Jumat, 04 Mei 2018

OPPOSISI, PROPAGANDA, DAN KECELAKAANNYA



OPPOSISI, PROPAGANDA, DAN KECELAKAANNYA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 2 Mei 2018
Pendiri-pendiri negara ini berketetapan hati bahwa untuk membangun bangsa Indonesia pasca lepas dari kolonialisme dibutuhkan lembaga modern. Lembaga yang diadopsi dari Barat, yang katanya, apabila diterapkan disini, akan membuat kehidupan bangsa lebih baik. Oleh karena itu, tanpa sedikit pun keraguan diimitasilah lembaga-lembaga tersebut ke Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945.
Lembaga-lembaga yang kemudian dikenal dengan nama atau konsep (antara lain) “negara/sistim politik, konstitusi/UUD, DPR/MPR/legislatif (the rule making), Presiden/Kabinet/eksekutif (the rule application), MA/judikatif (the rule adjudication)”,  yang berjalan atau dijalankan dengan (atas dasar nilai-nilai) kedaulatan rakyat (bukan daulat tuanku). Bahasa ilmiah, populer, atau gaulnya dikenal dengan sebutan  demokrasi.
Sebutan yang sangat familier, yang hampir tiap saat didengungkan atau ditulis setiap insan. Dari mulai TK hingga S3 tidak afdol rasanya apabila tidak mendendangkan kata demokrasi dalam pergaulan sehari-hari. Akan tetapi bila ditanya lebih detil/lanjut apa sesungguh/kongkritnya demokrasi itu, maka jawabannya pun tak pernah tuntas. Antara satu insan, kalangan, pakar, dan atau khususnya para praktisi politik, dengan insan, kalangan, pakar, dan para praktisi politik yang lain tidak pernah ditemukan kesepakatan.
Minus prasyarat demokrasi
Tragisnya lagi, banyak kalangan berbicara, berkhotbah, atau bersenandung (sampai mulutnya berbusa-busa dan matanya berbinar-binar atau berbalik-balik)  tentang demokrasi, tapi perilakunya sendiri berbalikan dengan apa yang dibacot atau dikhotbahkan. Dalam praksis atau empiriknya,( sadar atau sebaiknya), tidak jarang mereka sangat feodal, otoriter, dan lain-lain perilaku yang bertolak belakang dengan nilai-nilai demokratis.
Tiap detik mereka teriak, nyerocos, dan bersenandung bahwa demokrasi adalah sistim pemerintahan/politik, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang tak akan pernah mati sebagaimana dititahkan Abraham Lincoln. Akan tetapi setiap saat pula mereka mengingkarinya. Pilkada yang kita hadapi saat ini adalah fakta, contoh, atau ilustrasi aktualnya.
 Bagaimana partai-partai politik menentukan calon kepala daerah tanpa melalui rapat anggota adalah fakta bahwa demokrasi itu sudah dibunuh sejak awal. Dimana kedaulatan rakyat disitu? Tidakkah rapat anggota manifestasi dari kedaulatan? Kalau begitu siapa sesungguhnya yang berdaulat? Yang pasti bukan rakyat.
Dalam praksis selama ini pemilihan/penentuan kepala daerah hanya dilakukan segelintir orang.  Yakni hanya oleh pengurus-pengurus partainya. Itupun tidak semua pengurus, hanya orang-orang tertentu saja. Orang-orang yang punya privilege/kekuatan tertentu, seperti yang punya modal besar. Atau, tidak tertutup kemungkinan orang dari luar partai tapi mengendalikan partai tersebut.
Kaum demikian populer dengan sebutan “invisible hand”, alias sosok-sosok yang tak kelihatan, tapi menentukan. Agak mirip dengan ceritra-ceritra rakyat tentang hantu yang menakutkan. Tak terlihat, namun diyakini banyak orang. Hantu-hantu itu walau tak kelihatan, tak rasional, realitanya tetap hadir. Bedanya dengan hantu politik, yakni dalam konteks pilkada atau sistim kepartaian, hantu itu rasional.
Dengan sedikit dahi berkerut, alias berpikir, merenung, atau meneliti secara seksama, hantu itu akan kelihatan dengan kasat mata. Hantu yang merusak sistim politik demokratis sebagaimana diteorikan David Easton dan kawan-kawan (1950)
Easton sebagaimana konsepnya, yakni tuntutan dan dukungan yang diberikan rakyat kepada wakilnya melalui partai politik dan pemilu (input), seharusnya diproses sesuai dengan dukungan dan tuntutan tersebut (black box/political system). Kenyataannya yang di proses lain, sehingga keputusan atau kebijakan yang keluar tidak untuk rakyat (out put), melainkan untuk kepentingan segelintir kalangan, khususnya untuk kepentingan hantu-hantu tersebut.
Konstatasi yang terlembaga/berlangsung sejak era reformas berhembus akhir 90-an. Era yang memberi kebebasan setiap komunitas masyarakat membentuk partai-partai politik. Era yang pada awalnya diimpikan akan membuat kehidupan masyarakat semakin demokratis, sejahtera, dan adil.
Sayang seribu sayang, impian manis itu jauh dari harapan. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Ada jarak, gap, atau jurang antara harapan dan kenyataan. Dedengkot-dedengkot, atau pemrakarsa-pemrakarsa reformasi lupa, alfa, atau mungkin amnesia bahwa pendukung atau prasyarat untuk impin tersebut belum dimiliki negeri ini.
Syarat-syarat demikian (meminjam Huntington 1985) antara lain, adalah belum adanya sistim masyarakat yang egaliter, yang mayoritas dengan kesetaraan, melainkan cenderung masih paternalistik, kalau bukan feodal (vertical oriented). Bagaimana mementaskan kebebasan yang bertanggung jawab dalam konteks seperti itu?
Opposisi, Propaganda, dan Kecelakaannya
Kebebasan akan berdaya guna apabila dalam tatanan masyarakat terdapat kedekatan-kedekatan. Kedekatan dalam hal ekonomi, relasi sosial-budaya, pendidikan. Artinya tidak mungkin melakonkan kebebasan (baca; demokrasi) apabila di dalam masyarakat itu masih penuh ketimpangan, rendah literasi/pendidikan, belum ada tradisi toleransi, kompromi, belum respek kepada hukum/konsensus, dan penghormatan kepada individu. Selain tentunya komitmen para pemimpin/elit kepada demokrasi (ibid Huntington, 1985)
Partai-partai politik yang didesign pasca kemerdekaan, khususnya pasca reformasi, seharusnya mensiratkan nilai-nilai (values) demikian. Tanpa itu kehidupan politik yang didambakan tidak akan pernah mencapai sasaran. Malah sebaliknya yang mengemuka, yakni melesatnya konflik nan anarkhis, yaitu masing-masing pihak, kalangan, atau komunitas lain akan menganggap pikiran dan tindakannya yang benar. Sebaliknya pikiran dan tindakan pihak, kalangan, atau komunitas lain adalah tidak benar.
Konteks yang sedang marak-maraknya kita hadapi saat-saat ini. Partai-partai politik yang seharusnya menenteramkan konflik, menjalankan agregasi dan artikulasi politik, serta memberikan pendidikan politik, malah sebaliknya meruncingkan konflik yang sedang fenomenal. Beberapa elit partai yang berseberangan dengan partai penguasa, apakah disadari atau tidak, disengaja atau sebaliknya, melontarkan kata-kata, kalimat, litani, adagium, atau apalah istilahnya, yang membuat suasana semakin konfliktual.
Ucapan-ucapan beberapa elit/petinggi partai, seperti “Indonesia bubar tahun 2030, adanya partai setan versus partai Allah, Jokowi yang planga-plongo, agama adalah fiksi”, adalah beberapa ilustrasi betapa para elit tidak mendinginkan suasana. Malah sebaliknya membuat situasi semakin runyam.
Konsekwensi logisnya masyarakat menjadi bingung, dan akhirnya terseret dan terjerembab ke dalam pro kontra, hujat menghujat, atau caci memaki secara horizontal dan emosional. Konstatasi yang sesungghnya tidak perlu terjadi, jika saja mereka menyadari bahwa dalam hidup kepartaian selaku lembaga modern, konteks seperti itu adalah lumrah. Tidakkah partai yang kalah dalam pemilu akan selalu melakukan penentangan alias opposisi? Dan untuk mencapai sasaran tersebut tidakkah mereka harus melancarkan propaganda yang sering tak rasional? Sayang tradisi ini sebagaimana dititahkan Huntington belum melembaga, dan disinilah kecelakaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar