Rabu, 30 Mei 2018

WUJUDKAN DEMOKRASI PANCASILA SEKARANG



WUJUDKAN DEMOKRASI PANCASILA SEKARANG
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Mei 2018
Rezim, penguasa, atau pemerintah Orde Reformasi yang mempraksiskan jumbo demokrasi, yang semula diharapkan memberikan jawaban konkrit, realitanya juga tidak bisa berbuat banyak
 Issu atau rumors di negeri ini kelihatannya tidak pernah berakhir. Muncul satu issu yang belum tuntas dibicarakan dan belum ada jalan keluarnya, tak berapa lama kemudian muncul lagi  issu yang lain, yang juga tak tuntas perbincangan dan tak ada jalan keluarnya. Begitu terus menerus tak berkesudahan, seakan-akan fungsi atau kehidupan negeri ini kecenderungannya hanya berputar-putar mengurusi issu-issu yang kerapkali tak berujung-pangkal.
Dari satu issu ke issu lain, bukan dari satu issu ke kemaslahatan sebagaimana lazimnya negara yang bermartabat. Kalau begitu suasananya terus menerus kapan kerjanya? Kapan majunya ? Kapan mewujudkan tujuan pemerintah/negara, yakni melindungi segenap warga negara, mengupayakan kesejahteraan, dan mengihtiarkan kecerdasan  sebagaimana yang termaktub pada alinea ke empat pembukaan UUD 1945 ? Akan datang dengan sendirinya?
Diluar Sistim Pancasila
Pertanyaan-pertanyaan yang relevan dikemukakan dalam rangka memperingati 20 tahun reformasi (Mei 1998-Mei 2018) dan menyongsong 73 tahun Pancasila (1juni 1945-1 juni 2018). Pertanyaan-pertanyaan yang sama ketika negeri ini memerdekakan bangsanya tahun 1945, ketika Orde Baru/Soeharto melengserkan Orde Lama/Bung Karno, dan ketika Orde Reformasi menjungkalkan Soeharto akhir 1990-an, yakni kapan kita mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen sehingga kehidupan rakyat semakin adil dan makmur.
Namun sebagaimana fakta historisnya, pertanyaan tinggal sebatas pertanyaan. Jawaban yang kongkrit tak pernah tampil kepermukaan. Kalaupun muncul, jawaban itu sudah dapat diduga adalah jawaban klise, retoris, euphemism, atau verbalism. Pemerintah yang silih berganti berkuasa, yang seharusnya memberi jawaban yang akurat (valid and reliable), karena posisinya yang sentral sebagai agen perubahan nyaris tak pernah hadir.
Dalam panggung Orde Lama, pemerintah yang mentas sebagaimana faktanya tidak bisa berbuat banyak, sebab penuh dengan konflik-konflik antagonistik yang selanjutnya berujung dengan krisis ekonomi. Pemerintah Orde Baru yang tampil sebagai counter attack pada pemerintahan sebelumnya, meski relatif tenang, karena memerankan otoritarianism, dan kontinyu mementaskan pembangunan ekonomi, nyatanya juga tidak sanggup menghasilkan pemerataan maupun keadilan. Meminjam HW.Arndt (1980) pertumbuhan yang berlangsung selama Orde Baru tak lain tak bukan adalah pertumbuhan yang menyengsarakan.
Tidak begitu beda dengan rezim, penguasa, atau pemerintah Orde Reformasi yang mempraksiskan jumbo demokrasi, yang semula diharapkan memberikan jawaban kongkrit, realitanya juga tidak bisa berbuat banyak. Sebagaimana empiriknya, demokrasi yang harum semerbak pada awalnya, tidak berapa lama kemudian kembali layu sebelum berkembang, karena terbajak pentolan-pentolan Orde Baru yang cepat konsolidasi sehingga tidak mencapai tujuannya (Olle Tornquist, 2004).
 Tujuan utama, seperti kebebasan liberte), kesetaraan (egalite), dan toleransi (fraternite) sebagaimana hakiki demokrasi, berhenti hanya pada tahap (ssebatas) kebebasan itu sendiri. Tidak pada tahap yang lebih substantif, seperti kesetaraan dan toleransi. Dan sebagai konsekwensi logisnya, kebebasan yang berhembus bukan sebagai instrumen (tool) mencapai tujuan negara, yakni masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, melainkan untuk kebebasan itu sendiri.
 Singkat dan kongkritnya pemerintahan era reformasi sebagaimana pemerintahan era era sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) tetap saja tidak bisa berbuat banyak memperbaiki kehidupan masyarakat sebagaimana pesan konstitusi (UUD 1945). Kehidupan masyarakat sebagaimana dilukis-visualisasikan (karikatur) media cetak terbesar baru-baru ini, permanen , kalau bukan lebih parah dari kadaan sebelumnya, karena beberapa hal, seperti penerapan hukum yang semakin majal, KKN yang terus membuncah dan berjamaah meski KPK sudah bekerja keras, kontroversi HAM yang tak berkesudahan, dan membengkaknya utang negara, yang bermuara kepada merebaknya kemiskinan (Kompas, 23 Mei 2018)
Mengapa, kenapa, terjadi seperti itu, sudah banyak di ulas berbagai kalangan. Dari yang ringan hingga yang berat, dari kalangan tradisional hingga post modernis, dari yang paling kiri hingga yang paling kanan, dari yang paling liberal hingga konservatif, dan dari yang  rasional hingga yang klenik/irrasional telah melesatkan pandangannya dalam berbagai narasi.
Narasi yang bisa kita baca setiap saat, apakah itu dalam bentuk artikel populer di media massa, karikatur-karikatur, makalah-makalah terbatas , skripsi, thesis, hingga disertasi. Narasi  yang pada intinya melihat kealfaan, kekeliruan, atau kesalahan terletak pada pemerintah yang berkuasa, yang tak dapat berfungsi secara maksimal.
Peran, metode, atau sistim pemerintahan-politik yang dipraksiskan entah mengapa belum pernah selaras dengan jati diri bangsa, yakni sila ke empat Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan/Perwakilan”. Sistim pemerintahan-politik atau demokrasi yang dipraksiskan selalu di luar itu.
Pada Orde Lama, semilir-semilir kita dengar yang dipraktekkan adalah Demokrasi terpimpin, yang konon katanya tidak demokratis. Pada Orde Baru, selain praksis otoritarian, kita mengenal sistim-sistim lain, seperti; patrimonial, birokratik, korporatis, kleptokrasi, dan lain-lain sistim yang pada dasarnya adalah sistim yang tidak demokratis.
Pada era Reformasi, apakah karena tergopoh-gopoh ingin membalikkan keadaan dengan secepat kilat, tampil sistim yang super demokratis, yakni demokrasi (jumbo) liberal. Demokrasi yang di negeri asalnya mulai dipertanyakan dan di deliberasi (Jurgen Habermas, 1980),  sebaliknya di negeri ini di super lembagakan.
Demokrasi Pancasila
Kesemua itu sebagaimana dikatakan sebelumnya tidak sejalan, bahkan berbenturan dengan sistim pemerintahan, politik, maupun demokrasi Pancasila. Demokrasi yang pada hakikatnya sebagaimana dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, bukanlah an sich demokrasi politik yang ugal-ugalan, sebagaimana warisan revolusi Perancis, melainkan demokrasi sosial (socio-demokrasi), yakni demokrasi politik plus demokrasi ekonomi (gabungan sila ke empat dan ke lima Pancasila).
Demokrasi yang dalam praksisnya tidak sekedar kesetaraan atau keadilan politik sebagaimana yang berlangsung saat ini, melainkan juga kesetaraan dan keadilan ekonomi (politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid kata Bung Karno). Dalam artian lain demokrasi yang didalamnya, selain kebebasan berekspressi juga kebebasan dari kemiskinan, kesengsaraan dan ketidak adilan. Saat ini merupakan momen tepat mewujudkan itu. Merdeka  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar