MEMPERKUAT PEMERINTAHAN DESA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 13 Juni 2018
Yang pasti otonomi, termasuk otonomi desa adalah salah satu
tuntutan reformasi yang diharapkan semacam panacea (obat mujarab) terhadap penyakit-penyakit
sosial yang terjadi sebelumnya (baca: otoritarianisme, kemiskinan, dan ketidak
adilan)
Ditengah-tengah
suasana bulan Pancasila dan menyongsong Pilkada 27 Juni yang sedang hangat ini
ada baiknya kita telaah satu masalah yang luput dari perhatian publik, yang
sesungguhnya sangat penting bagi rakyat kebanyakan. Masalah ini adalah eksistensi
desa. Wilayah, kawasan, atau teritorial yang penduduknya paling banyak, dan terbanyak
pula permasalahannya.
Masalah
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan sejenisnya masih tetap dominan di
desa, apabila dibandingkan dengan kawasan perkotaan. Suatu yang berkebalikan
misalnya dengan desa-desa di negara-negara maju, yang kehidupan warganya,( pada umumnya/tidak jarang)
lebih makmur dan sejahtera dibandingkan penduduk perkotaannya.
Dari informasi,
data, atau audio visual yang kita lihat, desa-desa disana sangat makmur, teratur,
sejuk, dan indah. Rumah-rumah penduduknya umumnya sangat luas, permanen,
lengkap dengan asesoris-asesoris teknologisnya, seperti alat-alat pertanian yang canggih, mobil-mobil
pribadi, dan infrastruktur/fasilitas umum/fasilitas sosial yang mumpuni. Suatu
yang berkebalikan dengan desa disini.
Dengan tak bermaksud
membandingkan dengan desa negara-negara lain, yang konteks socio-culturalnya
sangat beda/jomplang, namun satu hal yang sama adalah hakikinya, yakni
kesetaraan (equity). Di negara manapun, dalam sistim pemerintahan seperti
apapun, atau ideologinya seperi apapun, satu hal yang pasti apabila ingin maju
adalah mutlaknya kesetaraan.
Kesetaraan
antara desa dan kota, antara hak dan kewajiban, antara subjek dan objek sebagai
aktor pembangunan, sebagaimana pesan konstitusi atau ketentuan-ketentuan lain.
Tidakkah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat desa, kawasan ini telah
diberi otonomi sebagaimana kabupaten/kota, dan pusat, yang tertuang dalam UU No
6 Tahun 2014?
Jurang
Kebijakan
Otonomi yang sungguh-sungguh
istimewa sebab masing-masing desa diberi kesempatan mengelola desanya sesuai
dengan; identitasnya, adat istiadatnya, tradisi pengelolaan/pemerintahannya,
sistim pranata sosialnya, kearifan lokalnya, dan lain-lain ciri yang
berhubungan dengan jati dirinya. Jatidiri yang sudah ada sebelum NKRI terbentuk atau ketika kolonial datang.
Jatidiri yang
dalam UU No 6 Tahun 2014 disebut “azas rekognisi”. Azas yang selanjutnya
dilengkapi dengan “azas subsidiaritas”, yakni pemberian kewenangan kepada desa
untuk mengatur, mengelola, dan memanage desa secara lokal. Dalam artian lain,
desa dapat menentukan arah dan kebijakan pembangunannya secara mandiri. Satu
desa, satu perencanaan, dan satu anggaran.
Berangkat dari kedua azas tersebut,
pembangunan berbasis desa menemukan momentum yang paling krusial. Desa kini
bukan lagi sekedar kepanjangan tangan, atau patronage negara secara otoriter
dalam mengatur pembangunan (Hans Anthlov, 2002), bukan lagi katalisator
proyek-proyek pemerintah, baik dari kementerian/lembaga, Pemda, atau asing.
Implementasi yang maksimal diharapkan akan membawa kesejahteraan masyarakat.
Sayang seribu sayang, keinginan nan
revolusioner tersebut tidak terdukung sistim yang melingkupinya. Undang-Undangnya
radical-revolusioner, akan tetapi kelembagaannya masih konservatif, kalau bukan
primitif. Perangkat-perangkat desa, seperti Kepala desa, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dan perangkatnya belum berperan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU
nan radical-revolusionertersebut.
Mereka masih
terpaku, dan terjerembab pola-pola lama. Pola yang mendongak ke atas, yang
hierakhis, yang patron-client/top down ke pucuk (ke Bupati/Walikota, Gubernur) sebagaimana
era sentralistik nan otoriter. Dalam artian lain mereka belum mandiri
menentukaan sikap, melakukan inovasi, mengambil keputusaan/kebijakan sebagai aktor
atau subjek pembangunan, meski dukungan, suasana, dan kesempatan untuk itu
telah tersedia.
Pada hal dalam
UU No 6 Tahun 2014 plus PP pelaksanaannya (No 43-2014), beberapa Permendes dan
regulasi-regulasi pendukung lainnya, sudah sangat jelas/terang benderang memberi
tuntunan, mekanisme, prosedur bagaimana mencapai tujuan mulia dan luhur itu.
Namun sebagaimana diakui salah satu inisiator dan perumus UUnya (Ari Soedjito,
2016), realitanya jauh dari harapan. Ada jurang besar antara keinginan dan praksisnya.
Dari enam issu
desa yang merebak, yakni; dana desa, pendampingan, asset desa, bumdes, sistim informasi desa, dan demokrasi desa,
hanya issu pertama (dana desa) yang mengemuka. Itu pun masih/hanya seputar administratifnya,
belum kepada substansi atau hakikinya.
Issu –issu lain yang jauh lebih strategis,
seperti masalah kekuasaan, kekayaan, pendampingan, sistim informasi, reformasi
agraria, dan terutama bagaimana agar seluruh masyarakat aktif berpartisipasi,
belum tampil sama sekali. Sampai kapan? Kembali mengulangi kesalahan yang sudah-sudah?
Jawabannya memang tidak hitam putih.
Memperkuat
Desa
Yang pasti
otonomi, termasuk otonomi desa adalah salah satu tuntutan reformasi yang diharapkan
semacam panacea (obat mujarab)
terhadap penyakit-penyakit sosial yang terjadi sebelumnya (baca:
otoritarianisme, kemiskinan, dan ketidak adilan). Realitanya memang dipenuhi,
yakni memberikan otonomi kepada tingkat II (Kabupaten/Kota) tahun 2001. Bukan
kepada tingkat satu sebagaimana yang lazim dinegara-negara lain.
Namun
sebagaimana yang sudah-sudah, penyakit lama kembali berulang. Dalam prakteknya
bukan kesejahteraan, kemakmuran, atau keadilan yang melesat. Malah dengan
tragis Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sudah fenomenologis pada era
sebelumnya (Orde Baru), berlangsung semakin masif, terstrukur, dan masif. Meminjam
adagium Amin Rais, korupsinya telah berjamaah. Dari catatan beberapa lembaga,
include Kementerian Dalam Negeri, kepala daerah yang terlibat korupsi sudah mencapai 70 persen. Ironis
Mungkin atas dasar
kegagalan itu pemerintah Jokowi-JK telah berketetapan hati, yakni supaya
implementasi otonomi berdaya guna, pemberian otonomi tidak hanya kepada tingkat
dua (walaupun tidak dikatakan seperti itu), melainkan sampai ke bawah, yakni ke
tingkat desa. Sebagai realisasinya rezim ini telah menggelontorkan dana, yang
setiap tahun jumlahnya bertambah.
Kecenderungannya
cukup logis mengingat salah satu tekanan program pemerintahan Jokowi-JK adalah
membangun dari pinggiran, dari daerah-daerah, dan dari desa (Nawacita ke tiga).
Ironisnya dalam kampanye pilkada yang berlangsung selama ini, maupun dalam
perbincangan-perbincangan Pancasila yang juga sedang marak, hal yang agung dan
mulia ini nyaris tak disinggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar