Jumat, 31 Januari 2020

PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK



PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 30 Jan 2020
Keasyikan menimang-nimang balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa akan hakiki, untuk apa sesungguhnya  pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor tertentu. Titik ! (hanya dan hanya itu)
Sinyalemen demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur tertentu yang mendaftar ke segala partai, dan atau khususnya partai-partai politik yang melakukan koalisi (persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, dengan partai lain, secara permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya apa itu? Koalisi jadi-jadian? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?
Partai Kartel
Yang pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh suatu yang tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati dirinya.
 Ibarat air dan minyak, atau  kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting idola/jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
 Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada, koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.
Pamungkasnya adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat ini. Prabowo yang kalah dalam perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus yang belum pernah terjadi dinegara manapun.
Dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).
Dan Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya dalam sistim politik demokratis.
 Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan, hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai partai kartel.
Partai yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat dengan model yang populer dengan sebutan rent seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi (Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen, analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI, Century, kasus e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya yang sedang marak saat ini.  Meski pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan,  karena partai-partai yang (ditengarai) terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.  
Pilkada 2020; Pelembagaan Kartel Politik
Demikian pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform, dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Kasus APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus lem Aica Aibon 82 m di era Anis Baswedan. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?
Mungkin sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT KPK, adalah fakta-empirik bahwa pemerintahan daerah sudah terstruktur pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang terlembaga dalam pola demikian.   

2 komentar: