Jumat, 13 April 2018

KEBIJAKAN TRUMP; PERSFEKTIF MASYARAKATNYA



KEBIJAKAN TRUMP;  PERSFEKTIF MASYARAKATNYA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 6 April 2018
Untuk kesekian kalinya Trump melakukan dekrit, yakni menerapkan tarif/bea impor baja 25%, alumunium 10%, dan seluruh komoditas ekspor China. Dunia kaget, meriang, dan menggelinjang, bagaimana pendekar pasar bebas yang mengharamkan proteksi dan diskriminasi dalam perdagangan global, bak petir disiang bolong kini mengingkarinya. Tidakkah itu merusak sistim perdagangan internasional, dan termasuk (iclude) perekonomian domestiknya?
Begitulah kira-kira pertanyaan, tanggapan, dan evaluasi mayoritas ekonom, khususnya ekonom mainstream, dalam menanggapi kebijakan ekstrim Trump tersebut. Bak koor paduan suara mereka sepakat bahwa kebijakan tersebut adalah ahistoris dan distortif.  Kebijakan yang akan membuat pertumbuhan ekonomi dunia terganggu, yang dalam derivasi atau kelanjutannya akan memperlambat pembangunan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan global.
Benar atau tidak sinyalemen ekonom-ekonom mainstream tersebut, waktulah yang membuktikannya. Secara konseptual-teoritik mungkin seperti itu, yakni akan merusak tatanan perekonomian internasional karena kebijakan yang diambil sepihak. Namun secara empirik-faktual  apakah seperti itu, atau justru sebaliknya masih perlu diuji (validitas maupun reabilitasnya).
Tindakan Sepihak
Dalam praksis-historis selama ini, khususnya pasca perang dunia II, dimana paradigma pasar bebas nan liberal (free market) mulai diterapkan belum ada relasi antara pertumbuhan dengan kesejahteraan (welfare) sebagaimana yang digembor-gemborkan sebelumnya. Meningkatnya jumlah negara-negara, transaksi, dan volume perdagangan antar negara  yang konon akan membawa kesejahteraan global dan individual, hanya berlangsung di atas kertas. Faktanya adalah sebaliknya, yakni distribusinya timpang.
Tidak semua jenis komoditi yang diperdagangkan menikmati keuntungan. Ada yang menikmati kenaikan harga luar biasa, ada yang malah sebaliknya (merosot). Begitu juga tidak semua negara atau wilayah menikmati keuntungan yang setara. Dengan kata lain kwantitas meningkat, tapi tidak akan kwalitasnya.
Penyakit-penyakit sosial yang menggejala sejak lama, seperti pengangguran, kemiskinan, hingga ketidak adilan mondial tidak ada tanda-tanda menurun. Peningkatan perdagangan dunia yang berlangsung, pasca dibentuknya lembaga-lembaga, atau rezim ekonomi internasional (IMF, IBRD/WB, GATT/WTO) cenderung hanya menguntungkan segelintir negara. Khususnya negara-negara pendukung ideologi liberal tersebut, seperti Amerika Serikat, Eropa Barat/EEC,  Jepang, OPEC, dan antitesenya, yakni negara-negara komunist Eropa Timur.
Sinyalemen demikian dapat dilihat dari laporan Economic Report of the president  pada tahun 1955, 1965, 1975, dan 1984. Meskipun mengalami fluktuasi kelima negara/kawasan tersebut tetap mendominasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam angka berikut; persentase ekspor AS berturut-turut dari tahun 1955, 1965, 1975, dan 1984 adalah 17%, 14%, 12%, dan 11%, Eropa Barat, 30%, 39%, 34%, dan 31%, Jepang, 2%, 4%, 6%, dan 8%, negara-negara komunist, 11%, 11%, 10%, 12%, NSB, 18%, 13%, 11%, dan 14%, OPEC, 6%, 5%, 13%, dan 9%, lainnya, 15%, 15%, 14%, dan 14% (D.H. Blake dan R.S. Walters, 1987)
Begitu pula bila dilihat dari masing-masing persentasi produksi nasional, dan persentasi dari cadangan moneter internasionalnya, kelima negara atau kawasan tersebut tetap mendominasi. Hanya saja, sebagaimana focus tulisan ini, nilai ekspor, produksi nasional, dan cadangan moneter internasional AS sejak tahun 1955 hingga tahun 1984 terus merosot,sementara yang lain stabil (EEC, Komunist, OPEC,NSB), dan meningkat (Jepang)
Kenapa, dan mengapa AS sebagai pelopor perdagangan bebas justru mengalami kemerosotan demikian deskripsinya cukup panjang, yang tak mungkin dibahas dalam tulisan singkat ini. Yang pasti dalam suasana tidak sehat tersebut,  negara super power ini pada akhirnya mengambil tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pasar bebas.
Dengan kekuatan militernya yang belum ada taranya, dan kekuatan ekonominya yang walaupun terus menerus mengalami penurunan/kerugian, membuat negeri ini (AS) kerapkali mengambil tindakan sepihak. Tindakan-tindakan yang terkesan semaunya, seperti melakukan tekanan terhadap mitra dagang/pemerintahnya untuk mengurangi agresifitas ekspornya (negara-negara Eropa Barat, dan atau khususnya Jepang)
Negara-negara Eropa Barat dan Jepang sebagaimana sejarahnya, adalah sekutu AS dalam perang dingin (cold war) melawan negara-negara komunis yang dipimpin Uni Soviet. Sebagai sekutu yang mendapat payung nuklir dan hegemoni AS dalam perdagangan dunia, negara-negara tersebut meskipun mendapat tekanan sepihak tetap mengalah, karena mereka tetap diuntungkan (Krugman, P, 1997)
 Akan tetapi sejalan dengan munculnya peredaan ketegangan (detente) antara kedua super power, dimana perekonomian negara-negara sekutu AS semakin meningkat, dan sebaliknya dengan perekonomian AS  yang semakin merosot, tekanan-tekanan demikian mulai dilawan.
Anjuran-anjuran Washington agar negara-negara sekutunya mengurangi agresifitas ekspornya tidak lagi begitu saja dituruti. Ibarat anak macan, negara-negara yang pada awalnya dibantu AS ini pasca perang dunia II, lama kelamaan siap-siap menerkan induknya. Komoditas-komoditas Eropa, khususnya Jepang yang lebih murah dan berkualitas dari komoditas-komoditas AS, membanjiri pasar-pasar AS.
 Sebaliknya komoditas-komoditas AS yang masuk ke Eropa dan Jepang mengalami kemerosotan. Puncaknya terjadi pada tahun 1971, dimana untuk pertama kali ekspor AS lebih kecil dari impor yang berdampak pada defisit pembayarannya. Sebagai reaksinya karena sudah mengancam perekonomian nasional, selain juga karena tekanan dari pengusaha-pengusaha lokal dan serikat-serikat buruh yang kepentingannya terancam, secara sepihak rezim Washington/pemerintah AS, mengambil langkah yang menabrak perjanjian pasar bebas.
Presiden Nixon, setelah mendapat persetujuan kongres mengeksekusi tiga keputusan penting, yakni (a) menerapkan bea impor 10% terhadap komoditi-komoditi yang masuk ke AS,  (b) mendesak agar mata uang rekanan dagang utamanya di revaluasi sehingga menguntungkan produsen AS, dan yang lebih spektakuler adalah (c) melarang negara-negara sekutunya yang menyimpan dollar untuk ditukarkan dengan emas  (DH. Blake & RS Walters, 1987)
Akan tetapi, meski keputusan sepihak tersebut dipaksakan, dan negara-negara lain menurutinya, tidak otomatis membuat perekonomin AS lebih baik. Malah sebaliknya semakin tahun semakin merosot. Untuk membenahinya sebagaimna yang dilakukan Nixon, negeri ini kembali melakukan tindakan sepihak pada tahun 1980.
 Dengan garang bak koboi yang menembaki bison-bison, Reagan memaksa Jepang mengurangi agresifitas ekspor mobilnya, Eropa dengan bajanya, Canada dengan kayunya, dan sejumlah barang lainnya (Krugman P, 1997)
Sebagaimana kebijakan yang dieksekusi Nixon, kebijakan yang ditempuh Reagan pun tidak dengan sendirinya membuat perdagangan AS berkembang. Defisit perdagangan yang sudah menghantui sebelumnya kembali mengemuka. Dari tahun ke tahun begitu terus, yakni defisitnya terus membengkak, karena jumlah ekspor tidak sebanding dengan jumlah impornya.
Situasi yang akhirnya tetap membelenggu penguasa-penguasa Washington, seperti Bush Senior, Clinton, Bush Jr,dan Obama terpaksa atau kembali melakukan tindakan-tindakan sepihak. Tindakan nan egois, tindakan yang terbukti tidak valid, namun tetap ditempuh karena sudah terperangkap dengan sistim yang diciptakannya sendiri, yakni pemimpin kapitalisme global. 
Perspektif Masyarakatnya
Trump yang melihat situasi tidak sehat demikian, jauh sebelum pencalonannya menjadi presiden, telah berkali-kali melontarkan kritik agar keluar dari belenggu tersebut. Dengan tegas, tegar dan lantang, Trump menantang agar Amerika keluar dari pasar bebas yang dimotorinya, dan lebih mengutamakan kepentingan domestik. American first, bukan  nomor dua atau tiga.
Pemikiran yang akhirnya menjadi konsep kampanyenya, dan telah dijabarkan dalam sub-sub sebagai berikut;...  menutup perbatasan dengan membangun tembok dengan Meksiko, melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang teroris, keluar dari Trans Pasifik Partnershift, mengeksekusi NATO sebagai organisasi yang usang, tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat defisit/khususnya China, dan lain-lain kebijakan yang nasionalistik, realis, dan mungkin merkantilis.
Semua itu dapat dibaca dalam bukunya yang diberi judul “Crippled America”, alias America yang lumpuh. Lumpuh karena semua kerjasama politik, ekonomi internasional yang dilakoni sejak lama telah memperlemah Lebensraum Amerika, yang pada gilirannya menghilangkan lapangan kerja dan membuat neraca perdagangan terus merosot. Lebih jelasnya Trump menyatakan::..karena kolusi modal internasional atas nama globalisasi yang memaksa modal Amerika keluar negeri, dan dengan itu membawa kesempatan kerja ke dunia luar, dan mengabaikan Amerika.
Konteks demikian yang diteropong Trump dengan cerdas. Dengan jeli ia melihat telah muncul suatu kelas masyarakat yang termarjinalkan, yang populer dengan sebutan invisible poor dalam jumlah besar dalam masyarakat Amerika. Mereka menjadi korban globalisasi, yakni korban dari banyaknya pabrik dan tambang yang tutup, dan tidak siap mencari pekerjaan baru, selain karena kalah bersaing dengan para pendatang/immigran.
 Kelompok yang konon telah fenomenal sejak tahun 1990-an demikian pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah kebawah dan tinggal di kota-kota kecil dan perdesaan yang  luput dari perhatian publik, namun terang-benderang di mata Trump. Dan menurut penelitian, kelas inilah yang mayoritas memilih Trump dalam pilpres yang lalu (R.William Liddle, 2017)
Oleh karena itu tidak perlu kaget kenapa kebijakan Trump kelihatannya kontroversial, populis, bahkan mungkin cenderung parochial, sebab orientasinya sudah tidak sama, bahkan bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Trump sebagaimana aspirasi atau kepentingan masyarakatnya telah merubah haluan, yakni dari liberal-globalis ke realis-nasionalistik. Prinsip ekonomi-politik yang hikmahnya perlu diambil negeri ini, agar Trisakti yang melandasi Nawa Cita tidak cenderung sebatas jargon, melainkan empirik dalam praksisnya. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar