WUJUDKAN
DEMOKRASI PANCASILA SEKARANG
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 28 Mei 2018
Rezim, penguasa, atau pemerintah Orde Reformasi yang
mempraksiskan jumbo demokrasi, yang semula diharapkan memberikan jawaban konkrit,
realitanya juga tidak bisa berbuat banyak
Issu atau rumors di negeri ini kelihatannya
tidak pernah berakhir. Muncul satu issu yang belum tuntas dibicarakan dan belum
ada jalan keluarnya, tak berapa lama kemudian muncul lagi issu yang lain, yang juga tak tuntas
perbincangan dan tak ada jalan keluarnya. Begitu terus menerus tak
berkesudahan, seakan-akan fungsi atau kehidupan negeri ini kecenderungannya hanya
berputar-putar mengurusi issu-issu yang kerapkali tak berujung-pangkal.
Dari satu issu ke issu
lain, bukan dari satu issu ke kemaslahatan sebagaimana lazimnya negara yang
bermartabat. Kalau begitu suasananya terus menerus kapan kerjanya? Kapan
majunya ? Kapan mewujudkan tujuan pemerintah/negara, yakni melindungi segenap
warga negara, mengupayakan kesejahteraan, dan mengihtiarkan kecerdasan sebagaimana yang termaktub pada alinea ke
empat pembukaan UUD 1945 ? Akan datang dengan sendirinya?
Diluar
Sistim Pancasila
Pertanyaan-pertanyaan
yang relevan dikemukakan dalam rangka memperingati 20 tahun reformasi (Mei
1998-Mei 2018) dan menyongsong 73 tahun Pancasila (1juni 1945-1 juni 2018). Pertanyaan-pertanyaan
yang sama ketika negeri ini memerdekakan bangsanya tahun 1945, ketika Orde
Baru/Soeharto melengserkan Orde Lama/Bung Karno, dan ketika Orde Reformasi
menjungkalkan Soeharto akhir 1990-an, yakni kapan kita mewujudkan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekwen sehingga kehidupan rakyat semakin adil dan
makmur.
Namun sebagaimana fakta
historisnya, pertanyaan tinggal sebatas pertanyaan. Jawaban yang kongkrit tak
pernah tampil kepermukaan. Kalaupun muncul, jawaban itu sudah dapat diduga
adalah jawaban klise, retoris, euphemism, atau verbalism. Pemerintah yang silih
berganti berkuasa, yang seharusnya memberi jawaban yang akurat (valid and
reliable), karena posisinya yang sentral sebagai agen perubahan nyaris tak
pernah hadir.
Dalam panggung Orde
Lama, pemerintah yang mentas sebagaimana faktanya tidak bisa berbuat banyak,
sebab penuh dengan konflik-konflik antagonistik yang selanjutnya berujung
dengan krisis ekonomi. Pemerintah Orde Baru yang tampil sebagai counter attack
pada pemerintahan sebelumnya, meski relatif tenang, karena memerankan
otoritarianism, dan kontinyu mementaskan pembangunan ekonomi, nyatanya juga tidak
sanggup menghasilkan pemerataan maupun keadilan. Meminjam HW.Arndt (1980)
pertumbuhan yang berlangsung selama Orde Baru tak lain tak bukan adalah
pertumbuhan yang menyengsarakan.
Tidak begitu beda
dengan rezim, penguasa, atau pemerintah Orde Reformasi yang mempraksiskan jumbo
demokrasi, yang semula diharapkan memberikan jawaban kongkrit, realitanya juga
tidak bisa berbuat banyak. Sebagaimana empiriknya, demokrasi yang harum
semerbak pada awalnya, tidak berapa lama kemudian kembali layu sebelum
berkembang, karena terbajak pentolan-pentolan Orde Baru yang cepat konsolidasi sehingga
tidak mencapai tujuannya (Olle Tornquist, 2004).
Tujuan utama, seperti kebebasan liberte),
kesetaraan (egalite), dan toleransi (fraternite) sebagaimana hakiki demokrasi, berhenti
hanya pada tahap (ssebatas) kebebasan itu sendiri. Tidak pada tahap yang lebih
substantif, seperti kesetaraan dan toleransi. Dan sebagai konsekwensi logisnya,
kebebasan yang berhembus bukan sebagai instrumen (tool) mencapai tujuan negara,
yakni masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, melainkan
untuk kebebasan itu sendiri.
Singkat dan kongkritnya pemerintahan era
reformasi sebagaimana pemerintahan era era sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru)
tetap saja tidak bisa berbuat banyak memperbaiki kehidupan masyarakat
sebagaimana pesan konstitusi (UUD 1945). Kehidupan masyarakat sebagaimana dilukis-visualisasikan
(karikatur) media cetak terbesar baru-baru ini, permanen , kalau bukan lebih
parah dari kadaan sebelumnya, karena beberapa hal, seperti penerapan hukum yang
semakin majal, KKN yang terus membuncah dan berjamaah meski KPK sudah bekerja
keras, kontroversi HAM yang tak berkesudahan, dan membengkaknya utang negara, yang
bermuara kepada merebaknya kemiskinan (Kompas, 23 Mei 2018)
Mengapa, kenapa, terjadi
seperti itu, sudah banyak di ulas berbagai kalangan. Dari yang ringan hingga
yang berat, dari kalangan tradisional hingga post modernis, dari yang paling
kiri hingga yang paling kanan, dari yang paling liberal hingga konservatif, dan
dari yang rasional hingga yang klenik/irrasional
telah melesatkan pandangannya dalam berbagai narasi.
Narasi yang bisa kita
baca setiap saat, apakah itu dalam bentuk artikel populer di media massa, karikatur-karikatur,
makalah-makalah terbatas , skripsi, thesis, hingga disertasi. Narasi yang pada intinya melihat kealfaan,
kekeliruan, atau kesalahan terletak pada pemerintah yang berkuasa, yang tak
dapat berfungsi secara maksimal.
Peran, metode, atau
sistim pemerintahan-politik yang dipraksiskan entah mengapa belum pernah selaras
dengan jati diri bangsa, yakni sila ke empat Pancasila yakni “Kerakyatan yang
dipimpin Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan/Perwakilan”. Sistim
pemerintahan-politik atau demokrasi yang dipraksiskan selalu di luar itu.
Pada Orde Lama,
semilir-semilir kita dengar yang dipraktekkan adalah Demokrasi terpimpin, yang
konon katanya tidak demokratis. Pada Orde Baru, selain praksis otoritarian,
kita mengenal sistim-sistim lain, seperti; patrimonial, birokratik, korporatis,
kleptokrasi, dan lain-lain sistim yang pada dasarnya adalah sistim yang tidak
demokratis.
Pada era Reformasi,
apakah karena tergopoh-gopoh ingin membalikkan keadaan dengan secepat kilat,
tampil sistim yang super demokratis, yakni demokrasi (jumbo) liberal. Demokrasi
yang di negeri asalnya mulai dipertanyakan dan di deliberasi (Jurgen Habermas,
1980), sebaliknya di negeri ini di super
lembagakan.
Demokrasi
Pancasila
Kesemua itu sebagaimana
dikatakan sebelumnya tidak sejalan, bahkan berbenturan dengan sistim
pemerintahan, politik, maupun demokrasi Pancasila. Demokrasi yang pada
hakikatnya sebagaimana dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, bukanlah
an sich demokrasi politik yang ugal-ugalan, sebagaimana warisan revolusi
Perancis, melainkan demokrasi sosial (socio-demokrasi), yakni demokrasi politik
plus demokrasi ekonomi (gabungan sila ke empat dan ke lima Pancasila).
Demokrasi yang dalam
praksisnya tidak sekedar kesetaraan atau keadilan politik sebagaimana yang
berlangsung saat ini, melainkan juga kesetaraan dan keadilan ekonomi (politieke
rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid kata Bung Karno). Dalam artian
lain demokrasi yang didalamnya, selain kebebasan berekspressi juga kebebasan
dari kemiskinan, kesengsaraan dan ketidak adilan. Saat ini merupakan momen
tepat mewujudkan itu. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar