BK X,
KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH
KE-10, SENIN, 15 JUNI 2020
JURUSAN
KOMUNIKASI, FISIPOL UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Penilaian akhir terdiri dari UTS, UAS, Kehadiran, Tugas, dan Quis. Untuk memenuhi unsur-unsur itu, metodenya
adalah keaktipan mahasiswa membaca materi yang diberikan, sejak kuliah ke-10
ini (dibaca dengan seksama, jangan sekedar-sekedar). Khusus untuk; keaktipan, tugas, dan quis, caranya adalah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang ada pada saat setiap materi kuliah (di jawab pada
waktu jam kuliah 10.30 – 12.30). Untuk keaktipan
“bertanya, menanggapi, dan
komentar, akan hal-hal yang
belum dipahami akan materi tersebut di tulis di WA group, sedangkan jawaban
pertanyaan di kirim ke WA atau e mail saya.
∏
Pada
kuliah ke-10 ini kita akan membahas globalisasi dalam hubungannya dengan
komunikasi, informasi, dan media. Pembahasannya akan lebih luas, lebih dalam,
dan lebih filosofis, sebab pada
kuliah-kuliah sebelumnya, seperti pada kuliah ke lima, yakni tentang
kesenjangan komunikasi internasional, dan kuliah ke enam, tentang dominasi
Barat atas isi Media, telah dibahas secara umum.
Materi
untuk kuliah ke-10 ini diambil dari bukunya Yasraf Amir
Piliang, 2011, Dunia Yang dilipat,
hal 11 sd hal 142.
∏
GLOBALISASI INFORMASI DAN VIRUS SOSIAL
Di dalam era globalisasi ekonomi dan
informasi dewasa ini, orang berbcara mengenai lenyapnya batas-batas teritorial,
batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan,
batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap sebagai
hambatan dalam interaksi global. Akan tetapi, di dalam era tersebut tidak
banyak orang berbicara mengenai lenyapnya batas sosiologis antara dunia
anak-anak dan dunia orang dewasa, misalnya; batas ontologis antara citra dan
realitas, batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, batas psikologis
antara normalitas dan abnormalitas, batas politis antara penguasa dan teroris
(sebab kini penguasa menciptakan simulasi teroris); batas ekonomi antara
bencana ekonomi dan sukses ekonomi (sebab kini ada simulasi bencana ekonomi)
Globalisasi ekonomi, informasi,
kebudayaan telah menawarkan berbagai keerbukaan dan kebebasan: ekonomi pasar
bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas. Keterbukaan telah mendorong
perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produk, informasi,
tanda, dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global, yang menawarkan pula
hutan rimba pilihan.
Setelah semua batas-batas tersebut di
atas lenyap, yang kemudin terbentuk adalah jaringan-jaringan transparan global
dalam berbagai diskursus: jaringan transparansi informasi, transparansi
komunikasi, transparansi ekonomi, transparansi seksual. Di dalam jaringan
transparansi informasi (disket, video) orang membaca, mendengar, melihat,
menonton, merekam, mengkopi apa saja yang sebelumyna dianggap tabu. Di dalam
jaringan transparansi komunikasi (televisi, computer, internet) orang
memperlihatkan, mempertontonkan, membicarakan, memamerkan apa saja yang
sebelumnya dianggap immoral. Di dalam jaringan transparansi seksual
(prostitusi, striptease, peepshow) orang menyaksikan, menonton,
melakukan hubungan seksual tanpa batas, gender, adat, umur. Di dalam jaringan
transparansi ekonomi (hiperkomoditi)
orang memproduksi, memperjualbelikan dan mengkonsumsi apa saja, termasuk
libido.
Dalam kelimpahruahan informasi, dalam
hipersirkuit komunikasi, dalam hutan rimba citraan yang bersifat transparan,
apa yang diperoleh ummat manusia justru bukan peningkatan kualitas kemanusiaan
dan spiritualitas, sebaliknya ironi kemanusiaan dan spiritual. Orang digairahkan
dengan ekstasi memandang, menonton, mendengar (televisi, video, fashion show), akan tetapi, apa yang
ditawarkan lebih banyak berupa kekosongan, kehampaan. Orang disuguhkan dengan
aneka ragam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang
diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.
Jaringan informasi, ekonomi, politik,
dan sosial menjadi bersifat transparan, tatkala batas diantara unsur-unsurnya
dan unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas di antara
unsur-unsurnya dan unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas
komunitas yang membentuknya, tatkala tidak ada lagi kategori-kategori moral
yang mengikatnya. Ketika segala sesuatunya menjadi transparan dan berputar
dalam sirkuit global, maka hukum yang mengatur masyarakat global kita bukan
lagi hukum kemajuan – sebab kemajuan berarti juga ekspansi territorial –
melainkan apa yang dikatakan Jean Baudrillard, hukum orbit. Kini, segala
sesuatu berputar secara orbital dan global, berpindah dari satu tempat ke
tempat lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain.
Ada orbit televisi, yang melaluinya,
informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun
lainnya, dari satu kelompok social ke kelompok social lainnya. Ada orbit
ekonomi, yang melaluinya kapital, barang, bunga, utang luar negeri berputar
dari satu negara ke negara lain, dari satu bank ke bank lain. Ada orbit
politik, yang melaluinya terror, kekerasan, intimidasi berpindah dari satu
bangsa ke bangsa lain, dari satu mafia ke mafia lainnya. Ada orbit ekstasi,
yang melaluinya fantasi, halusinasi, ilusi, berpindah dari satu subkultur ke
subkultur lainnya, dari satu diskotik ke diskotik lainnya. Ada orbit seksual,
yang melaluinya kecabulan, kegairahn, pornografi menjalar dari satu pusat
hiburan ke pusat hiburan lainnya, dari satu lokalisasi ke lokalisasi lainnya,
dari satu video ke video lainnya.
Apa yang kemudian ditawarkan adalah
kemungkinan bagi hubungan terbuka atau hubungan bebas tanpa batas dari satu
orang ke orang lainnya (lihat misalnya ancaman atau terror melalui telefon atau
internet). Di dalam kondisi transparan seperti ini, yang kemudian muncul adalah
semacam anonimitas di dalam orbit
komunikasi, ekonomi, politik, seksual – semacam actor tak dikenal, semacam
tokoh tanpa identitas. Bila Peter L.
Berger di dalam invitation to
Sociology berbicara mengenai model masyarakat sebagai sebuah drama dengan
berbagai actor-aktor di dalamnya, yang mempunyai peran masing-masing, maka di
dalam era transparansi sekarang ini banyak berkeliaran aktor-aktor tak dikenal
(lihat misalnya ancaman bom, para hackers
dalam internet.
Dengan transparannya
jaringan-jaringan, tidak saja terbuka pintu bagi anonimitas-anonimitas, akan tetapi juga bagi virus-virus. Jaringan komputer
dijalari oleh virus-virus program (virus konsep, virus macro). Jaringan tubuh
dijalari oleh virus-virus biologis (HIV). Jaringan politik dijalari oleh
virus-virus politik (teroris, skandal). Jaringan sosial dijalari oleh
virus-virus masyarakat (skandal, rampok, korupsi, kolusi). Jaringan ekonomi
dijalari oleh virus kapital dan virus libido (utang luar negeri, komodifikasi
libido).
Virus komputer disebabkan oleh
jaringan komunikasi melalui komputer yang mencapai tingkat hiperkomunikasi,
atau komunikasi terbuka tanpa batas. Virus HIV disebabkan hiperseksual, yaitu
kegairahan berlebihan yang melampaui
alam dan realitas seksual itu sendiri. Virus ekonomi disebabkan jaringan
komoditi yang mencapai tahap hiperkomoditi, yaitu komoditi yang melampaui alam
nilai gunanya sendiri, sehingga libido pun jadi komoditi. Virus sosial
disebabkan jaringan realitas sosial yang melampaui tahap hiper-realitas, yaitu
realitas yang melampaui alamnya sendiri, sehingga tidak ada lagi batas antara
realitas dan fantasi.
Virus program menyebabkan lenyapnya
daya tangkal computer terhadap kerusakan-kerusakan program, sehingga membawa
pada kondisi terminated. Virus HIV
menyebabkan lenyapnya daya tangkal tubuh terhadap berbagai penyakit biologis,
sehingga membawa pada kematian. Virus ekonomi menyebabkan lenyapnya daya serap
ekonomi terhadap pertumbuhan komoditi, dan kapital, sehingga membawa pada
bencana ekonomi (crash). Virus social
menyebabkan lenyapnya daya tangkal sosial terhadap berbagai tindakan asosial,
immoral, sehingga membawa pada krisis sosial.
Pada tiga decade yang lalu David Mc Clelland, masih berangan-angan
untuk menulari masyarakat modern dengan semacam virus mental, yang dinamakannya
nAch (need for achievement), yaitu
semacam dorongan di dalam diri, yang menimbulkan kebutuhan untuk meraih hasil,
prestasi, kemajuan atau pertumbuhan ekonom yang lebih baik. Akan tetapi kini,
di dalam masyarakat transparan, virus mental ini justru mendorong kea arah yang
berlawanan. Aneka virus yang menulari masyarakat konemporer kita tidak lagi
mendorong kea rah prestasi yang lebih baik, melainkan kearah konsumsi yang
berlebihan (hiperkonsumsi, konsumerisme); kesenangan, kegairahan, sensitivitas
yang berlebihan (ekstasi, hipersensitivitas, hiperseksualitas); perawatan,
perlindungan, pembentukan tubuh, dan diri yang berlebihan (hiperbeautifikasi, hypercare); pertahanan territorial,
teknologi persenjataan yang berlebihan (hiperproteksi, nuklir, star war);
produksi dan komodifikasi yang berlebihan (hiperkomoditi, hypermarket).
Di dalam jaringan transparansi
global, segala sesuatu yang berada di dalam orbit tidak dapat lagi
menghindarkan diri dari ancaman kontaminasi, radiasi, dan penularan berbagai
jenis virus. Kontaminasi ini pada titik tertentu akan mempengaruhi eksistensi
dan masa depan satu jaringan. Masalah yang kemudian muncul dari kontaminasi ini
adalah masalah nilai dan moralitas. Persoalan nilai ini menjadi lebih sensitive
lagi di dalam era globalisasi dewasa ini, sebab virus lebih besar yang justru
menjalari dunia adalah virus materialism dan virus liberalisasi yang secara
perlahan mengkontaminasi tata nilai lokal, dan mendekonstruksi idiom-idiom
idealism dan spiritualitasnya.
Berkaitan dengan persoalan nilai ini,
Nietzsche di dalam The Genealogi of Morals melihat ketidak
mungkinan menyusun satu hierarkhi nilai, disebabkan sifatnya yang sangat relatif,
Bagaimanakah sesuatu itu dapat dinilai baik atau buruk, tanpa kita pernah
curiga atau meragukan kondisi yang didalamnya nilai tersebut disusun? Meskipun
di dalam orbit globalisasi secara sepintas tampak adanya pluralism nilai-nilai,
akan tetapi bila diperhatikan secara lebih seksama, yang sesungguhnya terjadi
adalah semacam kontaminasi nilai-nilai yang ada (nilai local, nilai etnik,
nilai spiritual) oleh virus materialism. Kontaminasi nilai-nilai semacam ini
tampak misalnya, dalam pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari, yang meihat
pergeseran nilai-nilai filsafat di dalam era informasi sekarang. Di dalam buku
mereka What is Philosophy?, Deleuze dan Guattari melihat bergesernya
kedudukan filsafat sebagai wacana pembentukan nilai-nilai di dalam era
globalisasi ekonomi dan informasi sekarang ini. Di dalam dunia yang dikuasai
oleh orbit komoditi, kapital, tanda, citraan-citraan, filsafat menurut Deleuze dan Guattari tidak lagi memiliki
peran konvensionalnya sebagai wacana kontemplasi, refleksi, atau komunikasi,
melainkan lebih sebagai ajang bagi produkasi konsep-konsep. Sebuah kemasan
shampoo atau sebuah alat kecantikan mengandung di dalamnya konsep-konsep dan
sekaligus nilai-nilai yang ditawarkan, dan orang yang menciptakannya, meneurut Deleuze dan Guattari, adalah seorang
filosof.
Berkaitan dengan persoalan
nilai-nilai ini, Baudrillard, di
dalam The Transparancy of Evil,
melihat ada tiga tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat, yaitu tahap
alamiah (nilai guna), tahap komoditi (nilai tukar), dan tahap structural (nilai
tanda atau nilai semiotis). Pada tahap alamiah, segala sesuatu bercermin pada
alam, dan nilai-nilai disusun berdasarkan pemanfaatan dunia secara alamiah.
Tahap kedua mengacu pada hukum pertukaran (general
equivalen), dan nilai-nilai disusun mengacu pada logika komoditi. Tahap
ketiga diatur oleh kode-kode, dan nilai-nilai disusun mengacu pada seperangkat
tanda dan model. Akan tetapi, pergeseran nilai-nilai tersebut, menurut Baudrillard, tidak berhenti sampai
disini. Ia melihat bahwa di dalam era transparansi global dewasa ini berkembang
sistem nilai tahap ke empat, yang disebutnya tahap nilai fraktal (atau viral),
yaitu sistem nilai yang berkembang biak melalui pelipatgandaan tanpa akhir. Di
dalam sistem nilai fraktal ini tidak ada lagi yang disebut titik referensi.
Nilai-nilai memancar ke segala arah, menulari dan mengkontaminasi setiap sudut
kehidupan dalam kecepatan tinggi, sebelum kemudian ia menghilang.
Di dalam masyarakat kapitalisme
global sekarang ini-yang menjadikan kecepatan dan percepatan sebagai
paradigmanya-nilai-nilai atau fragmen-fragmen nilai bersinar seketika di dalam
wacana simulasi, sebelum semuanya menghilang ke dalam kehampaan, kekosongan,
kesemuan, dan akhirnya dilupakan. Adalah fragmen-fragmen nilai inilah-yang
bagaikan virus HIV-menulari dan mengkontaminasi setiap batas ideologi, setiap
batas moral, setiap batas spiritual melalui virus materialismenya, dan menjadikan
dirinya sebagai pengikat social (social
cement) tunggal. Di dalam masyarakat yang setiap wacana dan lalu lintas
sosialnya diikat oleh nilai-nilai materialism yang pekat, fungsi
spiritual-dengan segala nilai luhurnya, dan yang secara tradisional berfungsi
sebagai sosial cement-semakin
kehilangan tempat, tersisih, dan akhirnya menjadi suatu diskursus marginal. Di
dalam dunia yang telah dikontaminasi oleh virus materialism, nilai-nilai
spiritual diambil alih oleh nilai-nilai terapis (tontonan, hiburan, penampilan,
kebugaran, ekstasi)
Ontology Citraan dan
Virus Komunikasi.
Apakah arti citraan bagi masyarakat
kontemporer kita di tengah-tengah hutan rimba dan lalu lintas citraan yang
datang dan pergi dalam kecepatan tinggi? Nilai-nilai apakah yang terkandung di
dalam citraan tersebut? Bagaimanakah sebuah citraan mungkin dapat diendapkan
ketika ia hanya bertahan seketika, sebelum lenyap di telan kecepatan
pergantiannya sendiri? Apakah mungkin cara memandang kita telah berubah
bersamaan dengan datangnya abad informasi, atau abad citraan saat ini? Apakah
perubahan pada pandangan duna (world view) kita telah mengubah pula cara kita
memandang citra diri kita sendiri?
Menurut Christoph
Wulf di dalam artikelnya “The Temporality of
World Views and Self-Images”, pandangan dunia dan citra diri memang
tidak bisa dipisahkan. Cara manusia memandang dunia adalah cara ia melihat
dirinya sendiri; cara ia memahami dirinya sendiri adalah cara ia memahami
dunia. Perubahan dalam pandangan dunianya menggiring pada perubahan dalam
pandangan citra dirinya, dan sebaliknya. Berdasarkan pandangan Wulf di atas,
dapat dilihat bahwa di dalam era globalisasi informasi sekarang ini, pandangan
dunia dan pandangan citra diri masyarakat kontemporer kita memang telah
berubah, dibandingkan pandangan dunia para leluhur kita.
Tidak seperti kita, para leluhur kita
berdialog dengan dunia, dengan alam. Mereka memandang alam, mengamati , dan
merenungkannya. Seperti penyair Zawawi Imron, mereka berbicara dengan ombak,
berbisik-bisik dengan angin, berdialog dengan ilalang. Mereka berjalan dan
mematut-matut segala sesuatu. Mata mereka terlatih melihat sudut-sudut sebuah
tempat. Dalam pengamatannya, mereka akan berkata: “Wah, tahun ini tangkai
kacang buncis lebih panjang dibandingkan tahun lalu”, “Deburan ombak lebih
membuat disbanding dulu”. Ucapan-ucapan seperti ini tidak bias lagi kita dengar
dari anak muda di zaman informasi sekarang , sebab mereka sudah terbiasa melihat permukaan citraan ketimbang kedalaman.
Para leluhur kita melihat keindahan di balik sepucuk tanaman, dan menikmatinya.
Ia melihat jiwa di balik tanaman itu, yang anak muda masa kini tak bias
melihatnya. Para leluhur kita melihat sesuatu yang tersembunyi di balik sebuah
objek. Sebaliknya, anak muda di zaman kita – ketika segala sesuatunya justru
telah menjadi transparan – malah tidak mampu melihat apa-apa dari sebuah
citraan. Ini adalah semacam kebutaan yang mewabahi masyarakat kontemporer kita
– mata yang memandang, tapi tak melihat
apa-apa, selain kehampaan. Citraan-citraan yang dating dan pergi dalam
kecepatan tinggi dalam televii (lihat MTV dan video clip) membuktikan, bahwa di
balik belantara citraan kita tidak melihat apa-apa (nilai-nilai luhur) selain
dari kehampaan (nilai)
Berkaitan dengan perkembangan abad
citraan sekarang ini, Heidegger melihat persoalan-persoalan ontologis yang
muncul di balik dunia yang dibangun oleh citraan-citraan. Di dalam artikelnya
“The Age of the World Picture”. Heidegger melihat bahwa dengan berkembang
biaknya citraan-citraan disekeliling kita, maka dunia tempat kita hidup pada
akhirnya berubah wujud menjadi tak lebih dari sebuah ontology citraan. Kita
dikitari dan dikurung oleh citraan-citraan (foto, majalah, billboard, televisi,
video, film, computer, internet), dan citraan-citraan tersebut menjadi cermin
tempat kita berkaca, tempat kita mencari eksistensi diri kita sendiri. Kini,
sekan-akan televisi telah mengambil alih fungsi penglihatan kita, dan membentuk
realitas dengan bahasanya sendiri. Dalam hal ini, Heidegger mempertanyakan,
bahwa tidakkah dengan menggunakan kacamata televisi dalam memandang dunia dan
diri kita sendiri, diri kita sesungguhnya telah terdisintegrasi dari diri kita
sendiri, menjadi diri mekanis yang kehilangan jiwa?
Heidegger melihat bahwa di dalam abad
citraan, ada semacam virus yang mengkontaminasi sang Diri, berkaitan dengan
reduksi historis sang Ada (Being) menjadi tak lebih dari citraan, dan reduksi
historis ini akan membenuk cara kita memandang dunia dan diri kita. Kita diikat
dan ditambatkan pada citraan dan teralienasi dari diri kita sendiri. Bila kita
secara total mengidentifikasi diri. Bila kita secara total mengidentifikasi
diri kita dengan citraan, kita dilucuti dari diri kita sendiri-kita milik sang
Lain. Citraan mengaburkan kapasitas kita bagi pembentukan eksistensi yang
otentik, subjektifitas yang benar terhadap diri kita sendiri. Namun, apa yang
dilihat Heidegger di abad citraan sekarang adalah suatu diskursus, bagaimana
justru citraan menguasai sang Ada. Kebudayaan citraan menguasai sang Ada. Ada
meleburkan dirinya menjadi citraan, menjadi kehendak memproduksi dan menguasai
citraan, kehendak untuk memperlihatkan kekuasaan melalui produksi, sirkulasi,
dan konsumsi citraan-citraan. Heidegger melihat bahwa di abad citraan menjadi
ada sama artinya menjadi diperhatikan; dilihat, ditonton, dibawa ke atas
panngung tontonan. Di Dalamnya, diri, ego tak lebih dari komoditi, fetish, sekumpulan topeng-topeng yang
ditonton di atas panggung kehidupan.
Model komunikasi di
abad informasi dan abad citraan sekarang ini, menjadikan diri kita sebagai tak
lebih dari fragmen ontology media, ontolog citraan. Komunikasi berlangsung di dalam
satu orbit kesetikaan, kesegeraan, kesementaraan. Proses komunikasi dikatakan
baik bila ia berlangsung secara cepat. Di dalam model komunikasi semacam ini
tidak ada tempat untuk diam, untuk berhenti sejenak, untuk merenung, untuk
refleksi, untuk kontemplasi. Seperti metropolitan yang denyutnya tak pernah
berhenti, media dan citraannya juga tak pernah berkontemplasi,”…citraan dan
pesan, pesan harus mengalir silih berganti tanpa interupsi”. Paradigma media di
dalam era informasi kini bukanlah paradigma lalu lintas makna, pesan, atau
ideologi, melainkan paradigma kecepatan. Hutan rimba citraan yang mengurung
kita di dalam era informasi-apakah itu video, televisi, computer, sintesizer, video game-adalah citraan-citraan yang
didalamnya tak ada yang bisa direnungkan, direfleksikan (bandingkan cara
memandang leluhur kita). Ia tidak meninggalkan bekas apa-apa pada sang Diri. Ia
bahkan tidak meninggalkan bayangannya untuk direnungkan, sebab bayangan itu
sendiri lenyap ditelan kecepatan pergantiannya sendiri. Ontology citraan adalah
ontology kecepatan yang didalamnya tak ada tempat untuk berhenti sejenak.
Di dalam orbit global citraan, setiap
orang berlomba menemukan wajahnya, berlomba lomba menjadi citraan,
berlomba-lomba masuk televisi untuk menyatakan ada. Aku masuk televisi
karenanya aku ada! Ada aku adalah ada citraan. Barang siapa yang masuk
televisi, ia secara tiba-tiba akan memiliki pesona, memiliki kekuasaan. Inilah fetish masyarakat informasi,
menggantikan objek fetish masyarakat
primitif. Michael
Jackson, misalnya, menjadi citraan dan fetish, baik di dalam maupun di luar televisi, sebab di dalam dua
dunia ini ia sama-sama menampilkan kepalsuan, kesemuan, topeng-topeng. Ia
adalah simbol fetish masyarakat
informasi. Susan Sontag di dalam artikelnya “The Image World” mengatakan, bahwa
masyarakat kapitalis mutakhir adalah masyarakat yang dikuasai citraan, yang
memerlukan serangkaian hiburan dan tontonan untuk merangsang belanja. Didalam
nya perubahan sosial digantikan oleh perubahan citraan; kebebasan memilih
pluralitas citraan disamakan dengan demokrasi.
Citraan dapat menaturalisasikan
perbedaan sosial, akan tetapi ketika ia berputar di dalam orbit transparansi,
ia justru dapat melebur dan menghancurkan batas-batas sosial. Mengenai hal ini,
Dieter Lenzen di dalam artikelnya “Disappearing Adulthood”, mengatakan bahwa tatkala
televisi, video, atau computer misalnya, sebagai satu media, menampilkan segala
bentuk rahasia dihadapan anak-anak, mulai dari seksualitas sampai
kekerasan-rahasia-rahasia yang sebelumnya dijaga oleh para orang tua dari
anaknya-maka dunia anak-anak secara sosiologis tidak bisa lagi dibedakan dari
dunia orang dewasa. Batas sosiologis antara keduanya telah lenyap. Anak-anak
sebagai suatu kelompok sosiologis telah lenyap.
Kehidupan tradisional dibangun oleh
fase-fase yang harus dilalui setiap orang, dan peralihan dari satu fase ke fase
berikutnya ditandai oleh upacara-upacara, seperti sunat, potong rambut,
penyucian, perkawinan, dan sebagainya. Upacara-upacara ini merupakan legitimasi
bagi seseorang untuk dapat memasuki satu fase kehidupan baru. Akan tetapi kini,
ketika segala macam citraan dapat dilihat setiap orang, maka upacara-upacara
tersebut menjadi kehilangan makna sosiologisnya. Transparansi semacam ini
adalah virus mental yang menjalari dan mengkontaminasi dunia anak-anak
kita-virus yang memerangkap mereka sehingga selalu terobsesi dengan kecabulan (video, dvd porno), kegairahan berlebihan (ekstasi), kekerasan berlebihan (tawuran). Ini adalah semacam
kebrutalan yang mengancam anak-anak kita, ditengah gemerlapnya citraan, dan
transparansinya komunikasi.
Hiper-realitas Ekonomi
Globalisasi ekonomi yang melanda
dunia, dalam bentuknya yang mutakhir telah membentuk orbit ekonomi global. Di
dalam orbit ekonomi global ini menjalar apa yang disebut virus liberalisasi
(setidak tidaknya dalam dunia perdagangan) serta virus materialism yang
menyertainya. Virus liberalisasi kini melanda dunia, bersamaan dengan terbuka
lebarnya pintu gerbang hamper setiap negara bagi lalu lintas keluar dan
masuknya barang dan jasa, dengan segala nilai-nilai ideologis yang
menyertainya.
Prinsip yang mengatur diskursus dan
lalu lintas ekonomi global sekarang ini bahwa segala sesuatu, apapun, harus
memasuki sirkulasi dan orbit ekonomi global. Segala sumber daya harus
dieksplorasi, segala potensi harus digali untuk dijual di dalam pasar global.
Akan tetapi, apapun yang masuk kedalam orbit ekonomi global, ia harus terlebih
dahulu diliberalisasikan (sekali lagi dalam perdagangan). Kini liberalisasi
menjadi paradigma utama dalam ekonomi global. Ketika satu system ekonomi masuk
kedalam orbit ekonomi global, maka ia akan kehilangan daya tangkalnya bagi
pengaruh dan sekaligus ekses liberalisasi itu sendiri. Adalah virus
liberalisasi semacam inilah yang menyusup dan menjalari system social
negara-negara bekas Blok Timur, sehingga mereka kehilangan daya tangkal
ideologis mereka, menuju pada dekonstruksi system kekuasaan komunisme dan
penghancuran total ideologi mereka sendiri. Sebagai pengganti kekosongan
ideologis ini, Barat secara intensif menularkan virus liberal, dengan segala
eksesnya berupa kecintaan pada objek dan citraan-citraan; keterpesonaan pada
bujuk rayu, stimulasi, persuasi, dan tontonan; kegairahan pada
rangsangan-rangsangan libido, dan pelepasan hasrat; kemabukan akan sensitivitas
berlebihan dalam bentuk hedonism, ekstasi, semiotika tubuh-virus-virus yang
mendekonstruksi masyarakat komunis itu sendiri.
Liberalisasi, menurut Baudrillard,
juga menyusupkan satu virus mental yang disebut Baudrillard virus pemangsa (predator), yakni satu dorongan
dari dalam diri untuk memmangsa apa saja demi keberlangsungan system.
Kapitalisme global, misalnya, memangsa apa saja – artinya menjadikan komoditi
apa saja – mulai dari hiburan, olahraga, Pendidikan, informasi, kesehatan,
hingga kebugaran, kepribadian, penampilan; mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan
hingga ilusi, halusinasi dan fantasi, demi keberlangsungan perputaran kapital,
demi menggelembungnya kapital.
Di dalam masyarakat kapitalis global
dewasa ini, eksplorasi dan komodifikasi segala sumber daya dan konsumsi
produk-produknya berlangsung tak terkendali, sehingga ia melampaui titik
puncaknya, menuju titik hiperkonsumsi dan hiperkomoditi – komodifikasi dan
konsumsi berlebihan yang melampaui batas toleransinya. Penipisan lapisan ozon
pada laisan stratosfer yang membentuk lubang ozon, dan penebalan lapisan ozon
dekat laisan atmosfer adalah bencana yang ditimbulkan oleh hiperkonsumsi,
sebagaimana AIDS adalah bencana yang ditimbulkan oleh hiperseksualitas.
Penebalan lapisan ozon dekat atmosfer menyebabkan melemahnya daya tangkal bumi
terhadap perusakan materi, penipisan lapisan ozon pada stratosfer menyebabkan radiasi langsung sinar ultraviolet, yang
menyebabkan berkurangnya efisiensi daya tangkal tubuh, khususnya terhadap
bahaya kanker.
Akan tetapi, sebagaimana halnya seks
bebas yang terus saja berlangsung, meskipun ia berada dibawah ancaman orbit
AIDS, hiperkonsumsi pun terus saja berlangsung meskipun di bawah ancaman lubang
ozon, khususnya di dalam era liberalisasi ekonomi sekarang ini. Liberalisasi
ekonomi berarti liberalisasi semua jaringan dan sirkuit yang menopang wacana
ekonomi. Yang terjadi di dalamnya adalah metamorfosa struktur makro ekonomi
menjadi partikel-partikel yang membentuk jaringan dan sirkuit-sirkuit mikro,
yang masing-masing bertarung bagi kelangsungan perputaran kapitalnya sendiri di
dalam arena globalisasi.
Liberalisasi (perdagangan), de fakto, menyertakan di dalam dirinya
konsep-konsep kebebasan dan pembebasan dalam berbagai diskursus lainnya:
kebudayaan, media, politik, seks, libido, untuk merangsang perputaran modal. Ia
menjadi satu proses yang tanpa batas (seperti sebuah pembebasan energi), yang mendorong
setiap fungsi, setiap daya, setiap potensi, setiap tubuh ke arah batas bahkan
melampaui batas kemungkinannya, sampai pada satu titik yang didalamnya setiap
tindakan tidak mampu lagi dicari pembenarannya. Inilah awal dari hiper-realisme
ekonomi, bagaimana ekonomi telah melampaui batas kemungkinannya, dan akhirnya
dikuasai libido hasrat dari kapital itu sendiri.
Hiper-realisme ekonomi juga tampak
pada fenomena utang luar negeri, yang merupakan strategi bagi keberlangsungan
ekonomi global. Negara berkembang dapat survive darinya, meskipun sedikit saja
sentuhan auditing pada utang ini oleh negara donor, akan bias menyebabkan
bencana ekonomi. Selain itu, utang lur negeri ini sendiri sudah mulai memasuki
sebuah orbit – seperti halnya AIDS atau ozon – yakni berputar dari satu bank ke
bank lainnya, dari satu negara ke negara lainnya, seakan-akan ia
diperjualbelikan. Setiap bank yang dilewatinya akan mengambil keuntungan
darinya. Tatkala utang luar negeri ini semakin membengkak, makai a akan
terjerat ke dalam orbit hiper-realitasnya, yang didalamnya ia merupakan ancaman
bencana ekonomi. Utang luar negeri menjadi layaknya satelit bumi, menjadi
sekumpulan kapital mengapung, yang tak henti-hentinya mengelilingi dan
mengancam ekonomi real, pertumbuhan real. Adalah dibawah bayang-bayang orbit
utang mengapung inilah pertumbuhan ekonomi berlangsung. Celakanya, dibawah orbit utang mengapung ini, ekonomi bertumbuh
dalam satu kondisi seolah-olah utang itu tidak ada. Lalu lintas ekonomi
berlangsung justru seperti lal lintas ekonomi negara maju. Didalamnya uang
membentuk sirkulasi dan orbitnya sendiri – sebuah orbit, yang didalamnya ia
berputar dengan hukumnya sendiri. Ia menawarkan kecintaan pada objek mewah, kegilaan
pada prestise, kegandrungan pada gaya hidup, kegilaan pada semangat
konsumerisme, keasyikan pada kesenangan dan penampilan berlebihan.
Iklan, kuis, mall, televisi,
menjanjikan Mega Hadiah, Mega Bonus, sekan-akan itu adalah pernyataan kebaikan
hati sang produser kepada consumer. Akan tetapi, semua Mega Uang tersebut
sesungguhnya tak lebih dari semacam uang mengapung yang sebagian berasal dari
utang, dan sebagian berasal dari sebagian harga yang harus dibayar oleh para konsumer
atas barang, atau jasa yang mereka terima. Artinya itu adalah uang mereka
sendiri yang mengapung sebagai dana promosi. Lalu lintas ekonomi yang
didalamnya diskursus ekonomi diselimuti oleh uang mengapung – akan menciptakan image kemajuan, kesejahteraan,
kemakmuran: monument terbesar, super mall terluas, stadion termegah, pencakar
langit tertinggi, lapangan golf termodern (pada hal ditasnya mengapung dan
berputar pada orbitnya utang luar negeri yang setiap saat mengancam)
Pada titik ini, analisis ekonomi
politik tidak lagi menemukan landasan diskursusnya pada prinsip-prinsip ekonomi
atau politik sebagaimana yang dibayangkan Marx tatkala ia menganalisis ekonomi
politik kapitalisme, sebab ekonomi global kini berjalan berdasarkan logikanya
sendiri – logika pasar, logika libido, logika simulasi. Di dalam sirkulasi
globalnya, ekonomi telah berubah bentuk menjadi apa yang disebut Baudrillard
sebagai transekonomi, yang menemukan landasan diskursusnya pada spekulasi,
permainan, simulasi, dan simulasi. Diskursus ekonomi kini didasari oleh
berbagai logic pekulasi. Misalnya, dengan ikut mensponsori kampanye Partai
Demokrt di Amerika, beberapa konglomerat Indonesia berspekulasi akan mengeruk
keuntungan, bila partai Demokrat itu menang. Ini adalah ekonomi spekulasi.
Diskursus ekonomi juga didasari oleh berbagai logika permainan-permainan tanda,
permainan harga, permainan nilai. Ia juga dipenuhi oleh berbagai logika
simulasi: simulasi kemajuan, simulasi bencana (bencana ekonomi sengaja
diciptakan demi kelangsungan perputaran kapital). Ia juga digairahkan oleh
logika bujuk rayu dan rangsangan-rangsangan, sehingga kita tidak lagi sekedar
berbicara strategi ekonomi, akan tetapi juga erotica ekonomi.
PERTANYAAN
1.
Jelaskan,
apa yang dimaksud Jean Baudrillard dengan “hukum orbit”.
2.
Idem
no 1, David Mc Clelland dengan virus mental nAch.
3.
Jelaskan
secara singkat, perubahan filsafat menurut Deleuze dan Guattari.
4.
Apa
yang dimaksud dengan virus materialism?
5.
Jelaskan
bunyi syair Zawawi Imron.
6.
Jelaskan
apa yang dimaksud dengan, (a) ontology citraan, (b) fragmen ontology media
7.
Mengapa
Michael Jackson disebut simbol masyarakat fetish? Jawab secara singkat
8.
Apa
yang dimaksud Susan Sontag dengan “Masyarakat Kapitalis Mutakhir”? uraikan
secara singkat.
9.
Pada
akhir tulisannya, Yasraf Amir Piliang menulis seperti ini:…..ketika semangat materialism ini begitu kuat menguasai
setiap diskursus, maka dikhawatirkan ia akan sampai pada satu titik materialism
total, yang tidak menyisakan sama sekali ruang bagi pertimbangan moral atau
spiritual. Setiap diskursus yang diisi secara total oleh terapi dan spiritual
semu, akan membentuk kondisi despiritualisasi dan demoralisasi, yang
dikhawatirkan akan menyebabkan semakin tidak terkendalinya pengoperasian setiap
diskursus, dan akhirnya menuju pada transparansi total, alias kehancuran total.
Maka, sebelum emuanya ini terjadi, setiap diskursus – media massa, ekonomi,
politik, seksual – harus ditemukan kembali dimensi-dimensi luhurnya, melalui
upaya-upaya respiritualisasi dan remoralisasi, sebelum kehancuran itu sendiri
yang berbicara kepada kita………bagaimana pendapat anda ?
10.Sebagai pertanyaan pamungkas:….Adakah
hubungan globalisasi dengan wabah Covid-19 yang fenomenal dewasa ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar