BAHAN DISKUSI (on line) GMNI UMSU,
17 APRIL 2020, jam 20.30 sd 22.00
MEMPERKUAT
NEGARA DI ERA CORONA;
ANTITESE
NEO-LIBERALISME
Oleh:
Reinhard Hutapea
Wabah-pandemi corona
(Covid-19) telah merubah wajah dunia dengan significan. Suasana yang sebelumnya
hingar bingar dengan segala aktifitasnya, kini hening bak kota mati, karena
mayoritas ummat manusia memilih tinggal di rumah. Mereka dipaksa, dan terpaksa
melakukan hal yang menjenuhkan, kalau ingin dirinya selamat.
Sebaliknya dalam dunia
komunikasi penuh dengan hingar bingar. Nyaris tak ada satu pun warga yang tidak
membicarakan dan mewaspadainya. Tiap saat-tiap detik seluruh penghuni dunia bergunjing
dengan kencang, keras, hingga menjenuhkan, sebab penuh dengan kegamangan.
Begitu pula dalam konteks
yang lebih besar, seperti, lembaga-lembaga masyarakat, lembaga-lembaga ekonomi,
dan atau khususnya lembaga negara (negara-negara), tak satupun yang tidak mempersoalkan
karena kocar-kacir/kalang kabut dibuatnya.
Seluruh media, apakah itu
media mainstream, yang berupa cetak,
atau audio visual terlebih-lebih media sosial, telah mem blow up atau mentrompet bagdadkan ke kocar-kacir/kalang kabutan
tersebut dengan anthusias dan dramatis. Nyaris tiada berita dunia, selain
informasi keganasan, kesadisan, hingga ke sakratulan maut si Covid-19.
Berita-berita demikian,
karena terus menerus dipompakan, sesuai dengan hukum atau tradisi komunikasi
(apalagi propaganda), akan membuat mayoritas para pendengar, pemirsa , dan
audiencenya terjerembab dalam apa yang disebut panik.
Ekonomi
zero sum game
Panik menjadi interaksi
sosial dan tata dunia baru, menggantikan tata sebelumnya. Tata yang (sebelumnya)
di warnai (antara lain) konflik sosial, balance
of power antara beberapa kekuatan, konflik nuklir antara Amerika Serikat (AS) dengan Korea Utara, antara AS dengan Iran, resesi
yang fenomenologis di Eropa, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, dan atau
khususnya perang dagang antara Amerika
Serikat (AS) dengan Republik Rakyat
China (RRC), yang menarik dunia ke perlambatan ekonomi, bahkan resesi, kini
menjadi kerajaan Covid-19. Mahluk
misterius, yang tak terlihat, bak setan di siang bolong, yang menghantui seluruh
negara.
Menghantui/masuk ke
seluruh penjurut, baik yang terlihat maupun tak terlihat sebagaimana wujudnya
yang memang tak terlihat oleh panca indera biasa. Tidak heran, jika akhirnya
semua ummat manusia penasaran ingin mengetahuinya lebih jauh. Ingin mengetahui yang
tak jarang sesungguhnya jauh di luar kemampuannya, namun dipaksakan untuk tahu.
Muaranya tampillah
tahu-tahuan (bukan tahu-tempe yang di jual di pasar asal Sumedang itu).
Melainkan, seluruh kalangan, tak peduli asal dan stratanya keranjingan membahas
Covid-19. Dari mulai warung kopi di pinggir
jalan, hingga hotel berbintang lima, tanpa kecuali, semua menggunjingkannya.
Mungkin suasana
demikianlah mendorong, Dahlan Iskan dalam kolomnya 8 april yang lalu menengarai
bahwa semua orang sudah jadi pakar. Tak ada lagi yang tidak pakar. Yang tidak
pakar sekalipun, karena kelatahan mengulas-ulas, mengutak-atik, meski tanpa
data yang valid and reliable menjadi serba
tahu, menjadi pakar, alias pakar dadakan.
Sebaliknya yang pakar
benaran, karena disiplin, ruang lingkup, dan scope kepakarannya yang terbatas, yang tak mungkin mengomentari
hal-hal di luar keahliannya, atau mungkin juga karena tidak pintar main drama,
seperti demagog-demagog yang fenomenologis tadi, malah menjadi insan terpinggirkan.
Dalam arti lain, kerapkali bukan pendapatnya yang dituruti, melainkan pendapat
para demagog tersebut. Sungguh suatu dunia yang terbalik-balik.
Dunia yang sementara
waktu terpaksa harus kita nikmati, sebelum kerjasama dunia berhasil memulihkannya
(entah kapan).
Akan tetapi di atas itu
semua, satu hal yang harus diingat adalah bahwa dibalik suatu krisis selalu ada
hikmah, atau peluang. Peluang ini adalah kembalinya negara ke posisinya semula,
yakni menjadi aktor utama kehidupan warga negaranya. Tidak lagi sebagaimana
yang berlangsung selama ini, dimana pasar yang mendominasi (capitalism and neo liberalism).
Terlepas dari banyak
kelemahannya, yang berperan utama dalam penanganan Covid-19 adalah negara (state), yakni para pemerintahnya. Di negara
manapun yang terdampak dengan prahara demikian, yang berperan utama
menanggulanginya adalah pemerintahnya.
Pemerintah dalam arti
“Birokrasi, Administrasi, atau Lembaga-Lembaganya”. Bukan institusi di luar itu
, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Non Government Organizatin (NGO),
atau yang sering dibangga-banggakan para pemuja pasar, yakni dunia usaha (korporasi/swasta/enterprices).
Praktis lembaga-lembaga pemerintah ini, yang paling berperan.
Tidak hanya pada urusan medis
atau bantuan-bantuan kemasyarakatannya, negara berperan, (yang menurut pendapat
umum mungkin memang sudah tugasnya), melainkan jauh menyeruak di luar dimensi
itu, yakni (seperti) penyediaan pendanaan-stimulus perekonomian misalnya,
nyaris hampir semua ditalangi negara.
Kita belum melihat atau mendengar
bahwa ada pengusaha atau gabungan pengusaha yang significan menalangi (gotong
royong). Tidakkah selama ini mereka banyak diuntungkan negara sehingga
perusahaannya menjadi super raksasa yang melanglang buana? Tidakkah para pengusaha-pengusah
itu sering kekayaannya lebih besar dari satu negara, bahkan gabungan beberapa
negara?
Tidakkah selama empat
dekade mereka selalu teriak kencang-kencang, sampai memekakkan telinga bahwa
pasar harus diberi kebebasan sebebas-bebasnya, agar kesejahteraan lokal,
nasional, dan global tercapai sebagaimana pesan konsensus Washington, yang dimotori Reagan
dan Thatcher awal 80-an (Stiglitz, 2005)?
Sekarang kemana
aktor-aktor pasar itu ketika Covid-19
pandemik? Masihkah tak henti-henti meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan
metode zero sum gamenya yang primitive itu? Sekian pertanyaan masih dapat dijajarkan
sekian panjang lagi. Namun untuk tulisan ini dianggap sudah memadai, yakni
bahwa pasar (korporasi) tidak kelihatan batang hidungnya dalam penuntasan
wabah.
Memperkuat
Negara
Yang berperan sebagaimana
dikatakan di atas masih/tetap negara. AS yang pendekar liberal-kapitalisme
sekalipun, faktanya masih mengandalkan negara (bukan swasta/korporasi) dalam
hal seluruh pembiayaannya.
Administrasi, Birokrasi,
atau Pemerintahan Washington telah
menggelontorkan dana stimulus sebesar $ 2 T , yang kalau dirupiahkan sekitar Rp
32.000. Uangnya diambil dari penerbitan Bond,
yang selanjutnya di beli The Fed
(bank sentral Amerika). Secara tak langsung kebijakan ini menambah uang
beredar.
Negara-negara lain tak
ketinggalan, juga melakukan hal yang sama. Skemanya mirip dengan AS, yakni
pemerintah menerbitkan Bond, yang di
beli Bank Sentral sendiri. China
mengeluarkan stimulus $ 370 milyar (sama dengan dua kali APBN Indonesia). India $ 120 milyar, Jepang $ 47 milyar. Tidak ketinggalan Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan lain-lain. Eropa malah lebih besar, mengeluarkan Bond super jumbo. Bandingkan dengan
Indonesia yang mengelurakan stimulus sebesar $ 30 milyar, atau Rp 405 triliun.
Konstalasi yang memaksa
pemerintah (negara) meningkatkan uang beredar di pasar agar masyarakat (publik)
tergantung semakin tinggi terhadap negara. Tidak lagi seperti selama ini, yakni
bergantung kepada swasta. Era swasta, yang mendewa-dewakan pasar telah jatuh
tersungkur, ketika Covid-19 memaksa orang tinggal di rumah. Tidak ada lagi
permintaan, tidak ada lagi produksi. Semua bursa jatuh. Tidak ada lagi hukum
permintaan-penawaran yang dibanggakan itu. Semua jadi omong kosong. Bravo
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar