Kamis, 22 Agustus 2019

JALAN TERJALA JOKOWI MEMBENAHI BIROKRASI



JALAN TERJAL JOKOWI MEMBENAHI BIROKRASI
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI
Published, Analisa, 19 Agust 2019
Kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah, atau kalau bisa diperlama mengapa dipercepat, adalah sebutan, eksistensi, sekaligus stigma yang masih melekat pada birokrasi pemerintah sejak lama hingga saat ini. Stigma buram yang mengemuka karena fungsi yang seharusnya melayani, mendinamisir, hingga memotivisir masyarakat, sebagaimana titah Weber dengan birokrasi “legal-rasionalnya”, berubah arah menjadi melayani biro dan dirinya sendiri.
Para aparatur, birokrat, atau pegawainya (ASN) cenderung berorientasi-mendongak ke atas  (pimpinannya), yang populer dengan sebutan ABS (Asal Bapak Senang) ketimbang fungsi utamanya sebagai pelayan akar rumput/masyarakat. Prof Dr Suhartono (1994), sejarawan UGM mengibaratkannya sebagai mirip katak, yakni menjilat ke atas, menyikut kesamping, dan menginjak ke bawah.
Masyarakat yang terstruktur secara lemah, sebagai implikasinya tidak bisa berbuat banyak, selain menerima tatanan nan auto pilot, yang tak mengurus hidup warga. Semua urusan dikerjakan secara sendiri. Mau cari segenggam nasi, pakaian, ongkos bepergian, kontrakan rumah, nyekolahin anak, berobat dan lain-lain kebutuhan primer, di urus secara sendiri. Sangat kontras dengan birokrasi negara-negara lain (seperti Singapura misalnya), yang hanya angkat telefon saja sudah memberikan pelayanan. Atau sebaliknya jika warga lupa, alfa, hingga lalai terhadap urusan-urusannya, mereka akan tetap melayani.
Contoh kongkrit misalnya adalah dalam hal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk). Bila KTP warga sudah habis berlakunya, sang warga tersebut menelefon kantor/biro yang berwenang menanganinya, akan langsung diantar ke rumah. Begitu pula sebaliknya, yakni jika warga/kita lupa bahwa KTP kita sudah habis masa berlakunya, mereka ( biro-kantor tersebut) dengan sendirinya akan mengantar penggantinya kerumah. Begitu pula (analog) dengan urusan-urusan masyarakat lainnya, semua di urus secara cepat dan akurat. Mengapa birokrasi negeri ini tidak bisa seperti itu?
Jawabannya tidak hitam putih/sederhana. Meski era reformasi, yang salah satu tuntutan utamanya adalah merombak tatanan yang rusak tersebut (reformasi birokrasi), telah berjalan lewat dua dekade, keberadaannya nyaris tanpa perubahan (kalau bukan lebih buruk). Birokrasi negeri ini, sebagaimana disebut di awal tulisan ini tetap saja dengan eksistensinya, yakni “jika bisa dipersulit/diperlama/berbelit-belit, mengapa harus dipermudah/dipercepat/disederhanakan?.
Historisitas Disfungsionalisasi
Pemeo yang terus langgeng meski sudah sekian rezim, penguasa, pemerintahan yang tampil silih berganti, dan berikrar akan membereskan, namun sebaliknya yang empirik. Megawati yang diharapkan dapat melakukan perubahan yang significan, tak lebih tak kurang hanya dapat menggerutu, galau, dan mungkin juga sudah apatis, sebab ia nyerocos birokrasi negeri ini sebagai birokrasi keranjang sampah, tak berintegritas, tak professional, tambun, dan lain-lain ejekan yang vulgar. Dengan kesal hingga ke ubun-ubun, Megawati ngerundel…Menteri bisa saya pegang kepalanya…namun sekjen, dirjen, dan lain-lain unsur birokrasi ke bawah tidak bisa saya pegang…..urainya dengan nada tinggi.
Suatu pengakuan yang fatal, namun itulah faktanya. Fakta betapa menterinya sejujur, sekuat, dan setrampil apapun, dalam kondisi demikian tidak bisa berbuat banyak, karena semua jajaran/eselon dibawahnya masihlah warisan birokrasi Orde Baru/Soeharto yang patrimonial (Donald K. Emmerson, 1974), birokratik (Jackson KD, 1978), birokratik-otoriter (King DY, 1980). Birokrasi yang sarat dengan sebutan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang terlembaga sejak Soeharto memimpin kekuasaan-pemerintahan.
Oleh karena itu tidak aneh, jika menterinya ngomong atau instruksi A, yang dijalankan birokrasi, alias Sekjen, Dirjen dan Eselon-Eselon selanjutnya ke bawah (hierarkhi) bukan A, melainkan yang sudah tertradisi sebelumnya. Artinya mereka itu, yakni para birokrat tersebut tetap saja mementaskan KKN, tidak professional, inefisien, inefektifitas, dan kerja yang lelet. Begitu pula dengan Menteri yang kelihatan seakan akan kompak dengan Sekjen, Dirjen, dan seterusnya sesungguhnya hanyalah sandiwara.
Nyatanya mereka jalan sendiri-sendiri. Menterinya kemana, birokrasinya kemana. Rakyat yang berharap karena kepolosannya, hanya  terbengong-bengong, mangap-mangap, karena urusannya tertunda-tunda, bertele-tele, dan kerapkali dipersulit, karena birokrasinya terpaku KKN, mendongak dan menjilat ke atas (ABS), dan tak melayani ke bawah (bottom up/masyarakat).
Korupsi yang sebelumnya (di era Orde Baru/Suharto) masih dibawah meja, kini setelah era reformasi sudah di atas meja,  bahkan mejanya sekalian turut di sikat. Artinya korupsinya semakin terbuka, tereskalasi, transparan, dan norak. Amin Rais dengan ngejek menyebutnya sebagai korupsi berjamaah.
Mungkin atas keprihatinan demikianlah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencalonkan diri sebagai presiden dalam pilpres 2004 bertekad mengakhirinya. Dengan sangat percaya diri dan super tegas, SBY dan partai Demokrat yang mengusungnya memajukan visi, misi, dan program, dengan seuntai kalimat yang indah (bombastis), yakni “katakan tidak pada korupsi”. Semua pentolan-pentolan Demokrat dan relawannya diwajibkan menyatakan hal tersebut, yakni tidak pada korupsi.
Bagaimana gebyar, gemerlap, dan garangnya Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Nasaruddin, Choel Mallarangeng, Jero Watjik, St Bhatugana dan lain-lainnya mengumandangkan slogan nan bombastis tersebut (tidak pada korupsi), dapat kita saksikan di layar kaca televisi, yang setiap saat terus ditayang-iklankan. Tayangan yang membuat pemirsa, penonton, atau masyarakat terhipnotis/terkesiap, seolah-olah akan tampil era yang  bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Begitu pula dengan tata kelola pemerintahan yang good governance akan segera mencuat.
Sayang seribu sayang dalam perjalanannya kemudian, semua sosok-sosok yang teriak katakan tidak pada korupsi demikian, justru mengingkari bulat-bulat apa yang dikumandangkannya. Dengan mengenaskan mereka terlibat korupsi kelas kakap, sehingga semuanya digelandang masuk hotel prodeo.
Begitu pula pihak-pihak lain, seperti/misalnya besannya (Aulia Pohan), Prof Dr Ir Rubi Rubiandini yang mengepalai SKK Migas, yang dikenal sangat sederhana, dan merupakan dosen teladan ITB, Siti Fadilah Supajar, Menkes yang dikenal sebagai orang saleh/baik, dan lain-lain sosok-sosok penting turut melenggang ke hotel prodeo. Singkatnya reformasi birokrasi yang digadang-gadang itu kembali ke titik nadir, kalau bukan melayang ke langit ketujuh.
Jalan Terjal Jokowi
Meski tidak segemerlap kampanye SBY, Jokowi yang tampil dalam pilpes 2014, dalam visi, misi, dan programnya tetap mengutamakan reformasi birokrasi. Hal ini terlihat pada point kedua dan khususnya point ke empat Nawa Citanya. Dalam point kedua dengan tegas dikatakan akan dibangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Sedang pada point keempat, juga, dengan tegas dikatakan…menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Dengan konsisten dan tegar, Jokowi berikhtiar penuh mewujudkan komitmen demikian. Meski belum significan hasilnya (out put/out come) sudah mulai kelihatan. Paling tidak ASN yang bertugas saat ini tidak bisa lagi santai seperti era-era sebelumnya. Mereka telah dipacu agar semakin professional-meritokratis, disiplin, dan demokratis.
Akan tetapi dibalik sukses story demikan, jalan-jalan terjal masih menghadang dengan cadas. Jusuf Kalla menengarai masih banyak Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota yang melakukan korupsi. Tercatat 10 Menteri, 20 Gubernur, dan 105 kepala daerah tingkat II yang masuk hotel prodeo (Budiman Tanurejo,K, 8 Agust 2019). Artinya reformasi birokrasi yang dicanangkan sungguh-sungguh melayani masyarakat masih jauh dari harapan.
Mungkin atas dasar konstalasi demikianlah pada tanggal 14 juli yang lalu, yakni sehari setelah ketemu Prabowo di atas MRT, Jokowi berpidato berapi-api bahwa ia segera akan membenahi birokrasi yang masih jauh dari harapan. Lebih lengkapnya ia menyatakan…”akan melakukan reformasi struktural agar lembaga lebih sederhana, semakin simpel, semakin lincah. Memangkas pola pikir dan mindset yang tak mau berubah. Mendorong kecepatan melayani, memberikan izin, menjadi kunci bagi reformasi. Akan saya cek sendiri, akan saya kontrol sendiri. Begitu saya lihat tidak efisien, atau tidak efektif, saya pastikan saya pangkas, saya copot pejabatnya. Tidak ada lagi pola pikir lama, tidak ada lagi pola pikir linier, tidak ada lagi kerja rutinitas, tidak ada lagi kerja monoton, tidak ada lagi kerja di zona nyaman. Harus berubah. Kita harus membangun nilai-nilai baru…urainya bersemangat
Suatu pidato yang hebat, yang revolusioner, yang memotivasi, namun harus dipahami secara realistis, sebab penyakit birokrasi yang fenomenal dewasa ini sudah lama, kronis, dan latent. Penyakit yang tidak saja struktural, namun juga kultural, dalam artian model yang diterapkan saat ini, yakni yang didasarkan kepada konsepnya Weber yang legal-rasional, yang hierarkhis, spesialisasi, formalisasi, dan impersonal, plus kultur masyarakatnya yang masih paternalistic/feudal tidak akan melahirkan birokrasi yang melayani. Malah, sebaliknya ia akan melesatkan perilaku yang menjilat ke atas, menyikut ke samping, dan menginjak kebawah. Mirip katak sebagaimana ditengarai Prof Suhartono. Disini inti masalahnya.
Masalah yang tak sederhana, rumit, dan cadas, yang membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaiannya, serta kiat yang sungguh-sungguh jitu, rasional, dan inovatif, yang tak mungkin selesai dalam satu periode kepemimpinan presiden. Jalan kesana masih cukup terjal semoga Jokowi dapat menakhodainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar