MENOLAK
UANG SEBAGAI PEMENANG PILEG 2019
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published,
Waspada, 11 Feb 2019
Klimaksnya
sudah pasti pembiayaan kampanye yang semakin besar, sebab mereka tidak lagi hanya
menjalankan kampanye resmi sebagaimana yang diizinkan
Budiono sewaktu menjabat
wakil Presiden bertitah bahwa demokrasi tidak berkembang dinegara yang miskin. Sebelumnya,
Yusuf Kalla sewaktu menjabat Wakil Presiden pertama kali (di era SBY) menyatakan
bahwa yang paling dibutuhkan adalah keamanan, bukan demokrasi. Artinya problem
mendasar yang dihadapi Indonesia adalah masalah ekonomi, yakni pengangguran,
kemiskinan, dan ketidakadilan. Bukan demokrasi yang berslogan
kebebasan-kebebasan itu.
Bebas tapi tak makan
untuk apa? Mendingan kurang bebas, tapi kenyang perutnya, mungkin itulah
simplikasi pernyataan kedua Wapres itu. Pemikiran yang disederhanakan agar
gampang dan gamblang dipahami publik/rakyat, meski problemnya tidak sesederhana
itu.
Pernyataan mendasar, yang
konkrit dan empirik. Bagaimana orang mengutamakan kebebasan, ia sendiri
melarat? Tidakkah ia akan main-mainan, olok-olokan, atau terkaman orang yang
lebih kaya? Tidakkah sudah menjadi hukum besi, kaum yang lebih kuat/kaya, yang berperan, yang
menentukan arah dan berkuasa?
Dengan tidak membabi-buta
mendukung pemikiran Budiono dan Kalla, ilmuwan politik kondang sekalipun, yakni
Samuel Huntingtonpun (1980) telah mengaminkan masalah ekonomi demikian sebagai faktor
utama keberhasilan demokrasi. Dari 24 syarat yang ditesiskannnya, syarat nomor
1, 2, 3, dan 4 adalah faktor ekonomi, yakni (a) tingkat kesejahteraan ekonomi
yang tinggi (a high level of economic wealth), (b) distribusi pendapatan atau
kesejahteraan yang setara (relatively equal distribution of income and/or
wealth), (c) perekonomian pasar ( a market economy), dan, (d) pembangunan
ekonomi dan modernisasi sosial (economic development and social modernization)
Syarat-syarat yang
cenderung, bahkan mungkin sama sekali belum dimiliki negeri ini. Syarat pertama
dan kedua yang menjadi landasan, yakni tingkat kesejahteraan dan kesetaraan
pendapatan masih bak panggang jauh dari api. Masih sangat timpang. Kredo-kredo seperti “pertumbuhan
yang menyengsarakan (H.W. Arndt,
1980), segelintir orang menguasai sumber daya, petani yang terendam air
selehernya (James Scott, 1980), buruh
yang terjebak out sourching, dan lain-lain kredo sejenisnya adalah fakta bahwa
kemiskinan dan ketimpangan masih tinggi.
Masih rill, empirik, tidak
sekedar kredo,slogan, apalagi agitasi yang membakar, yang normative-kualitatif,
melainkan hadir di depan mata. Angka-angka resminya lebih dari cukup dapat
dibaca dari berbagai terbitan yang ditulis dan dipublikasikan berbagai
kalangan. Apakah itu para ekonom, NGO,
hingga lembaga sekelas Bank Dunia telah merekamnya dengan akurat (valid and
reliable).
Melesatnya
Politik Identitas
Sayang, meski data-data
demikian sudah tersedia dan kasat mata sejak lama, ikhtiar peretasannya nyaris
tak pernah tampil. Selalu didengungkan, namun hanya berdengung-dengung tanpa
terobosan berarti. Berdengung nyaring di kampus, di seminar, di warung kopi, di
media, hingga di langit ketujuh, tetap tak ada perubahan. Berputar-putar terus
di diskursus menara gading itu.
Begitu pula ideologi,
sistim, atau konsep ekonominya, tak henti dari meja pembahasan. Konsep-konsep
seperti ekonomi kapitalis, sosialis, syariah, pasar terkelola, pasar sosial, dan
sekian konsep ekonomi lainnya berlompatan ke meja diskursus, namun permanen tak
ada kebijakan yang significan.
Rekomendasi-rekomendasi
yang muncul, seperti ekonomi pasar terkelola (EPT), ekonomi pasar sosial (EPS),
dan terakhir ekonomi pasar Pancasila (EPP), tetap dan abadi hanya sebatas exercise-exercise. Exercise economy,
atau intellectual exercise yang selanjutnya
menguap ke langit.
Sistim yang berlangsung
meski tak pernah diakui adalah sistim pasar ugal-ugalan. Pasar yang penuh
distorsi (monopoli, monopsony, kartel, hingga premanisme). Bukan pasar sebagaimana
ditulis Huntington yang didasarkan
kepada teorinya Adam Smith yang
mensejahterakan masyarakat melalui tangan-tangan tak terlihat (syarat ketiga)
Artinya, atau mungkin
lebih tepat-kongkritnya, pengangguran, kemiskinan, dan ketidak adilan yang
sudah fenomenologis sejak lama (sejak era kolonial) tetap saja bertahan, kalau
bukan lebih parah, walau pemerintahan/rezim/kebijakan sudah sekian kali
berganti.
Dalam konteks seperti itu,
yakni tingginya kemiskinan, ketimpangan, belum jalannya mekanisme pasar, plus
belum/tidak diterapkannya prasyarat ke empat Huntington, yakni pembangunan ekonomi dan modernisasi sosial, namun
(ujuk-ujuk) langsung menerapkan sistim proporsional terbuka yang sangat
liberal, sudah dapat diduga akan kacau balau, berantakan, dan amburadul (Maunya
susu, yang muncul racun).
Bagaimana mungkin
menerapkan sistim pemilihan jumbo demokratis yang super liberal, super
individual, nan one men, one vote, and
one value (OVOVOP) ditengah-tengah masyarakat yang cenderung primordial, paternalistik,
bahkan feodal? Tidakkah akan membangkitkan parasit-parasit sosial itu ? Sungguh
suatu konsep yang dikotomik, alias kontra produktif.
Dengan diterapkannya
sistim demikian (proporsional terbuka nan jumbo liberal/demokratis), sang caleg
dan terutama pemilih/konstituen akan lebih mengutamakan orang/individu, sosok,
asal usul, dan lain-lain atribut individual, ketimbang gagasan yang diusungnya
(visi, misi, program, dan kebijakan public).
Kedua pihak (caleg dan
pemilih) sebagaimana aspek sosiologisnya, yakni tradisi, norma/hukum, dan
relasi-interaksi sosialnya akan terikat hubungan yang (lebih) subjektif,
ketimbang objektivitasnya. Dengan kata lain konstituen akan memilih yang paling
dekat dengan identitasnya.
Ia (cenderung) akan
memilih caleg yang sama atau dekat dengan suku, agama, ras, atau kedekatan-kedekatan
sektariannya. Bukan yang lebih kapabel, kompeten, atau kredibel, namun di luar
primordialnya.
Praksis yang sudah mapan
sejak sistim demikian diterapkan pertama kali pada tahun 2004, dan terus
mengental pada pileg-pileg selanjutnya (2009 dan 2014). Masalah-masalah yang
kemudian tereskalasi dan meruncing mengingat sistim yang diterapkan tersebut, tidak
saja bersaing dengan partai-partai lain , namun juga sesama partai sendiri.
Menolak
Uang
Selain bersaing dengan
caleg partai-partai lain, mereka juga bersaing sesama caleg satu partai.
Persaingan maha dahsyat, persaingan yang di tempat/asal/negara lahirnya sistim
tersebut tidak terjadi kompetisi demikian
Di Amerika Serikat misalnya yang dikenal sebagai kampium demokrasi
liberal, tidak ada persaingan sesame partai, karena sisim yang diterapkan
adalah sistim distrik.
Sistim yang sangat
sederhana, sebab masing-masing partai hanya mencalonkan satu orang satu daerah
pemilihan (Dapil) yang bernama distrik. Tidak seperti disini yang dalam satu
dapil lebih dari satu caleg. Konsekwensi atau implikasinya terjadilah kompetisi
ugal-ugalan yang banyak dan marak memangsa korban.
Mereka akan bersaing
dengan caleg-caleg partai lain, namun yang lebih dahsyat dan mengerikan adalah bahwa
mereka juga bersaing habis-habisan sesama kolega dari partainya. Tampillah apa
yang populer dengan sebutan “jeruk makan jeruk”. Mereka tidak lagi bersaing
secara konvensional, melainkan bantai-bantaian, terkam-terkaman, dan
anarkis-anarkisan.
Klimaksnya sudah pasti pembiayaan
kampanye yang semakin besar, sebab mereka tidak lagi hanya menjalankan kampanye
resmi sebagaimana yang diizinkan UU. Melainkan, dan terutama adalah kampanye
diluarnya. Kampanye yang dilarang, yang diharamkan, yang kampungan, seperti
suap kepada konstituen, yang popular dengan sebutan beli suara.
Model yang marak, alias
terstruktur, sistemik dan massif pada pemilu 2014. Pola yang tidak sekedar
isapan jempol, melainkan nyata, sebab kedua pihak, yakni pemilih, dan terutama
caleg sudah bertindak sama-sama permisif dan pragmatis. Mereka sama-sama
membutuhkan, walau mereka menyadari itu keliru (Ramlan Surbakti, K, 5 Des 2018)
Suatu yang ironis. Namun
apapun taruhannya, bagi mereka yang masih bermoral tolak modus biadab itu.
Katakan tidak pada suap, tidak pada beli suara. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar