OPPOSISI,
PROPAGANDA, DAN KECELAKAANNYA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 2 Mei 2018
Pendiri-pendiri negara
ini berketetapan hati bahwa untuk membangun bangsa Indonesia pasca lepas dari kolonialisme
dibutuhkan lembaga modern. Lembaga yang diadopsi dari Barat, yang katanya,
apabila diterapkan disini, akan membuat kehidupan bangsa lebih baik. Oleh
karena itu, tanpa sedikit pun keraguan diimitasilah lembaga-lembaga tersebut ke
Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945.
Lembaga-lembaga yang
kemudian dikenal dengan nama atau konsep (antara lain) “negara/sistim politik,
konstitusi/UUD, DPR/MPR/legislatif (the rule making), Presiden/Kabinet/eksekutif
(the rule application), MA/judikatif (the rule adjudication)”, yang berjalan atau dijalankan dengan (atas
dasar nilai-nilai) kedaulatan rakyat (bukan daulat tuanku). Bahasa ilmiah,
populer, atau gaulnya dikenal dengan sebutan demokrasi.
Sebutan yang sangat familier,
yang hampir tiap saat didengungkan atau ditulis setiap insan. Dari mulai TK
hingga S3 tidak afdol rasanya apabila tidak mendendangkan kata demokrasi dalam
pergaulan sehari-hari. Akan tetapi bila ditanya lebih detil/lanjut apa
sesungguh/kongkritnya demokrasi itu, maka jawabannya pun tak pernah tuntas. Antara
satu insan, kalangan, pakar, dan atau khususnya para praktisi politik, dengan insan,
kalangan, pakar, dan para praktisi politik yang lain tidak pernah ditemukan
kesepakatan.
Minus
prasyarat demokrasi
Tragisnya lagi, banyak kalangan
berbicara, berkhotbah, atau bersenandung (sampai mulutnya berbusa-busa dan
matanya berbinar-binar atau berbalik-balik) tentang demokrasi, tapi perilakunya sendiri berbalikan
dengan apa yang dibacot atau dikhotbahkan. Dalam praksis atau empiriknya,(
sadar atau sebaiknya), tidak jarang mereka sangat feodal, otoriter, dan
lain-lain perilaku yang bertolak belakang dengan nilai-nilai demokratis.
Tiap detik mereka
teriak, nyerocos, dan bersenandung bahwa demokrasi adalah sistim
pemerintahan/politik, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang tak akan
pernah mati sebagaimana dititahkan Abraham Lincoln. Akan tetapi setiap saat
pula mereka mengingkarinya. Pilkada yang kita hadapi saat ini adalah fakta,
contoh, atau ilustrasi aktualnya.
Bagaimana partai-partai politik menentukan
calon kepala daerah tanpa melalui rapat anggota adalah fakta bahwa demokrasi
itu sudah dibunuh sejak awal. Dimana kedaulatan rakyat disitu? Tidakkah rapat
anggota manifestasi dari kedaulatan? Kalau begitu siapa sesungguhnya yang
berdaulat? Yang pasti bukan rakyat.
Dalam praksis selama
ini pemilihan/penentuan kepala daerah hanya dilakukan segelintir orang. Yakni hanya oleh pengurus-pengurus partainya.
Itupun tidak semua pengurus, hanya orang-orang tertentu saja. Orang-orang yang
punya privilege/kekuatan tertentu, seperti yang punya modal besar. Atau, tidak
tertutup kemungkinan orang dari luar partai tapi mengendalikan partai tersebut.
Kaum demikian populer
dengan sebutan “invisible hand”, alias sosok-sosok yang tak kelihatan, tapi menentukan.
Agak mirip dengan ceritra-ceritra rakyat tentang hantu yang menakutkan. Tak
terlihat, namun diyakini banyak orang. Hantu-hantu itu walau tak kelihatan, tak
rasional, realitanya tetap hadir. Bedanya dengan hantu politik, yakni dalam konteks
pilkada atau sistim kepartaian, hantu itu rasional.
Dengan sedikit dahi
berkerut, alias berpikir, merenung, atau meneliti secara seksama, hantu itu akan
kelihatan dengan kasat mata. Hantu yang merusak sistim politik demokratis
sebagaimana diteorikan David Easton dan kawan-kawan (1950)
Easton sebagaimana
konsepnya, yakni tuntutan dan dukungan yang diberikan rakyat kepada wakilnya melalui
partai politik dan pemilu (input), seharusnya diproses sesuai dengan dukungan
dan tuntutan tersebut (black box/political system). Kenyataannya yang di proses
lain, sehingga keputusan atau kebijakan yang keluar tidak untuk rakyat (out
put), melainkan untuk kepentingan segelintir kalangan, khususnya untuk
kepentingan hantu-hantu tersebut.
Konstatasi yang terlembaga/berlangsung
sejak era reformas berhembus akhir 90-an. Era yang memberi kebebasan setiap
komunitas masyarakat membentuk partai-partai politik. Era yang pada awalnya diimpikan
akan membuat kehidupan masyarakat semakin demokratis, sejahtera, dan adil.
Sayang seribu sayang, impian
manis itu jauh dari harapan. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak
sampai. Ada jarak, gap, atau jurang antara harapan dan kenyataan. Dedengkot-dedengkot,
atau pemrakarsa-pemrakarsa reformasi lupa, alfa, atau mungkin amnesia bahwa pendukung
atau prasyarat untuk impin tersebut belum dimiliki negeri ini.
Syarat-syarat demikian
(meminjam Huntington 1985) antara lain, adalah belum adanya sistim masyarakat
yang egaliter, yang mayoritas dengan kesetaraan, melainkan cenderung masih
paternalistik, kalau bukan feodal (vertical oriented). Bagaimana mementaskan
kebebasan yang bertanggung jawab dalam konteks seperti itu?
Opposisi,
Propaganda, dan Kecelakaannya
Kebebasan akan berdaya
guna apabila dalam tatanan masyarakat terdapat kedekatan-kedekatan. Kedekatan
dalam hal ekonomi, relasi sosial-budaya, pendidikan. Artinya tidak mungkin
melakonkan kebebasan (baca; demokrasi) apabila di dalam masyarakat itu masih
penuh ketimpangan, rendah literasi/pendidikan, belum ada tradisi toleransi,
kompromi, belum respek kepada hukum/konsensus, dan penghormatan kepada individu.
Selain tentunya komitmen para pemimpin/elit kepada demokrasi (ibid Huntington,
1985)
Partai-partai politik
yang didesign pasca kemerdekaan, khususnya pasca reformasi, seharusnya mensiratkan
nilai-nilai (values) demikian. Tanpa itu kehidupan politik yang didambakan
tidak akan pernah mencapai sasaran. Malah sebaliknya yang mengemuka, yakni melesatnya
konflik nan anarkhis, yaitu masing-masing pihak, kalangan, atau komunitas lain
akan menganggap pikiran dan tindakannya yang benar. Sebaliknya pikiran dan
tindakan pihak, kalangan, atau komunitas lain adalah tidak benar.
Konteks yang sedang
marak-maraknya kita hadapi saat-saat ini. Partai-partai politik yang seharusnya
menenteramkan konflik, menjalankan agregasi dan artikulasi politik, serta
memberikan pendidikan politik, malah sebaliknya meruncingkan konflik yang
sedang fenomenal. Beberapa elit partai yang berseberangan dengan partai
penguasa, apakah disadari atau tidak, disengaja atau sebaliknya, melontarkan
kata-kata, kalimat, litani, adagium, atau apalah istilahnya, yang membuat
suasana semakin konfliktual.
Ucapan-ucapan beberapa
elit/petinggi partai, seperti “Indonesia bubar tahun 2030, adanya partai setan
versus partai Allah, Jokowi yang planga-plongo, agama adalah fiksi”, adalah
beberapa ilustrasi betapa para elit tidak mendinginkan suasana. Malah sebaliknya
membuat situasi semakin runyam.
Konsekwensi logisnya masyarakat
menjadi bingung, dan akhirnya terseret dan terjerembab ke dalam pro kontra,
hujat menghujat, atau caci memaki secara horizontal dan emosional. Konstatasi
yang sesungghnya tidak perlu terjadi, jika saja mereka menyadari bahwa dalam
hidup kepartaian selaku lembaga modern, konteks seperti itu adalah lumrah.
Tidakkah partai yang kalah dalam pemilu akan selalu melakukan penentangan alias
opposisi? Dan untuk mencapai sasaran tersebut tidakkah mereka harus melancarkan
propaganda yang sering tak rasional? Sayang tradisi ini sebagaimana dititahkan
Huntington belum melembaga, dan disinilah kecelakaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar