Rabu, 13 Mei 2020

BS III, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK



BS III, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH III
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
MENUJU MODEL REFORMASI BIROKRASI
Pada kuliah yang lalu telah diterangkan penyakit-penyakit (patologi) birokrasi. Penyakit yang mungkin kalau terus dibahas tidak akan habis-habisnya. Ryaas Rasyid, nan pakar pemerintahan, yang pernah menjabat Menteri Otonomi Daerah, sangkin kesalnya pernah mengatakan bahwa pemerintahan kita adalah pemerintahan “kampungan”. Untung saja ia tidak mengatakan pemerintahan “tai kucing” (mengutif So Hok Gie).
Saat-saat ini, yakni saat-saat pandemi Covid-19 sedang/masih berkecamuk, kita tetap disuguhi, betapa praksis-empirik pemerintahan masih sangat-sangat bermasalah. Masih permanen, seperti yang dijelaskan pada kuliah sebelumnya. Hal ini paling tidak dapat kita baca dari tulisan R Siti Zuhro, 11 Mei 2020, di bawah ini:
Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh video viral kekesalan Bupati Bolaang Mongondow Timur berkenaan dengan aturan pemerintah pusat tentang bantuan sosial Covid-19 yang dinilainya membingungkan dan menyusahkan daerah.
Fenomena tersebut bisa dipahami. Di satu sisi, sebagai pemimpin yang berhadapan langsung dengan rakyat dalam menghadapi “bencana nasional” Covid-19, para kepala daerah (bupati/walikota) dituntut untuk mengambil kebijakan yang tangkas dan memberikan rasa aman kepada rakyatnya. Disisi lain, pemerintah pusat – yang notabene memiliki kendala dalam hal rentang kendali dengan berbagai pengaturan/norma hukum – dirasakannya lamban dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah pusat sepertinya gamang dalam mendudukkan persoalan Covid-19; apakah tergolong wabah penyakit menular (UU No 4/1984), bencana non alam (UU No 24/2007, atau kedaruratan kesehatan masyarakat dan kekarantinaan kesehatan (UU No 6/2018). Selain itu, publik juga melihat tidak tertata/terbangunnya secara baik hubungan antar kelembagaan, seperti antara Kemenkes, BNPB, Kemendagri, BUMN, Kominfo, TNI dan Polri dalam penanganan Covid-19. Kementerian dan Lembaga (K/L) belum menjadi satu kesatuan yang utuh dalam mengatasi Covid-19………..(Kompas, 11 Mei 2020)
Dalam bahasa lain, namun substansi yang sama, anak mantan Presiden Soekarno, Guruh Soekarno Putra (12 Mei 2020) sebagaimana pendapat R Siti Zuhro, juga menilai bahwa pemerintah tidak tegas, lamban, tidak responsif, kurang antisipatif, a historis, dan lain-lain sebutan patologis pemerintah. Untuk lebih jelasnya, mengapa ia mengatakan seperti itu, akan dikutif dibawah ini:
……Di sana-sini, menurut hemat saya, masih terdapat kelemahan-kelemahan yang sebenarnya tak perlu terjadi kalau pemerintah dapat bertindak lebih cepat dan lebih tegas sejak awal. Mengapa pemerintah hanya menghimbau kepada rakyatnya, bukannya tegas memerintahkan rakyatnya agar bertindak begini atau begitu, yang dapat mengikuti instruksi dan politik negara?
Menurut saya, jika pemerintah menggunakan kata menghimbau, hal ini berarti boleh diikuti, tetapi boleh juga tak diikuti. Namanya himbauan, dan bukan perintah.
Hingga saat ini masih banyak pelanggaran, terutama dilakukan oleh kalangan kelas menengah ke bawah, walaupun pemerintah telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebagai contoh, bagaimana berjubelnya penumpang kereta api, angkutan lainnya, dan pasar, yang tanpa mengindahkan ketentuan jaga jarak satu sama lain, dan tidak berkerumun.
Contoh lainnya, bagaimana ironisnya, seperti ada di berita Kompas baru-baru ini soal anggota jamaah masjid di Kebon Jeruk yang berjumlah sekitar 200 orang, 3 orang diantaranya positif tertular Covid-19. Akibatnya, masjid plus jemaahnya terpaksa diisolasi oleh pihak berwajib.
Apa mau dikata, semua telah terjadi di depan mata. Untuk itu, ada baiknya jika kita ingin merenung sejenak dan mengingat kembali pada ajaran-ajaran Bung Karno, yaitu agar kita selalu melaksanakan think and rethink, pikir dan pikir kembali apa yang sudah dan akan kita lakukan lagi untuk menyelesaikan masalah bangsa ini.
Kita memang harus berpikir dan berpikir kembali, apakah langkah-langkah yang diambil selama ini benar-benar tepat dalam perang melawan Covid-19? Terutama , apakah kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah sekarang ini benar-benar mujarab untuk melawan pandemi Covid-19?.
Saya rasa belum sepenuhnya mujarab. Pemerintah sendiri, jika harus menganalisis asal usul dan riwayat pandemi Covid-19, tentu tak mudah. Namun, jika mengingat era Perang Dingin 1960-an, Bung Karno pernah menganalisis dan mengkhawatirkan Blok Barat, khususnya Amerika serikat, yang saat itu mempersiapkan “nubika warfare, perang nuklir, biologi, dan kimia.
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi hal itu, Bung Karno segera memerintahkan agar mendirikan reactor Atom Triga Mark II I Jalan Taman Sari,  Bandung, Jawa Barat. Targetnya, satu tahun ke depan, reaktor itu harus sudah punya paling sedikit bom atom dan roket, yang mampu meluncurkan satelit ke ruang angkasa.
Saat itu, dengan kerjasama antara departemen Fisika Teknik, Elektro, Teknik Mesin ITB, dan Pindad, berhasil diluncurkan roket Kartika dari Pamengpeuk, Jawa Barat, ke ionosfer. Pamaengpeuk saat itu disiapkan untuk menjadi “Cape Kennedy”-nya Indonesia. Prestasi ini cukup membanggakan karena selangkah lagi kita akan berhasil menembus strattosfer alias ruang angkasa..Lalu apa hubungannya dengan Covid-19 saat ini? Ya , siapa tahu AS hingga saat ini masih mempersiapkan untuk nubika warfare?, dan siapa tahu juga dalam eksperimen mereka, kuman biologinya bocor dan menyebar menjadi Covid-19? (hal 7, Kompas, 12 mei 2020)
Timbul pertanyaan;
·        Mengapa begitu dan terus begitu? (Begitu gitu terus….kacau kali…rusak kali… payah kali kata anak Medan……..sudah tahu salah diterusin terus…..)
·        Apakah selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas tentang arah pembaharuan birokrasi di Indonesia?[1]
·        Apakah telah terdapat kebijakan pemerintah untuk membenahi karut-marut birokrasi publik di Indonesia?
Agus Dwiyanto menjawab:
Melihat apa yang terjadi selama ini, sebenarnya Pemerintah Indonesia belum memiliki kebijakan reformasi yang visioner, holistik,koheren, dan serius untuk membenahi birokrasinya. Pemerintah Indonesia gagal merumuskan kebijakan reformasi birokrasi, pada hal telah lebih dari 70 tahun merdeka dan selama enam dekade memiliki lembaga yang mengurus reformasi administrasi publik. Sementara itu, pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan menyadari bahwa aspek dari birokrasi publik di Indonesia sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan karena memang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang sangat berbeda dari birokrasi pemerintah ketika dilahirkan. Banyak diantara nilai, tradisi, peraturan, struktur, dan desain birokrasi publik sekarang ini sebenarnya merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda, yang tentu tidak lagi cocok untuk menjawab tantangan birokrasi saat ini dan ke depannya. Reformasi birokrasi publik di Indonesia adalah tuntutan sejarah karena Pemerintah Indonesia mewarisi birokrasi kolonial yang memang dirancang untuk tujuan yang berbeda dari tujuan negara Indonesia yang telah merdeka.
Namun, karena tidak pernah serius dalam melakukannya maka sampai sekarang Pemerintah Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam membenahi birokrasinya. Akibatnya, birokrasi di Indonesia selama ini tumbuh dan berkembang dengan arah, misi, dan fungsi yang tidak pernah jelas. Birokrasi publik di Indonesia selama ini cenderung menjadi “instrument kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politis yang sempit, sektoral, dan berjangka pendek”. Birokrasi pemerintah cenderung gagal menjadikan dirinya sebagai;
·         lembaga publik yang mampu melindungi kepentingan publik,
·         mendorong adanya perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat,
·         serta sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
 Karena selama in birokrasi pemerintah cenderung menempatkan dirinya sebagai instrument kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi membuat birokrasi semakin kehilangan legitimasi sosial. Citra birokrasi pemerintah cenderung terus memburuk dan sering di nilai sebagai sumber dari berbagai masalah publik yang dihadapi masyarakat. Dalam bidang sosial politik, birokrasi sering di nilai sebagai penghambat proses demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung di tanah air. Birokrasi pemerintah sering di nilai gagal memfasilitasi berkembangnya masyarakat sipil yang kuat. Bahkan, ketegangan hubungan antara birokrasi pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil sering terjadi. Dalam bidang ekonomi dan bisnis, birokrasi pemerintah sering menjadi faktor negatif karena di nilai sebagai penyebab dari ekonomi biaya tinggi yang membuat iklim investasi menjadi kurang menarik (World Bank & IFC, 2009). Banyak regulasi yang di buat oleh birokrasi publik sering menghambat pelaku usaha masuk ke pasar dan menghalangi terjadinya kompetisi yang wajar di pasar. Kinerja birokrasi yang buruk juga di nilai menjadi salah satu faktor penting dari kegagalan usaha di daerah.
Birokrasi masih menjadi beban dan hambatan untuk mendirikan usaha di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh International Bank for Reconstruction and Development dan Bank Dunia, Indonesia pada tahun 2009 berada di urutan 122 di antara 183 negara dalam hal kinerja pemerintah dalam mendukung kegiatan perekonomian, khususnya menyangkut proses pendirian usaha, pengurusan izin mendirikan bangunan, dan pendaftaran properti. Khusus dalam mengurus izin mendirikan usaha, para pengusaha harus melalui prosedur yang panjang, waktu yang lama, dan biaya yang mahal. Masih terdapat variasi kinerja yang sangat tinggi antara birokrasi pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan usaha di wilayah jurisdiksinya. Memang telah terdapat sejumlah daerah yang menunjukkan prestasinya, seperti Kota Yogyakarta yang mensyaratkan hanya 8 prosedur mengurus IMB (setara dengan peringkat 5 di level global) dan Kota Makassar yang hanya memerlukan 56 hari untuk mengeluarkan IMB (setara dengan peringkat 9 di level global) (World bank & IFC, 2009). Namun, beban dan rintangan birokrasi masih membayangi sebagian besar daerah lainnya dan dalam aspek pendirian usaha lainnya…..Lalu apa tawaran atau solusinya?
Sebelum sampai ke tawaran demikian[2], ada baiknya kita bandingkan dengan konsep berikut, yakni konsep Reinventing Government; How Entrepreneurial Spirit’s transforming the Public Sector, yang ditulis oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Konsep yang diangkat dari kasus pemerintahan di AS, karena pemerintahan saat itu (mungkin juga saat ini[3]) tidak berjalan semestinya. Osborne dan Gaebler menawarkan 10 konsep, yakni;
1.     Catalytic Government: Steering Rather Than Rowing.
2.     Community Owned Government: Empowering Rather Than Serving.
3.     Competitive Government; Injection Competition Into Service delivering.
4.     Mission Driven Government; Transforming Rules Driven Organization.
5.     Result Oriented Government; Funding Out comes, not Inputs.
6.     Costumer-Driven Government; Meeing The need of the Costumer, Not The Bureaucracy.
7.     Enterprising Government; Earning Rather Than Spending.
8.     Anticipatory Government; Preventions Rather Than Cure.
9.     Decentralized Government; From Hierarchi to Participatory and Team Work.
10.Market Oriented Government; Leveraging Change through the Market.
PERTANYAAN
Bagaimana pendapat saudara jika konsep-konsep tersebut diterapkan ke Indonesia….dan atau khususnya ke pemerintahan tempat anda bekerja di Tanah Karo…..cocok nggak kira-kira….saya tunggu jawabannya hingga hari Sabtu, 16 Mei 2020, jam 12.00


[1] Pembenahan birokrasi publik telah dilakukan sejak zaman Orde Lama. Mulai dari pembentukan Kantor Urusan Pegawai (KUP) pada 1950, Program-penyederhanaan organisasi pemerintah pusat di masa Kabinet Wilopo (1952-1953). Program efisiensi aparatur negara, perbaikan taraf hidup pegawai, dan memberantas korupsi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955), pada tahun 1957 dibentuk dua Lembaga, yaitu Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) dan Lembaga administrasi Negara (LAN), kemudian dibentuk juga Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) pada 1962, dan komando tertinggi retooling Aparatur Revolusi (KONTRAR) pada 1964. Pada masa Orde Baru, pembenahan administrasi negara dilakukan dengan membentuk sejumlah kelembagaan mulai dari Tim Pembantu Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Adminstrasi Pemerintah (TIMPAAP) pada 1967, Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur Pemerintah (Proyek 13) yang kemudian diganti dengan Sektor Penyempurnaan dan Penertiban administrasi Negara (Sektor P) yang merupakan kepanitiaan dengan melibatkan sejumlah Lembaga sepeti LAN, Bappenas, BAKN, Setneg, dan Depkeu pada 1968. Setelah itu dilakukan peleburan Tim PAAP dan Proyek 13 ke dalam sebuah kementerian dengan nama Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur negara (Menpan). Sejak saat itu hingga sekarang Menpan, dengan berbagai variasi perubahn Namanya, menjadi Lembaga yang mengoordinasi reformai adminstrasi public dan pembenahan birokrasi di Indonesia
[2] Akan diteruskan pada kuliah berikutnya. Masih tetap dengan pendapat Prof Dr Agus Dwiyanto, tentang model ideal suatu birokrasi.
[3] Dalam bukunya, Ekologi Demokrasi, 2014, David Mathews, menggambarkan pemerintahan Amerika, yang dianggap sebagai kampium demokrasi, dalam empiriknya sangat bermasalah. Pemerintahnya ternyata (a) tidak banyak melibatkan masyarakat, (b) politik yang terbelah di masyarakat, (c) keterlibatan masyarakat yang negative, (d) sisitim yang tidak punua sumber daya yang dibutuhkan, (e) aksi-aksi atau tindakan masyarakay yang tidak terfocus, (f) pemerintahan yang tidak merespons siatuasi yang berubah, dan (g) saling tidak percaya antara masyarakat dan pemerintah.(hal 3-6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar