Kamis, 16 April 2020

BAHAN DISKUSI GMNI UMSU, 17 april 2020 (on line)



BAHAN DISKUSI (on line) GMNI UMSU,
 17 APRIL 2020, jam 20.30 sd 22.00

MEMPERKUAT NEGARA DI ERA CORONA;
ANTITESE NEO-LIBERALISME
Oleh: Reinhard Hutapea
Wabah-pandemi corona (Covid-19) telah merubah wajah dunia dengan significan. Suasana yang sebelumnya hingar bingar dengan segala aktifitasnya, kini hening bak kota mati, karena mayoritas ummat manusia memilih tinggal di rumah. Mereka dipaksa, dan terpaksa melakukan hal yang menjenuhkan, kalau ingin dirinya selamat.
Sebaliknya dalam dunia komunikasi penuh dengan hingar bingar.  Nyaris tak ada satu pun warga yang tidak membicarakan dan mewaspadainya. Tiap saat-tiap detik seluruh penghuni dunia bergunjing dengan kencang, keras, hingga menjenuhkan, sebab penuh dengan kegamangan.
Begitu pula dalam konteks yang lebih besar, seperti, lembaga-lembaga masyarakat, lembaga-lembaga ekonomi, dan atau khususnya lembaga negara (negara-negara), tak satupun yang tidak mempersoalkan karena kocar-kacir/kalang kabut dibuatnya.
Seluruh media, apakah itu media mainstream, yang berupa cetak, atau audio visual terlebih-lebih media sosial, telah mem blow up atau mentrompet bagdadkan ke kocar-kacir/kalang kabutan tersebut dengan anthusias dan dramatis. Nyaris tiada berita dunia, selain informasi keganasan, kesadisan, hingga ke sakratulan maut si Covid-19.
Berita-berita demikian, karena terus menerus dipompakan, sesuai dengan hukum atau tradisi komunikasi (apalagi propaganda), akan membuat mayoritas para pendengar, pemirsa , dan audiencenya terjerembab dalam apa yang disebut panik.
Ekonomi zero sum game
Panik menjadi interaksi sosial dan tata dunia baru, menggantikan tata sebelumnya. Tata yang (sebelumnya) di warnai (antara lain) konflik sosial, balance of power antara beberapa kekuatan, konflik nuklir antara Amerika Serikat (AS) dengan Korea Utara, antara AS dengan Iran, resesi yang fenomenologis di Eropa, pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, dan atau khususnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Republik Rakyat China (RRC), yang menarik dunia ke perlambatan ekonomi, bahkan resesi, kini menjadi kerajaan Covid-19. Mahluk misterius, yang tak terlihat, bak setan di siang bolong, yang menghantui seluruh negara.
Menghantui/masuk ke seluruh penjurut, baik yang terlihat maupun tak terlihat sebagaimana wujudnya yang memang tak terlihat oleh panca indera biasa. Tidak heran, jika akhirnya semua ummat manusia penasaran ingin mengetahuinya lebih jauh. Ingin mengetahui yang tak jarang sesungguhnya jauh di luar kemampuannya, namun dipaksakan untuk tahu.
Muaranya tampillah tahu-tahuan (bukan tahu-tempe yang di jual di pasar asal Sumedang itu). Melainkan, seluruh kalangan, tak peduli asal dan stratanya keranjingan membahas Covid-19. Dari mulai warung kopi di pinggir jalan, hingga hotel berbintang lima, tanpa kecuali, semua menggunjingkannya.
Mungkin suasana demikianlah mendorong, Dahlan Iskan dalam kolomnya 8 april yang lalu menengarai bahwa semua orang sudah jadi pakar. Tak ada lagi yang tidak pakar. Yang tidak pakar sekalipun, karena kelatahan mengulas-ulas, mengutak-atik, meski tanpa data yang valid and reliable menjadi serba tahu, menjadi pakar, alias pakar dadakan.
Sebaliknya yang pakar benaran, karena disiplin, ruang lingkup, dan scope kepakarannya yang terbatas, yang tak mungkin mengomentari hal-hal di luar keahliannya, atau mungkin juga karena tidak pintar main drama, seperti demagog-demagog yang fenomenologis tadi, malah menjadi insan terpinggirkan. Dalam arti lain, kerapkali bukan pendapatnya yang dituruti, melainkan pendapat para demagog tersebut. Sungguh suatu dunia yang terbalik-balik.
Dunia yang sementara waktu terpaksa harus kita nikmati, sebelum kerjasama dunia berhasil memulihkannya (entah kapan).
Akan tetapi di atas itu semua, satu hal yang harus diingat adalah bahwa dibalik suatu krisis selalu ada hikmah, atau peluang. Peluang ini adalah kembalinya negara ke posisinya semula, yakni menjadi aktor utama kehidupan warga negaranya. Tidak lagi sebagaimana yang berlangsung selama ini, dimana pasar yang mendominasi (capitalism and neo liberalism).
Terlepas dari banyak kelemahannya, yang berperan utama dalam penanganan Covid-19 adalah negara (state), yakni para pemerintahnya. Di negara manapun yang terdampak dengan prahara demikian, yang berperan utama menanggulanginya adalah pemerintahnya.
Pemerintah dalam arti “Birokrasi, Administrasi, atau Lembaga-Lembaganya”. Bukan institusi di luar itu , seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Non Government Organizatin (NGO), atau yang sering dibangga-banggakan para pemuja pasar, yakni dunia usaha (korporasi/swasta/enterprices). Praktis lembaga-lembaga pemerintah ini, yang paling berperan.
Tidak hanya pada urusan medis atau bantuan-bantuan kemasyarakatannya, negara berperan, (yang menurut pendapat umum mungkin memang sudah tugasnya), melainkan jauh menyeruak di luar dimensi itu, yakni (seperti) penyediaan pendanaan-stimulus perekonomian misalnya, nyaris hampir semua ditalangi negara.
Kita belum melihat atau mendengar bahwa ada pengusaha atau gabungan pengusaha yang significan menalangi (gotong royong). Tidakkah selama ini mereka banyak diuntungkan negara sehingga perusahaannya menjadi super raksasa yang melanglang buana? Tidakkah para pengusaha-pengusah itu sering kekayaannya lebih besar dari satu negara, bahkan gabungan beberapa negara?
Tidakkah selama empat dekade mereka selalu teriak kencang-kencang, sampai memekakkan telinga bahwa pasar harus diberi kebebasan sebebas-bebasnya, agar kesejahteraan lokal, nasional, dan global tercapai sebagaimana pesan konsensus Washington, yang dimotori Reagan dan Thatcher awal 80-an (Stiglitz, 2005)?
Sekarang kemana aktor-aktor pasar itu ketika Covid-19 pandemik? Masihkah tak henti-henti meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan metode zero sum gamenya yang primitive itu? Sekian pertanyaan masih dapat dijajarkan sekian panjang lagi. Namun untuk tulisan ini dianggap sudah memadai, yakni bahwa pasar (korporasi) tidak kelihatan batang hidungnya dalam penuntasan wabah.
Memperkuat Negara
Yang berperan sebagaimana dikatakan di atas masih/tetap negara. AS yang pendekar liberal-kapitalisme sekalipun, faktanya masih mengandalkan negara (bukan swasta/korporasi) dalam hal seluruh pembiayaannya.
Administrasi, Birokrasi, atau Pemerintahan Washington telah menggelontorkan dana stimulus sebesar $ 2 T , yang kalau dirupiahkan sekitar Rp 32.000. Uangnya diambil dari penerbitan Bond, yang selanjutnya di beli The Fed (bank sentral Amerika). Secara tak langsung kebijakan ini menambah uang beredar.
Negara-negara lain tak ketinggalan, juga melakukan hal yang sama. Skemanya mirip dengan AS, yakni pemerintah menerbitkan Bond, yang di beli Bank Sentral sendiri. China mengeluarkan stimulus $ 370 milyar (sama dengan dua kali APBN Indonesia). India $ 120 milyar, Jepang $ 47 milyar. Tidak ketinggalan Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan lain-lain. Eropa malah lebih besar, mengeluarkan Bond super jumbo. Bandingkan dengan Indonesia yang mengelurakan stimulus sebesar $ 30 milyar, atau Rp 405 triliun.
Konstalasi yang memaksa pemerintah (negara) meningkatkan uang beredar di pasar agar masyarakat (publik) tergantung semakin tinggi terhadap negara. Tidak lagi seperti selama ini, yakni bergantung kepada swasta. Era swasta, yang mendewa-dewakan pasar telah jatuh tersungkur, ketika Covid-19 memaksa orang tinggal di rumah. Tidak ada lagi permintaan, tidak ada lagi produksi. Semua bursa jatuh. Tidak ada lagi hukum permintaan-penawaran yang dibanggakan itu. Semua jadi omong kosong. Bravo negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar