Draft/Konsep
REFLEKSI
74 TAHUN INDONESIA MERDEKA;
MASIH
JAUH DARI TRISAKTI
Oleh:
Reinhard Hutapea
Kompartemen
Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI & Dosen Fisipol UDA Medan
Disampaikan
dalam dialog kemerdekaan GMNI Medan, 17 agust 2019
Pengantar/pendahuluan/permasalahan/kerangka
berpikir
Judul, tema, atau jargon
seperti ini sudah lebih dari cukup dibicarakan, ditulis, dan diseminarkan.
Setiap menjelang atau pas hari kemerdekaan, judul ini selalu mengemuka dengan
pertanyaan:… Sudah sejauh mana? Sudahkah sesuai atau jauh dari harapan?
Berbagai pandangan,
subjektivitas, dan segala persfektif meluncur ketengah-tengah dinamika
interaksi masyarakat. Ada yang melihat sudah sesuai, masih abu-abu, dan pada
umumnya masih jauh. Bagaimana GMNI, Alumni, dan simpatisannya? Apa
pandangannya? Mungkin juga belum satu persepsi, karena pendapat, eksistensi,
dan persfektif masing-masing , juga belum satu pandangan.
Alumni GMNI, GMNI, dan
kalangan nasionalist lainnya meski berasal dari satu ideologi yang sama, dalam
praksisnya, sesungguhnya, masih memiliki/punya persepsi, penafsiran, dan
pandangan yang berbeda terhadap ideologi tersebut. Mereka yang pragmatis sudah
pasti akan bertolak belakang dengan yang idealis. Begitu pula yang tak punya
prinsip, pendirian, atau sikap akan berpandangan abu-abu. Harus kita akui bahwa
nuansa dikotomik itu ada dalam keluarga kita.
Keberadaan yang tak perlu kita
ulas berpanjang-panjang, namun itu realita, yang jika dimanage dengan baik,
etis, dan estetis akan melahirkan dinamika. Bukankah Bung Karno bertitah “tese,
anti-tese akan melahirkan sintese?”. Meminjam Maurice Duverger (1980)…bagaimana
menggiring konflik ke consensus itulah hakiki politik
Keluarga Nasionalis-Marhaenis
akan sanggup mengemban metodologi demikian karena didasari dengan
kecendekiaan/pemikiran yang rasional, yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan
yang digali dari negeri sendiri. Tidak dari Ilmu pengetahuan yang impor-impor,
yang kata Bung Karno terjebak kebekuan-kebuntuan intelektualisme, alias text book thinking.
Atas dasar pemikiran
demikianlah pembahasan tulisan ini dipraksiskan, yakni atas dasar pemikiran
atau persfektif Bung Karno yang sudah banyak melahirkan konsep-konsep ilmiah,
dan atau khususnya ideologi.
Konsep-konsep demikian antara
lain adalah;
·
Jasmerah,
jangan sekali-kali meninggalkan sejarah
·
Trisakti, berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Pidato Bung Karno
1967 dalam menyikapi keadaan saat itu, yakni lawan-lawan, atau tepatnya pengkhianatnya
yang mulai ngemis-ngemis minta bantuan dan utang luar negeri, sehingga ia
menekankan kembali arti suatu kemerdekaan.
·
Pidato 1 Juni 1945, pidato lahirnya
Pancasila
·
Nekolim, neo kolonialisme-neo imperialism.
Konsep atau sebutan yang dikumandangkan Bung Karno, bahwa suatu saat nanti akan
muncul penjajah baru yang tidak memakai bedil dan serdadu, melainkan melalui
Ekonomi, politik, dan kebudayaan
·
Etc
Lebih jelasnya melalui
konsep-konsep demikianlah masalah
tulisan ini, yakni sejauh mana perkembangan
Indonesia setelah 74 tahun merdeka, kita bahas. Tahap-tahap atau
metodologisnya kira-kira sebagai berikut; parameter yang dipakai adalah Tri
Sakti, yakni sudahkah kita berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,
dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Karena ukuran-parameter akan
kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian cukup bervariasi, maka yang kita
terapkan adalah apa yang dipidatokan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang
sudah diwujudkan secara konstitusional dalam UUD 1945. Khususnya UUD 1945 asli,
bukan hasil amandemen.
Analisis-pembahasan
Untuk
mengoperasionalkan kerangka berpikir demikian, penulis akan mengutif
pendapat-pendapat tokoh yang dianggap kompeten. Tokoh-tokoh ini antara lain
adalah Yudi Latif, Frans Magnis Suseno, Kwik Kian Gie….
Yudi
Latif: Keterbelakangan pembangunan manusia
Kompas
16 Agustus 2019
Harus diakui 74 tahun Indonesia merdeka, pembangunan
manusia merupakan dimensi pembangunan yang amat terbelakang. Pada hal dalam
iringan kereta berkuda, tingkat kecepatan kuda berlari tak ditentukan kuda yang
larinya paling kencang, melainkan kuda yang larinya paling lambat. Sekencang
apapun pembangunan sector lain dipacu, laju pembangunan secara keseluruhan akan
bergerak lambat karena keterbelakangan pembangunan manusia.
Usaha membangun manusia Indonesia harus dimulai dari
kesadaran Bersama akan adanya krisis. Kita harus berhenti melebih-lebihkan
capaian kosmetik, dengan melupakan problem besar yang kita abaikan. Dengan
mempertimbangkan problem yang dihadapi, tujuan pembangunan manusia adalah
memperluas pilihan warga dengan menumbuhkan manusia yang sehat jasmani-rohani,
berkarakter kuat, berkreatifitas tinggi, berkompetensi unggul dalam penguasaan
Iptek dalam rangka tata kelola dan pemecahan masalah bangsa, demi terwujudnya
cita-cita nasional
Frans
Magnis Suseno: Keadilan sosial yang masih jauh
Dalam harian Kompas 14 agustus
2019 beliau menulis…..tugas kebangsaan ini jauh dari mudah. Masih banyak sekali
hal yang selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi belum berhasil ditangani
seluruhnya. Jumlah orang miskin dan hampir miskin masih terlalu besar, keadilan
sosial masih jauh dari harapan, pertumbuhan ekonomi sedang sedang saja,
pembangunan infrastruktur sebagian besar masih dalam proses, dan sejumlah BUMN
kunci dalam kondisi tekanan.(cat: bandingkan
dengan pendapat Kwik dibawah ini yang ditulis pada tahun 2008)
Kwik
Kian Gie: Terjajah kembali sejak 1967
Dalam
tulisannya yang cukup menohok, yakni “TERJAJAHNYA KEMBALI INDONESIA SEJAK 1967,
antara lain menulis…..boleh dikatakan bahwa secara menyeluruh, rakyat dan para
pemimpin masyarakat berpendapat dan merasakan, bahwa menjelang 63 tahun
merdeka, kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami kemerosotan
yang parah
Maka untuk bahan perenungan
apakah demikian kondisinya, kami menyajikan kondisi dari 8 tonggak yang paling
fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk ditanyakan kepada
diri sendiri, apakah dalam 8 aspek terpenting ini, kita mengalami kemajuan atau
kemerosotan?
Ke-8 tonggak tersebut adalah sebagai berikut;
1. Kemandirian
Apakah kita dalam bidang kemandirian mengurus diri sendiri,
yaitu mandiri dan bebas merumuskan kebijakan terbaik untuk diri sendiri,
mengalami kemajuan atau kemunduran? Apakah de
facto yang membuat kebijakan dalam segala bidang bangsa kita sendiri atau
bangsa lain beserta Lembaga-lembaga internasional?
Dari berbagai studi oleh para ahli sejarah, baik dalam
maupun luar negeri yang boleh dikatakan obyektif, sejak 1967 kita sudah tidak
mandiri. Ketidakmandirian kita sudah mencapai puncak setelah kita dilanda
krisis pada 1997. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas setelahnya,
dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan pemerintah
Indonesia dan apa yang tercantum dalam country
strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia,
serta segala sesuatu yang didiktekan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Economic and Financial
Policies (MEFP), yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent (50 LOI).
Bagaimana dampaknya? Buat mayoritas rakyat Indonesia sangat
merusak, bahkan dapat dikatakan sudah membangkrutkan keuangan negara.
2. Peradaban
dan Kebudayaan
Terutama dalam bidang tata nilai, mental, moralitas, dan
ahlak, apakah setelah lebih dari 61 tahun merdeka dari penjajahan kita lebih
maju atau lebih mundur? Benarkah Bung Hatta yang sejak puluhan tahun lalu
mengatakan, bahwa korupsi mulai menjadi kebudayaan kita? Benarkah kalau
sekarang dikatakan, bahwa KKN sudah mandarah daging dan merupakan gaya hidup
bagian terbanyak elite bangsa kita? Benarkah peringkat yang diberikan oleh
Lembaga asing, bahwa Indonesia digolongkan dalam kelompok negara-negara yang
paling korup di dunia?
3. Penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi
Apakah menjelang 63 tahun merdeka, bangsa kita unggul?
Dibandingkan dengan zaman penjajahan, kemampuan kita menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh bangsa-bangsa lain memang boleh
dikatakan cukup up to date. Tetapi,
yang dimaksud apakah ilmu pengetahuan itu temuan kita sendiri, dan apakah teknologinya
ciptaan bangsa kita sendiri? Ataukah harus membelinya dengan harga sangat mahal
dari bangsa-bangsa lain?
4. Persatuan
dan Kesatuan
Apakah bangsa kita lebih kokoh atau lebih rapuh? Referensi
yang dapat kita gunakan adalah Amandemen UUD 1945. Bentuk dan praktek otonomi
daerah, baik dalam bidang pengelolaan adminsitrasi negara maupun dalam bidang
keuangannya. Gerakan Aceh merdeka beserta cara penanganannya. Aktifnya Gerakan
Papua Merdeka di dunia internasional. Konflik antar etnis dan antar agama yang
cukup keras, walaupun belum terjadi di seluruh wilayah Indonesia, tetapi
gejalanya sudah dirasakan. Hilangnya Sipadan dan Ligitan. Digugatnya Ambalat.
Terancamnya Aceh dan Irian Barat lepas dari NKRI. Saya kira sangat mundur dan menjadi
sangat rapuh.
5. Hankam
Apakah kondisi kita semakin kuat atau semakin lemah?
Referensinya adalah persenjataan dan alat-alat perang yang kita miliki,
dikaitkan dengan kemampuan serta prospeknya untuk membangun dan mengembangkan
industri pertahanan sendiri. Referensi non materilnya, apakah dengan reformasi
yang memisahkan fungsi Polri dan TNI dalam bentuknya seperti sekarang ini
membuat ketahanan nasional lebih mantap atau lebih rapuh?
6. Interaksi
dan Kedudukan Kita Di Dunia Internasional
Dalam pergaulan antar bangsa dan kedudukan kita dalam
organisasi-organisasi internasional, apakah bangsa kita mempunyai tempat atau
kedudukan yang lebih terhormat atau lebih terpuruk?
Pemberitaan dan ulasan di pers internasional menempatkan
Indonesia sebagai negara yang dalam banyak aspek sebagai negara yang
terbelakang dan kurang terhormat.
7. Kemakmuran
Dan Kesejahteraan Yang Berkeadilan
Tidak dapat disangkal, bahwa pendapatan nasional per kapita
meningkat sejak kemerdekaan hingga sekarang. Namun seperti diketahui,
pendapatan nasional per kapita, antara kota dan desa, antara perusahaan besar
dan kecil tidaklah sama, melainkan terjadi gap yang besar.
8. Keuangan
Negara
Keterbatasan infrastruktur, Pendidikan, pelayanan
kesehatan, penyediaan public utility
oleh pemerintah jelas disebabkan oleh keuangan negara yang sangat terbatas,
karena korupsi dan beban utang yang sangat besar
► 8
tonggak fundamental merosot dengan drastic ◄
NEKOLIM
Bung karno pernah bertitah
bahwa suatu saat nanti akan datang penjajah yang tidak pakai serdadu dan bedil,
melainkan ekonomi. Titah ini kemudian terbukti dalam perjalanannya. Indonesia
yang merdeka 17 Agustus 1945, beberapa tahun kemudian mengalami hal yang
ditakutkan itu.
Uraian tentang itu telah
banyak di tulis, namun untuk tulisan/analisis ini yang kami pinjam adalah
pendapat Kwik Kian Gie, yang sesungguhnya juga banyak mengutif pendapat asing,
seperti Stiglitz, Pilger, Winters,
Simpson, Perkins. Beberapa kutifan ini akan ditulis di bawah ini;
Antek
korporatokrasi……..cara-cara mereka sekarang hanya perlu
memelihara elit bangsa-bangsa mangsa, yang adalah elit bangsa yang secara
politik dan secara formal negara merdeka dan berdaulat. Tetapi karena kekuasaan
elit para anteknya ini, yang secara material maupun konsepsional di dukung oleh
corporatocracy global, pendiktean mereka dan penghisapan kekayaan alam serta
tenaga manusianya menjadi sangat dahsyat dan mutlak. Diluar negara-negara
mangsa, corporatocracy di dukung oleh pemerintahnya masing masing yang
menguasai Lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia, IMF, dan Bank
Pembangunan Asia (Kwik Kian Gie, 2008:58)
Perampokan
Internasional…..dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh
bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan
yang canggih telah memaksa lebih dari Sembilan puluh negara masuk ke dalam
program penyesuaian structural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat
kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan
nation building dan good governance oleh empat serangkai yang mendominasi World
Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada, dan Jepang) dan triumvirat
Washington (Bank Dunia, IMF, dan departemen keuangan AS) yang mengendalikan
setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang.
Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa
negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur
Barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, dimana elit yang kurang dari satu milyar
orang menguasai 80% dari kekayaan selurh ummat manusia (John Pilger, dalam Kwik
Kian Gie, 2008:60-61)
Pengambilalihan
Indonesia….dalam November 1967, menyusul tertangkapnya hadiah
terbesar, hasil tangkapannya dibagi. The Time Life Corporation mensponsori konferensi
istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan
Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di
dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat
diwakili; perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial
Chemcal Industries, British Leyland, British American Tobacco, American
Express, Siemens, Good Year, The International Paper Corporation, US Steel. Di
seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockkefelle disebut
ekonom-ekonom Indonesia yang top (Pilger dalam Kwik Kian Gie, 2008:61
Indonesia telah dibagi…..pada hari kedua, ekonomi Indonesia
telah dibagi, sector demi sector. Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler
kata Jeffrey Winters, guru besar Northwestern University, Chicago yang dengan
mahasiswanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah
mempelajari dokumen-dokumen konferensi. Mereka membaginya kedalam lima seksi;
pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industry ringan di kamar
lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi, yang dilakukan oleh Chase
Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan
yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para
pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain,
mengatakan; ini yang kami inginkan, ini, ini, dan ini, dan mereka pada dasarnya
merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak
pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, dimana modal global duduk
dengan para wakil dari negara yang disumsikan sebagai negara berdaulat dan
merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya
sendiri.
Freeport
mendapatkan bukit (mountain) dengan
tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger
duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang
raksasa Alcoa mendapat bagian
terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika,
Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan
Kalimantan. Sebuah Undang Undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru
disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun
lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI),
yang anggota-anggota intinya adalah AS, Canada, Eropa, Australia dan yang
terpenting IMF dan Bank Dunia (2008:62-63)
Semakin
jauh dari Trisakti
Konteks demikian masih dapat
diuraikan sekian panjang lagi, seperti dengan consensus Washington yang melahirkan neolib , dengan reformasi yang melenceng, pemilu yang super
liberal dan sangat mahal, maraknya radikalisme dan politik identitas, ocehan
Surya Paloh dalam Kuliah Kebangsaa di UI yang menyatakan negara ini semakin
kapitalis-liberal, menunjukkan bahwa Trisakti Bung Karno yang kita anut masih jauh dari harapan. Artinya kita belum
bedaulat dalam politik, belum mandiri dalam ekonomi, dan belum berkepribadian
dalam kebudayaan. Jangan-jangan kita masih terjajah sebagaimana dituding Kwik
Kian Gie.
R E F E R E N S I
Gie, K, K, 2008, Terjajahnya
Kembali Indonesia Sejak 1967. YKK Jakarta
Latif, Yudi, 16 Agustus 2019,
Membangun Manusia Merdeka, Kompas, Jakarta
Suseno Magnis, 14 Agustus
2019, Petugas Partai atau Petugas Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar