JALAN
TERJAL JOKOWI MEMBENAHI BIROKRASI
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol
UDA Medan & Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Published,
Analisa, 19 Agust 2019
Kalau bisa dipersulit
mengapa dipermudah, atau kalau bisa diperlama mengapa dipercepat, adalah sebutan,
eksistensi, sekaligus stigma yang masih melekat pada birokrasi pemerintah sejak
lama hingga saat ini. Stigma buram yang mengemuka karena fungsi yang seharusnya
melayani, mendinamisir, hingga memotivisir masyarakat, sebagaimana titah Weber
dengan birokrasi “legal-rasionalnya”, berubah arah menjadi melayani biro dan
dirinya sendiri.
Para aparatur, birokrat,
atau pegawainya (ASN) cenderung berorientasi-mendongak ke atas (pimpinannya), yang populer dengan sebutan ABS
(Asal Bapak Senang) ketimbang fungsi utamanya sebagai pelayan akar rumput/masyarakat.
Prof Dr Suhartono (1994), sejarawan UGM mengibaratkannya sebagai mirip katak,
yakni menjilat ke atas, menyikut kesamping, dan menginjak ke bawah.
Masyarakat yang terstruktur
secara lemah, sebagai implikasinya tidak bisa berbuat banyak, selain menerima
tatanan nan auto pilot, yang tak mengurus hidup warga. Semua urusan dikerjakan
secara sendiri. Mau cari segenggam nasi, pakaian, ongkos bepergian, kontrakan
rumah, nyekolahin anak, berobat dan lain-lain kebutuhan primer, di urus secara
sendiri. Sangat kontras dengan birokrasi negara-negara lain (seperti Singapura
misalnya), yang hanya angkat telefon saja sudah memberikan pelayanan. Atau
sebaliknya jika warga lupa, alfa, hingga lalai terhadap urusan-urusannya,
mereka akan tetap melayani.
Contoh kongkrit misalnya
adalah dalam hal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP (Kartu Tanda
Penduduk). Bila KTP warga sudah habis berlakunya, sang warga tersebut menelefon
kantor/biro yang berwenang menanganinya, akan langsung diantar ke rumah. Begitu
pula sebaliknya, yakni jika warga/kita lupa bahwa KTP kita sudah habis masa
berlakunya, mereka ( biro-kantor tersebut) dengan sendirinya akan mengantar
penggantinya kerumah. Begitu pula (analog) dengan urusan-urusan masyarakat lainnya,
semua di urus secara cepat dan akurat. Mengapa birokrasi negeri ini tidak bisa seperti
itu?
Jawabannya tidak hitam
putih/sederhana. Meski era reformasi, yang salah satu tuntutan utamanya adalah merombak
tatanan yang rusak tersebut (reformasi birokrasi), telah berjalan lewat dua dekade,
keberadaannya nyaris tanpa perubahan (kalau bukan lebih buruk). Birokrasi negeri
ini, sebagaimana disebut di awal tulisan ini tetap saja dengan eksistensinya,
yakni “jika bisa dipersulit/diperlama/berbelit-belit, mengapa harus
dipermudah/dipercepat/disederhanakan?.
Historisitas
Disfungsionalisasi
Pemeo yang terus langgeng
meski sudah sekian rezim, penguasa, pemerintahan yang tampil silih berganti,
dan berikrar akan membereskan, namun sebaliknya yang empirik. Megawati yang diharapkan
dapat melakukan perubahan yang significan, tak lebih tak kurang hanya dapat
menggerutu, galau, dan mungkin juga sudah apatis, sebab ia nyerocos birokrasi
negeri ini sebagai birokrasi keranjang sampah, tak berintegritas, tak
professional, tambun, dan lain-lain ejekan yang vulgar. Dengan kesal hingga ke
ubun-ubun, Megawati ngerundel…Menteri bisa saya pegang kepalanya…namun sekjen,
dirjen, dan lain-lain unsur birokrasi ke bawah tidak bisa saya pegang…..urainya
dengan nada tinggi.
Suatu pengakuan yang fatal,
namun itulah faktanya. Fakta betapa menterinya sejujur, sekuat, dan setrampil
apapun, dalam kondisi demikian tidak bisa berbuat banyak, karena semua jajaran/eselon
dibawahnya masihlah warisan birokrasi Orde Baru/Soeharto yang patrimonial
(Donald K. Emmerson, 1974), birokratik (Jackson KD, 1978), birokratik-otoriter
(King DY, 1980). Birokrasi yang sarat dengan sebutan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN), yang terlembaga sejak Soeharto memimpin
kekuasaan-pemerintahan.
Oleh karena itu tidak
aneh, jika menterinya ngomong atau instruksi A, yang dijalankan birokrasi,
alias Sekjen, Dirjen dan Eselon-Eselon selanjutnya ke bawah (hierarkhi) bukan A,
melainkan yang sudah tertradisi sebelumnya. Artinya mereka itu, yakni para
birokrat tersebut tetap saja mementaskan KKN, tidak professional, inefisien,
inefektifitas, dan kerja yang lelet. Begitu pula dengan Menteri yang kelihatan seakan
akan kompak dengan Sekjen, Dirjen, dan seterusnya sesungguhnya hanyalah
sandiwara.
Nyatanya mereka jalan
sendiri-sendiri. Menterinya kemana, birokrasinya kemana. Rakyat yang berharap
karena kepolosannya, hanya terbengong-bengong, mangap-mangap, karena
urusannya tertunda-tunda, bertele-tele, dan kerapkali dipersulit, karena birokrasinya
terpaku KKN, mendongak dan menjilat ke atas (ABS), dan tak melayani ke bawah (bottom
up/masyarakat).
Korupsi yang sebelumnya
(di era Orde Baru/Suharto) masih dibawah meja, kini setelah era reformasi sudah
di atas meja, bahkan mejanya sekalian
turut di sikat. Artinya korupsinya semakin terbuka, tereskalasi, transparan,
dan norak. Amin Rais dengan ngejek menyebutnya sebagai korupsi berjamaah.
Mungkin atas keprihatinan
demikianlah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencalonkan diri sebagai
presiden dalam pilpres 2004 bertekad mengakhirinya. Dengan sangat percaya diri
dan super tegas, SBY dan partai Demokrat yang mengusungnya memajukan visi,
misi, dan program, dengan seuntai kalimat yang indah (bombastis), yakni “katakan
tidak pada korupsi”. Semua pentolan-pentolan Demokrat dan relawannya diwajibkan
menyatakan hal tersebut, yakni tidak pada korupsi.
Bagaimana gebyar,
gemerlap, dan garangnya Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng,
Nasaruddin, Choel Mallarangeng, Jero Watjik, St Bhatugana dan lain-lainnya
mengumandangkan slogan nan bombastis tersebut (tidak pada korupsi), dapat kita
saksikan di layar kaca televisi, yang setiap saat terus ditayang-iklankan.
Tayangan yang membuat pemirsa, penonton, atau masyarakat terhipnotis/terkesiap,
seolah-olah akan tampil era yang bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Begitu pula dengan tata kelola
pemerintahan yang good governance akan segera mencuat.
Sayang seribu sayang
dalam perjalanannya kemudian, semua sosok-sosok yang teriak katakan tidak pada
korupsi demikian, justru mengingkari bulat-bulat apa yang dikumandangkannya. Dengan
mengenaskan mereka terlibat korupsi kelas kakap, sehingga semuanya digelandang masuk
hotel prodeo.
Begitu pula pihak-pihak
lain, seperti/misalnya besannya (Aulia Pohan), Prof Dr Ir Rubi Rubiandini yang
mengepalai SKK Migas, yang dikenal sangat sederhana, dan merupakan dosen
teladan ITB, Siti Fadilah Supajar, Menkes yang dikenal sebagai orang saleh/baik,
dan lain-lain sosok-sosok penting turut melenggang ke hotel prodeo. Singkatnya reformasi
birokrasi yang digadang-gadang itu kembali ke titik nadir, kalau bukan melayang
ke langit ketujuh.
Jalan
Terjal Jokowi
Meski tidak segemerlap
kampanye SBY, Jokowi yang tampil dalam pilpes 2014, dalam visi, misi, dan
programnya tetap mengutamakan reformasi birokrasi. Hal ini terlihat pada point kedua
dan khususnya point ke empat Nawa Citanya. Dalam point kedua dengan tegas dikatakan
akan dibangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya. Sedang pada point keempat, juga, dengan tegas dikatakan…menolak
negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Dengan konsisten dan tegar,
Jokowi berikhtiar penuh mewujudkan komitmen demikian. Meski belum significan
hasilnya (out put/out come) sudah mulai kelihatan. Paling tidak ASN yang
bertugas saat ini tidak bisa lagi santai seperti era-era sebelumnya. Mereka
telah dipacu agar semakin professional-meritokratis, disiplin, dan demokratis.
Akan tetapi dibalik
sukses story demikan, jalan-jalan terjal masih menghadang dengan cadas. Jusuf
Kalla menengarai masih banyak Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota yang
melakukan korupsi. Tercatat 10 Menteri, 20 Gubernur, dan 105 kepala daerah
tingkat II yang masuk hotel prodeo (Budiman Tanurejo,K, 8 Agust 2019). Artinya
reformasi birokrasi yang dicanangkan sungguh-sungguh melayani masyarakat masih
jauh dari harapan.
Mungkin atas dasar
konstalasi demikianlah pada tanggal 14 juli yang lalu, yakni sehari setelah
ketemu Prabowo di atas MRT, Jokowi berpidato berapi-api bahwa ia segera akan
membenahi birokrasi yang masih jauh dari harapan. Lebih lengkapnya ia
menyatakan…”akan melakukan reformasi struktural
agar lembaga lebih sederhana, semakin simpel, semakin lincah. Memangkas pola
pikir dan mindset yang tak mau berubah. Mendorong kecepatan melayani,
memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi. Akan saya cek sendiri, akan saya
kontrol sendiri. Begitu saya lihat tidak efisien, atau tidak efektif, saya
pastikan saya pangkas, saya copot pejabatnya. Tidak ada lagi pola pikir lama,
tidak ada lagi pola pikir linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada
lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman. Harus berubah. Kita
harus membangun nilai-nilai baru…urainya bersemangat
Suatu pidato yang hebat,
yang revolusioner, yang memotivasi, namun harus dipahami secara realistis,
sebab penyakit birokrasi yang fenomenal dewasa ini sudah lama, kronis, dan
latent. Penyakit yang tidak saja struktural, namun juga kultural, dalam artian
model yang diterapkan saat ini, yakni yang didasarkan kepada konsepnya Weber
yang legal-rasional, yang hierarkhis, spesialisasi, formalisasi, dan impersonal,
plus kultur masyarakatnya yang masih paternalistic/feudal tidak akan melahirkan
birokrasi yang melayani. Malah, sebaliknya ia akan melesatkan perilaku yang
menjilat ke atas, menyikut ke samping, dan menginjak kebawah. Mirip katak sebagaimana
ditengarai Prof Suhartono. Disini inti masalahnya.
Masalah yang tak
sederhana, rumit, dan cadas, yang membutuhkan waktu yang lama dalam
penyelesaiannya, serta kiat yang sungguh-sungguh jitu, rasional, dan inovatif,
yang tak mungkin selesai dalam satu periode kepemimpinan presiden. Jalan kesana
masih cukup terjal semoga Jokowi dapat menakhodainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar