MK IX, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-9, 18 Mei 2020, jam 08.30 sd 10.15
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
∏
OTONOMI KHUSUS PAPUA
Papua adalah Daerah,
Kawasan, atau Propinsi yang perkembangannya saya ikuti dengan seksama. Sejak ia
masih bernama Irian Barat, kemudian diganti menjadi Irian Jaya, kemudian
dirubah lagi menjadi Papua, tak sedetikpun perjalanannya tidak saya amati.
Perjalanan yang memilukan, karena, meski ia telah bergabung dengan NKRI melalui
Pepera tahun 1969, hidupnya jauh lebih tersiksa, tertindas, dan termarjinalkan
ketimbang ketika ia dijajah Belanda.
Tidak saja , saya ikuti
melalui pemberitaan media-media mainstream,
melainkan terutama adalah ketika bergaul dengan putra-putri daerah itu sejak tahun
1977. Begitu pula ketika menjadi pengajar di Untag Jakarta, dimana banyak
mahasiswa Papua yang kuliah disana, (juga ketika saya menjadi NS dalam
acara-acara GmnI Jakarta raya) banyak bergaul secara langsung dengan mereka.
Puncaknya adalah ketika
saya menjadi staf ahli DPR-RI sejak tahun 2000, kerapkali diskusi dengan
wakil-wakil dari sana. Apalagi ketika bertugas di Komisi II yang membidangi Pemerintahan, dimana pada saat itu
banyak pemekaran kabupaten disana, semakin mempertajam pegetahuan saya dengan
daerah tersebut.
Daerah yang secara
langsung saya kunjungi tahun 2007, yakni sewaktu ada acara kepemudaan setanah
air di Manokwari selama 7 hari. Sebagaimana yang saya pahami ketika di Jakarta,
secara langsung saya lihat kesenjangan, kemelaratan, dan ketertinggalan
tersebut. Sangat prihatin, bagaimana daerah yang kaya raya dengan SDA, namun
masyarakatnya jauh terbelakang dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di
provinsi lain. Ironis.
Sebagai penghormatan
kepada daerah itu, tak akan kulupakan lagu Franky Sahilatua, yang didendangkan
bersama Garin Nugroho tahun 2011 di Bentara Budaya Jakarta, yakni “Aku Papua”
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
Adalah harta harapan.
Tanah Papua tanah leluhur
Disana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Hitam kulit keriting rambut aku Papua
Biar nanti jagat terbelah aku Papua
∏
Di
Indonesia ada lima provinsi yang mempunyai kekhususan, yakni
·
Papua
·
Papua
Barat
·
Aceh
·
DKI
Jaya, dan
·
Yogyakarta
Dari lima daerah khusus ini yang
paling menarik adalah Papua (juga Papua Barat) dan Aceh, karena sering dilanda
antagonism, konflik, hingga kekerasan, yang memakan banyak korban. Korban
akibat dijadikannya daerah ini sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), yang
berujud kepada apa yang popular dengan sebutan pelanggaran Hak-hak asasi
manusia (HAM). Kekerasan yang konon berlatar belakang “Separatisme-Disintegrasi”, dari sekelompok orang/pihak atau kalangan-kalangan
tertentu dari daerah-daerah tersebut, yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Di Papua, kalangan demikian dikenal
dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Aceh, Gerakan Aceh Merdeka
(GAM), di Maluku/Ambon, Republik Maluku Selatan (RMS), yang hingga saat ini
masih terus bergerilya.
Sebelumnya di daerah-daerah lain juga
terjadi hal yang sama, seperti PRRI/Permesta di Sumatera, DI/TII di jawa Barat
dan Sulawesi Selatan, namun tidak lagi aktif, karena tuntutannya telah
diadopsi/sudah ada konsensus, antara pihak yang bertikai, yakni antara
Pemerintah Pusat dengan para pemberontak di daerah.
Mengapa mereka memberontak?
Jawabannya cukup panjang, yang tak mungkin ditulis/terjawab dalam pembahasan
mata kuliah ke-9 hari ini. Yang jelas itulah (salah satu) latar belakang
mengapa terjadi Otonomi khusus, yakni suatu jalan keluar penyelesaiaan konflik,
pasca tersungkurnya rezim Orde Baru, yang terjadi di daerah-daerah tersebut.
Untuk pembahasan hari ini, akan
difocuskan pada Papua, yakni mengapa daerah tersebut di
beri Otonomi Khusus.
Setting historis
Dari sejarahnya Papua memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia yang sama-sama
merupakan jajahan pemerintah kolonial Belanda dan Jepang di waktu lalu. Ketika
provinsi-provinsi lain bersama-sama merdeka dan berdaulat secara de fakto dan de jure sebagai bagian
tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal
17 Agustus 1945, provinsi Papua baru kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada
tanggal 1 Mei 1963 – itupun masih harus melewati proses Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Hal
tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstalasi politik dunia, terutama di tahun
1940-an sampai 1960-an, yaitu ketika banyak wilayah jajahan berjuang untuk
bebas dari cengkeraman negara-negara penjajah.
Akan tetapi meskipun sudah kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi, tidak berarti persoalan telah selesai. Mereka-mereka,
atau pihak-pihak yang tak setuju bergabung dengan Indonesia, terus melakukan
perlawanan. Mereka ngotot tidak mau bergabung dengan Indonesia, dan terus
bergerilya untuk mendirikan negara sendiri. Mengapa mereka terus melakukan
separatism/disintegrasi? Dr Jacobus
Perviddya Solosa, Drs, MSi (2006) memberikan jawaban;
1. Pertama, akibat politik dari sengketa
yang berkepanjangan antara Indonesia dan Belanda tentang Papua selama 18 tahun
(1945-1963).
2. Kedua, ketimpangan ekonomi yang
sangat mencolok antara Papua, sebagai salah satu daerah kontributor terbesar
keuangan negara, dengan banyak daerah lain di Indonesia.
3. Ketiga, kualitas sosial-ekonomi
penduduk Papua, khususnya orang-orang asli Papua yang sangat memprihatinkan.
4. Keempat, pelanggaran hak-hak asasi
manusia (HAM) (Solosa JP, 2006:9-11)
Dengan bahasa lain, dalam Papua Road Map-LIPI tahun 2009, diterangkan
mengapa separatism atau disintegrasi itu terjadi adalah karena:
1.
Peminggiran,
diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi
Indonesia.
2.
Tidak
optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan,
kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku
ekonomi asli Papua.
3.
Proses
integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas.
4.
Siklus
kekerasan politik yang belum tertangani, bahkan meluas.
5.
Pelanggaran
HAM belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai.
Sedangkan Aisah Putri Budiarti dari
LIPI dalam diskusi masalah “Diskriminasi dan Rasisme di Jawa Timur” di Warung
Boplo Menteng Jakarta, 31 agustus 2019, melihat akar permasalahan di Papua
adalah:
·
Penyelesaian
pelanggaran HAM yang tak kunjung selesai.
·
Pemerintah
gagal melakukan pembangunan di Papua.
·
Pemerintah
selalu menghindari perdebatan tentang status dan sejarah politik Papua.
Demikianlah faktor-faktor yang membuat
provinsi Papua memiliki keunikan (kesenjangan, ketertinggalan, atau
ketertindasan) dengan provinsi-provinsi lain, yang mendorong lahirnya Otonomi
Khusus Papua pada era Reformasi yang berhembus akhir 90-an. Orde reformasi
bersama-sama tokoh-tokoh Papua, melalui jalan berliku, akhirnya menetapkan daerah
tersebut akan menjalankan pemerintahannya dengan Otonomi Khusus, yitu, melalui
UU No 21 Tahun 2001. Adapun pertimbangan-pertimbangan mengapa Otonomi khusus
itu di tempuh dirumuskan sebagai berikut:
a. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI
adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan
ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia, nilai-nilai agama,demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang
hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil
pembangunan secara wajar;
c. Bahwa sistem pemerintahan NKRI
menurut Undang Undang dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dalam Undang-Undang.
d. Bahwa integrasi bangsa dalam wadah
NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi
Khusus;
e. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua
adalah salah satu rumpun dari ras “Melanesia” yang merupakan bagian dari
suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah,
adat-istiadat, dan bahasa sendiri.
f.
Bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di provinsi Papua
selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.
g. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan
hasil kekayaan alam Propinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan
terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan
pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
h. Bahwa dalam rangka mengurangi
kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf
hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk
asli Papua, diperlukan adanya “kebijakan khusus” dalam kerangka NKRI;
i.
Bahwa
pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang
mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar
penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralism, serta
persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
j.
Bahwa
telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan
secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya
tuntutan penyelesian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan
Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. Bahwa perkembangan situasi dan
kondisi daerah Irian jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki
pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan
DPRD Propinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2020 tanggal 16 Agustus 2000 tentang
Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l.
Bahwa
berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, dan k
dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi papua yang ditetapkan
dengan Undang-Undang.
Selain mengemukakan permasalahan,
bagian “Pertimbangan” UU No 21 tahun 2001, juga mengandung sejumlah prinsip
penting mengenai Papua dan orang-orang asli Papua yang belum pernah ditegaskan
sebelumnya dalam suatu undang-undang negara republik Indonesia. Beberapa
diantaranya adalah:
·
Pengakuan
bahwa penduduk asli Papua adalah dari ras Melanesia
yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri.
·
Pengakuan
bahwa hasil-hasil kekayaan alam Papua selama ini belum digunakan secara optimal
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
·
Pengakuan
tentang telah lahirnya kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua, termasuk
kesadaran politik dan perjuangan politik untuk mencapai hidup yang lebih baik
di dalam NKRI dalam arti yang seluas-luasnya, yang diperjuangkan melalui cara-cara yang damai dan konstitusional
(Solosa, JP, 2006:23-26)
∏
Majelis Rakyat Papua (MRP), Ciri Khas Pemerintahan Papua
Demikianlah latar belakang mengapa
ditempuh Otonomi Khusus, Otsus untuk provinsi Papua. Dan sebagai manifestasinya
dalam bidang pemerintahan, Papua pun memiliki kekhususan, yakni terdapatnya
Lembaga-institusi yang di daerah-daerah lain tidak ditemukan. Lembaga ini
adalah Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurut UU No 21 tahun 2001, Pasal 1 Huruf
(g):
Majelis Rakyat Papua,
yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua,
yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak asli orang
Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya,
pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini.
Adapun kewenangan yang dimilikinya
menurut UU N0 21 Tahun 2001 dan PP No 54 Tahun 2004 adalah:
Memberikan pertimbangan
dan persetujuan dalam pencalonan bakal calon Gubernur dan wakil Gubernur yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), pembuatan Perdasus mengenai
hak-hak orang asli Papua, saran atau persetujuan dengan pihak ketiga, merupakan
kewenangan dewan untuk merealisasikan hak-hak orang asli Papua di atas tanah
Papua terjamin dan terlindungi
Adapun keanggotaannya terdiri dari:
·
42
orang wakil komunitas adat
·
14
orang wakil komunitas agama ( 2 dari Islam, 4 katolik, dan 8 dari Protestan)
·
14
orang wakil komunitas perempuan.
Bagaimana tanggapan atau komentar
para tokoh, pakar, atau elit-elit lain tentang MRP ini? Jacobus Perviddya Solosa,
yang pernah menjadi Gubernur Papua, dan tokoh terbentuknya Otsus, dalam
buku/disertasinya, mengatakan bahwa dasar pembentukan MRP ini adalah agar
keterlibatan masyarakat Papua dalam pengambilan keputusan lebih besar, lebih berdaya
guna, atau lebih berarti.
Bagaimana pendapat-pendapat yang
lain? Akan kita deskripsikan berdasarkan buku atau disertasi Solosa:
……….beberapa responden berkomentar
seperti berikut ini, “…asalkan apa yang dilakukan/diputuskan oleh MRP…dihormati
dan dihargai semua pihak bangsa ini…(pemerintah) harap jangan mengebiri peran
dan fungsi MRP, “”….(sambil menunggu) pembuktian, konsekwensi dan komitmen
pemerintah pusat (terhadap kelangsungan MRP).”
Mengenai jumlah orang Papua di DPR
Papua (DPRP) lebih banyak sebagai salah satu ukuran keberhasilan Otsus Papua,
para responden memberikan sejumlah komentar yang intinya adalah bahwa jumlah
anggota DPRP yang lebih banyak ¼ kali dari ketentuan nasional haruslah membuat lembaga
rakyat itu lebih baik kinerjanya dan lebih berpihak kepada
permasalahan-permasalahan yang dihadapi rakyat Papua. Beberapa komentar yang
dikemukakan oleh para responden tersebut menunjukkan hal tersebut:
·
“…(ini
barulah) pendekatan kuantitas…belum berarti kualitas, sebab DPR bukan Lembaga voting semata, asal suara terbanyak
dialah yang menang” (responden dosen Papua)
·
“…(mestinya
lebih baik, yang menjadi masalah) sampai saat ini belum terlihat dengan jelas pembelaan
DPR terhadap rakyat” (responden pegiat LSM
non-Papua)
·
“…hal
ini harus dapat mendorong DPRD Papua untuk mengambil dan menentukan keputusan
politik yang membela kepentingan rakyat” (responden
pejabat pemerintah non-Papua)
Dengan adanya MRP ini maka pemerintahan Papua terdiri dari:
Ø Gubernur
Ø DPRP, dan
Ø MRP
Sampai
sini dulu…..lanjut ke pertanyaan
PERTANYAAN
1.
Jelaskan
secara runtut apa yang dimaksud dengan ras Melanesia.
2.
Uraikan
secara logis dan sistimatis, apakah pembentukan MRP ini tidak berlawanan dengan
sistim pemerintahan menurut UUD 1945.
3.
Informasi
apa yang saudara ketahui tentang perkembangan MRP terakhir ini? Jelaskan dengan
seksama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar