Rabu, 12 Februari 2020

PILKADA 2020, MELESATNYA ANOMALI DEMOKRASI



PILKADA 2020; MELESATNYA ANOMALI DEMOKRASI
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 12 februari 2020
Tragis, namun itulah realitanya, yakni realita demokrasi yang sedang disfungsional dan sekarat, namun entah mengapa masih banyak penganut dan pengagumnya
September 2020 ini, kita kembali mementaskan pilkada serentak untuk ke empat kalinya (setelah 2015, 2017, dan 2018). Perhelatan yang diharapkan akan membuat kehidupan politik lokal semakin dinamis, yakni untuk mendapatkan pemimpin yang terbaik melalui pemilihan langsung. Pemimpin yang diimpikan sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakatnya, sebagaimana tujuan negara ini didirikan, yakni melindungi setiap warga negara, mewujudkan kesejahteraan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (alinea ke empat pembukaan UUD 1945).
Para pemimpin lokal demikian diharapkan akan mewujudkan tujuan tersebut dalam visi, misi, dan program, sebagai penjabaran ideologisnya, melalui sistim pemilihan demokratis. Akankah semakin terealisir, atau justru sebaliknya semakin jauh?
Demokrasi Disfungsional
Sebagaimana setting socio-cultural atau fakta-empiriknya, demokrasi bukanlah konsep yang digali dari bumi nusantara, melainkan diadopsi dari luar, yakni dari Barat, dan atau khususnya dari Amerika Serikat (AS). Konsep yang ditempat asalnya sendiri pun sesungguhnya sudah lama diragukan, dipertanyakan, bahkan dihujat, karena tujuan yang diharapkan dari pola tersebut tak kunjung-kunjung tiba. Kesetaraan, Kesejahteraan dan keadilan yang merupakan substansi atau tema sentral demokrasi nyaris belum/tak pernah tampil kepermukaan.
Yang mencuat sebagaimana realitasnya hanyalah segelintir elit yang berkuasa bak raja-raja dan memonopoli kesejahteraan. Rakyat kebanyakan, sebagaimana era-era sebelumnya, yakni era primitif/pra negara, era patrimonial, era kolonial, permanen hanya jadi pelengkap penderita nan marjinal, atau penonton yang mulutnya mangap-mangap dan matanya berputar-putar karena tontonan yang menjenuhkan ( jenuh dengan janji demokrasi).
Tragedi yang sesungguhnya sudah lama berlangsung, yakni sejak konsep itu lahir/tampil melalui revolusi Perancis. Revolusi yang bersemboyan “kebebasan (liberte), kesetaraan (egalite), dan persaudaraan (fraternite), faktanya hanya dinikmati para borjuis (pemilik modal) dan kroni-kroninya. Rakyat kebanyakan tetap terbelenggu dengan fitrah sebelumnya, yakni berkubang dalam kemiskinan dan ketidak adilan.
Sinyalemen yang lebih dari cukup sudah banyak ditulis para ahli atau sejarawan politik. Artinya tidak ada yang istimewa dari narasi ini. Namun akan menarik kalau adagium tersebut kembali ditulis oleh sosok-sosok yang berasal dari negara yang sering disebut kampium demokrasi (AS), namun menghujat sistim demokrasi tersebut.
Sosok ini antara lain adalah David Mathews (2018), mantan Presiden Alabama, University, yang melihat demokrasi dinegerinya sedang terkapar. Beliau (Mathews) mengutarakan ada tujuh problem sistemik pemerintahan AS yang sudah tidak sesuai dan bertolak belakang dengan sistim demokratis saat ini.
Ketujuh problem tersebut adalah; pertama; warga yang sangat kurang berpartisipasi dalam proses pemerintahan, kedua; politik yang mengemuka di masyarakat adalah politik pembelahan warga, ketiga;  keterlibatan masyarakat dalam politik cenderung negatif, keempat; tidak punya sumber daya yang dibutuhkan, kelima: aksi-aksi masyarakat yang tidak terfocus, keenam; pemerintah yang tidak merespons situasi yang berubah, dan terakhir/ke tujuh; melesatnya saling tidak percaya antara masyarakat dan pemerintah.
Situasi yang dibenarkan oleh pakar lainnya, yakni Rasmussen (dalam Mathews). Rasmussen  yang melakukan survey pada tahun 2011 memperkuat pendapat Mathews demikian. Menurutnya, mayoritas (lebih dari separoh) pemilih Amerika merasakan bahwa era kejayaan/terbaik mereka sudah lewat pada waktu-waktu lalu (hanya 17 persen yang yakin bahwa negaranya masih jalan di arah yang tepat).
Masyarakat/orang-orang Amerika telah pesimis. Kepercayaan pada pemerintah mengalami fluktuatif/turun-naik yang hebat, dimana dalam 40 tahun terakhir kepercayaan itu sungguh sangat rendah. Tidak hanya kepada pemerintahnya publik kehilangan kepercayaan, namun juga ke lembaga-lembaga penting, seperti sekolah hingga media.
Masyarakat AS pada umumnya menuding bahwa lembaga-lembaga tersebut telah kehilangan martabat (legitimasi). Miris/kacau/kiamatnya lagi adalah bahwa pejabat-pejabat disana pun tidak yakin dengan rakyatnya. Kedua pihak terjerembab saling tidak percaya. Mereka saling curiga-mencurigai yang akhirnya bermuara kepada konflik antara pemerintah dan yang diperintah.
Distorsi yang terus meningkat significan dalam dasawarsa terakhir. Bank-bank mengalami kemerosotan ketidakpercayaan sebesar 24 persen antara tahun 2002 sampai 2011. Kepercayaan kepada lembaga kepresidenan merosot 23 persen. Tidak hanya disitu, kepercayaan kepada Mahkamah Agung pun jatuh sampai 13 persen.
Salah satu dalih mengapa kemerosotan itu terjadi (menurut laporan National Journal) adalah karena ketidakmampuan lembaga-lembaga itu merespons keprihatinan publik. Lembaga-lembaga tersebut selain terbelenggu korup dan rusak, namun yang juga sangat memprihatinkan adalah melesatnya euphemism, verbalism, hingga retorika yang doyan dilakukan para pejabat dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakatnya, yakni selalu menyederhanakan atau menggampangkan masalah. Singkatnya lembaga-lembaga yang dulu pernah menjadi kebanggan, tidak lagi memadai dalam abad ke 21 ini.
Dalam artian lain, lembaga-lembaga tersebut telah gagal merespons keterpurukan  warga akan perubahan-perubahan cepat yang terjadi dalam ekonomi, teknologi, dan demografi. Disisi lain warga pun berada dalam keadaan lemah sehingga tidak dapat mengawasi lembaga-lembaga yang afkir itu. Persis seperti yang diungkapkan Fareed Zakaria: …begitu memasuki abad ke-21, AS sama sekali bukan negara yang hanya fundamental ekonominya lemah, atau masyarakatnya dekaden. Melainkan (negeri ini ) sedang bergerak cepat ke arah sistem politik yang disfungsional.
Anomali Demokrasi
Tragis, namun itulah realitanya, yakni realita demokrasi yang sedang disfungsional dan sekarat, namun entah mengapa masih banyak penganut dan pengagumnya. Salah satunya adalah Indonesia. Dengan dalih mengenyahkan otoritarianisme Soeharto, era reformasi telah merombak sistim politik negeri ini super liberal.
Lebih liberal dari AS yang dikenal sebagai kampiumnya demokrasi liberal. Betapa tidak? Di negeri paman sam yang tingkat kesejahteraan, sistim sosial, dan literasinya lebih maju dari negeri ini, pemilihan presidennya belum menerapkan sistim pemilihan langsung. melainkan via electorat vote. Sebaliknya Indonesia yang tingkat kesejahteraannya rendah, ketimpangan sosialnya tinggi, tingkat literasinya masih rendah, nekad-nekadnya menempuh pemilihan langsung.
Tidak hanya dalam pemilihan presiden. Dalam pemilihan kepala daerahnya pun, negeri ini telah menerapkan pemilihan langsung, yang di AS sekalipun masih melalui tiga tahap, yakni a, dipilih secara langsung (strong mayor), b, dipilih melalui dewan (strong council), dan c, ditunjuk/diangkat (city manager) (Djohermansyah Djohan, K,28 Jan 2020). Sungguh jumbo liberal.
Bagaimana bisa seliberal itu? Narasinya cukup panjang, dan tak mungkin terjawab dalam tulisan singkat ini. Yang pasti sistim itu sudah diterapkan sejak tahun 2005, dan agar lebih efisien (katanya), sejak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 pelaksanaannya dilakukan secara serentak.
Hasilnya pun sudah sama-sama kita ketahui, yakni jauh panggang dari api. Substansi demokrasi yang diimpikan seperti kesejahteraan dan keadilan semakin lama, semakin serentak, semakin tak kelihatan. Malah sebaliknya yang tampil yakni melesatnya anomali, seperti maraknya dinasti politik, menguatnya oligarchi partai, kentalnya politik SARA, dan meningkatnya politik transaksional, yang bertolak belakang dengan nilai-nilai demokrasi. Sungguh ironis. Masihkah terus dipertahankan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar