Minggu, 17 Mei 2020

MK IX, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK IX, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-9, 18 Mei 2020, jam 08.30 sd 10.15
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Papua adalah Daerah, Kawasan, atau Propinsi yang perkembangannya saya ikuti dengan seksama. Sejak ia masih bernama Irian Barat, kemudian diganti menjadi Irian Jaya, kemudian dirubah lagi menjadi Papua, tak sedetikpun perjalanannya tidak saya amati. Perjalanan yang memilukan, karena, meski ia telah bergabung dengan NKRI melalui Pepera tahun 1969, hidupnya jauh lebih tersiksa, tertindas, dan termarjinalkan ketimbang ketika ia dijajah Belanda.
Tidak saja , saya ikuti melalui pemberitaan media-media mainstream, melainkan terutama adalah ketika bergaul dengan putra-putri daerah itu sejak tahun 1977. Begitu pula ketika menjadi pengajar di Untag Jakarta, dimana banyak mahasiswa Papua yang kuliah disana, (juga ketika saya menjadi NS dalam acara-acara GmnI Jakarta raya) banyak bergaul secara langsung dengan mereka.
Puncaknya adalah ketika saya menjadi staf ahli DPR-RI sejak tahun 2000, kerapkali diskusi dengan wakil-wakil dari sana. Apalagi ketika bertugas di Komisi II yang  membidangi Pemerintahan, dimana pada saat itu banyak pemekaran kabupaten disana, semakin mempertajam pegetahuan saya dengan daerah tersebut.
Daerah yang secara langsung saya kunjungi tahun 2007, yakni sewaktu ada acara kepemudaan setanah air di Manokwari selama 7 hari. Sebagaimana yang saya pahami ketika di Jakarta, secara langsung saya lihat kesenjangan, kemelaratan, dan ketertinggalan tersebut. Sangat prihatin, bagaimana daerah yang kaya raya dengan SDA, namun masyarakatnya jauh terbelakang dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di provinsi lain. Ironis.
Sebagai penghormatan kepada daerah itu, tak akan kulupakan lagu Franky Sahilatua, yang didendangkan bersama Garin Nugroho tahun 2011 di Bentara Budaya Jakarta, yakni “Aku Papua
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
Adalah harta harapan.

Tanah Papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan

Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Biar nanti jagat terbelah aku Papua
Di Indonesia ada lima provinsi yang mempunyai kekhususan, yakni
·         Papua
·         Papua Barat
·         Aceh
·         DKI Jaya, dan
·         Yogyakarta
Dari lima daerah khusus ini yang paling menarik adalah Papua (juga Papua Barat) dan Aceh, karena sering dilanda antagonism, konflik, hingga kekerasan, yang memakan banyak korban. Korban akibat dijadikannya daerah ini sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), yang berujud kepada apa yang popular dengan sebutan pelanggaran Hak-hak asasi manusia (HAM). Kekerasan yang konon berlatar belakang “Separatisme-Disintegrasi”, dari sekelompok orang/pihak atau kalangan-kalangan tertentu dari daerah-daerah tersebut, yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Di Papua, kalangan demikian dikenal dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Aceh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di Maluku/Ambon, Republik Maluku Selatan (RMS), yang hingga saat ini masih terus bergerilya.
Sebelumnya di daerah-daerah lain juga terjadi hal yang sama, seperti PRRI/Permesta di Sumatera, DI/TII di jawa Barat dan Sulawesi Selatan, namun tidak lagi aktif, karena tuntutannya telah diadopsi/sudah ada konsensus, antara pihak yang bertikai, yakni antara Pemerintah Pusat dengan para pemberontak di daerah.
Mengapa mereka memberontak? Jawabannya cukup panjang, yang tak mungkin ditulis/terjawab dalam pembahasan mata kuliah ke-9 hari ini. Yang jelas itulah (salah satu) latar belakang mengapa terjadi Otonomi khusus, yakni suatu jalan keluar penyelesaiaan konflik, pasca tersungkurnya rezim Orde Baru, yang terjadi di daerah-daerah tersebut.
Untuk pembahasan hari ini, akan difocuskan pada Papua, yakni mengapa daerah tersebut di beri Otonomi Khusus.
Setting historis
Dari sejarahnya Papua memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia yang sama-sama merupakan jajahan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang di waktu lalu. Ketika provinsi-provinsi lain bersama-sama merdeka dan berdaulat secara de fakto dan de jure sebagai bagian tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1945, provinsi Papua baru kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada tanggal 1 Mei 1963 – itupun masih harus melewati proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstalasi politik dunia, terutama di tahun 1940-an sampai 1960-an, yaitu ketika banyak wilayah jajahan berjuang untuk bebas dari cengkeraman negara-negara penjajah.
Akan tetapi meskipun sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, tidak berarti persoalan telah selesai. Mereka-mereka, atau pihak-pihak yang tak setuju bergabung dengan Indonesia, terus melakukan perlawanan. Mereka ngotot tidak mau bergabung dengan Indonesia, dan terus bergerilya untuk mendirikan negara sendiri. Mengapa mereka terus melakukan separatism/disintegrasi? Dr Jacobus Perviddya Solosa, Drs, MSi (2006) memberikan jawaban;
1.      Pertama, akibat politik dari sengketa yang berkepanjangan antara Indonesia dan Belanda tentang Papua selama 18 tahun (1945-1963).
2.      Kedua, ketimpangan ekonomi yang sangat mencolok antara Papua, sebagai salah satu daerah kontributor terbesar keuangan negara, dengan banyak daerah lain di Indonesia.
3.      Ketiga, kualitas sosial-ekonomi penduduk Papua, khususnya orang-orang asli Papua yang sangat memprihatinkan.
4.      Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) (Solosa JP, 2006:9-11)
            Dengan bahasa lain, dalam Papua Road Map-LIPI tahun 2009, diterangkan mengapa separatism atau disintegrasi itu terjadi adalah karena:
1.      Peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia.
2.      Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua.
3.      Proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
4.      Siklus kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas.
5.      Pelanggaran HAM belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
Sedangkan Aisah Putri Budiarti dari LIPI dalam diskusi masalah “Diskriminasi dan Rasisme di Jawa Timur” di Warung Boplo Menteng Jakarta, 31 agustus 2019, melihat akar permasalahan di Papua adalah:
·         Penyelesaian pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai.
·         Pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua.
·         Pemerintah selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua.
Demikianlah faktor-faktor yang membuat provinsi Papua memiliki keunikan (kesenjangan, ketertinggalan, atau ketertindasan) dengan provinsi-provinsi lain, yang mendorong lahirnya Otonomi Khusus Papua pada era Reformasi yang berhembus akhir 90-an. Orde reformasi bersama-sama tokoh-tokoh Papua, melalui jalan berliku, akhirnya menetapkan daerah tersebut akan menjalankan pemerintahannya dengan Otonomi Khusus, yitu, melalui UU No 21 Tahun 2001. Adapun pertimbangan-pertimbangan mengapa Otonomi khusus itu di tempuh dirumuskan sebagai berikut:
a.      Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.      Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama,demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
c.       Bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut Undang Undang dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam Undang-Undang.
d.      Bahwa integrasi bangsa dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;
e.      Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras “Melanesia” yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri.
f.        Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
g.      Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Propinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
h.      Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya “kebijakan khusus” dalam kerangka NKRI;
i.        Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralism, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
j.        Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k.       Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Propinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2020 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l.        Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi papua yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
Selain mengemukakan permasalahan, bagian “Pertimbangan” UU No 21 tahun 2001, juga mengandung sejumlah prinsip penting mengenai Papua dan orang-orang asli Papua yang belum pernah ditegaskan sebelumnya dalam suatu undang-undang negara republik Indonesia. Beberapa diantaranya adalah:
·         Pengakuan bahwa penduduk asli Papua adalah dari ras Melanesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri.
·         Pengakuan bahwa hasil-hasil kekayaan alam Papua selama ini belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
·         Pengakuan tentang telah lahirnya kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua, termasuk kesadaran politik dan perjuangan politik untuk mencapai hidup yang lebih baik di dalam NKRI dalam arti yang seluas-luasnya, yang diperjuangkan melalui cara-cara yang damai dan konstitusional (Solosa, JP, 2006:23-26)
Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciri Khas Pemerintahan Papua
Demikianlah latar belakang mengapa ditempuh Otonomi Khusus, Otsus untuk provinsi Papua. Dan sebagai manifestasinya dalam bidang pemerintahan, Papua pun memiliki kekhususan, yakni terdapatnya Lembaga-institusi yang di daerah-daerah lain tidak ditemukan. Lembaga ini adalah Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurut UU No 21 tahun 2001, Pasal 1 Huruf (g):
Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Adapun kewenangan yang dimilikinya menurut UU N0 21 Tahun 2001 dan PP No 54 Tahun 2004 adalah:
Memberikan pertimbangan dan persetujuan dalam pencalonan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), pembuatan Perdasus mengenai hak-hak orang asli Papua, saran atau persetujuan dengan pihak ketiga, merupakan kewenangan dewan untuk merealisasikan hak-hak orang asli Papua di atas tanah Papua terjamin dan terlindungi
Adapun keanggotaannya terdiri dari:
·         42 orang wakil komunitas adat
·         14 orang wakil komunitas agama ( 2 dari Islam, 4 katolik, dan 8 dari Protestan)
·         14 orang wakil komunitas perempuan.
Bagaimana tanggapan atau komentar para tokoh, pakar, atau elit-elit lain tentang MRP ini? Jacobus Perviddya Solosa, yang pernah menjadi Gubernur Papua, dan tokoh terbentuknya Otsus, dalam buku/disertasinya, mengatakan bahwa dasar pembentukan MRP ini adalah agar keterlibatan masyarakat Papua dalam pengambilan keputusan lebih besar, lebih berdaya guna, atau lebih berarti.
Bagaimana pendapat-pendapat yang lain? Akan kita deskripsikan berdasarkan buku atau disertasi Solosa:
……….beberapa responden berkomentar seperti berikut ini, “…asalkan apa yang dilakukan/diputuskan oleh MRP…dihormati dan dihargai semua pihak bangsa ini…(pemerintah) harap jangan mengebiri peran dan fungsi MRP, “”….(sambil menunggu) pembuktian, konsekwensi dan komitmen pemerintah pusat (terhadap kelangsungan MRP).”
Mengenai jumlah orang Papua di DPR Papua (DPRP) lebih banyak sebagai salah satu ukuran keberhasilan Otsus Papua, para responden memberikan sejumlah komentar yang intinya adalah bahwa jumlah anggota DPRP yang lebih banyak ¼ kali dari ketentuan nasional haruslah membuat lembaga rakyat itu lebih baik kinerjanya dan lebih berpihak kepada permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat Papua. Beberapa komentar yang dikemukakan oleh para responden tersebut menunjukkan hal tersebut:
·         “…(ini barulah) pendekatan kuantitas…belum berarti kualitas, sebab DPR bukan Lembaga voting semata, asal suara terbanyak dialah yang menang” (responden dosen Papua)
·         “…(mestinya lebih baik, yang menjadi masalah) sampai saat ini belum terlihat dengan jelas pembelaan DPR terhadap rakyat” (responden pegiat LSM non-Papua)
·         “…hal ini harus dapat mendorong DPRD Papua untuk mengambil dan menentukan keputusan politik yang membela kepentingan rakyat” (responden pejabat pemerintah non-Papua)
Dengan adanya MRP ini maka pemerintahan Papua terdiri dari:
Ø  Gubernur
Ø  DPRP, dan
Ø  MRP
Sampai sini dulu…..lanjut ke pertanyaan
PERTANYAAN
1.      Jelaskan secara runtut apa yang dimaksud dengan ras Melanesia.
2.      Uraikan secara logis dan sistimatis, apakah pembentukan MRP ini tidak berlawanan dengan sistim pemerintahan menurut UUD 1945.
3.      Informasi apa yang saudara ketahui tentang perkembangan MRP terakhir ini? Jelaskan dengan seksama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar