Kamis, 28 Juni 2018

MENGELOLA KONFLIK MENJADI KONSENSUS



MENGELOLA KONFLIK MENJADI KONSENSUS
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Juni 2018
Salah satu negara yang paling marak, ramai, dan nyaris krusial masalah politiknya di dunia saat ini adalah Indonesia. Tiada hari tanpa pergunjingan, hujat menghujat, hingga friksi-friksi/anarkhisme politik. Dari mulai bangun hingga tidur mereka tak pernah lekang dari perbincangan masalah-masalah kekuasaan tersebut.
Sinyalemen demikian dapat di lihat ketika mereka saling berhubungan atau berinteraksi dalam pergaulannya sehari-hari. Dari mulai warung kopi, hingga hotel berbintang lima yang dibacotkan tak lebih tak kurang selalu bermuara pada masalah-masalah bangsa, negara, masyarakat, atau politik yang lazimnya tak berujung pangkal. Mirip novelnya Mohtar Lubis “Jalan tak ada ujung”, karena tidak pernah sampai di tujuan.
Historisitas Konflik
Jalan dan di jalan terus, tak pernah mencapai terminal alias konsensus. Pada awal pergunjingan lazimnya selalu terjadi dinamisasi atau kehangatan. Artinya mereka yang bergunjing masih anthusias berdiskusi, bertukar pikiran, hingga berdebat dalam tataran yang argumentatif (sama-sama dapat diterima).
 Akan tetapi ketika pergunjingan mulai ditingkatkan pada tahap selanjutnya, kita sebutlah pada tahap menengah (kalau bisa disebut seperti itu), pergunjingan sudah mulai bias. Pergunjingan yang awalnya dinamis, mulai datar, dan selanjutnya mengarah ke distorsi,  kalau bukan mutung, sebab masing-masing peserta ngotot pada argumennya.
 Derivasi, konsekwensi logis atau implikasi selanjutnya dari suasana demikian sudah pasti tak akan ada lagi kesepakatan. Mereka stop tukar pikiran/diskusi, dan kembali asyik dengan diri, ideologi, dan primordialnya sendiri. Ilustrasinya dapat dilihat dalam sidang Konstituante medio 1950-an yang tak selesai-selesai menyempurnakan Undang Undang Dasar (UUD) baru.
Masing masing partai dan kekuatan politik yang bersidang pada lembaga tersebut, bertahun-tahun tidak bisa kompromi membentuk konstitusi (UUD) baru, yang akhirnya memaksa Presiden Soekarno melakukan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959, yakni kembai ke UUD 1945.
Ilustrasi selanjutnya, adalah jatuh menjatuhkan kabinet pada era Orde lama. Partai-partai yang tumbuh secara demokratis saat itu berlomba-lomba menjadi penguasa, tanpa jelas mau berkuasa untuk apa. Terjebak hanya dalam tataran ideolog an sich, dan minus program kongkrit. Begitu pula dengan mencuatnya pembrontakan-pembrontakan daerah saat itu (PRRI/Permesta, DI/TII dan sebagainya), tak lain tak bukan hanya karena ingin memaksakan kehendak.
Orde Baru (Orba) yang tampil kemudian mengoreksi total keadaan yang kurang kondusif tersebut secara radikal . Dengan slogan akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, rezim ini tampil dengan menyederhanakan (simplikasi) masalah. Mereka melihat bahwa suasana konfiktual yang terjadi pada waktu itu adalah karena faktor politik dan kemiskinan ekonomi. Oleh karena itu agar negeri ini lebih baik kedua masalah ini yang harus dituntaskan, yakni dengan metode yang mereka jargonkan sebagai “Politik no-ekonomi yes, atau politik no-pembangunan yes”. Metode yang kemudian terbukti sangat ahistoris.
Sebagai derivasinya segala hal yang berbau politik step by step disingkirkan. Seluruh kebebasan yang mekar dan bekembang pada saat itu segera disunat, dan digantikan dengan pendekatan keamanan (security approach). Orde Baru sangat yakin/haqul yakin bahwa untuk mewujudkan tujuan negara tidak dibutuhkan politik, karena hanya membuat keributan atau konflik. Yang utama dan terutama dibutuhkan adalah ekonomi.
Dengan trilogi pembangunannya yakni “ekonom sebagai pengambil kebijakan, teknokrat sebagai pelaksana, dan militer sebagai penjaga stabilitas” dipentaskanlah pemerintahan yang otoriter-diktatorian, agar pembangunan ekonomi tersebut berhasil.
Pemerintahan yang tugas-fungsinya jika ditilik lebih jauh sesungguhnya hanya menjaga keamanan semata (security approach). Pemerintahan yang kemudian terbukti sukses menghilangkan friksi-friksi atau konflik sebagaimana yang terjadi pada era sebelumnya, dan sukses juga menghadirkan stabilitas. Namun sebagaimana historisitasnya, stabilitas ini hanyalah stabilitas semu, karena rakyat dikondisikan dalam psikologis ketakutan. Kelak setelah rezim Orde Baru lengser, dan muncul era reformasi yang menghembuskan kebebasan , benih-benih konflik primordial yang fenomenal dan mekar pada era Orde Lama, muncul kembali.
Secara formal kemunculan demikian dapat di lihat pada amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD) tahun 2000-2002 di MPR. Dalam sidang tersebut masih ada kalangan, golongan, kekuatan politik tertentu yang ingin mengembalikan UUD 1945 ke Piagam Jakarta (Jakarta charter) sebagaimana yang terjadi pada perumusannya tahun 1945, dan sidang-sidang konstituante akhir 1950-an.
Meski mengalami kegagalan dalam amandemen tersebut, tidak berarti orientasi primordialnya berhenti. Mereka  tetap berjuang dalam beberapa komunitas masyarakat. Ada yang formal, yakni yang terang-terangan memperjuangkan ideologi selain Pancasila, seperti HTI, dan belum lama berselang telah dibubarkan pemerintah. Yang tidak formal, sebagaimana sudah banyak terpublikasi akhir-akhir ini adalah yang bersarang di lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah-sekolah, kampus-kampus dan komunitas-komunitas pendidikan lainnya.
    Wujud primordial lain yang juga sangat laten, dan sesungguhnya merupakan api dalam sekam, adalah masalah suku, ras, atau etnisitas. Masalah laten yang sewaktu-waktu dapat meledak/muncul kepermukaan, bila tidak cerdas mengelolanya. Begitu pula bentuk-bentuk sektarian lain, seperti ras, antar golongan, dan lain-lain bentuk yang kemungkinan tampil sesuai perkembangan jaman.
Menuju Konsensus
Ilustrasi atau contoh sektarian lain, yang laten masih dapat dideskripsikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti bahwa masalah-masalah mendasar tersebut, entah mengapa belum pernah dituntaskan hingga ke akar-akarnya. Bung Karno yang pernah melahirkan konsep “nation and character building”, karena satu dan lain hal belum sempat mewujudkannya. Orde Baru yang mempraksiskan depolitisasi dan pertumbuhan ekonomi, malah sebaliknya membuat suasana semakin kelabu, karena rakyat dijauhkan dari politik, dan keadaan ekonomi yang akhirnya memburuk, dan bermuara pada krisis moneter medio 1997-an.
Orde Reformasi yang tampil kemudian menggantikannya. Yang dianggap sebagai alternatif dan koreksi total (counter attack) terhadap kelemahannya, ternyata sama saja, yakni tidak dapat berbuat banyak menyelesaikan sumber-sumber konflik yang sudah fenomenal sejak lama. Demokrasi yang menjadi tema sentral, kredo, icon, instrument, atau benchmarknya, yang mekar pada awalnya, tidak berapa lama kemudian tergadai karena terbajak elit-elit Orde Baru (Olle Tornquist, 2004)
Elit-elit Orde Baru yang sebelumnya telah memiliki kekuatan, khususnya kekuatan ekonomi (Richard Robison dan Vedi R Hadiz menyebutnya oligarkhi kekayaan) dengan gemilang berhasil membelokkan tujuan reformasi keluar dari jalur, dan sesuai kepentingannya. Demokrasi yang mekar harum semerbak pada awalnya layu sebelum berkembang, karena terbonsai secara sistemik oleh kekuatan lama yang muncul kembali. Kekuatan yang dalam khazanah ekonomi-politik dikenal dengan sebutan oligark.
Oligark yang lihai meningkatkan dan mempertahankan kepentingannya, namun alfa bahkan anti kepentingan publik (baca: masyarakat). Kelompok yang tetap memberikan Kebebasan politik, namun tidak untuk kesetaraan, atau toleransi sebagaimana prinsip,hakiki, atau tujuan demokrasi, melainkan untuk kebebasan itu sendiri.
Kebebasan yang dalam perkembangannya kemudian menjadi bebas-sebebas-bebasnya, (alias kebablasan), karena dipraksiskan tanpa rambu-rambu. Semua rambu-rambu yang ada, apakah itu rambu hukum, sosial, budaya, dan sebagainya, tanpa kecuali ditabrak semua, tanpa merasa bersalah. Konstatasi yang kemudian dimanfaatkan para demagog, kelompok kepentingan (vested interest), dan atau khususnya para oligark tersebut untuk semata-mata kepentingan diri atau komplotannya. Masalah yang akan terus membelenggu dan menimbulkan konflik selama belum ada terobosan yang militant dan radikal (R. William Liddle, 1 Maret 2018). Lalu? Dibutuhkan konsensus nasional mengelolanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar