BS III,
REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH III
JURUSAN
PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
∏
MENUJU MODEL REFORMASI
BIROKRASI
Pada kuliah yang lalu telah diterangkan penyakit-penyakit
(patologi) birokrasi. Penyakit yang mungkin kalau terus dibahas tidak akan
habis-habisnya. Ryaas Rasyid, nan pakar pemerintahan, yang pernah menjabat
Menteri Otonomi Daerah, sangkin kesalnya pernah mengatakan bahwa pemerintahan
kita adalah pemerintahan “kampungan”. Untung saja ia tidak mengatakan pemerintahan
“tai kucing” (mengutif So Hok Gie).
Saat-saat ini, yakni saat-saat pandemi Covid-19 sedang/masih
berkecamuk, kita tetap disuguhi, betapa praksis-empirik pemerintahan masih
sangat-sangat bermasalah. Masih permanen, seperti yang dijelaskan pada kuliah
sebelumnya. Hal ini paling tidak dapat kita baca dari tulisan R Siti Zuhro, 11
Mei 2020, di bawah ini:
Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh video
viral kekesalan Bupati Bolaang Mongondow Timur berkenaan dengan aturan
pemerintah pusat tentang bantuan sosial Covid-19 yang dinilainya membingungkan dan menyusahkan daerah.
Fenomena tersebut bisa dipahami. Di satu sisi,
sebagai pemimpin yang berhadapan langsung dengan rakyat dalam menghadapi
“bencana nasional” Covid-19, para kepala daerah (bupati/walikota) dituntut
untuk mengambil kebijakan yang tangkas dan memberikan rasa aman kepada
rakyatnya. Disisi lain, pemerintah pusat – yang notabene memiliki kendala dalam
hal rentang kendali dengan berbagai pengaturan/norma hukum – dirasakannya
lamban dalam mengambil kebijakan.
Pemerintah pusat sepertinya gamang dalam
mendudukkan persoalan Covid-19; apakah tergolong wabah penyakit menular (UU No
4/1984), bencana non alam (UU No 24/2007, atau kedaruratan kesehatan masyarakat
dan kekarantinaan kesehatan (UU No 6/2018). Selain itu, publik juga melihat
tidak tertata/terbangunnya secara baik hubungan antar kelembagaan, seperti
antara Kemenkes, BNPB, Kemendagri, BUMN, Kominfo, TNI dan Polri dalam
penanganan Covid-19. Kementerian dan Lembaga (K/L) belum menjadi satu kesatuan
yang utuh dalam mengatasi Covid-19………..(Kompas, 11 Mei 2020)
∏
Dalam bahasa lain, namun substansi yang sama, anak mantan
Presiden Soekarno, Guruh Soekarno Putra (12 Mei 2020) sebagaimana pendapat R
Siti Zuhro, juga menilai bahwa pemerintah tidak tegas, lamban, tidak responsif,
kurang antisipatif, a historis, dan lain-lain sebutan patologis pemerintah.
Untuk lebih jelasnya, mengapa ia mengatakan seperti itu, akan dikutif dibawah
ini:
……Di sana-sini, menurut hemat saya, masih terdapat kelemahan-kelemahan
yang sebenarnya tak perlu terjadi kalau pemerintah dapat bertindak lebih cepat
dan lebih tegas sejak awal. Mengapa pemerintah hanya menghimbau kepada
rakyatnya, bukannya tegas memerintahkan rakyatnya agar bertindak begini atau
begitu, yang dapat mengikuti instruksi dan politik negara?
Menurut saya, jika pemerintah menggunakan kata
menghimbau, hal ini berarti boleh diikuti, tetapi boleh juga tak diikuti.
Namanya himbauan, dan bukan perintah.
Hingga saat ini masih banyak pelanggaran,
terutama dilakukan oleh kalangan kelas menengah ke bawah, walaupun pemerintah
telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebagai contoh,
bagaimana berjubelnya penumpang kereta api, angkutan lainnya, dan pasar, yang
tanpa mengindahkan ketentuan jaga jarak satu sama lain, dan tidak berkerumun.
Contoh lainnya, bagaimana ironisnya, seperti
ada di berita Kompas baru-baru ini soal anggota jamaah masjid di Kebon Jeruk
yang berjumlah sekitar 200 orang, 3 orang diantaranya positif tertular
Covid-19. Akibatnya, masjid plus jemaahnya terpaksa diisolasi oleh pihak
berwajib.
Apa mau dikata, semua telah terjadi di depan
mata. Untuk itu, ada baiknya jika kita ingin merenung sejenak dan mengingat
kembali pada ajaran-ajaran Bung Karno, yaitu agar kita selalu melaksanakan think and rethink, pikir dan pikir
kembali apa yang sudah dan akan kita lakukan lagi untuk menyelesaikan masalah
bangsa ini.
Kita memang harus berpikir dan berpikir
kembali, apakah langkah-langkah yang diambil selama ini benar-benar tepat dalam
perang melawan Covid-19? Terutama , apakah kebijakan-kebijakan yang diambil
pemerintah sekarang ini benar-benar mujarab untuk melawan pandemi Covid-19?.
Saya rasa belum sepenuhnya mujarab. Pemerintah
sendiri, jika harus menganalisis asal usul dan riwayat pandemi Covid-19,
tentu tak mudah. Namun, jika mengingat era Perang Dingin 1960-an, Bung Karno
pernah menganalisis dan mengkhawatirkan Blok Barat, khususnya Amerika serikat,
yang saat itu mempersiapkan “nubika warfare, perang nuklir,
biologi, dan kimia.
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi hal itu,
Bung Karno segera memerintahkan agar mendirikan reactor Atom Triga Mark II I
Jalan Taman Sari, Bandung, Jawa Barat.
Targetnya, satu tahun ke depan, reaktor itu harus sudah punya paling sedikit
bom atom dan roket, yang mampu meluncurkan satelit ke ruang angkasa.
Saat itu, dengan kerjasama antara departemen
Fisika Teknik, Elektro, Teknik Mesin ITB, dan Pindad, berhasil diluncurkan
roket Kartika dari Pamengpeuk, Jawa Barat, ke ionosfer. Pamaengpeuk saat itu
disiapkan untuk menjadi “Cape Kennedy”-nya Indonesia. Prestasi ini cukup
membanggakan karena selangkah lagi kita akan berhasil menembus strattosfer
alias ruang angkasa..Lalu apa hubungannya dengan Covid-19 saat ini? Ya , siapa
tahu AS hingga saat ini masih mempersiapkan untuk nubika warfare?, dan siapa tahu juga dalam eksperimen mereka,
kuman biologinya bocor dan menyebar menjadi Covid-19? (hal 7, Kompas, 12 mei
2020)
∏
Timbul
pertanyaan;
·
Mengapa
begitu dan terus begitu? (Begitu gitu terus….kacau kali…rusak
kali… payah kali kata anak Medan……..sudah tahu salah diterusin terus…..)
·
Apakah
selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan yang jelas tentang arah
pembaharuan birokrasi di Indonesia?[1]
·
Apakah
telah terdapat kebijakan pemerintah untuk membenahi karut-marut birokrasi
publik di Indonesia?
Agus Dwiyanto menjawab:
Melihat
apa yang terjadi selama ini, sebenarnya Pemerintah Indonesia belum memiliki
kebijakan reformasi yang visioner, holistik,koheren, dan serius untuk membenahi
birokrasinya. Pemerintah Indonesia gagal merumuskan kebijakan reformasi
birokrasi, pada hal telah lebih dari 70 tahun merdeka dan selama enam dekade
memiliki lembaga yang mengurus reformasi administrasi publik. Sementara itu,
pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan menyadari bahwa aspek dari
birokrasi publik di Indonesia sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan karena
memang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang sangat berbeda dari
birokrasi pemerintah ketika dilahirkan. Banyak diantara nilai, tradisi,
peraturan, struktur, dan desain birokrasi publik sekarang ini sebenarnya
merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda, yang tentu tidak lagi cocok
untuk menjawab tantangan birokrasi saat ini dan ke depannya. Reformasi
birokrasi publik di Indonesia adalah tuntutan sejarah karena Pemerintah
Indonesia mewarisi birokrasi kolonial yang memang dirancang untuk tujuan yang
berbeda dari tujuan negara Indonesia yang telah merdeka.
Namun, karena tidak pernah serius dalam melakukannya maka
sampai sekarang Pemerintah Indonesia tidak memiliki arah yang jelas dalam
membenahi birokrasinya. Akibatnya, birokrasi di Indonesia selama ini tumbuh dan
berkembang dengan arah, misi, dan fungsi yang tidak pernah jelas. Birokrasi
publik di Indonesia selama ini cenderung menjadi “instrument
kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politis yang sempit, sektoral, dan
berjangka pendek”.
Birokrasi pemerintah cenderung gagal menjadikan dirinya sebagai;
·
lembaga
publik yang mampu melindungi kepentingan publik,
·
mendorong
adanya perubahan sosial dan ekonomi dalam masyarakat,
·
serta
sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Karena selama in birokrasi pemerintah
cenderung menempatkan dirinya sebagai instrument kekuasaan maka tidak
mengherankan apabila dari waktu ke waktu birokrasi mengalami krisis kepercayaan
publik.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi membuat birokrasi
semakin kehilangan legitimasi sosial. Citra birokrasi pemerintah cenderung
terus memburuk dan sering di nilai sebagai sumber dari berbagai masalah publik
yang dihadapi masyarakat. Dalam bidang sosial politik, birokrasi sering di
nilai sebagai penghambat proses demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung
di tanah air. Birokrasi pemerintah sering di nilai gagal memfasilitasi
berkembangnya masyarakat sipil yang kuat. Bahkan, ketegangan hubungan antara
birokrasi pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil sering terjadi. Dalam bidang
ekonomi dan bisnis, birokrasi pemerintah sering menjadi faktor negatif karena
di nilai sebagai penyebab dari ekonomi biaya tinggi yang membuat iklim investasi
menjadi kurang menarik (World Bank & IFC, 2009). Banyak regulasi yang di
buat oleh birokrasi publik sering menghambat pelaku usaha masuk ke pasar dan
menghalangi terjadinya kompetisi yang wajar di pasar. Kinerja birokrasi yang
buruk juga di nilai menjadi salah satu faktor penting dari kegagalan usaha di
daerah.
Birokrasi masih menjadi beban dan hambatan untuk mendirikan
usaha di Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh International Bank for Reconstruction and Development dan Bank
Dunia, Indonesia pada tahun 2009 berada di urutan 122 di antara 183 negara
dalam hal kinerja pemerintah dalam mendukung kegiatan perekonomian, khususnya
menyangkut proses pendirian usaha, pengurusan izin mendirikan bangunan, dan
pendaftaran properti. Khusus dalam mengurus izin mendirikan usaha, para
pengusaha harus melalui prosedur yang panjang, waktu yang lama, dan biaya yang
mahal. Masih terdapat variasi kinerja yang sangat tinggi antara birokrasi
pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan usaha di wilayah jurisdiksinya.
Memang telah terdapat sejumlah daerah yang menunjukkan prestasinya, seperti
Kota Yogyakarta yang mensyaratkan hanya 8 prosedur mengurus IMB (setara dengan
peringkat 5 di level global) dan Kota Makassar yang hanya memerlukan 56 hari
untuk mengeluarkan IMB (setara dengan peringkat 9 di level global) (World bank & IFC, 2009). Namun,
beban dan rintangan birokrasi masih membayangi sebagian besar daerah lainnya
dan dalam aspek pendirian usaha lainnya…..Lalu apa tawaran atau solusinya?
∏
Sebelum sampai ke tawaran demikian[2],
ada baiknya kita bandingkan dengan konsep berikut, yakni konsep Reinventing Government; How Entrepreneurial Spirit’s transforming the
Public Sector, yang
ditulis oleh David Osborne dan Ted
Gaebler. Konsep yang diangkat dari kasus pemerintahan di AS, karena
pemerintahan saat itu (mungkin juga saat ini[3])
tidak berjalan semestinya. Osborne dan
Gaebler menawarkan 10 konsep, yakni;
1.
Catalytic Government: Steering Rather
Than Rowing.
2.
Community Owned Government:
Empowering Rather Than Serving.
3.
Competitive Government; Injection
Competition Into Service delivering.
4.
Mission Driven Government;
Transforming Rules Driven Organization.
5.
Result Oriented Government; Funding
Out comes, not Inputs.
6.
Costumer-Driven Government; Meeing
The need of the Costumer, Not The Bureaucracy.
7.
Enterprising Government; Earning
Rather Than Spending.
8.
Anticipatory Government; Preventions
Rather Than Cure.
9.
Decentralized Government; From
Hierarchi to Participatory and Team Work.
10.Market Oriented
Government; Leveraging Change through the Market.
PERTANYAAN
Bagaimana
pendapat saudara jika konsep-konsep tersebut diterapkan ke Indonesia….dan atau
khususnya ke pemerintahan tempat anda bekerja di Tanah Karo…..cocok nggak
kira-kira….saya tunggu jawabannya hingga hari Sabtu, 16 Mei 2020, jam 12.00
[1]
Pembenahan birokrasi publik telah dilakukan sejak zaman Orde Lama. Mulai dari
pembentukan Kantor Urusan Pegawai (KUP) pada 1950, Program-penyederhanaan
organisasi pemerintah pusat di masa Kabinet Wilopo (1952-1953). Program
efisiensi aparatur negara, perbaikan taraf hidup pegawai, dan memberantas
korupsi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955), pada tahun 1957
dibentuk dua Lembaga, yaitu Panitia Organisasi Kementerian (PANOK) dan Lembaga
administrasi Negara (LAN), kemudian dibentuk juga Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN) pada 1962, dan komando tertinggi retooling Aparatur Revolusi
(KONTRAR) pada 1964. Pada masa Orde Baru, pembenahan administrasi negara
dilakukan dengan membentuk sejumlah kelembagaan mulai dari Tim Pembantu
Presiden untuk Penertiban Aparatur dan Adminstrasi Pemerintah (TIMPAAP) pada
1967, Panitia Koordinasi Efisiensi Aparatur Ekonomi Negara dan Aparatur
Pemerintah (Proyek 13) yang kemudian diganti dengan Sektor Penyempurnaan dan
Penertiban administrasi Negara (Sektor P) yang merupakan kepanitiaan dengan melibatkan
sejumlah Lembaga sepeti LAN, Bappenas, BAKN, Setneg, dan Depkeu pada 1968.
Setelah itu dilakukan peleburan Tim PAAP dan Proyek 13 ke dalam sebuah
kementerian dengan nama Kementerian Negara Penyempurnaan dan Pembersihan
Aparatur negara (Menpan). Sejak saat itu hingga sekarang Menpan, dengan
berbagai variasi perubahn Namanya, menjadi Lembaga yang mengoordinasi reformai
adminstrasi public dan pembenahan birokrasi di Indonesia
[2]
Akan diteruskan pada kuliah berikutnya. Masih tetap dengan pendapat Prof Dr
Agus Dwiyanto, tentang model ideal suatu birokrasi.
[3]
Dalam bukunya, Ekologi Demokrasi,
2014, David Mathews, menggambarkan
pemerintahan Amerika, yang dianggap sebagai kampium demokrasi, dalam empiriknya
sangat bermasalah. Pemerintahnya ternyata (a) tidak banyak melibatkan
masyarakat, (b) politik yang terbelah di masyarakat, (c) keterlibatan
masyarakat yang negative, (d) sisitim yang tidak punua sumber daya yang
dibutuhkan, (e) aksi-aksi atau tindakan masyarakay yang tidak terfocus, (f)
pemerintahan yang tidak merespons siatuasi yang berubah, dan (g) saling tidak
percaya antara masyarakat dan pemerintah.(hal 3-6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar