Minggu, 12 April 2020

MK IV, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK IV, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH IV
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
13 APRIL 2020, JAM 08.30-10.30
KEWENANGAN
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
Kewenangan dalam terminologi politik di kenal dengan sebutan “kekuasaan” atau “otoritas”. Tema sentral dalam setiap pemerintahan. Tema, yang kalau di pertanyakan apa arti atau definisinya tidak akan pernah ketemu. Secara umum sering dikatakan, kekuasaan itu adalah kemampuan untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan atau kemampuan untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela (April Carter, 1979).
Dengan bahasa yang lain, namun dalam substansi yang sama dikemukakan Robert Bierstedt dalam bukunya Analysis of Social Power yang mengatakan kewenangan itu adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Harold Laswell dan Abraham Kaplan menyebutnya kekuasaan formal.
Dianggap bahwa yang mempunyai wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah untuk mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan (Miriam Budiardjo,2008:64).
Dalam sistim pemerintahan/politik Indonesia, wewenang ini telah di atur dalam UUD 1945, yakni dalam Pasal 18, khususnya pasal 18 A, sebagai kerangka filosofis-strategisnya (Prof Irfan Ridwan Maksum, Kompas, 15 Januari 2020), dan dalam Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 tentang “Pemerintahan Daerah”.
Untuk lebih jelasnya pasal-pasal demikian akan kita deskripsikan/kutif di bawah ini;
Pasal 18 A UUD 1945 berbunyi:
Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten/kota, di atur dengan UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Catatan/keterangan; pasal ini menurut Prof Irfan Ridwan Maksum adalah kerangka filosofis-strategis, yang masih normatif/kualitatif. Untuk lebih operasional, sebagaimana di tulis dalam pasal 18 A itu, harus diwujudkan dalam Undang-Undang (UU).
Undang-Undang (UU) demikian adalah UU No 23 Tahun 2014, yakni UU tentang Pemerintahan Daerah. dalam UU ini kewenangan Pemerintah, baik pusat maupun Daerah telah di atur dalam pasal 9 sampai pasal 14.
Pasal 9  Klasifikasi Urusan Pemerintahan
1.      Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
2.      Urusan Pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
3.      Urusan Pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
4.      Urusan Pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
5.      Urusan Pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pasal 10  Urusan Pemerintahan Absolut
1.Urusan Pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) mencakup
a)      Politik luar negeri
b)      Pertahanan
c)      Keamanan
d)      Yustisi
e)      Moneter dan fiscal nasional
f)       Agama
2.Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat;
a)      Melaksanakan sendiri, atau
b)      Melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan azas Dekonsentrasi
Pasal 11  Urusan Pemerintahan Konkuren
1.      Urusan Pemerintahan konkuren debagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
2.      Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
3.      Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal 12  lanjutan pasal 11
(1)   Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi;
a.       Pendidikan
b.      Kesehatan
c.       Pekerjaan umum dan penataan ruang
d.      Perumahan rakyat dan Kawasan pemukiman
e.       Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat
f.        sosial
(2)   Urusan Pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi;
a.       Tenaga kerja
b.      Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
c.       Pangan
d.      Pertanahan
e.       Lingkungan hidup
f.        Administrasi kependudukan dan pencataan sipil
g.      Pemberdayaan masyarakat dan desa
h.      Pengendalian penduduk dan Keluarga berencana
i.        Perhubungan
j.        Komunikasi dan informatika
k.      Koperasi, usaha kecil, dan menengah
l.        Penanaman modal
m.    Kepemudaan dan olahraga
n.      Statistic
o.      Persandian
p.      Kebudayaan
q.      Perpustakaan, dan
r.        kearsipan
(3)   Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) meliputi;
a.       Kelautan dan perikanan
b.      Pariwisata
c.       Pertanian
d.      Kehutanan
e.       Energi dan sumber daya mineral
f.        Perdagangan
g.      Perindustrian, dan
h.      transmigrasi
Pasal 13 → lanjutan pasal 12
(1)   Pembagian Urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional.
(2)   Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah;
a.       Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara.
b.      Urusan Pemerintahan yang penggunanya
(3)   Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah;
a.       Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabuapten/kota
b.      Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota
c.       Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampaknya lintas Daerah kabupaten/kota, dan atau
d.      Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan daerah provinsi
(4)   Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah;
a.       Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota
b.      Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota
c.       Uusan Pemerintahan yang manfaat atau dampaknya hanya di Daerah kabupaten/kota.
d.      Urusan Pemerintahan yang pengguna sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.
Pasal 14…..
Cat: Pasal 14 ini baca sendiri di UU No 23 Tahun 2014.
∏∏
UU No 23 Tahun 2014 adalah pengganti UU N0 32 Tahun 2004. Sebelum UU No 32 Tahun 2004, yang berlaku adalah UU No  Tahun 1999. Artinya sejak reformasi, sudah ada tiga UU tentang Pemerintah Daerah/Otonomi Daerah. Akan tetapi melihat kenyataan atau empiriknya, tujuan UU tersebut masih jauh dari harapan. Sinyalemen ini dapat dibaca dari pendapat Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, dan mantan Dirjen Otonomi Daerah, Kemendagri (2010-2014) di harian Kompas, 28 Januari 2020.
Lampiran I
Langkah Otonomi Daerah 2020
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 telah berusia lima tahun.
Undang-Undang ini telah pula direvisi sebanyak dua kali, yaitu dengan Perppu No 2 Tahun 2014 menyangkut tugas dan wewenang DPRD, dan dengan UU No 9 Tahun 2015 terkait tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah. sejak era Reformasi digulirkan di Indonesia tahun 1999 hingga saat ini, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, lebih-lebih otonomi khusus, masih mencari format yang tepat bagi penyelenggaraan pemda yang efektif.
Realitas menunjukkan banyak pemda tak punya kapasitas dalam mengurus urusan rumah tangganya, terutama kapasitas kepemimpinan. Di lain pihak, pemerintah pusat lemah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan. Akibatnya, dalam banyak kasus, terjadi apa yang disebut otonomi daerah kebablasan alias lepas kendali, seperti ditandai tingginya tingkat korupsi kepala daerah, terbitnya ribuan perda bermasalah, dan buruknya pelayanan public.
Di negara kesatuan, sumber kewenangan pemda berasal dari pemerintah pusat. Biasanya distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah terbatas (weak autonomy), bukan super luas (strong autonomy) sebagaimana praktik desentralisasi di negara federal. Desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI pada era Reformasi ini terasa ala “negara federal” karena kewenangan yang di transfer ke daerah-daerah besar, luas, dan banyak.
Logikanya, dengan kewenangan seperti itu, pemda mampu men deliver pelayanan public yang baik kepada warganya, apalagi kepala daerahnya sudah dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, masij “jauh panggang dari apai” persis seperti studi Rod Hague & Martin Harrop (2007:294) yang menemukan kelemahan pemda, yaitu they are often too small to deliver efficiently, lack financialautonomy, and dominated by traditional elites. Pahit nasib pemda, sudah tidak deliver dan gagal mengelola keuangan daerah, pemdanya dibajak pula oleh elit local. Bagaimanakah sebaiknya langkah otonomi daeah kita pada tahun 2020?
Paling tidak ada tiga isu besar dalam perjalanan otonomi daerah kita hari ini. Pertama, isu pilkada langsung. Hiruk pikuk pilkada langsung yang di gelar sejak 1 Juni 2005, 2017, dan 2018 serta September 2020 ini diwarnai maraknya politik uang, politik dinasti, pevah kongsi kepala daerah dengan wakilnya, hingga operasi tangkap tangan kepala daerah oleh KPK…dstnya.
Meski tidak persis sama , namun substansi yang sama, Reinhard Hutapea juga melihat kelemahan “hubungan kewenangan” antara pusat dan daerah. lebih jelasnya baca artikel di bawah ini;
Lampiran II
HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Maret 2010

Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan derah

Bila ingin mengetahui, memahami, atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman, dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif, biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat, ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard) menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana  yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah publik,  sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena takut terjangkit.
Ekses Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana mestinya.
Mereka (pemda-pemda tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH tersebut) masih wait and see, meski pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang menghambat?
Jawabannya tidak sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat (konstituen)
Dengan kata lain tidak ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif, legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional.  Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam), yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin Tak Harmonis
Otonomi yang selain melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak (pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya” paling benar
Sebagai implementasinya tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual. Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat, urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau faktanya.
Hubungan yang tidak efektif, yang tidak harmonis, yang tidak sehat, yang kita saksikan saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya  dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses, yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki good and political will untuk itu.
PERTANYAAN
1.      Rumuskan dalam bentuk pertanyaan, hal-hal apa yang tidak saudara pahami dari masalah kewenangan ini.
2.      Uraikan secara ringkas apa yang di tulis Djohermansyah Djohan.
3.      Apa kelemahan otonomi daerah menurut Siti Zuhro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar