MARHAENISME BAGI GENERASI MUDA;
SUATU PENGANTAR
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi
DPP PA GMNI, Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Disampaikan dalam MAK Kom GMNI UNPAB Medan, 15 September 2019
PENDAHULUAN
Masalah utama yang dihadapi kaum
millennial[1],
seperti adik-adik yang hadir dalam pertemuan MAK saat ini adalah(1) keterbatasan lapangan
kerja, (2) tingginya harga kebutuhan pokok, dan (3) kemiskinan (Survey CSIS,
2017 dalam Pramudito, Kompas, 8 oktober 2018)
Masalah-masalah lama, actual, dan
klasik yang tak pernah terselesaikan, masalah-masalah yang sudah menyeruak
sejak era penjajahan/kolonial, namun entah mengapa tetap tak terselesaikan.
Dari hari ke hari, minggu ke minggu, dekade ke dekade, dari satu suasana ke
suasana lain, dari satu pemerintahn ke pemerintahan lain, tetap saja dan
permanen tidak ada perubahan yang berarti/significan. Bagitu terus yang terjadi
Adik-adik yang hadir dalam PPAB ini
setelah lulus, bahkan mungkin lulus dengan IPK setinggi langit (melewati angka
4, sum cum laude), sejauh mata memandang tidak ada jaminan, akan diterima di
dunia kerja. Rata-rata mereka menganggur. Sebagaimana pemantauan/fenomena yang
sudah lazim kita lihat sehari-hari, mereka berbondong-bondong membawa surat
lamaran kerja ke berbagai instansi. Ada yang diterima, namun jauh lebih banyak
yang ditolak. Tidak sebanding dengan mereka yang melamar.
Ironisnya dari mereka yang diterima
kerja demikian mayoritas tidak mendapat penghasilan/upah/gaji yang layak.
Gajinya sangat kecil, tidak sesuai dengan kebutuhan, maaupun tenaga yang
dikeluarkan. Banyak yang masih dibawah upah minimum.
Mari kita perhatikan/simak dengan
seksama mereka-mereka yang bekerja di perusahaan swasta, banyak berpenghasilan
yang memilukan, menyedihkan, alias tak manusiawi. Sebaliknya pemilik
perusahaan/majikan mendapat keuntungan yang sangat besar, yang membuatnya semakin
kaya raya.
Disisi lain sebagai mana
realitas-faktualnya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari tetap tinggi,
semakin hari/lama semakin naik. Kenaikan harga barang/komoditas selalu lebih besar/tinggi
dari penghasilan. Penghasilan sekian, kenaikan harga sekian kali naiknya…Bagaimana
hidup layak kalau suasanya begini?
Jangankan hidup layak, hidup
sederhana sekalipun tak akan tergapai. Malah yang mencuat kemudian adalah
sebaliknya, yakni apa yang disebut dengan “kemiskinan, alias kesengsaraan”.
Semakin lama berlangsung prosesnya, semakin banyak orang yang melarat.
Kemiskinan terus melesat…..terus menghantui kehidupan.
Ini realitas empirik yang kita hadapi,
yang ada di depan mata/hidung kita, meski ada pihak, lembaga, atau siapapun
yang membantahnya[2].
Ayo mari kita adu argumen, adu data, atau fakta, terbukti bahwa kemiskinan itu sangat
besar. Kemiskinan itu ada di hadapan kita. Kemiskinan yang pada muara atau
derivasinya, akhirnya melahirkan “kesenjangan, ketidak adilan, atau
keterasingan sosial”.
Sinyalemen demikian paling tidak dapat
dilihat (antara lain) dari laporan OXFAM dan INFID tanggal 23 Juli 2017 yang
lalu. Kedua Lembaga ini mensitir betapa kesenjangan (gap) antara segelintir
orang terkaya dan mayoritas penduduk masih lebar. Tercatat bagaimana kekayaan
empat orang terkaya setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.
Dalam angka lain Survey Credit Suisse, Januari 2017 menemukan bahwa 1 persen
orang terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
World Bank dalam laporannya “Indonesia Rising Divide” 2018,
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berlangsung satu dekade terakhir
hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia. Adapun faktor yang
mendorong terjadinya ketidak adilan ini adalah (1) ketimpangan kesempatan, (2)
ketimpangan upah, (3) pemusatan kekayaan, 10 persen orang kaya memiliki 77
persen seluruh kekayaan negara, (4) guncangan (Tirto id 26 feb 2018, M Ikhsan
Modjo[3]
dalam Kompas,31 agustus 2019)[4]
Kacau atau mirisnya lagi, lembaga
yang seharusnya meretas ketimpangan demikian, dengan jungkir balik bak sirkus,
malah berkolaborasi (kong kali kong) dengannya, sebab kalangan kaya/ kelompok nan milyarder ini
meraup 2/3 kekayaannya atas dasar bisnis kroni, dengan kedekatannya dengan pemerintah/kekuasaan
(state).
Kalangan bisnis, saudagar, atau
pedagang demikian, cincai-cincai/kong kali kong/sekongkol dengan pemerintah,kekuasaan,
atau birokrasi, yang sebagai kelanjutan/konsekwensi logisnya akan meminggirkan
fungsinya sebagai pelayan rakyat.
Rakyat hanya asesoris, penggembira,
kalau bukan sekedar objek dalam relasi timpang tersebut. Nuansa yang tak perlu
kita ulas sampai dahi berkerut/lebih jauh, sebab itulah suasananya. Suasana
yang didominasi atau pemberhalaan kepada materi, uang, atau kapital. Bagi
kalangan tertentu sering dikonotasikan dengan sebutan “Mammonisme” (uang
menjadi ukuran segala-galanya). Menghamba kepada kapital, bukannya kepada
kemanusiaan.
Istilah kerennya…”k a p i t a l i s m e[5]”,
yang dalam perkembangannya berbuah “lmperialism[6],
kolonialisme”. Suatu paham/mazhab yang menjadi musuh dari apa yang kita
bicarakan saat ini “M a r h a e n i s m e”. Untuk lebih jelasnya apa yang
disebut dengan Marhaenisme itu akan diuraikan dibawah ini
A r t i
1.
Wikipedia
: Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia
dan bangsa atas bangsa. Ideologi yang dikembangkan Bung Karno dari pemikiran
Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno
mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen
(terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun
(masih tertindas). Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada
seluruh golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh yang
hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan
penguasa/borjuis/kapitalis (Wikipedia)
2.
Basuki
Tjahaja Purnama/Ahok: Paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil
3.
Kongres
Partindo 1933: Marhaenisme di
definisikan (a) sosio nasionalisme dan sosio demokrasi[7],
(b) yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum
melarat Indonesia yang lain, (c) pakai marhaen, bukan proletar, sebab proletar
sudah termaktub dalam marhaen, (d) adalah azas yang menghendaki susunan
masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan
marhaen, (e) adalah cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan
susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner,
(f) oleh karena itu Marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki
hilangnya tiap tiap kapitalisme dan imperialism, (g) Marhaenis adalah tiap tiap
orang bangsa Indonesia yang menyelamatkan marhaen
4.
Konferensi
GMNI 1959 Kaliurang, Yogyakarta. Dalam konperensi ini Bung Karno mengatakan (a)
Marhaen adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala
halnya menyelamatkan marhaen, (b) adalah cara perjuangan yang revolusioner
sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya, (c) adalah asas dan cara
perjuangan menuju hilangnya kapitalisme, imperialism, dan kolonialisme
Lebih jauh dengan kapitalisme
Bung Karno telah mengartikan
Kapitalisme secara gamblang, namun untuk pendalaman lebih lanjut akan kita
hubungkan dengan beberapa pakar/tokoh yang pendapatnya sudah banyak diakui.
Pakar ini antara lain adalah Dawam Rahardjo, J Verkuyl.
Menurut Dawam, istilah kapitalisme mulai
diperkenalkan di Eropa Barat pada abad XVIII dan XIX. Namun demikian pengertian
istilah tersebut masih sangat kabur dan simpang siur karena dipakai di dalam
berbagai versi. Kapitalisme dipakai untuk menyebut sebuah sistem pemikiran
(ideologi Laissez Faire), sebuah sistem sosial, sistem ekonomi, dan sebuah
tahapan sejarah yang dialami oleh suatu masyarakat. Istilah ini juga sering
dikaitkan dengan konsep etika sehingga kapitalisme sering dikonotasikan sebagai
sebuah hal yang jahat seperti yang dicerminkan oleh kondisi kaum buruh yang
serba kekurangan di Eropa Barat pada abad XIX, kolonialisme, maupun imperialism
yang dianggap sebagai dampak dari kapitalisme. Akhir-akhir ini sesuai dengan
perkembangan zaman, pengertian kapitalisme juga mengalami perkembangan. Kini
kapitalisme kerap dipakai untuk menyebut
sebuah sistem industri modern
Banyaknya definisi tentang
kapitalisme tersebut disebabkan karena masing-masing akhli memberikan penekanan
yang berbeda. Misalnya Warner Sombart melihat
esensi sistem kapitalisme pada unsur kapital, sedangkan Braudel Frank, dan Wallerstein
melihat esensinya pada unsur pasar. Namun kiranya pandangan Karl Marx lah yang lebih tepat, yang
menganggap kapitalisme sebagai sebuah moda (cara) produksi yang berintikan
konsep pemilikan produksi dan hubungan sosial yang dihasilkan dalam produksi
sebagi locus esensi kapitalisme. Meskipun Marx
bukan orang pertama yang menemukan istilah kapitalisme, tetapi istilah ini
selalu diasosiasikan dengan Marx,
karena dialah yang mampu menangkap fenomena kapitalisme sebagai sebuah gejala
baru yang terjadi di Eropa Barat pada abad XIX yang ditandai dengan munculnya
Revolusi Industri. Sebelum abad tersebut gejala semacam itu tidak pernah
ditemukan dimanapun. Dengan demikian Marx
melihat kapitalisme sebagai sebuah tahapan sejarah yang dialami oleh suatu
masyarakat.
Karena begitu banyaknya definisi
tentang kapitalisme, yang masing-masing mungkin juga mempunyai kebenaran, maka
akan lebih mudah jika melihat pada ciri-ciri kapitalisme saja. Sebagaimana
dikemukakan oleh Megnod Desai,
sebagai mode produksi kapitalisme bercirikan:
1. Produksi untuk dijual dipasar, bukan
dikonsumsi sendiri
2. Adanya pasar, sebagai tempat jual
beli tenaga kerja dengan sistem upah dan kontrak kerja
3. Penggunaan uang sebagai alat tukar.
Hal ini kemudian menumbuhkan peranan yang besar kepada bank dan Lembaga
keuangan lainnya.
4. Proses produksi atau proses kerja
berada dalam kontrol para pemilik modal dan agen-agen manajerialnya.
5. Pengambilan keputusan tentang
keuangan berada di tangan pemilik modal, bukan ditangan para pekerja.
6. Berlakunya sistem persaingan bebas
diantara para pemilik kapital (Rahardjo D, 1987:VIII-XIX)
Untuk memahami lebih jauh/dinamis/seksama tentang kapitalisme
demikian akan kita uraikan pendapat Dr J.
Verkuyil (1956:145-153) dibawah ini.
Latar belakang, Perkembangan, dan
Ekses Kapitalisme.
Pada abad pertengahan hidup sosial
dan ekonomi di Eropa diatur oleh suatu suatu organisasi yang disebut gilde, yakni organisasi pertukangan atau
rukun kerja.
Penghasilan barang-barang yang
dibutuhkan masyarakat di atur olehnya. Ditentukan pula barang-barang apa yang
perlu bagi masyarakat. Jumlah pekerja-pekerja dalam suatu perusahaan
ditentukan. Begitu pula kedudukan para pekerja itu. Ada bagian yang mendidik
pekerja-pekerja baru, harga-harga ditetapkan, demikian pula gaji para pekerja.
Model, metode, atau konsep yang dalam
perkembangannya banyak mengalami penentangan, dan pada abad pertengahan sistem
itu tak dapat dipertahankan lagi. Dalam sistem ini masyarakat tak dapat
berkembang, lalu timbullah di Eropa gerakan penentangannya, yakni gerakan untuk
memberikan kemerdekaan pada orang seorang (individu), termasuk/include/juga
dilapangan ekonomi dan sosial.
Khusus
dilapangan ekonomi, beberapa tokoh, seperti, Hobbes, Locke, Mandeville memberi catatan atau pendapat yang lucu
dan mengejek. Mereka mengejek kemerdekaan dalam bidang ekonomi tersebut. Locke misalnya mengutarakan that government is the best which governs
least (pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit
memerintah). Katanya/sambungnya pula, tiap orang harus mendapat equal opportunity, kesempatan yang sama.
Rupanya para penentang tersebut tidak mengerti bahwa dalam praktek ini berarti the survival of the fittest, alias yang
kuatlah yang hidup, yang lemah akan tenggelam.
Para
pembaharu ekonomi ini nyerocos bahwa tiap orang harus bebas menggunakan uangnya
sesuka hatinya. Tiap orang/pengusaha bebas memperlakukan pekerja/buruhnya
menurut kehendaknya sendiri. Buruh tidak diizinkan membuat perkumpulan/serikat
kerja. Fungsi negara hanya untuk melindungi milik orang seorang. Negara yang
dianggap terbaik ialah negara yang paling sedikit mencampuri kehidupan sosial
dan ekonomi.
Pendapat
lain yang memperkuatnya dikemukakan oleh Leibniz.
Menurut beliau bahwa barang siapa mencari untung bagi diri sendiri, ia juga
mencari untung bagi masyarakatnya. Terdapat harmoni antara kepentingan diri
sendiri dan kepentingan umum
Kapitalisme/liberalism
ini sangat Berjaya, sangat dinamis dengan pemakaian mesin-mesin. Perkembangan
mesin-mesin, pengangkutan, dan perluasa perhubungan antar negara-negara di
dunia ini menyebabkan tampilnya perusahaan besr-besar yang modern dan
mahal,serta perdagangan besar-besaran. Karena itu makin lenyaplah kesatuan
tenaga pemilikan alat-alat produksi, dan system tukar menukar.
Perusahaan-perusahan
besr menelan alat-alat produksi yang kecil-kecil. Rakyat jelata (murba,
marhaen) makin kehilangan hak-haknya, alat-alat produksi dikuasai oleh
maskapai-maskapai (perusahaan-perusahaan) yang besar, concern-concern, dan para
pemegang saham (andil)
Sebagai konsekwensinya muncullah lapisan keempat dalam
masyarakat, kaum proletary, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan
tertentu dalam perusahaan………
Pada era Bung Karno……..
Pada era Soeharto. Open door policy……Konsensus
Washington/Neolib…
Era reformasi
Hari ini………
Dengan Generasi Muda/KONGKLUSI
Uraian demikian masih dapat diteruskan sekian jauh lagi. Namun untuk
pengantar diskusi ini dianggap sudah memadai. Sebagaimana konsep Bung Karno,
Jas Merah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah, generasi muda, khususnya
yang ikut acara ini diharapkan supaya menghayatinya.
Penulis menyadari sebagaimana
pendapat Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono diatas, ada gap, jurang, bahkan perang
antara generasi, yakni antara generasi senior dengan generasi millennial,
dimana generasi millennial ini sudah tidak begitu tertarik dengan hal-hal yang
ideologis, akan tetapi sebagai calon-calon intelektual dan pemimpin bangsa,
tiada lain, tiada bukan masalah ideologi ini harus dikuasai.
Sebagai kongklusi dapatlah ditarik:
·
Marhaenisme
adalah paham yangmenentang kapitalisme, imperialism dan kolonialisme
·
Marhaenisme
adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil
·
Jurang
atau perang antar generasi sudah factual/antara millennial dengan yang tua
·
Tantangan
Marhaenisme secara substantif belum berubah
·
Sistim
dan elit yang menakhodai pemerintahan/Negara belum sebagaimana yang diharapkan.
Baik secara Pancasila, UUD 1945, dan khususnya secara Marhaenisme
·
Perlu
perubahan mendasar, keteladanan, dan……disinilah relevansinya Marhaenisme itu.
Merdeka !
R E F E R E N S I
Hutapea, Reinhard, 1999,Sukarno, Nasionalisme,
Dan Globalisasi, PKNWK, Jakarta
Modjo M Ikhsan, 31 Agust 2019,
Ketimpangan di Era Digital, Kompas, Jakarta
Pramudito, 8 okt 2018, Kompas,
Jakarta
Rahardjo MD, 1987, Esei-Esei Ekonomi
Politik, LP3ES, Jakarta
Sarwono Sarlito Wirawan, 21 Maret 2016,
Perang Antar Generasi, Kompas, Jakarta
Sukarno, 1989, Indonesia Menggugat,
CV Haji Masagung, Jakarta
Verkuyl J, 1957, Injil, Kapitalisme,
dan Komunisme, BPK, Jakarta
[1]
Sarlito Wirawan Sarwono menggambarkan generasi millennial ini sebagai
berikut:…..maka watak generasi X dan Y tak sabaran. Mereka bukan hanya
mendambakan perubahan, tetapi betul=betul ditabrak oleh perubahan yang sangat
cepat, sehingga kalua tidak ikut berubah, mereka akan digilas oleh perubahan
itu sendiri. Generasi X dan Y sangat lentur, cepat menyesuaikan diri, anti
kemapanan, siapa yang mau maju cepat akan berlari kencang, tidak peduli dengan
senioritas, kurang peduli pada system, prosedur, birokrasi, berganto ganti
pekerjaan tidak masalah selama pendapatannya meningkat terus. Mereka tak lagi
percaya pada satu sumber informasi karena bias mengakses informasi dari 1001
sumber hanya dengan memencet tombol-tombol telefon seluler dengan jari jempol.
Jaringan mereka terbangun melalui dunia maya, yang lebih impersonal dan jauh
dari primordialisme dan feodalisme (Kompas, 21 maret 2016). Mereka hidup di era
pasca ideologi, (Pramudito, dlm Kompas 8 Okt 2018)
[2]
Katanya kemiskinan berkurang
[3]
Menurut Iksan Modjo, ketimpangan terjadi sangat terkait dengan relasi
industrial yang tak adil, akses yang tak merata ke peluang kerja, dan layanan
public.
[4]
Diskursus tentang ketidak adilan ini sudah sering kita dengar. Bagaimana
korporasi/perusahaan yang menguasai sekian ha tanah, sementara beribu-ribu
rakyat tak memiliki tanah. Kisah-kisah ini masih berlangsung, dan belum ada
tanda-tanda akan teretas.
[5]
Kapitalisme menurut Bung Karno adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari
cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme
timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai
lebih tidak jatuh didalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan
kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital,
konsentrasi kapital, sentralisasi kapital dan industriel reserve-armee.
Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung (memelaratkan kaum buruh)
(Sukarno,1989, Indonesia Menggugat, hal 13-14)
[6]
Imperalisme adalah suatu nafsu, suatu system menguasai atau mempengaruhi
ekonomi bangsa lain atau negeri, - suatu system merajai atau mengendalikan
ekonomi atau negeri bangsa lain (idem hal14).
[7]
Setelah kemerdekaan pengertian ini ditambah dengan satu unsur lagi, yakni
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sering juga disebut dengan Trisila. Jika dipress lagi
ia menjadi hanya satu kata, yakni gotong royong. Menurut Bung Karno gotong
royong ialah pembantingan tulang Bersama, pemerasan keringat Bersama,
perjuangan bantu membantu Bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat
semua buat kebahagiaan semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar