Jumat, 18 Januari 2019

ORANG GILA YANG WARAS PILEG 2019




ORANG GILA YANG WARAS DALAM PILEG 2019
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada 27 Des 2018
Dalam kuliah umum Sugeng Sarjadi Syndicate tahun 2005, Prof Dr Yuwono Sudarsono memantik seluruh peserta ketawa terbahak-bahak. Betapa tidak, Yuwono yang dikenal tenang, calm, dan diplomatis itu nyeletuk bahwa orang yang masuk partai politik adalah orang gila. Lebih jelasnya beliau menyatakan “hanya orang gilalah yang mau masuk partai politik.
Celetukan yang dilontarkan menanggapi unek-unek, keresahan, dan kegalauan Akbar Tanjung yang kalah dari Yusuf Kalla dalam perebutan Ketua Umum Golkar pada kuliah umm tersebut, pada hal mayoritas peserta kongres adalah pendukungnya. Akbar betul-betul meradang bagaimana 90 persen pendukung yang dibinanya sejak lama/ pasca reformasi, dengan sekejap berbalik arah memilih lawan, dengan alasan yang kekanak-kanakan (childish), tak masuk akal (irrasional), sekaligus menyakitkan. Namun itulah realitanya.
Realita yang sungguh-sungguh gila sebagaimana diguyonkan Yuwono. Bagaimana Partai yang merupakan organisasi modern, ilmiah dan demokratis (didasarkan kepada kedaulatan anggota), berubah arah menjadi sebaliknya. Yakni menjadi organisasi abal-abal, irrasional, elitist, kampungan , kalau bukan primitif. Bagaimana tidak? Kolega-kolega yang dipercaya, yang sejak lama telah seiring sejalan, dalam hitungan hari/jam/menit berubah jubah menjadi penghianat. Betul-betul irrasional/gila.
Sebagaimana setting socio-historisnya Akbar telah berdarah-darah membangun Golkar dari puing-puing Orde Baru, yang dihadang aktifis reformasi, dan sempat dibubarkan Gus Dur, namun tetap eksist. Kalau Akbar tidak kuat, Golkar sudah karam saat itu. Namun karena ia piawai, dengan dukungan mantan-mantan/alumni organisasi kemahasiswaan yang pernah diketuainya Golkar tetap berkibar.
Berkibar dengan tegar dalam pemilu 2004, yakni menjadi peraih suara terbesar kedua, tapi berkibar dan tegar pula menghianatinya dalam kongres 2004. Pendukung-pendukungnya yang dikenal kental nilai-nilai ideologinya, dalam hitungan jam, bahkan menit sebagaimana disebutkan di atas, tidak memilih beliau (Akbar), tapi seterunya (M. Yusuf Kalla).
Walaupun tak pernah diakui, dan memang tak mungkin diakui, public opinion menduga telah terjadi patronage dan money politics dalam kongres itu. Peserta-peserta kongres yang dalam sejarahnya/umumnya dikenal sangat praktis-pragmatis, akan memanfaatkan setiap suasana untuk meraup keuntungan/kepentingan sesaat, ketimbang pertimbangan-pertimbangan idealis nan spekulatif-filosofis, atau jangka panjang.
Kawan tinggal kawan. Kalau kawan tidak bisa memberi capital untuk apa memilih dia? Mendingan memilih lawan yang punya capital dan kenikmatan-kenikmatan sesaat lain. Soal kawan yang tersakiti, karena dikhianati, gampang solusinya, datangi dan minta maaf. Cukup begitu. Sangat sederhana/simple.
Kegilaan Yang Terlembaga
Sebagai derivasinya kalangan demikian tak peduli lagi dengan  nilai-nilai universal dan lokal yang humanis. Termasuk atau khususnya nilai-nilai di dalam organisasinya. Bagi mereka Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), apalagi ideologi yang sukar dan abstrak itu cukup sekedar legalitas/justifikasi. Yang dijalankan atau yang utama adalah “kenikmatan sesaat”, titik. Masalah lain, khususnya ideologi yang menjadi eksistensi suatu partai politik tinggal sebatas cap alias stempel yang dapat atau cukup dikantong-kantongi.
Konstatasi, tatanan, atau sistem yang melesat ketika kelembagaan (baca partai politik) telah dikuasai dan dikelola modal. Modal menjadi penentu segala-galanya. Segala-galanya telah ditentukan oleh modal. Modal menjadi panglima. Bukan ideologi atau kedaulatan anggota sebagaimana yang tertulis dalam piagam, AD, ART, dan statement-statement politiknya. Juga bukan seperti teori politik yang dikuliahkan di lembaga-lembaga pendidikan/perguruan tinggi yang mensiratkan demokrasi. Paradox, kontroversi, dan hipokrit, namun tetap praksis dalam empiriknya.
Praksis oleh kekuatan-kekuatan/partai politik. Tidak diumbar-umbar/diucapkan, tapi dilakonkan. Dalam rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, atau apalah sejenis itu memang selalu dikumandangkan hal-hal yang “normative ideologis”, seperti partai akan melakukan pendidikan politik, mengikhtiarkan kestabilan masyarakat, melakukan agregasi/artikulasi, menjadi instrument partisipasi masyarakat, etc (baca UU Partai Politik), akan tetapi yang dikerjakan tak ada hubungan dengan yang dikumandangkan tersebut.
Persis seperti yang digaungkan Gus Dur (Abdurachman Wahid) ketika masih hidup, yakni orang Indonesia itu aneh, apa yang dikatakan atau ditulis, lain dengan yang dipraktekkan. Meminjam litany Mohtar Lubis (1977) munafik, pura-pura, alias hipokrit. Penyakit yang tidak sekedar politis, namun sudah kultural.
Penyakit yang telah fenomenologis sejak lama, yakni sejak pra colonial, era kolonialisme, era kemerdekaan namun tetap langgeng karena tak ada komitmen dan upaya (tak sanggup) merubahnya. Entah mengapa, rezim/pemerintah yang tampil berkali-kali belum ada ikhtiar yang serius menuntaskannya. Model-model kebijakan/pembangunan yang dilakonkan selalu berona materil. Belum pada level kultural, yang berpusat pada manusia (people centered development), atau seperti yang diutarakan Amartya K Sen, development is freedom. Kongkritnya belum pada pemerataan, alias elitis.
Konsekwensinya sudah dapat diduga, yakni perubahan sosial (social change) tidak akan terwujud. Empiric masyarakat tak jauh, kalau bukan sama dengan keadaan era colonial, atau jauh sebelum itu. Tampil elit-elit modernis, namun mayoritas masyarakat masih terkungkung primitivisme. Bungkus atau chassingnya modernis, substansi/realitanya masih masyarakat abad pertengahan.
Pola pemerintahan-kekuasaannya pun sudah dapat diprediksi, tak jauh dari pola-pola yang feudal, patron-client, alias tak demokratis, meski selalu digaungkan dengan demokrasi (kedaulatan rakyat). Kalau dulu dengan raja-raja yang otoriter, saat ini diganti dengan predikat “oligarchi, atau dalam litany ekonomi disebut kartel”.
Modus primitif yang ampuh melumpuhkan kedaulatan rakyat dengan cost and power yang minimum. Dengan menguasai modal, capital, dan sumber daya materil, dengan sendirinya (automaticly) menguasai lembaga-lembaga politik. Dalam artian lain, sebagaimana pemikir-pemikir strukturalis “ekonomi menentukan politik”. Tidak lagi sebagaimana dikenal dalam text book-text book, politik menentukan ekonomi, karena  politik adalah demokrasi atau panglima kebijakan.
Sebaliknya dalam rezim capital, pemilik atau penguasa modal adalah panglima. Mereka adalah determinant factor dalam keputusan dan kebijakan politik. Menjadi pengurus partai-partai politik, atau sebagaimana tujuan artikel ini, yakni menjadi caleg semuanya ditentukan uang. Berapa kekuatan uangnya menjadi pertimbangan utama. Bukan bagaimana dukungan rakyat, ketokohan, atau kecendekiaan sebagaimana khotbah-khotbah demokrasi. Tidak jarang, insan-insan, kalangan-kalangan, atau sejenisnya yang tak punya dukungan sama sekali di masyarakat, tidak punya ketokohan sama sekali, bahkan mungkin cenderung dungu, namun karena punya duit, ialah yang unggul.
Gila Yang Waras
Modus operandi yang sudah fenomenal sejak pemilu 1999 dan semakin mengental pada pemilu-pemilu selanjutnya. Kacaunya masyarakat yang seharusnya merupakan benteng utama menolaknya, secara permisif menerimanya pula sebagai tradisi. Masyarakat sudah tidak begitu peduli apakah itu boleh atau tidak, halal atau sebaliknya, yang penting ia pun kecipratan uangnya.
Pemandangan umum setiap menjelang pemilu. Masalah distribusinya kasar, halus, di atas/dibawah meja, yang pasti mayoritas para pemilih telah terjerembab ke dalamnya. Sebagaimana studi/penelitian Prof Dr Ramlan Surbakti (K, 5 desember 2018), tradisi pemilih membutuhkan/menerima uang itu bukan lagi isapan jempol. Itu sudah terstruktur dengan sistemik dan massif.
Argumennya cukup sederhana. Karena partai tidak lagi mempraksiskan fungsi klasiknya yakni sebagai jembatan antara negara/pemerintah dan rakyatnya, membuat visi misi dan program sesuai ideologinya, maka caleg-calegnya juga sudah bertindak pragmatis. Dimata mereka (para caleg tersebut), para pemilih sudah “mata duitan” atau “bisa dibeli” sehingga yang ditawarkan calon bukan program, melainkan uang dan bahan kebutuhan pokok”
Demikianlah pengamatan yang kami lakukan akhir-akhir ini, dimana ada tempat, tepatnya rumah, yang spanduk, baliho, atau poster para caleg berganti-ganti dipasang di rumah tersebut. Kok bisa? Ternyata setelah kami teliti, yang punya rumah tersebut orang gila. Ia gila, tapi menghitung duit ia waras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar