Rabu, 20 Juni 2018

MEMPERKUAT PEMERINTAHAN DESA



MEMPERKUAT PEMERINTAHAN DESA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 13 Juni 2018
Yang pasti otonomi, termasuk otonomi desa adalah salah satu tuntutan reformasi yang diharapkan semacam panacea (obat mujarab) terhadap penyakit-penyakit sosial yang terjadi sebelumnya (baca: otoritarianisme, kemiskinan, dan ketidak adilan)
Ditengah-tengah suasana bulan Pancasila dan menyongsong Pilkada 27 Juni yang sedang hangat ini ada baiknya kita telaah satu masalah yang luput dari perhatian publik, yang sesungguhnya sangat penting bagi rakyat kebanyakan. Masalah ini adalah eksistensi desa. Wilayah, kawasan, atau teritorial yang penduduknya paling banyak, dan terbanyak pula permasalahannya.
Masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan sejenisnya masih tetap dominan di desa, apabila dibandingkan dengan kawasan perkotaan. Suatu yang berkebalikan misalnya dengan desa-desa di negara-negara maju, yang  kehidupan warganya,( pada umumnya/tidak jarang) lebih makmur dan sejahtera dibandingkan penduduk perkotaannya.
Dari informasi, data, atau audio visual yang kita lihat, desa-desa disana sangat makmur, teratur, sejuk, dan indah. Rumah-rumah penduduknya umumnya sangat luas, permanen, lengkap dengan asesoris-asesoris teknologisnya, seperti  alat-alat pertanian yang canggih, mobil-mobil pribadi, dan infrastruktur/fasilitas umum/fasilitas sosial yang mumpuni. Suatu yang berkebalikan dengan desa disini.
Dengan tak bermaksud membandingkan dengan desa negara-negara lain, yang konteks socio-culturalnya sangat beda/jomplang, namun satu hal yang sama adalah hakikinya, yakni kesetaraan (equity). Di negara manapun, dalam sistim pemerintahan seperti apapun, atau ideologinya seperi apapun, satu hal yang pasti apabila ingin maju adalah mutlaknya kesetaraan.
Kesetaraan antara desa dan kota, antara hak dan kewajiban, antara subjek dan objek sebagai aktor pembangunan, sebagaimana pesan konstitusi atau ketentuan-ketentuan lain. Tidakkah untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat desa, kawasan ini telah diberi otonomi sebagaimana kabupaten/kota, dan pusat, yang tertuang dalam UU No 6 Tahun 2014?
Jurang Kebijakan
Otonomi yang sungguh-sungguh istimewa sebab masing-masing desa diberi kesempatan mengelola desanya sesuai dengan; identitasnya, adat istiadatnya, tradisi pengelolaan/pemerintahannya, sistim pranata sosialnya, kearifan lokalnya, dan lain-lain ciri yang berhubungan dengan jati dirinya. Jatidiri yang sudah ada sebelum NKRI  terbentuk atau ketika kolonial datang.
Jatidiri yang dalam UU No 6 Tahun 2014 disebut “azas rekognisi”. Azas yang selanjutnya dilengkapi dengan “azas subsidiaritas”, yakni pemberian kewenangan kepada desa untuk mengatur, mengelola, dan memanage desa secara lokal. Dalam artian lain, desa dapat menentukan arah dan kebijakan pembangunannya secara mandiri. Satu desa, satu perencanaan, dan satu anggaran.
 Berangkat dari kedua azas tersebut, pembangunan berbasis desa menemukan momentum yang paling krusial. Desa kini bukan lagi sekedar kepanjangan tangan, atau patronage negara secara otoriter dalam mengatur pembangunan (Hans Anthlov, 2002), bukan lagi katalisator proyek-proyek pemerintah, baik dari kementerian/lembaga, Pemda, atau asing. Implementasi yang maksimal diharapkan akan membawa kesejahteraan masyarakat.
 Sayang seribu sayang, keinginan nan revolusioner tersebut tidak terdukung sistim yang melingkupinya. Undang-Undangnya radical-revolusioner, akan tetapi kelembagaannya masih konservatif, kalau bukan primitif. Perangkat-perangkat desa, seperti Kepala desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkatnya belum berperan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU nan radical-revolusionertersebut.
Mereka masih terpaku, dan terjerembab pola-pola lama. Pola yang mendongak ke atas, yang hierakhis, yang patron-client/top down ke pucuk (ke Bupati/Walikota, Gubernur) sebagaimana era sentralistik nan otoriter. Dalam artian lain mereka belum mandiri menentukaan sikap, melakukan inovasi, mengambil keputusaan/kebijakan sebagai aktor atau subjek pembangunan, meski dukungan, suasana, dan kesempatan untuk itu telah tersedia.
Pada hal dalam UU No 6 Tahun 2014 plus PP pelaksanaannya (No 43-2014), beberapa Permendes dan regulasi-regulasi pendukung lainnya, sudah sangat jelas/terang benderang memberi tuntunan, mekanisme, prosedur bagaimana mencapai tujuan mulia dan luhur itu. Namun sebagaimana diakui salah satu inisiator dan perumus UUnya (Ari Soedjito, 2016), realitanya jauh dari harapan. Ada jurang besar antara keinginan dan praksisnya.
Dari enam issu desa yang merebak, yakni; dana desa, pendampingan, asset desa, bumdes,  sistim informasi desa, dan demokrasi desa, hanya issu pertama (dana desa) yang mengemuka. Itu pun masih/hanya seputar administratifnya, belum kepada substansi atau hakikinya.
 Issu –issu lain yang jauh lebih strategis, seperti masalah kekuasaan, kekayaan, pendampingan, sistim informasi, reformasi agraria, dan terutama bagaimana agar seluruh masyarakat aktif berpartisipasi, belum tampil sama sekali. Sampai kapan? Kembali mengulangi kesalahan yang sudah-sudah? Jawabannya memang tidak hitam putih.
Memperkuat Desa
Yang pasti otonomi, termasuk otonomi desa adalah salah satu tuntutan reformasi yang diharapkan semacam panacea (obat mujarab) terhadap penyakit-penyakit sosial yang terjadi sebelumnya (baca: otoritarianisme, kemiskinan, dan ketidak adilan). Realitanya memang dipenuhi, yakni memberikan otonomi kepada tingkat II (Kabupaten/Kota) tahun 2001. Bukan kepada tingkat satu sebagaimana yang lazim dinegara-negara lain.
Namun sebagaimana yang sudah-sudah, penyakit lama kembali berulang. Dalam prakteknya bukan kesejahteraan, kemakmuran, atau keadilan yang melesat. Malah dengan tragis Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sudah fenomenologis pada era sebelumnya (Orde Baru), berlangsung semakin masif, terstrukur, dan masif. Meminjam adagium Amin Rais, korupsinya telah berjamaah. Dari catatan beberapa lembaga, include Kementerian Dalam Negeri, kepala daerah yang terlibat korupsi sudah  mencapai 70 persen. Ironis
Mungkin atas dasar kegagalan itu pemerintah Jokowi-JK telah berketetapan hati, yakni supaya implementasi otonomi berdaya guna, pemberian otonomi tidak hanya kepada tingkat dua (walaupun tidak dikatakan seperti itu), melainkan sampai ke bawah, yakni ke tingkat desa. Sebagai realisasinya rezim ini telah menggelontorkan dana, yang setiap tahun jumlahnya bertambah.
Kecenderungannya cukup logis mengingat salah satu tekanan program pemerintahan Jokowi-JK adalah membangun dari pinggiran, dari daerah-daerah, dan dari desa (Nawacita ke tiga). Ironisnya dalam kampanye pilkada yang berlangsung selama ini, maupun dalam perbincangan-perbincangan Pancasila yang juga sedang marak, hal yang agung dan mulia ini nyaris tak disinggung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar