KEBIJAKAN
TRUMP; PERSFEKTIF MASYARAKATNYA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 6 April 2018
Untuk kesekian kalinya Trump melakukan dekrit, yakni menerapkan
tarif/bea impor baja 25%, alumunium 10%, dan seluruh komoditas ekspor China.
Dunia kaget, meriang, dan menggelinjang, bagaimana pendekar pasar bebas yang
mengharamkan proteksi dan diskriminasi dalam perdagangan global, bak petir
disiang bolong kini mengingkarinya. Tidakkah itu merusak sistim perdagangan
internasional, dan termasuk (iclude) perekonomian domestiknya?
Begitulah kira-kira pertanyaan,
tanggapan, dan evaluasi mayoritas ekonom, khususnya ekonom mainstream, dalam
menanggapi kebijakan ekstrim Trump tersebut. Bak koor paduan suara mereka sepakat
bahwa kebijakan tersebut adalah ahistoris dan distortif. Kebijakan yang akan membuat pertumbuhan
ekonomi dunia terganggu, yang dalam derivasi atau kelanjutannya akan
memperlambat pembangunan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan global.
Benar atau tidak sinyalemen
ekonom-ekonom mainstream tersebut, waktulah yang membuktikannya. Secara
konseptual-teoritik mungkin seperti itu, yakni akan merusak tatanan
perekonomian internasional karena kebijakan yang diambil sepihak. Namun secara
empirik-faktual apakah seperti itu, atau
justru sebaliknya masih perlu diuji (validitas maupun reabilitasnya).
Tindakan
Sepihak
Dalam praksis-historis
selama ini, khususnya pasca perang dunia II, dimana paradigma pasar bebas nan
liberal (free market) mulai
diterapkan belum ada relasi antara pertumbuhan dengan kesejahteraan (welfare) sebagaimana yang
digembor-gemborkan sebelumnya. Meningkatnya jumlah negara-negara, transaksi,
dan volume perdagangan antar negara yang
konon akan membawa kesejahteraan global dan individual, hanya berlangsung di
atas kertas. Faktanya adalah sebaliknya, yakni distribusinya timpang.
Tidak semua jenis
komoditi yang diperdagangkan menikmati keuntungan. Ada yang menikmati kenaikan
harga luar biasa, ada yang malah sebaliknya (merosot). Begitu juga tidak semua
negara atau wilayah menikmati keuntungan yang setara. Dengan kata lain
kwantitas meningkat, tapi tidak akan kwalitasnya.
Penyakit-penyakit
sosial yang menggejala sejak lama, seperti pengangguran, kemiskinan, hingga
ketidak adilan mondial tidak ada tanda-tanda menurun. Peningkatan perdagangan
dunia yang berlangsung, pasca dibentuknya lembaga-lembaga, atau rezim ekonomi internasional
(IMF, IBRD/WB, GATT/WTO) cenderung
hanya menguntungkan segelintir negara. Khususnya negara-negara pendukung
ideologi liberal tersebut, seperti Amerika
Serikat, Eropa Barat/EEC, Jepang, OPEC, dan
antitesenya, yakni negara-negara komunist Eropa
Timur.
Sinyalemen demikian
dapat dilihat dari laporan Economic
Report of the president pada tahun
1955, 1965, 1975, dan 1984. Meskipun mengalami fluktuasi kelima negara/kawasan
tersebut tetap mendominasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam angka
berikut; persentase ekspor AS berturut-turut dari tahun 1955, 1965, 1975, dan
1984 adalah 17%, 14%, 12%, dan 11%, Eropa Barat, 30%, 39%, 34%, dan 31%,
Jepang, 2%, 4%, 6%, dan 8%, negara-negara komunist, 11%, 11%, 10%, 12%, NSB,
18%, 13%, 11%, dan 14%, OPEC, 6%, 5%, 13%, dan 9%, lainnya, 15%, 15%, 14%, dan
14% (D.H. Blake dan R.S. Walters, 1987)
Begitu
pula bila dilihat dari masing-masing persentasi produksi nasional, dan
persentasi dari cadangan moneter internasionalnya, kelima negara atau kawasan
tersebut tetap mendominasi. Hanya saja, sebagaimana focus tulisan ini, nilai
ekspor, produksi nasional, dan cadangan moneter internasional AS sejak tahun 1955 hingga tahun 1984 terus
merosot,sementara yang lain stabil (EEC,
Komunist, OPEC,NSB), dan meningkat (Jepang)
Kenapa,
dan mengapa AS sebagai pelopor
perdagangan bebas justru mengalami kemerosotan demikian deskripsinya cukup
panjang, yang tak mungkin dibahas dalam tulisan singkat ini. Yang pasti dalam
suasana tidak sehat tersebut, negara
super power ini pada akhirnya mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pasar bebas.
Dengan
kekuatan militernya yang belum ada taranya, dan kekuatan ekonominya yang
walaupun terus menerus mengalami penurunan/kerugian, membuat negeri ini (AS) kerapkali mengambil tindakan
sepihak. Tindakan-tindakan yang terkesan semaunya, seperti melakukan tekanan terhadap
mitra dagang/pemerintahnya untuk mengurangi agresifitas ekspornya (negara-negara
Eropa Barat, dan atau khususnya Jepang)
Negara-negara
Eropa Barat dan Jepang sebagaimana sejarahnya, adalah sekutu AS dalam perang dingin (cold
war) melawan negara-negara komunis yang dipimpin Uni Soviet. Sebagai sekutu yang mendapat payung nuklir dan hegemoni
AS dalam perdagangan dunia,
negara-negara tersebut meskipun mendapat tekanan sepihak tetap mengalah, karena
mereka tetap diuntungkan (Krugman, P,
1997)
Akan tetapi sejalan dengan munculnya peredaan
ketegangan (detente) antara kedua
super power, dimana perekonomian negara-negara sekutu AS semakin meningkat, dan sebaliknya dengan perekonomian AS
yang semakin merosot, tekanan-tekanan demikian mulai dilawan.
Anjuran-anjuran
Washington agar negara-negara
sekutunya mengurangi agresifitas ekspornya tidak lagi begitu saja dituruti. Ibarat
anak macan, negara-negara yang pada awalnya dibantu AS ini pasca perang dunia II, lama kelamaan siap-siap menerkan
induknya. Komoditas-komoditas Eropa,
khususnya Jepang yang lebih murah dan
berkualitas dari komoditas-komoditas AS,
membanjiri pasar-pasar AS.
Sebaliknya komoditas-komoditas AS yang masuk ke Eropa dan Jepang
mengalami kemerosotan. Puncaknya terjadi pada tahun 1971, dimana untuk pertama
kali ekspor AS lebih kecil dari impor
yang berdampak pada defisit pembayarannya. Sebagai reaksinya karena sudah
mengancam perekonomian nasional, selain juga karena tekanan dari pengusaha-pengusaha
lokal dan serikat-serikat buruh yang kepentingannya terancam, secara sepihak rezim
Washington/pemerintah AS, mengambil langkah yang menabrak
perjanjian pasar bebas.
Presiden
Nixon, setelah mendapat persetujuan
kongres mengeksekusi tiga keputusan penting, yakni (a) menerapkan bea impor 10%
terhadap komoditi-komoditi yang masuk ke AS,
(b) mendesak agar mata uang rekanan
dagang utamanya di revaluasi sehingga menguntungkan produsen AS, dan yang lebih spektakuler adalah (c)
melarang negara-negara sekutunya yang menyimpan dollar untuk ditukarkan dengan
emas (DH. Blake & RS Walters, 1987)
Akan
tetapi, meski keputusan sepihak tersebut dipaksakan, dan negara-negara lain
menurutinya, tidak otomatis membuat perekonomin AS lebih baik. Malah sebaliknya semakin tahun semakin merosot.
Untuk membenahinya sebagaimna yang dilakukan Nixon, negeri ini kembali melakukan tindakan sepihak pada tahun
1980.
Dengan garang bak koboi yang menembaki
bison-bison, Reagan memaksa Jepang mengurangi agresifitas ekspor mobilnya, Eropa dengan bajanya, Canada
dengan kayunya, dan sejumlah barang lainnya (Krugman P, 1997)
Sebagaimana
kebijakan yang dieksekusi Nixon,
kebijakan yang ditempuh Reagan pun
tidak dengan sendirinya membuat perdagangan AS
berkembang. Defisit perdagangan yang sudah menghantui sebelumnya kembali
mengemuka. Dari tahun ke tahun begitu terus, yakni defisitnya terus membengkak,
karena jumlah ekspor tidak sebanding dengan jumlah impornya.
Situasi
yang akhirnya tetap membelenggu penguasa-penguasa Washington, seperti Bush
Senior, Clinton, Bush Jr,dan Obama
terpaksa atau kembali melakukan tindakan-tindakan sepihak. Tindakan nan egois,
tindakan yang terbukti tidak valid, namun tetap ditempuh karena sudah
terperangkap dengan sistim yang diciptakannya sendiri, yakni pemimpin kapitalisme
global.
Perspektif
Masyarakatnya
Trump
yang melihat situasi tidak sehat demikian, jauh sebelum pencalonannya menjadi
presiden, telah berkali-kali melontarkan kritik agar keluar dari belenggu
tersebut. Dengan tegas, tegar dan lantang, Trump
menantang agar Amerika keluar dari
pasar bebas yang dimotorinya, dan lebih mengutamakan kepentingan domestik. American first, bukan nomor dua atau tiga.
Pemikiran
yang akhirnya menjadi konsep kampanyenya, dan telah dijabarkan dalam sub-sub
sebagai berikut;... menutup perbatasan
dengan membangun tembok dengan Meksiko,
melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang teroris, keluar dari
Trans Pasifik Partnershift, mengeksekusi
NATO sebagai organisasi yang usang,
tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat defisit/khususnya China, dan lain-lain kebijakan yang
nasionalistik, realis, dan mungkin merkantilis.
Semua
itu dapat dibaca dalam bukunya yang diberi judul “Crippled America”, alias America
yang lumpuh. Lumpuh karena semua kerjasama politik, ekonomi internasional yang
dilakoni sejak lama telah memperlemah Lebensraum
Amerika, yang pada gilirannya menghilangkan lapangan kerja dan membuat
neraca perdagangan terus merosot. Lebih jelasnya Trump menyatakan::..karena
kolusi modal internasional atas nama globalisasi yang memaksa modal Amerika
keluar negeri, dan dengan itu membawa kesempatan kerja ke dunia luar, dan
mengabaikan Amerika.
Konteks
demikian yang diteropong Trump dengan
cerdas. Dengan jeli ia melihat telah muncul suatu kelas masyarakat yang
termarjinalkan, yang populer dengan sebutan invisible
poor dalam jumlah besar dalam masyarakat Amerika. Mereka menjadi korban
globalisasi, yakni korban dari banyaknya pabrik dan tambang yang tutup, dan
tidak siap mencari pekerjaan baru, selain karena kalah bersaing dengan para
pendatang/immigran.
Kelompok yang konon telah fenomenal sejak
tahun 1990-an demikian pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah kebawah
dan tinggal di kota-kota kecil dan perdesaan yang luput dari perhatian publik, namun terang-benderang
di mata Trump. Dan menurut penelitian, kelas inilah yang mayoritas memilih Trump dalam pilpres yang lalu (R.William
Liddle, 2017)
Oleh
karena itu tidak perlu kaget kenapa kebijakan Trump kelihatannya kontroversial,
populis, bahkan mungkin cenderung parochial, sebab orientasinya sudah tidak
sama, bahkan bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Trump sebagaimana
aspirasi atau kepentingan masyarakatnya telah merubah haluan, yakni dari
liberal-globalis ke realis-nasionalistik. Prinsip ekonomi-politik yang
hikmahnya perlu diambil negeri ini, agar Trisakti yang melandasi Nawa Cita
tidak cenderung sebatas jargon, melainkan empirik dalam praksisnya. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar