MENGELOLA
KONFLIK MENJADI KONSENSUS
Oleh: Reinhard
Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Juni 2018
Salah satu negara yang paling marak, ramai, dan nyaris
krusial masalah politiknya di dunia saat ini adalah Indonesia. Tiada hari tanpa
pergunjingan, hujat menghujat, hingga friksi-friksi/anarkhisme politik. Dari
mulai bangun hingga tidur mereka tak pernah lekang dari perbincangan masalah-masalah
kekuasaan tersebut.
Sinyalemen demikian dapat di lihat ketika mereka
saling berhubungan atau berinteraksi dalam pergaulannya sehari-hari. Dari mulai warung
kopi, hingga hotel berbintang lima yang dibacotkan tak lebih tak kurang selalu bermuara pada
masalah-masalah bangsa, negara, masyarakat, atau politik yang lazimnya tak berujung pangkal. Mirip
novelnya Mohtar Lubis “Jalan tak ada ujung”, karena tidak pernah sampai di
tujuan.
Historisitas
Konflik
Jalan dan di jalan terus, tak pernah mencapai terminal
alias konsensus. Pada awal pergunjingan lazimnya selalu terjadi dinamisasi atau
kehangatan.
Artinya mereka yang bergunjing masih anthusias berdiskusi, bertukar pikiran, hingga berdebat dalam tataran yang argumentatif
(sama-sama dapat
diterima).
Akan tetapi
ketika pergunjingan mulai ditingkatkan pada tahap selanjutnya, kita sebutlah
pada tahap menengah (kalau bisa disebut seperti itu), pergunjingan sudah mulai
bias. Pergunjingan
yang awalnya dinamis, mulai datar, dan selanjutnya mengarah ke distorsi, kalau bukan mutung, sebab masing-masing
peserta ngotot pada argumennya.
Derivasi, konsekwensi logis atau implikasi
selanjutnya dari suasana demikian sudah pasti tak akan ada lagi kesepakatan. Mereka stop tukar
pikiran/diskusi, dan kembali asyik dengan diri, ideologi, dan primordialnya sendiri. Ilustrasinya
dapat dilihat dalam sidang Konstituante medio 1950-an yang tak selesai-selesai
menyempurnakan Undang Undang Dasar (UUD) baru.
Masing masing partai dan kekuatan
politik yang bersidang pada lembaga tersebut, bertahun-tahun tidak bisa
kompromi membentuk konstitusi (UUD) baru, yang akhirnya memaksa Presiden
Soekarno melakukan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959, yakni kembai ke UUD 1945.
Ilustrasi selanjutnya, adalah jatuh
menjatuhkan kabinet pada era Orde lama. Partai-partai yang tumbuh secara
demokratis saat itu berlomba-lomba menjadi penguasa, tanpa jelas mau berkuasa
untuk apa. Terjebak hanya dalam tataran ideolog an sich, dan minus program kongkrit. Begitu pula dengan mencuatnya
pembrontakan-pembrontakan daerah saat itu (PRRI/Permesta, DI/TII dan
sebagainya), tak lain tak bukan hanya karena ingin memaksakan kehendak.
Orde Baru (Orba) yang tampil kemudian
mengoreksi total keadaan yang kurang kondusif tersebut secara radikal . Dengan
slogan akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, rezim
ini tampil dengan menyederhanakan (simplikasi) masalah. Mereka melihat bahwa
suasana konfiktual yang terjadi pada waktu itu adalah karena faktor politik dan
kemiskinan ekonomi. Oleh karena itu agar negeri ini lebih baik kedua masalah
ini yang harus dituntaskan, yakni dengan metode yang mereka jargonkan sebagai “Politik
no-ekonomi yes, atau politik no-pembangunan yes”. Metode yang kemudian terbukti
sangat ahistoris.
Sebagai derivasinya segala hal yang
berbau politik step by step
disingkirkan. Seluruh kebebasan yang mekar dan bekembang pada saat itu segera
disunat, dan digantikan dengan pendekatan keamanan (security approach). Orde Baru sangat yakin/haqul yakin bahwa untuk
mewujudkan tujuan negara tidak dibutuhkan politik, karena hanya membuat
keributan atau konflik. Yang utama dan terutama dibutuhkan adalah ekonomi.
Dengan trilogi pembangunannya yakni “ekonom
sebagai pengambil kebijakan, teknokrat sebagai pelaksana, dan militer sebagai
penjaga stabilitas” dipentaskanlah pemerintahan yang otoriter-diktatorian, agar
pembangunan ekonomi tersebut berhasil.
Pemerintahan yang tugas-fungsinya
jika ditilik lebih jauh sesungguhnya hanya menjaga keamanan semata (security approach). Pemerintahan yang
kemudian terbukti sukses menghilangkan friksi-friksi atau konflik sebagaimana
yang terjadi pada era sebelumnya, dan sukses juga menghadirkan stabilitas.
Namun sebagaimana historisitasnya, stabilitas ini hanyalah stabilitas semu,
karena rakyat dikondisikan dalam psikologis ketakutan. Kelak setelah rezim Orde
Baru lengser, dan muncul era reformasi yang menghembuskan kebebasan ,
benih-benih konflik primordial yang fenomenal dan mekar pada era Orde Lama,
muncul kembali.
Secara formal kemunculan demikian
dapat di lihat pada amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD) tahun 2000-2002 di
MPR. Dalam sidang tersebut masih ada kalangan, golongan, kekuatan politik
tertentu yang ingin mengembalikan UUD 1945 ke Piagam Jakarta (Jakarta charter) sebagaimana yang
terjadi pada perumusannya tahun 1945, dan sidang-sidang konstituante akhir
1950-an.
Meski mengalami kegagalan dalam
amandemen tersebut, tidak berarti orientasi primordialnya berhenti. Mereka tetap berjuang dalam beberapa komunitas
masyarakat. Ada yang formal, yakni yang terang-terangan memperjuangkan ideologi
selain Pancasila, seperti HTI, dan belum lama berselang telah dibubarkan
pemerintah. Yang tidak formal, sebagaimana sudah banyak terpublikasi
akhir-akhir ini adalah yang bersarang di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah-sekolah,
kampus-kampus dan komunitas-komunitas pendidikan lainnya.
Wujud
primordial lain yang juga sangat laten, dan sesungguhnya merupakan api dalam
sekam, adalah masalah suku, ras, atau etnisitas. Masalah laten yang sewaktu-waktu dapat
meledak/muncul kepermukaan, bila tidak cerdas mengelolanya. Begitu pula
bentuk-bentuk sektarian lain, seperti ras, antar golongan, dan lain-lain bentuk
yang kemungkinan tampil sesuai perkembangan jaman.
Menuju
Konsensus
Ilustrasi atau contoh sektarian lain,
yang laten masih dapat dideskripsikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti
bahwa masalah-masalah mendasar tersebut, entah mengapa belum pernah dituntaskan
hingga ke akar-akarnya. Bung Karno yang pernah melahirkan konsep “nation and character building”, karena
satu dan lain hal belum sempat mewujudkannya. Orde Baru yang mempraksiskan
depolitisasi dan pertumbuhan ekonomi, malah sebaliknya membuat suasana semakin
kelabu, karena rakyat dijauhkan dari politik, dan keadaan ekonomi yang akhirnya
memburuk, dan bermuara pada krisis moneter medio 1997-an.
Orde Reformasi yang tampil kemudian
menggantikannya. Yang dianggap sebagai alternatif dan koreksi total (counter
attack) terhadap kelemahannya, ternyata sama saja, yakni tidak dapat berbuat
banyak menyelesaikan sumber-sumber konflik yang sudah fenomenal sejak lama.
Demokrasi yang menjadi tema sentral, kredo, icon, instrument, atau
benchmarknya, yang mekar pada awalnya, tidak berapa lama kemudian tergadai
karena terbajak elit-elit Orde Baru (Olle Tornquist, 2004)
Elit-elit Orde Baru yang sebelumnya
telah memiliki kekuatan, khususnya kekuatan ekonomi (Richard Robison dan Vedi R
Hadiz menyebutnya oligarkhi kekayaan) dengan gemilang berhasil membelokkan
tujuan reformasi keluar dari jalur, dan sesuai kepentingannya. Demokrasi yang
mekar harum semerbak pada awalnya layu sebelum berkembang, karena terbonsai
secara sistemik oleh kekuatan lama yang muncul kembali. Kekuatan yang dalam
khazanah ekonomi-politik dikenal dengan sebutan oligark.
Oligark yang lihai meningkatkan dan
mempertahankan kepentingannya, namun alfa bahkan anti kepentingan publik (baca:
masyarakat). Kelompok yang tetap memberikan Kebebasan politik, namun tidak
untuk kesetaraan, atau toleransi sebagaimana prinsip,hakiki, atau tujuan
demokrasi, melainkan untuk kebebasan itu sendiri.
Kebebasan yang dalam perkembangannya
kemudian menjadi bebas-sebebas-bebasnya, (alias kebablasan), karena
dipraksiskan tanpa rambu-rambu. Semua rambu-rambu yang ada, apakah itu rambu
hukum, sosial, budaya, dan sebagainya, tanpa kecuali ditabrak semua, tanpa
merasa bersalah. Konstatasi yang kemudian dimanfaatkan para demagog, kelompok
kepentingan (vested interest), dan atau khususnya para oligark tersebut untuk semata-mata
kepentingan diri atau komplotannya. Masalah yang akan terus membelenggu dan
menimbulkan konflik selama belum ada terobosan yang militant dan radikal (R.
William Liddle, 1 Maret 2018). Lalu? Dibutuhkan konsensus nasional
mengelolanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar