Minggu, 24 Februari 2019

MENOLAK UANG PEMENANG PILEG 2019



MENOLAK UANG SEBAGAI PEMENANG PILEG 2019
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published, Waspada, 11 Feb 2019
Klimaksnya sudah pasti pembiayaan kampanye yang semakin besar, sebab mereka tidak lagi hanya menjalankan kampanye resmi sebagaimana yang diizinkan

Budiono sewaktu menjabat wakil Presiden bertitah bahwa demokrasi tidak berkembang dinegara yang miskin. Sebelumnya, Yusuf Kalla sewaktu menjabat Wakil Presiden pertama kali (di era SBY) menyatakan bahwa yang paling dibutuhkan adalah keamanan, bukan demokrasi. Artinya problem mendasar yang dihadapi Indonesia adalah masalah ekonomi, yakni pengangguran, kemiskinan, dan ketidakadilan. Bukan demokrasi yang berslogan kebebasan-kebebasan itu.
Bebas tapi tak makan untuk apa? Mendingan kurang bebas, tapi kenyang perutnya, mungkin itulah simplikasi pernyataan kedua Wapres itu. Pemikiran yang disederhanakan agar gampang dan gamblang dipahami publik/rakyat, meski problemnya tidak sesederhana itu.
Pernyataan mendasar, yang konkrit dan empirik. Bagaimana orang mengutamakan kebebasan, ia sendiri melarat? Tidakkah ia akan main-mainan, olok-olokan, atau terkaman orang yang lebih kaya? Tidakkah sudah menjadi hukum besi,  kaum yang lebih kuat/kaya, yang berperan, yang menentukan arah dan berkuasa?
Dengan tidak membabi-buta mendukung pemikiran Budiono dan Kalla, ilmuwan politik kondang sekalipun, yakni Samuel Huntingtonpun (1980) telah mengaminkan masalah ekonomi demikian sebagai faktor utama keberhasilan demokrasi. Dari 24 syarat yang ditesiskannnya, syarat nomor 1, 2, 3, dan 4 adalah faktor ekonomi, yakni (a) tingkat kesejahteraan ekonomi yang tinggi (a high level of economic wealth), (b) distribusi pendapatan atau kesejahteraan yang setara (relatively equal distribution of income and/or wealth), (c) perekonomian pasar ( a market economy), dan, (d) pembangunan ekonomi dan modernisasi sosial (economic development and social modernization)
Syarat-syarat yang cenderung, bahkan mungkin sama sekali belum dimiliki negeri ini. Syarat pertama dan kedua yang menjadi landasan, yakni tingkat kesejahteraan dan kesetaraan pendapatan masih bak panggang jauh dari api. Masih  sangat timpang. Kredo-kredo seperti “pertumbuhan yang menyengsarakan (H.W. Arndt, 1980), segelintir orang menguasai sumber daya, petani yang terendam air selehernya (James Scott, 1980), buruh yang terjebak out sourching, dan lain-lain kredo sejenisnya adalah fakta bahwa kemiskinan dan ketimpangan masih tinggi.
Masih rill, empirik, tidak sekedar kredo,slogan, apalagi agitasi yang membakar, yang normative-kualitatif, melainkan hadir di depan mata. Angka-angka resminya lebih dari cukup dapat dibaca dari berbagai terbitan yang ditulis dan dipublikasikan berbagai kalangan. Apakah itu para ekonom, NGO, hingga lembaga sekelas Bank Dunia telah merekamnya dengan akurat (valid and reliable).
Melesatnya Politik Identitas
Sayang, meski data-data demikian sudah tersedia dan kasat mata sejak lama, ikhtiar peretasannya nyaris tak pernah tampil. Selalu didengungkan, namun hanya berdengung-dengung tanpa terobosan berarti. Berdengung nyaring di kampus, di seminar, di warung kopi, di media, hingga di langit ketujuh, tetap tak ada perubahan. Berputar-putar terus di diskursus menara gading itu.
Begitu pula ideologi, sistim, atau konsep ekonominya, tak henti dari meja pembahasan. Konsep-konsep seperti ekonomi kapitalis, sosialis, syariah, pasar terkelola, pasar sosial, dan sekian konsep ekonomi lainnya berlompatan ke meja diskursus, namun permanen tak ada kebijakan yang significan.
Rekomendasi-rekomendasi yang muncul, seperti ekonomi pasar terkelola (EPT), ekonomi pasar sosial (EPS), dan terakhir ekonomi pasar Pancasila (EPP), tetap dan abadi hanya sebatas exercise-exercise. Exercise economy, atau intellectual exercise yang selanjutnya menguap ke langit.
Sistim yang berlangsung meski tak pernah diakui adalah sistim pasar ugal-ugalan. Pasar yang penuh distorsi (monopoli, monopsony, kartel, hingga premanisme). Bukan pasar sebagaimana ditulis Huntington yang didasarkan kepada teorinya Adam Smith yang mensejahterakan masyarakat melalui tangan-tangan tak terlihat (syarat ketiga)
Artinya, atau mungkin lebih tepat-kongkritnya, pengangguran, kemiskinan, dan ketidak adilan yang sudah fenomenologis sejak lama (sejak era kolonial) tetap saja bertahan, kalau bukan lebih parah, walau pemerintahan/rezim/kebijakan sudah sekian kali berganti.
Dalam konteks seperti itu, yakni tingginya kemiskinan, ketimpangan, belum jalannya mekanisme pasar, plus belum/tidak diterapkannya prasyarat ke empat Huntington, yakni pembangunan ekonomi dan modernisasi sosial, namun (ujuk-ujuk) langsung menerapkan sistim proporsional terbuka yang sangat liberal, sudah dapat diduga akan kacau balau, berantakan, dan amburadul (Maunya susu, yang muncul racun).
Bagaimana mungkin menerapkan sistim pemilihan jumbo demokratis yang super liberal, super individual, nan one men, one vote, and one value (OVOVOP) ditengah-tengah masyarakat yang cenderung primordial, paternalistik, bahkan feodal? Tidakkah akan membangkitkan parasit-parasit sosial itu ? Sungguh suatu konsep yang dikotomik, alias kontra produktif.
Dengan diterapkannya sistim demikian (proporsional terbuka nan jumbo liberal/demokratis), sang caleg dan terutama pemilih/konstituen akan lebih mengutamakan orang/individu, sosok, asal usul, dan lain-lain atribut individual, ketimbang gagasan yang diusungnya (visi, misi, program, dan kebijakan public).
Kedua pihak (caleg dan pemilih) sebagaimana aspek sosiologisnya, yakni tradisi, norma/hukum, dan relasi-interaksi sosialnya akan terikat hubungan yang (lebih) subjektif, ketimbang objektivitasnya. Dengan kata lain konstituen akan memilih yang paling dekat dengan identitasnya.
Ia (cenderung) akan memilih caleg yang sama atau dekat dengan suku, agama, ras, atau kedekatan-kedekatan sektariannya. Bukan yang lebih kapabel, kompeten, atau kredibel, namun di luar primordialnya.
Praksis yang sudah mapan sejak sistim demikian diterapkan pertama kali pada tahun 2004, dan terus mengental pada pileg-pileg selanjutnya (2009 dan 2014). Masalah-masalah yang kemudian tereskalasi dan meruncing mengingat sistim yang diterapkan tersebut, tidak saja bersaing dengan partai-partai lain , namun juga sesama partai sendiri.
Menolak Uang
Selain bersaing dengan caleg partai-partai lain, mereka juga bersaing sesama caleg satu partai. Persaingan maha dahsyat, persaingan yang di tempat/asal/negara lahirnya sistim tersebut tidak terjadi kompetisi demikian  Di Amerika Serikat misalnya yang dikenal sebagai kampium demokrasi liberal, tidak ada persaingan sesame partai, karena sisim yang diterapkan adalah sistim distrik.
Sistim yang sangat sederhana, sebab masing-masing partai hanya mencalonkan satu orang satu daerah pemilihan (Dapil) yang bernama distrik. Tidak seperti disini yang dalam satu dapil lebih dari satu caleg. Konsekwensi atau implikasinya terjadilah kompetisi ugal-ugalan yang banyak dan marak memangsa korban.
Mereka akan bersaing dengan caleg-caleg partai lain, namun yang lebih dahsyat dan mengerikan adalah bahwa mereka juga bersaing habis-habisan sesama kolega dari partainya. Tampillah apa yang populer dengan sebutan “jeruk makan jeruk”. Mereka tidak lagi bersaing secara konvensional, melainkan bantai-bantaian, terkam-terkaman, dan anarkis-anarkisan.
Klimaksnya sudah pasti pembiayaan kampanye yang semakin besar, sebab mereka tidak lagi hanya menjalankan kampanye resmi sebagaimana yang diizinkan UU. Melainkan, dan terutama adalah kampanye diluarnya. Kampanye yang dilarang, yang diharamkan, yang kampungan, seperti suap kepada konstituen, yang popular dengan sebutan beli suara.
Model yang marak, alias terstruktur, sistemik dan massif pada pemilu 2014. Pola yang tidak sekedar isapan jempol, melainkan nyata, sebab kedua pihak, yakni pemilih, dan terutama caleg sudah bertindak sama-sama permisif dan pragmatis. Mereka sama-sama membutuhkan, walau mereka menyadari itu keliru (Ramlan Surbakti, K, 5 Des 2018)
Suatu yang ironis. Namun apapun taruhannya, bagi mereka yang masih bermoral tolak modus biadab itu. Katakan tidak pada suap, tidak pada beli suara. Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar