Rabu, 14 Maret 2018

JERMAN, KONSISTENSI IDEOLOGI TENGAH



JERMAN, KONSISTENSI IDEOLOGI TENGAH
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published Waspada, 12 Maret 2018
Ketika suatu partai tidak mencapai suara mayoritas dalam pemilu, yakni di atas 50 persen, maka untuk membentuk pemerintahan, ia harus berkoalisi dengan partai lainnya. Sebagaimana substansi atau hakiki koalisi dalam sistim politik demokratis, maka yang pertama-tama dirundingkan adalah kebijakan masing-masing partai, yakni program kerja yang akan diimplementasikan dalam pemerintahan tersebut. Kedua sebagai konsekwensi atau lanjutan dari kebijakan tersebut adalah pembagian kekuasaan, seperti jabatan menteri.
Suatu kompromi yang tidak mudah tentunya, mengingat/sebab masing-masing partai telah mempunyai kebijakan sendiri-sendiri sebagai manifestasi dari ideologinya. Partai yang berdekatan ideologinya, lazimnya akan mudah berkompromi. Sebaliknya, yakni yang jarak ideologinya jauh, bahkan bertentangan akan sukar mencapai kesepakatan. Disisi lain, kompromi akan semakin sukar apabila jarak perolehan suaranya dalam pemilu sangat berdekatan. Inilah yang terjadi dalam kasus koalisi Angela Merkel dari partai CDU/CSU dengan SPD, yang dipimpin Martin Schultz.
Meski sama-sama dari ideologi yang berdekatan, yakni sama-sama demokratis dan sama-sama sosialis (sosdem), namun dalam kebijakan atau program kerjanya (yang ditawarkan ke masyarakat) sangat berbeda. CDU-CSU, walaupun sesungguhnya sosialis-demokrat, dalam sepak terjangnya agak condong ke nasionalistik dan kapitalisme. Sebaliknya SPD yang puriten sosialis universal. Bagaimana perbedaan/diskrepansinya dapat dilihat dari misi atau program yang akan diimplementasikan.
Jalan Terjal Koalisi
CDU/CSU dalam hal immigran, mengambil kebijakan bahwa immigran yang masuk ke Jerman harus dibatasi jumlahnya. Sebaliknya SPD, yakni selama mereka (immigran tersebut) punya kapabilitas, kemampuan, dan professionalitas yang mumpuni tidak perlu dibatasi. Dalam hal buruh, yang merupakan karakteristik atau benchmark SPD, partai ini konsisten terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kesehatannya. Sebaliknya, CDU/CSU menganggap kebijakan demikian memakan ongkos yang mahal.
Belum lagi sekian banyak/ratusan issu-issu mikro lain yang kental diskrepansi/kontroversi/perbedaannya, seperti masalah pertahanan/persenjataan, kebijakan luar negeri/Uni Eropa/Euro, pajak/perekonomian/energi, lingkungan dan sebagainya, yang menyita waktu, kesabaran, dan pengorbanan.
 Meminjam litani Angela Merkel, kompromi yang menyakitkan, karena harus mengorbankan beberapa kebijakan yang sebelumnya belum pernah dikorbankan. Kebijakan-kebijakan luar negeri dan keuangan yang sebelumnya 100 persen kebijakan/milik CDU, kali ini harus diserahkan kepada SPD, agar pemerintahan dapat dijalankan.
Akan tetapi meski sudah tercapai kesepakatan antar elit CDU/CSU dengan SPD tidak berarti persoalan telah selesai. Batu ujian nya masih harus dilalui satu lagi, yakni mengadakan referendum kepada anggota-anggota SPD yang berjumlah 465.000 orang apakah mereka setuju dengan kebijakan para elit-elitnya. Faktanya memang setelah diadakan referendum, 65 persen menyetujuinya.
Dengan persetujuan demikian, Angela Merkel menjadi kanselir untuk ke empat kalinya. Persis seperti yang dilalui mentornya dari CDU/CSU, Helmut Kohl, yang empat kali juga menjabat kanselir (1982-1998). Sebelumnya pimpinan-pimpinan CDU/CSU juga, telah menjabat hal yang sama, seperti Konrad Adenaur, tiga kali, yakni dari tahun 1949 hingga 1963, Ludwig Erhard, yang mengenalkan pasar sosial (social market), satu kali, 1963-1966, dan Kurt Georg Kiesinger, satu kali, 1966-1969. Disela-selanya diisi oleh pimpinan SPD, seperti, Willy Brandt, tiga kali, 1969-1974, Helmut Schmidt, dua kali, 1974-1982, Gerhard Schroder, dua kali, 1998-2005.
Pencapaian yang luar biasa. Bagaimana sampai empat kali berturut-turut menjadi kanselir, apalagi seorang perempuan, sudah pasti karena ia berprestasi. Berprestasi menakhodai negerinya mewujudkan aspirasi rakyatnya, serta membawa Jerman menjadi negara yang disegani dikancah global.
Konsistensi Ideologi Tengah
Sebagaimana fakta historisnya, terbukti , sejak perang dunia II hingga hari ini, pemerintahan Jerman adalah salah satu (kalau bukan satu-satunya) pemerintahan  yang paling stabil di dunia. Pemerintahan yang sungguh-sungguh telah mempraksiskan sistim politik demokratis, good governance, birokrasi nan legal-rasional, dan lain-lain pola demokrasi substantif khas Jerman, yakni sosialis-demokratis (sosdem)
Ideologi yang merupakan jalan tengah antara liberal-kapitalisme dengan sosialis-komunisme yang berseteru pasca perang dunia II. Meski Jerman satu orbit dengan Amerika Serikat (AS) yang menjadi kampium liberal-kapitalisme, dan mendapat bantuan ekonomi via Marshall Plan, negeri ini tidak tunduk pada ideologi atau dikte-diktenya.
Ludwig Erhard dari CDU/CSU yang menjadi kanselir tahun 1963-1966 dengan tegas menyatakan bahwa Jerman menganut pasar sosial. Bukan pasar bebas (free market) yang memberikan setiap individu bebas bersaing (competition), melainkan pasar yang dikendalikan negara dengan dasar keadilan sosial.
Pola, model, atau ideologi yang mengingatkan kita kepada konsep Bung Karno, yakni socio-demokrasi alias demokrasi sosial. Demokrasi yang tidak hanya dalam bidang politik, melainkan juga dalam bidang ekonomi. Ideologi tengah  yang konsisten dipraksiskan di Jerman, namun tidak dinegeri ini. Apakah Unit Kerja Presiden tentang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang terbentuk saat ini akan diarahkan kesana? Semoga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar