika Serikat (AS) yang menjadi
kampium liberal-kapitalisme, dan mendapat bantuan ekonomi via Marshall Plan, negeri ini tidak tunduk
pada ideologi atau dikte-diktenya.
Ludwig
Erhard dari CDU/CSU
yang menjadi kanselir tahun 1963-1966 dengan tegas menyatakan bahwa Jerman
menganut pasar sosial. Bukan pasar bebas (free
market) yang memberikan setiap individu bebas bersaing (competition), melainkan pasar yang
dikendalikan negara dengan dasar keadilan sosial.
Pola, model, atau
ideologi yang mengingatkan kita kepada konsep Bung Karno, yakni socio-demokrasi alias demokrasi sosial.
Demokrasi yang tidak hanya dalam bidang politik, melainkan juga dalam bidang
ekonomi. Ideologi tengah yang konsisten
dipraksiskan di Jerman, namun tidak dinegeri ini. Apakah Unit Kerja Presiden
tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang terbentuk saat ini akan diarahkan
kesana? Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar