Sabtu, 28 Maret 2020

HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA



HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Maret 2010

Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan derah

Bila ingin mengetahui, memahami, atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman, dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif, biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat, ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard) menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana  yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah publik,  sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena takut terjangkit.
Ekses Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana mestinya.
Mereka (pemda-pemda tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH tersebut) masih wait and see, meski pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang menghambat?
Jawabannya tidak sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat (konstituen)
Dengan kata lain tidak ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif, legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional.  Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam), yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin Tak Harmonis
Otonomi yang selain melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak (pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya” paling benar
Sebagai implementasinya tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual. Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat, urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau faktanya.
Hubungan yang tidak efektif, yang tidak harmonis, yang tidak sehat, yang kita saksikan saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya  dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses, yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki good and political will untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar