PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard
Hutapea
Staf pengajar
Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 30 Jan 2020
Keasyikan menimang-nimang balon kepala
daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa akan hakiki, untuk apa
sesungguhnya pilkada dilangsungkan.
Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan
substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor
tertentu. Titik ! (hanya dan hanya
itu)
Sinyalemen
demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur
tertentu yang mendaftar ke segala partai, dan atau khususnya partai-partai
politik yang melakukan koalisi
(persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang
dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin
berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak
belakang, dengan partai lain, secara
permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya
apa itu? Koalisi jadi-jadian?
Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?
Partai Kartel
Yang
pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak
lazim
(uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern.
Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan
partai kanan sungguh suatu yang tak
masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih
dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan
jati dirinya.
Ibarat air dan minyak, atau kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu
dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus
dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak
mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun
apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan
Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan
teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting idola/jagoan menang,
seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti
hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada,
koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih
menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan
partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya
dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana
beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun
setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi
seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat
jatah menteri di kabinet.
Pamungkasnya adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat
ini. Prabowo yang kalah dalam perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi
Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus yang belum pernah terjadi dinegara manapun.
Dengan kata lain tidak ada
lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi
melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif
(Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).
Dan Slater
(2006), seorang Indonesianist yang
meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala
demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya
partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya
dalam sistim politik demokratis.
Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan,
hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak
ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho
Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio
University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa
ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai “partai
kartel”.
Partai
yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk
menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan
sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para
elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka
berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat
dengan model yang populer dengan sebutan rent
seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan
Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang
melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak
dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi
(Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen,
analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI,
Century, kasus
e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya
yang sedang marak saat ini. Meski
pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public
opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan, karena partai-partai yang (ditengarai)
terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.
Pilkada 2020;
Pelembagaan
Kartel Politik
Demikian
pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati,
atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah
kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk
yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi
sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform,
dan program
kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk
kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun
metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah
cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD
direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal
motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen
ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir
per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas
peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan
kepentingan masyarakat.
Kasus
APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik
betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi
daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus
lem Aica Aibon 82 m di era Anis Baswedan. Kalau
di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?
Mungkin
sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik melihatya. Kunjungan,
atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa
lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT
KPK, adalah fakta-empirik
bahwa pemerintahan daerah sudah terstruktur
pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang
terlembaga dalam pola demikian.
Itu adalah kualisi yang tidak masuk akal (persatuan para pencuri pencuri uang pemerintah).
BalasHapusBETUL-PAS
BalasHapus