Oleh
: Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada 27 Des 2018
Dalam kuliah umum Sugeng
Sarjadi Syndicate tahun 2005, Prof Dr Yuwono Sudarsono memantik seluruh peserta
ketawa terbahak-bahak. Betapa tidak, Yuwono yang dikenal tenang, calm, dan
diplomatis itu nyeletuk bahwa orang yang masuk partai politik adalah orang
gila. Lebih jelasnya beliau menyatakan “hanya orang gilalah yang mau masuk
partai politik.
Celetukan yang dilontarkan
menanggapi unek-unek, keresahan, dan kegalauan Akbar Tanjung yang kalah dari
Yusuf Kalla dalam perebutan Ketua Umum Golkar pada kuliah umm tersebut, pada
hal mayoritas peserta kongres adalah pendukungnya. Akbar betul-betul meradang
bagaimana 90 persen pendukung yang dibinanya sejak lama/ pasca reformasi,
dengan sekejap berbalik arah memilih lawan, dengan alasan yang kekanak-kanakan
(childish), tak masuk akal (irrasional), sekaligus menyakitkan. Namun itulah
realitanya.
Realita yang sungguh-sungguh
gila sebagaimana diguyonkan Yuwono. Bagaimana Partai yang merupakan organisasi
modern, ilmiah dan demokratis (didasarkan kepada kedaulatan anggota), berubah
arah menjadi sebaliknya. Yakni menjadi organisasi abal-abal, irrasional, elitist,
kampungan , kalau bukan primitif. Bagaimana tidak? Kolega-kolega yang dipercaya,
yang sejak lama telah seiring sejalan, dalam hitungan hari/jam/menit berubah
jubah menjadi penghianat. Betul-betul irrasional/gila.
Sebagaimana setting
socio-historisnya Akbar telah berdarah-darah membangun Golkar dari puing-puing
Orde Baru, yang dihadang aktifis reformasi, dan sempat dibubarkan Gus Dur,
namun tetap eksist. Kalau Akbar tidak kuat, Golkar sudah karam saat itu. Namun
karena ia piawai, dengan dukungan mantan-mantan/alumni organisasi kemahasiswaan
yang pernah diketuainya Golkar tetap berkibar.
Berkibar dengan tegar
dalam pemilu 2004, yakni menjadi peraih suara terbesar kedua, tapi berkibar dan
tegar pula menghianatinya dalam kongres 2004. Pendukung-pendukungnya yang dikenal
kental nilai-nilai ideologinya, dalam hitungan jam, bahkan menit sebagaimana
disebutkan di atas, tidak memilih beliau (Akbar), tapi seterunya (M. Yusuf
Kalla).
Walaupun tak pernah
diakui, dan memang tak mungkin diakui, public
opinion menduga telah terjadi patronage
dan money politics dalam kongres itu.
Peserta-peserta kongres yang dalam sejarahnya/umumnya dikenal sangat
praktis-pragmatis, akan memanfaatkan setiap suasana untuk meraup
keuntungan/kepentingan sesaat, ketimbang pertimbangan-pertimbangan idealis nan
spekulatif-filosofis, atau jangka panjang.
Kawan tinggal kawan.
Kalau kawan tidak bisa memberi capital untuk apa memilih dia? Mendingan memilih
lawan yang punya capital dan kenikmatan-kenikmatan sesaat lain. Soal kawan yang
tersakiti, karena dikhianati, gampang solusinya, datangi dan minta maaf. Cukup
begitu. Sangat sederhana/simple.
Kegilaan
Yang Terlembaga
Sebagai derivasinya
kalangan demikian tak peduli lagi dengan nilai-nilai universal dan lokal yang humanis.
Termasuk atau khususnya nilai-nilai di dalam organisasinya. Bagi mereka
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), apalagi ideologi yang
sukar dan abstrak itu cukup sekedar legalitas/justifikasi. Yang dijalankan atau
yang utama adalah “kenikmatan sesaat”, titik. Masalah lain, khususnya ideologi
yang menjadi eksistensi suatu partai politik tinggal sebatas cap alias stempel
yang dapat atau cukup dikantong-kantongi.
Konstatasi, tatanan, atau
sistem yang melesat ketika kelembagaan (baca partai politik) telah dikuasai dan
dikelola modal. Modal menjadi penentu segala-galanya. Segala-galanya telah
ditentukan oleh modal. Modal menjadi panglima. Bukan ideologi atau kedaulatan
anggota sebagaimana yang tertulis dalam piagam, AD, ART, dan
statement-statement politiknya. Juga bukan seperti teori politik yang
dikuliahkan di lembaga-lembaga pendidikan/perguruan tinggi yang mensiratkan
demokrasi. Paradox, kontroversi, dan hipokrit, namun tetap praksis dalam
empiriknya.
Praksis oleh
kekuatan-kekuatan/partai politik. Tidak diumbar-umbar/diucapkan, tapi dilakonkan.
Dalam rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, atau apalah sejenis itu memang selalu
dikumandangkan hal-hal yang “normative ideologis”, seperti partai akan
melakukan pendidikan politik, mengikhtiarkan kestabilan masyarakat, melakukan
agregasi/artikulasi, menjadi instrument partisipasi masyarakat, etc (baca UU
Partai Politik), akan tetapi yang dikerjakan tak ada hubungan dengan yang dikumandangkan
tersebut.
Persis seperti yang digaungkan
Gus Dur (Abdurachman Wahid) ketika masih hidup, yakni orang Indonesia itu aneh,
apa yang dikatakan atau ditulis, lain dengan yang dipraktekkan. Meminjam litany
Mohtar Lubis (1977) munafik, pura-pura, alias hipokrit. Penyakit yang tidak
sekedar politis, namun sudah kultural.
Penyakit yang telah
fenomenologis sejak lama, yakni sejak pra colonial, era kolonialisme, era
kemerdekaan namun tetap langgeng karena tak ada komitmen dan upaya (tak
sanggup) merubahnya. Entah mengapa, rezim/pemerintah yang tampil berkali-kali
belum ada ikhtiar yang serius menuntaskannya. Model-model kebijakan/pembangunan
yang dilakonkan selalu berona materil. Belum pada level kultural, yang berpusat
pada manusia (people centered development), atau seperti yang diutarakan
Amartya K Sen, development is freedom. Kongkritnya belum pada pemerataan, alias
elitis.
Konsekwensinya sudah
dapat diduga, yakni perubahan sosial (social change) tidak akan terwujud.
Empiric masyarakat tak jauh, kalau bukan sama dengan keadaan era colonial, atau
jauh sebelum itu. Tampil elit-elit modernis, namun mayoritas masyarakat masih terkungkung
primitivisme. Bungkus atau chassingnya modernis, substansi/realitanya masih
masyarakat abad pertengahan.
Pola pemerintahan-kekuasaannya
pun sudah dapat diprediksi, tak jauh dari pola-pola yang feudal, patron-client,
alias tak demokratis, meski selalu digaungkan dengan demokrasi (kedaulatan
rakyat). Kalau dulu dengan raja-raja yang otoriter, saat ini diganti dengan
predikat “oligarchi, atau dalam litany ekonomi disebut kartel”.
Modus primitif yang ampuh
melumpuhkan kedaulatan rakyat dengan cost and power yang minimum. Dengan
menguasai modal, capital, dan sumber daya materil, dengan sendirinya
(automaticly) menguasai lembaga-lembaga politik. Dalam artian lain, sebagaimana
pemikir-pemikir strukturalis “ekonomi menentukan politik”. Tidak lagi sebagaimana
dikenal dalam text book-text book, politik menentukan ekonomi, karena politik adalah demokrasi atau panglima
kebijakan.
Sebaliknya dalam rezim
capital, pemilik atau penguasa modal adalah panglima. Mereka adalah determinant
factor dalam keputusan dan kebijakan politik. Menjadi pengurus partai-partai
politik, atau sebagaimana tujuan artikel ini, yakni menjadi caleg semuanya ditentukan
uang. Berapa kekuatan uangnya menjadi pertimbangan utama. Bukan bagaimana
dukungan rakyat, ketokohan, atau kecendekiaan sebagaimana khotbah-khotbah
demokrasi. Tidak jarang, insan-insan, kalangan-kalangan, atau sejenisnya yang
tak punya dukungan sama sekali di masyarakat, tidak punya ketokohan sama
sekali, bahkan mungkin cenderung dungu, namun karena punya duit, ialah yang unggul.
Gila
Yang Waras
Modus operandi yang sudah
fenomenal sejak pemilu 1999 dan semakin mengental pada pemilu-pemilu
selanjutnya. Kacaunya masyarakat yang seharusnya merupakan benteng utama
menolaknya, secara permisif menerimanya pula sebagai tradisi. Masyarakat sudah
tidak begitu peduli apakah itu boleh atau tidak, halal atau sebaliknya, yang
penting ia pun kecipratan uangnya.
Pemandangan umum setiap
menjelang pemilu. Masalah distribusinya kasar, halus, di atas/dibawah meja, yang
pasti mayoritas para pemilih telah terjerembab ke dalamnya. Sebagaimana
studi/penelitian Prof Dr Ramlan Surbakti (K, 5 desember 2018), tradisi pemilih
membutuhkan/menerima uang itu bukan lagi isapan jempol. Itu sudah terstruktur
dengan sistemik dan massif.
Argumennya cukup sederhana.
Karena partai tidak lagi mempraksiskan fungsi klasiknya yakni sebagai jembatan
antara negara/pemerintah dan rakyatnya, membuat visi misi dan program sesuai
ideologinya, maka caleg-calegnya juga sudah bertindak pragmatis. Dimata mereka
(para caleg tersebut), para pemilih sudah “mata duitan” atau “bisa dibeli”
sehingga yang ditawarkan calon bukan program, melainkan uang dan bahan
kebutuhan pokok”
Demikianlah pengamatan
yang kami lakukan akhir-akhir ini, dimana ada tempat, tepatnya rumah, yang
spanduk, baliho, atau poster para caleg berganti-ganti dipasang di rumah
tersebut. Kok bisa? Ternyata setelah kami teliti, yang punya rumah tersebut
orang gila. Ia gila, tapi menghitung duit ia waras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar