HUBUNGAN
PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 28 Maret 2010
Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat
penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat,
bukan derah
Bila ingin mengetahui, memahami,
atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap
persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman,
dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang
menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada
tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan
karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap
menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif,
biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih
nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari
KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat,
ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat
percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara
atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard)
menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian
informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang
komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah
publik, sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto
ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan
opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika
memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI
asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat
setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena
takut terjangkit.
Ekses
Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan
demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki
pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang
seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana
mestinya.
Mereka (pemda-pemda
tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus
lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan,
Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya
masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam
pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah
serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH
tersebut) masih wait and see, meski
pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan
seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas
sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang
menghambat?
Jawabannya tidak sederhana,
tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut
atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi
daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni;
pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan
peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah
dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak
daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri
tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih
luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan
terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat
daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan
pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur
secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat
dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau
kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa
mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya
elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola
kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak
sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU
Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat
(konstituen)
Dengan kata lain tidak
ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung
demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah
bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong
dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya
mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif,
legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional. Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam),
yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata
pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin
Tak Harmonis
Otonomi yang selain
melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama
semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak
(pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya”
paling benar
Sebagai implementasinya
tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual.
Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat,
urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola
Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau
faktanya.
Hubungan yang tidak
efektif, yang tidak harmonis, yang tidak sehat, yang kita saksikan saat-saat
penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat
tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat,
bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles
bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang
keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang
tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses,
yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
memiliki good and political will
untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar