MK
IV, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH
IV
JURUSAN
PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
13
APRIL 2020, JAM 08.30-10.30
∏
KEWENANGAN
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN
DAERAH
Kewenangan
dalam terminologi politik di kenal dengan sebutan “kekuasaan” atau “otoritas”.
Tema sentral dalam setiap pemerintahan. Tema, yang kalau di pertanyakan apa arti
atau definisinya tidak akan pernah ketemu. Secara umum sering dikatakan,
kekuasaan itu adalah kemampuan untuk memerintah dan memaksakan kepatuhan atau
kemampuan untuk menghasilkan kesetiaan yang bersifat sukarela (April Carter, 1979).
Dengan
bahasa yang lain, namun dalam substansi yang sama dikemukakan Robert Bierstedt dalam bukunya Analysis of Social Power yang mengatakan
kewenangan itu adalah kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power). Harold
Laswell dan Abraham Kaplan menyebutnya kekuasaan formal.
Dianggap
bahwa yang mempunyai wewenang berhak untuk mengeluarkan perintah untuk
mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan-peraturan (Miriam Budiardjo,2008:64).
Dalam
sistim pemerintahan/politik Indonesia, wewenang ini telah di atur dalam UUD
1945, yakni dalam Pasal 18, khususnya pasal 18 A, sebagai kerangka
filosofis-strategisnya (Prof Irfan Ridwan Maksum, Kompas, 15 Januari 2020), dan
dalam Undang-Undang (UU) No 23 Tahun 2014 tentang “Pemerintahan Daerah”.
Untuk
lebih jelasnya pasal-pasal demikian akan kita deskripsikan/kutif di bawah ini;
Pasal
18 A UUD 1945 berbunyi:
Hubungan wewenang antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi, kabupaten/kota, di atur dengan
UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Catatan/keterangan; pasal
ini menurut Prof Irfan Ridwan Maksum adalah kerangka filosofis-strategis, yang
masih normatif/kualitatif. Untuk lebih operasional, sebagaimana di tulis dalam
pasal 18 A itu, harus diwujudkan dalam Undang-Undang (UU).
Undang-Undang (UU)
demikian adalah UU No 23 Tahun 2014, yakni UU tentang Pemerintahan Daerah.
dalam UU ini kewenangan Pemerintah, baik pusat maupun Daerah telah di atur
dalam pasal 9 sampai pasal 14.
Pasal
9 Klasifikasi Urusan Pemerintahan
1.
Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum.
2.
Urusan Pemerintahan absolut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat.
3.
Urusan Pemerintahan konkuren sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota.
4.
Urusan Pemerintahan konkuren yang
diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
5.
Urusan Pemerintahan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pasal
10 Urusan Pemerintahan Absolut
1.Urusan Pemerintahan
absolut sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) mencakup
a)
Politik luar negeri
b)
Pertahanan
c)
Keamanan
d)
Yustisi
e)
Moneter dan fiscal nasional
f)
Agama
2.Dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Pusat;
a)
Melaksanakan sendiri, atau
b)
Melimpahkan wewenang kepada Instansi
Vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
berdasarkan azas Dekonsentrasi
Pasal
11 Urusan Pemerintahan Konkuren
1.
Urusan Pemerintahan konkuren debagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
2.
Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan
Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar.
3.
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.
Pasal
12 lanjutan pasal 11
(1)
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi;
a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Pekerjaan
umum dan penataan ruang
d. Perumahan
rakyat dan Kawasan pemukiman
e. Ketentraman,
ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat
f.
sosial
(2)
Urusan Pemerintahan wajib yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)
meliputi;
a. Tenaga
kerja
b. Pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak
c. Pangan
d. Pertanahan
e. Lingkungan
hidup
f.
Administrasi kependudukan dan pencataan
sipil
g. Pemberdayaan
masyarakat dan desa
h. Pengendalian
penduduk dan Keluarga berencana
i.
Perhubungan
j.
Komunikasi dan informatika
k. Koperasi,
usaha kecil, dan menengah
l.
Penanaman modal
m. Kepemudaan
dan olahraga
n. Statistic
o. Persandian
p. Kebudayaan
q. Perpustakaan,
dan
r.
kearsipan
(3)
Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) meliputi;
a. Kelautan
dan perikanan
b. Pariwisata
c. Pertanian
d. Kehutanan
e. Energi
dan sumber daya mineral
f.
Perdagangan
g. Perindustrian,
dan
h. transmigrasi
Pasal
13 → lanjutan pasal 12
(1)
Pembagian Urusan pemerintahan konkuren
antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) didasarkan pada prinsip
akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis
nasional.
(2)
Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat adalah;
a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara.
b. Urusan
Pemerintahan yang penggunanya
(3)
Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
provinsi adalah;
a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabuapten/kota
b. Urusan
Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota
c. Urusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampaknya lintas Daerah kabupaten/kota, dan atau
d. Urusan
Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan
daerah provinsi
(4)
Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kriteria Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota adalah;
a. Urusan
Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota
b. Urusan
Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota
c. Uusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampaknya hanya di Daerah kabupaten/kota.
d. Urusan
Pemerintahan yang pengguna sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
daerah kabupaten/kota.
Pasal 14…..
Cat: Pasal 14 ini baca
sendiri di UU No 23 Tahun 2014.
∏∏
UU
No 23 Tahun 2014 adalah pengganti UU N0 32 Tahun 2004. Sebelum UU No 32 Tahun
2004, yang berlaku adalah UU No Tahun
1999. Artinya sejak reformasi, sudah ada tiga UU tentang Pemerintah
Daerah/Otonomi Daerah. Akan tetapi melihat kenyataan atau empiriknya, tujuan UU
tersebut masih jauh dari harapan. Sinyalemen ini dapat dibaca dari pendapat
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, dan mantan Dirjen Otonomi Daerah, Kemendagri
(2010-2014) di harian Kompas, 28 Januari 2020.
Lampiran
I
Langkah Otonomi Daerah 2020
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 telah berusia lima tahun.
Undang-Undang ini telah pula direvisi
sebanyak dua kali, yaitu dengan Perppu No 2 Tahun 2014 menyangkut tugas dan
wewenang DPRD, dan dengan UU No 9 Tahun 2015 terkait tugas kepala daerah dan
wakil kepala daerah. sejak era Reformasi digulirkan di Indonesia tahun 1999
hingga saat ini, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, lebih-lebih otonomi
khusus, masih mencari format yang tepat bagi penyelenggaraan pemda yang
efektif.
Realitas menunjukkan banyak pemda tak
punya kapasitas dalam mengurus urusan rumah tangganya, terutama kapasitas
kepemimpinan. Di lain pihak, pemerintah pusat lemah dalam melakukan pembinaan
dan pengawasan. Akibatnya, dalam banyak kasus, terjadi apa yang disebut otonomi
daerah kebablasan alias lepas kendali, seperti ditandai tingginya tingkat
korupsi kepala daerah, terbitnya ribuan perda bermasalah, dan buruknya pelayanan
public.
Di negara kesatuan, sumber kewenangan
pemda berasal dari pemerintah pusat. Biasanya distribusi kewenangan dari
pemerintah pusat kepada daerah terbatas (weak autonomy), bukan super luas
(strong autonomy) sebagaimana praktik desentralisasi di negara federal.
Desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI pada era Reformasi ini terasa ala
“negara federal” karena kewenangan yang di transfer ke daerah-daerah besar,
luas, dan banyak.
Logikanya, dengan kewenangan seperti
itu, pemda mampu men deliver pelayanan public yang baik kepada warganya,
apalagi kepala daerahnya sudah dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, masij
“jauh panggang dari apai” persis seperti studi Rod Hague & Martin Harrop
(2007:294) yang menemukan kelemahan pemda, yaitu they are often too small to
deliver efficiently, lack financialautonomy, and dominated by traditional
elites. Pahit nasib pemda, sudah tidak deliver dan gagal mengelola keuangan
daerah, pemdanya dibajak pula oleh elit local. Bagaimanakah sebaiknya langkah
otonomi daeah kita pada tahun 2020?
Paling tidak ada tiga isu besar dalam
perjalanan otonomi daerah kita hari ini. Pertama, isu pilkada langsung. Hiruk
pikuk pilkada langsung yang di gelar sejak 1 Juni 2005, 2017, dan 2018 serta
September 2020 ini diwarnai maraknya politik uang, politik dinasti, pevah
kongsi kepala daerah dengan wakilnya, hingga operasi tangkap tangan kepala
daerah oleh KPK…dstnya.
Meski
tidak persis sama , namun substansi yang sama, Reinhard Hutapea juga melihat
kelemahan “hubungan kewenangan” antara pusat dan daerah. lebih jelasnya baca artikel
di bawah ini;
Lampiran
II
HUBUNGAN
PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 28 Maret 2010
Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat
penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat,
bukan derah
Bila ingin mengetahui, memahami,
atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap
persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman,
dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang
menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada
tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan
karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap
menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif,
biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih
nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari
KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat,
ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat
percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara
atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard)
menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian
informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang
komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah
publik, sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto
ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan
opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika
memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI
asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat
setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena
takut terjangkit.
Ekses
Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan
demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki
pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang
seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana
mestinya.
Mereka (pemda-pemda
tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus
lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan,
Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya
masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam
pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah
serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH
tersebut) masih wait and see, meski
pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan
seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas
sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang
menghambat?
Jawabannya tidak
sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung
dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar
otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal,
yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau
pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan
Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak
daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri
tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih
luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan
terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat
daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan
pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur
secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan).
Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara
elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum
dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya
elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola
kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak
sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU
Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat
(konstituen)
Dengan kata lain tidak
ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung
demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah
bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong
dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya
mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif,
legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional. Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam),
yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata
pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin
Tak Harmonis
Otonomi yang selain
melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama
semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak
(pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya”
paling benar
Sebagai implementasinya
tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual.
Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat,
urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola
Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau
faktanya.
Hubungan yang tidak
efektif, yang tidak harmonis, yang tidak sehat, yang kita saksikan saat-saat
penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat
tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat,
bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa
tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang
keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang
tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses,
yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
memiliki good and political will
untuk itu.
PERTANYAAN
1. Rumuskan
dalam bentuk pertanyaan, hal-hal apa yang tidak saudara pahami dari masalah
kewenangan ini.
2. Uraikan
secara ringkas apa yang di tulis Djohermansyah Djohan.
3. Apa
kelemahan otonomi daerah menurut Siti Zuhro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar