Minggu, 14 Juni 2020

BK X, KOMUNIKASI INTERNASIONAL



BK X, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH KE-10, SENIN, 15 JUNI 2020
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Penilaian akhir terdiri dari UTS, UAS, Kehadiran, Tugas, dan Quis. Untuk memenuhi unsur-unsur itu, metodenya adalah keaktipan mahasiswa membaca materi yang diberikan, sejak kuliah ke-10 ini (dibaca dengan seksama, jangan sekedar-sekedar). Khusus untuk; keaktipan, tugas, dan quis, caranya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada saat setiap materi kuliah (di jawab pada waktu   jam kuliah 10.30 – 12.30). Untuk keaktipan “bertanya, menanggapi, dan komentar, akan hal-hal yang belum dipahami akan materi tersebut di tulis di WA group, sedangkan jawaban pertanyaan di kirim ke WA atau e mail saya.
Pada kuliah ke-10 ini kita akan membahas globalisasi dalam hubungannya dengan komunikasi, informasi, dan media. Pembahasannya akan lebih luas, lebih dalam, dan lebih filosofis,  sebab pada kuliah-kuliah sebelumnya, seperti pada kuliah ke lima, yakni tentang kesenjangan komunikasi internasional, dan kuliah ke enam, tentang dominasi Barat atas isi Media, telah dibahas secara umum.
Materi untuk kuliah ke-10 ini diambil dari bukunya Yasraf Amir Piliang, 2011,  Dunia Yang dilipat, hal 11 sd hal 142.
GLOBALISASI INFORMASI DAN VIRUS SOSIAL
Di dalam era globalisasi ekonomi dan informasi dewasa ini, orang berbcara mengenai lenyapnya batas-batas teritorial, batas-batas negara dan bangsa, batas-batas kesukuan dan kepercayaan, batas-batas politik dan kebudayaan, yang pada waktu lalu dianggap sebagai hambatan dalam interaksi global. Akan tetapi, di dalam era tersebut tidak banyak orang berbicara mengenai lenyapnya batas sosiologis antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa, misalnya; batas ontologis antara citra dan realitas, batas filosofis antara kebenaran dan kepalsuan, batas psikologis antara normalitas dan abnormalitas, batas politis antara penguasa dan teroris (sebab kini penguasa menciptakan simulasi teroris); batas ekonomi antara bencana ekonomi dan sukses ekonomi (sebab kini ada simulasi bencana ekonomi)
Globalisasi ekonomi, informasi, kebudayaan telah menawarkan berbagai keerbukaan dan kebebasan: ekonomi pasar bebas, komunikasi bebas (internet), seks bebas. Keterbukaan telah mendorong perkembangbiakan, pelipatgandaan, dan penganekaragaman produk, informasi, tanda, dan kesenangan yang tanpa batas dalam skala global, yang menawarkan pula hutan rimba pilihan.
Setelah semua batas-batas tersebut di atas lenyap, yang kemudin terbentuk adalah jaringan-jaringan transparan global dalam berbagai diskursus: jaringan transparansi informasi, transparansi komunikasi, transparansi ekonomi, transparansi seksual. Di dalam jaringan transparansi informasi (disket, video) orang membaca, mendengar, melihat, menonton, merekam, mengkopi apa saja yang sebelumyna dianggap tabu. Di dalam jaringan transparansi komunikasi (televisi, computer, internet) orang memperlihatkan, mempertontonkan, membicarakan, memamerkan apa saja yang sebelumnya dianggap immoral. Di dalam jaringan transparansi seksual (prostitusi, striptease, peepshow) orang menyaksikan, menonton, melakukan hubungan seksual tanpa batas, gender, adat, umur. Di dalam jaringan transparansi ekonomi (hiperkomoditi) orang memproduksi, memperjualbelikan dan mengkonsumsi apa saja, termasuk libido.
Dalam kelimpahruahan informasi, dalam hipersirkuit komunikasi, dalam hutan rimba citraan yang bersifat transparan, apa yang diperoleh ummat manusia justru bukan peningkatan kualitas kemanusiaan dan spiritualitas, sebaliknya ironi kemanusiaan dan spiritual. Orang digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, mendengar (televisi, video, fashion show), akan tetapi, apa yang ditawarkan lebih banyak berupa kekosongan, kehampaan. Orang disuguhkan dengan aneka ragam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.
Jaringan informasi, ekonomi, politik, dan sosial menjadi bersifat transparan, tatkala batas diantara unsur-unsurnya dan unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas di antara unsur-unsurnya dan unsur lain lenyap, tatkala tidak ada lagi batas-batas komunitas yang membentuknya, tatkala tidak ada lagi kategori-kategori moral yang mengikatnya. Ketika segala sesuatunya menjadi transparan dan berputar dalam sirkuit global, maka hukum yang mengatur masyarakat global kita bukan lagi hukum kemajuan – sebab kemajuan berarti juga ekspansi territorial – melainkan apa yang dikatakan Jean Baudrillard, hukum orbit. Kini, segala sesuatu berputar secara orbital dan global, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu komunitas ke komunitas lain, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain.
Ada orbit televisi, yang melaluinya, informasi, tontonan, hiburan, kesenangan berputar dari satu stasiun ke stasiun lainnya, dari satu kelompok social ke kelompok social lainnya. Ada orbit ekonomi, yang melaluinya kapital, barang, bunga, utang luar negeri berputar dari satu negara ke negara lain, dari satu bank ke bank lain. Ada orbit politik, yang melaluinya terror, kekerasan, intimidasi berpindah dari satu bangsa ke bangsa lain, dari satu mafia ke mafia lainnya. Ada orbit ekstasi, yang melaluinya fantasi, halusinasi, ilusi, berpindah dari satu subkultur ke subkultur lainnya, dari satu diskotik ke diskotik lainnya. Ada orbit seksual, yang melaluinya kecabulan, kegairahn, pornografi menjalar dari satu pusat hiburan ke pusat hiburan lainnya, dari satu lokalisasi ke lokalisasi lainnya, dari satu video ke video lainnya.
Apa yang kemudian ditawarkan adalah kemungkinan bagi hubungan terbuka atau hubungan bebas tanpa batas dari satu orang ke orang lainnya (lihat misalnya ancaman atau terror melalui telefon atau internet). Di dalam kondisi transparan seperti ini, yang kemudian muncul adalah semacam anonimitas di dalam orbit komunikasi, ekonomi, politik, seksual – semacam actor tak dikenal, semacam tokoh tanpa identitas. Bila Peter L. Berger di dalam invitation to Sociology berbicara mengenai model masyarakat sebagai sebuah drama dengan berbagai actor-aktor di dalamnya, yang mempunyai peran masing-masing, maka di dalam era transparansi sekarang ini banyak berkeliaran aktor-aktor tak dikenal (lihat misalnya ancaman bom, para hackers dalam internet.
Dengan transparannya jaringan-jaringan, tidak saja terbuka pintu bagi anonimitas-anonimitas, akan tetapi juga bagi virus-virus. Jaringan komputer dijalari oleh virus-virus program (virus konsep, virus macro). Jaringan tubuh dijalari oleh virus-virus biologis (HIV). Jaringan politik dijalari oleh virus-virus politik (teroris, skandal). Jaringan sosial dijalari oleh virus-virus masyarakat (skandal, rampok, korupsi, kolusi). Jaringan ekonomi dijalari oleh virus kapital dan virus libido (utang luar negeri, komodifikasi libido).
Virus komputer disebabkan oleh jaringan komunikasi melalui komputer yang mencapai tingkat hiperkomunikasi, atau komunikasi terbuka tanpa batas. Virus HIV disebabkan hiperseksual, yaitu kegairahan berlebihan  yang melampaui alam dan realitas seksual itu sendiri. Virus ekonomi disebabkan jaringan komoditi yang mencapai tahap hiperkomoditi, yaitu komoditi yang melampaui alam nilai gunanya sendiri, sehingga libido pun jadi komoditi. Virus sosial disebabkan jaringan realitas sosial yang melampaui tahap hiper-realitas, yaitu realitas yang melampaui alamnya sendiri, sehingga tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi.
Virus program menyebabkan lenyapnya daya tangkal computer terhadap kerusakan-kerusakan program, sehingga membawa pada kondisi terminated. Virus HIV menyebabkan lenyapnya daya tangkal tubuh terhadap berbagai penyakit biologis, sehingga membawa pada kematian. Virus ekonomi menyebabkan lenyapnya daya serap ekonomi terhadap pertumbuhan komoditi, dan kapital, sehingga membawa pada bencana ekonomi (crash). Virus social menyebabkan lenyapnya daya tangkal sosial terhadap berbagai tindakan asosial, immoral, sehingga membawa pada krisis sosial.
Pada tiga decade yang lalu David Mc Clelland, masih berangan-angan untuk menulari masyarakat modern dengan semacam virus mental, yang dinamakannya nAch (need for achievement), yaitu semacam dorongan di dalam diri, yang menimbulkan kebutuhan untuk meraih hasil, prestasi, kemajuan atau pertumbuhan ekonom yang lebih baik. Akan tetapi kini, di dalam masyarakat transparan, virus mental ini justru mendorong kea arah yang berlawanan. Aneka virus yang menulari masyarakat konemporer kita tidak lagi mendorong kea rah prestasi yang lebih baik, melainkan kearah konsumsi yang berlebihan (hiperkonsumsi, konsumerisme); kesenangan, kegairahan, sensitivitas yang berlebihan (ekstasi, hipersensitivitas, hiperseksualitas); perawatan, perlindungan, pembentukan tubuh, dan diri yang berlebihan (hiperbeautifikasi, hypercare); pertahanan territorial, teknologi persenjataan yang berlebihan (hiperproteksi, nuklir, star war); produksi dan komodifikasi yang berlebihan (hiperkomoditi, hypermarket).
Di dalam jaringan transparansi global, segala sesuatu yang berada di dalam orbit tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ancaman kontaminasi, radiasi, dan penularan berbagai jenis virus. Kontaminasi ini pada titik tertentu akan mempengaruhi eksistensi dan masa depan satu jaringan. Masalah yang kemudian muncul dari kontaminasi ini adalah masalah nilai dan moralitas. Persoalan nilai ini menjadi lebih sensitive lagi di dalam era globalisasi dewasa ini, sebab virus lebih besar yang justru menjalari dunia adalah virus materialism dan virus liberalisasi yang secara perlahan mengkontaminasi tata nilai lokal, dan mendekonstruksi idiom-idiom idealism dan spiritualitasnya.
Berkaitan dengan persoalan nilai ini, Nietzsche di dalam The Genealogi of Morals melihat ketidak mungkinan menyusun satu hierarkhi nilai, disebabkan sifatnya yang sangat relatif, Bagaimanakah sesuatu itu dapat dinilai baik atau buruk, tanpa kita pernah curiga atau meragukan kondisi yang didalamnya nilai tersebut disusun? Meskipun di dalam orbit globalisasi secara sepintas tampak adanya pluralism nilai-nilai, akan tetapi bila diperhatikan secara lebih seksama, yang sesungguhnya terjadi adalah semacam kontaminasi nilai-nilai yang ada (nilai local, nilai etnik, nilai spiritual) oleh virus materialism. Kontaminasi nilai-nilai semacam ini tampak misalnya, dalam pemikiran Gilles Deleuze dan Felix Guattari, yang meihat pergeseran nilai-nilai filsafat di dalam era informasi sekarang. Di dalam buku mereka What is Philosophy?, Deleuze dan Guattari melihat bergesernya kedudukan filsafat sebagai wacana pembentukan nilai-nilai di dalam era globalisasi ekonomi dan informasi sekarang ini. Di dalam dunia yang dikuasai oleh orbit komoditi, kapital, tanda, citraan-citraan, filsafat menurut Deleuze dan Guattari tidak lagi memiliki peran konvensionalnya sebagai wacana kontemplasi, refleksi, atau komunikasi, melainkan lebih sebagai ajang bagi produkasi konsep-konsep. Sebuah kemasan shampoo atau sebuah alat kecantikan mengandung di dalamnya konsep-konsep dan sekaligus nilai-nilai yang ditawarkan, dan orang yang menciptakannya, meneurut Deleuze dan Guattari, adalah seorang filosof.
Berkaitan dengan persoalan nilai-nilai ini, Baudrillard, di dalam The Transparancy of Evil, melihat ada tiga tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat, yaitu tahap alamiah (nilai guna), tahap komoditi (nilai tukar), dan tahap structural (nilai tanda atau nilai semiotis). Pada tahap alamiah, segala sesuatu bercermin pada alam, dan nilai-nilai disusun berdasarkan pemanfaatan dunia secara alamiah. Tahap kedua mengacu pada hukum pertukaran (general equivalen), dan nilai-nilai disusun mengacu pada logika komoditi. Tahap ketiga diatur oleh kode-kode, dan nilai-nilai disusun mengacu pada seperangkat tanda dan model. Akan tetapi, pergeseran nilai-nilai tersebut, menurut Baudrillard, tidak berhenti sampai disini. Ia melihat bahwa di dalam era transparansi global dewasa ini berkembang sistem nilai tahap ke empat, yang disebutnya tahap nilai fraktal (atau viral), yaitu sistem nilai yang berkembang biak melalui pelipatgandaan tanpa akhir. Di dalam sistem nilai fraktal ini tidak ada lagi yang disebut titik referensi. Nilai-nilai memancar ke segala arah, menulari dan mengkontaminasi setiap sudut kehidupan dalam kecepatan tinggi, sebelum kemudian ia menghilang.
Di dalam masyarakat kapitalisme global sekarang ini-yang menjadikan kecepatan dan percepatan sebagai paradigmanya-nilai-nilai atau fragmen-fragmen nilai bersinar seketika di dalam wacana simulasi, sebelum semuanya menghilang ke dalam kehampaan, kekosongan, kesemuan, dan akhirnya dilupakan. Adalah fragmen-fragmen nilai inilah-yang bagaikan virus HIV-menulari dan mengkontaminasi setiap batas ideologi, setiap batas moral, setiap batas spiritual melalui virus materialismenya, dan menjadikan dirinya sebagai pengikat social (social cement) tunggal. Di dalam masyarakat yang setiap wacana dan lalu lintas sosialnya diikat oleh nilai-nilai materialism yang pekat, fungsi spiritual-dengan segala nilai luhurnya, dan yang secara tradisional berfungsi sebagai sosial cement-semakin kehilangan tempat, tersisih, dan akhirnya menjadi suatu diskursus marginal. Di dalam dunia yang telah dikontaminasi oleh virus materialism, nilai-nilai spiritual diambil alih oleh nilai-nilai terapis (tontonan, hiburan, penampilan, kebugaran, ekstasi)
Ontology Citraan dan Virus Komunikasi.
Apakah arti citraan bagi masyarakat kontemporer kita di tengah-tengah hutan rimba dan lalu lintas citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi? Nilai-nilai apakah yang terkandung di dalam citraan tersebut? Bagaimanakah sebuah citraan mungkin dapat diendapkan ketika ia hanya bertahan seketika, sebelum lenyap di telan kecepatan pergantiannya sendiri? Apakah mungkin cara memandang kita telah berubah bersamaan dengan datangnya abad informasi, atau abad citraan saat ini? Apakah perubahan pada pandangan duna (world view) kita telah mengubah pula cara kita memandang citra diri kita sendiri?
Menurut Christoph Wulf di dalam artikelnya “The Temporality of World Views and Self-Images”, pandangan dunia dan citra diri memang tidak bisa dipisahkan. Cara manusia memandang dunia adalah cara ia melihat dirinya sendiri; cara ia memahami dirinya sendiri adalah cara ia memahami dunia. Perubahan dalam pandangan dunianya menggiring pada perubahan dalam pandangan citra dirinya, dan sebaliknya. Berdasarkan pandangan Wulf di atas, dapat dilihat bahwa di dalam era globalisasi informasi sekarang ini, pandangan dunia dan pandangan citra diri masyarakat kontemporer kita memang telah berubah, dibandingkan pandangan dunia para leluhur kita.
Tidak seperti kita, para leluhur kita berdialog dengan dunia, dengan alam. Mereka memandang alam, mengamati , dan merenungkannya. Seperti penyair Zawawi Imron, mereka berbicara dengan ombak, berbisik-bisik dengan angin, berdialog dengan ilalang. Mereka berjalan dan mematut-matut segala sesuatu. Mata mereka terlatih melihat sudut-sudut sebuah tempat. Dalam pengamatannya, mereka akan berkata: “Wah, tahun ini tangkai kacang buncis lebih panjang dibandingkan tahun lalu”, “Deburan ombak lebih membuat disbanding dulu”. Ucapan-ucapan seperti ini tidak bias lagi kita dengar dari anak muda di zaman informasi sekarang , sebab mereka sudah terbiasa  melihat permukaan citraan ketimbang kedalaman. Para leluhur kita melihat keindahan di balik sepucuk tanaman, dan menikmatinya. Ia melihat jiwa di balik tanaman itu, yang anak muda masa kini tak bias melihatnya. Para leluhur kita melihat sesuatu yang tersembunyi di balik sebuah objek. Sebaliknya, anak muda di zaman kita – ketika segala sesuatunya justru telah menjadi transparan – malah tidak mampu melihat apa-apa dari sebuah citraan. Ini adalah semacam kebutaan yang mewabahi masyarakat kontemporer kita – mata yang memandang, tapi tak melihat apa-apa, selain kehampaan. Citraan-citraan yang dating dan pergi dalam kecepatan tinggi dalam televii (lihat MTV dan video clip) membuktikan, bahwa di balik belantara citraan kita tidak melihat apa-apa (nilai-nilai luhur) selain dari kehampaan (nilai)
Berkaitan dengan perkembangan abad citraan sekarang ini, Heidegger melihat persoalan-persoalan ontologis yang muncul di balik dunia yang dibangun oleh citraan-citraan. Di dalam artikelnya “The Age of the World Picture”. Heidegger melihat bahwa dengan berkembang biaknya citraan-citraan disekeliling kita, maka dunia tempat kita hidup pada akhirnya berubah wujud menjadi tak lebih dari sebuah ontology citraan. Kita dikitari dan dikurung oleh citraan-citraan (foto, majalah, billboard, televisi, video, film, computer, internet), dan citraan-citraan tersebut menjadi cermin tempat kita berkaca, tempat kita mencari eksistensi diri kita sendiri. Kini, sekan-akan televisi telah mengambil alih fungsi penglihatan kita, dan membentuk realitas dengan bahasanya sendiri. Dalam hal ini, Heidegger mempertanyakan, bahwa tidakkah dengan menggunakan kacamata televisi dalam memandang dunia dan diri kita sendiri, diri kita sesungguhnya telah terdisintegrasi dari diri kita sendiri, menjadi diri mekanis yang kehilangan jiwa?
Heidegger melihat bahwa di dalam abad citraan, ada semacam virus yang mengkontaminasi sang Diri, berkaitan dengan reduksi historis sang Ada (Being) menjadi tak lebih dari citraan, dan reduksi historis ini akan membenuk cara kita memandang dunia dan diri kita. Kita diikat dan ditambatkan pada citraan dan teralienasi dari diri kita sendiri. Bila kita secara total mengidentifikasi diri. Bila kita secara total mengidentifikasi diri kita dengan citraan, kita dilucuti dari diri kita sendiri-kita milik sang Lain. Citraan mengaburkan kapasitas kita bagi pembentukan eksistensi yang otentik, subjektifitas yang benar terhadap diri kita sendiri. Namun, apa yang dilihat Heidegger di abad citraan sekarang adalah suatu diskursus, bagaimana justru citraan menguasai sang Ada. Kebudayaan citraan menguasai sang Ada. Ada meleburkan dirinya menjadi citraan, menjadi kehendak memproduksi dan menguasai citraan, kehendak untuk memperlihatkan kekuasaan melalui produksi, sirkulasi, dan konsumsi citraan-citraan. Heidegger melihat bahwa di abad citraan menjadi ada sama artinya menjadi diperhatikan; dilihat, ditonton, dibawa ke atas panngung tontonan. Di Dalamnya, diri, ego tak lebih dari komoditi, fetish, sekumpulan topeng-topeng yang ditonton di atas panggung kehidupan.
Model komunikasi di abad informasi dan abad citraan sekarang ini, menjadikan diri kita sebagai tak lebih dari fragmen ontology media, ontolog citraan. Komunikasi berlangsung di dalam satu orbit kesetikaan, kesegeraan, kesementaraan. Proses komunikasi dikatakan baik bila ia berlangsung secara cepat. Di dalam model komunikasi semacam ini tidak ada tempat untuk diam, untuk berhenti sejenak, untuk merenung, untuk refleksi, untuk kontemplasi. Seperti metropolitan yang denyutnya tak pernah berhenti, media dan citraannya juga tak pernah berkontemplasi,”…citraan dan pesan, pesan harus mengalir silih berganti tanpa interupsi”. Paradigma media di dalam era informasi kini bukanlah paradigma lalu lintas makna, pesan, atau ideologi, melainkan paradigma kecepatan. Hutan rimba citraan yang mengurung kita di dalam era informasi-apakah itu video, televisi, computer, sintesizer, video game-adalah citraan-citraan yang didalamnya tak ada yang bisa direnungkan, direfleksikan (bandingkan cara memandang leluhur kita). Ia tidak meninggalkan bekas apa-apa pada sang Diri. Ia bahkan tidak meninggalkan bayangannya untuk direnungkan, sebab bayangan itu sendiri lenyap ditelan kecepatan pergantiannya sendiri. Ontology citraan adalah ontology kecepatan yang didalamnya tak ada tempat untuk berhenti sejenak.
Di dalam orbit global citraan, setiap orang berlomba menemukan wajahnya, berlomba lomba menjadi citraan, berlomba-lomba masuk televisi untuk menyatakan ada. Aku masuk televisi karenanya aku ada! Ada aku adalah ada citraan. Barang siapa yang masuk televisi, ia secara tiba-tiba akan memiliki pesona, memiliki kekuasaan. Inilah fetish masyarakat informasi, menggantikan objek fetish masyarakat primitif. Michael Jackson, misalnya, menjadi citraan dan fetish, baik di dalam maupun di luar televisi, sebab di dalam dua dunia ini ia sama-sama menampilkan kepalsuan, kesemuan, topeng-topeng. Ia adalah simbol fetish masyarakat informasi. Susan Sontag di dalam artikelnya “The Image World” mengatakan, bahwa masyarakat kapitalis mutakhir adalah masyarakat yang dikuasai citraan, yang memerlukan serangkaian hiburan dan tontonan untuk merangsang belanja. Didalam nya perubahan sosial digantikan oleh perubahan citraan; kebebasan memilih pluralitas citraan disamakan dengan demokrasi.
Citraan dapat menaturalisasikan perbedaan sosial, akan tetapi ketika ia berputar di dalam orbit transparansi, ia justru dapat melebur dan menghancurkan batas-batas sosial. Mengenai hal ini, Dieter Lenzen di dalam artikelnya “Disappearing Adulthood”, mengatakan bahwa tatkala televisi, video, atau computer misalnya, sebagai satu media, menampilkan segala bentuk rahasia dihadapan anak-anak, mulai dari seksualitas sampai kekerasan-rahasia-rahasia yang sebelumnya dijaga oleh para orang tua dari anaknya-maka dunia anak-anak secara sosiologis tidak bisa lagi dibedakan dari dunia orang dewasa. Batas sosiologis antara keduanya telah lenyap. Anak-anak sebagai suatu kelompok sosiologis telah lenyap.
Kehidupan tradisional dibangun oleh fase-fase yang harus dilalui setiap orang, dan peralihan dari satu fase ke fase berikutnya ditandai oleh upacara-upacara, seperti sunat, potong rambut, penyucian, perkawinan, dan sebagainya. Upacara-upacara ini merupakan legitimasi bagi seseorang untuk dapat memasuki satu fase kehidupan baru. Akan tetapi kini, ketika segala macam citraan dapat dilihat setiap orang, maka upacara-upacara tersebut menjadi kehilangan makna sosiologisnya. Transparansi semacam ini adalah virus mental yang menjalari dan mengkontaminasi dunia anak-anak kita-virus yang memerangkap mereka sehingga selalu terobsesi dengan kecabulan (video, dvd porno), kegairahan berlebihan (ekstasi), kekerasan berlebihan (tawuran). Ini adalah semacam kebrutalan yang mengancam anak-anak kita, ditengah gemerlapnya citraan, dan transparansinya komunikasi.
Hiper-realitas Ekonomi
Globalisasi ekonomi yang melanda dunia, dalam bentuknya yang mutakhir telah membentuk orbit ekonomi global. Di dalam orbit ekonomi global ini menjalar apa yang disebut virus liberalisasi (setidak tidaknya dalam dunia perdagangan) serta virus materialism yang menyertainya. Virus liberalisasi kini melanda dunia, bersamaan dengan terbuka lebarnya pintu gerbang hamper setiap negara bagi lalu lintas keluar dan masuknya barang dan jasa, dengan segala nilai-nilai ideologis yang menyertainya.
Prinsip yang mengatur diskursus dan lalu lintas ekonomi global sekarang ini bahwa segala sesuatu, apapun, harus memasuki sirkulasi dan orbit ekonomi global. Segala sumber daya harus dieksplorasi, segala potensi harus digali untuk dijual di dalam pasar global. Akan tetapi, apapun yang masuk kedalam orbit ekonomi global, ia harus terlebih dahulu diliberalisasikan (sekali lagi dalam perdagangan). Kini liberalisasi menjadi paradigma utama dalam ekonomi global. Ketika satu system ekonomi masuk kedalam orbit ekonomi global, maka ia akan kehilangan daya tangkalnya bagi pengaruh dan sekaligus ekses liberalisasi itu sendiri. Adalah virus liberalisasi semacam inilah yang menyusup dan menjalari system social negara-negara bekas Blok Timur, sehingga mereka kehilangan daya tangkal ideologis mereka, menuju pada dekonstruksi system kekuasaan komunisme dan penghancuran total ideologi mereka sendiri. Sebagai pengganti kekosongan ideologis ini, Barat secara intensif menularkan virus liberal, dengan segala eksesnya berupa kecintaan pada objek dan citraan-citraan; keterpesonaan pada bujuk rayu, stimulasi, persuasi, dan tontonan; kegairahan pada rangsangan-rangsangan libido, dan pelepasan hasrat; kemabukan akan sensitivitas berlebihan dalam bentuk hedonism, ekstasi, semiotika tubuh-virus-virus yang mendekonstruksi masyarakat komunis itu sendiri.
Liberalisasi, menurut Baudrillard, juga menyusupkan satu virus mental yang disebut Baudrillard virus pemangsa (predator), yakni satu dorongan dari dalam diri untuk memmangsa apa saja demi keberlangsungan system. Kapitalisme global, misalnya, memangsa apa saja – artinya menjadikan komoditi apa saja – mulai dari hiburan, olahraga, Pendidikan, informasi, kesehatan, hingga kebugaran, kepribadian, penampilan; mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinasi dan fantasi, demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya kapital.
Di dalam masyarakat kapitalis global dewasa ini, eksplorasi dan komodifikasi segala sumber daya dan konsumsi produk-produknya berlangsung tak terkendali, sehingga ia melampaui titik puncaknya, menuju titik hiperkonsumsi dan hiperkomoditi – komodifikasi dan konsumsi berlebihan yang melampaui batas toleransinya. Penipisan lapisan ozon pada laisan stratosfer yang membentuk lubang ozon, dan penebalan lapisan ozon dekat laisan atmosfer adalah bencana yang ditimbulkan oleh hiperkonsumsi, sebagaimana AIDS adalah bencana yang ditimbulkan oleh hiperseksualitas. Penebalan lapisan ozon dekat atmosfer menyebabkan melemahnya daya tangkal bumi terhadap perusakan materi, penipisan lapisan ozon pada stratosfer menyebabkan radiasi langsung sinar ultraviolet, yang menyebabkan berkurangnya efisiensi daya tangkal tubuh, khususnya terhadap bahaya kanker.
Akan tetapi, sebagaimana halnya seks bebas yang terus saja berlangsung, meskipun ia berada dibawah ancaman orbit AIDS, hiperkonsumsi pun terus saja berlangsung meskipun di bawah ancaman lubang ozon, khususnya di dalam era liberalisasi ekonomi sekarang ini. Liberalisasi ekonomi berarti liberalisasi semua jaringan dan sirkuit yang menopang wacana ekonomi. Yang terjadi di dalamnya adalah metamorfosa struktur makro ekonomi menjadi partikel-partikel yang membentuk jaringan dan sirkuit-sirkuit mikro, yang masing-masing bertarung bagi kelangsungan perputaran kapitalnya sendiri di dalam arena globalisasi.
Liberalisasi (perdagangan), de fakto, menyertakan di dalam dirinya konsep-konsep kebebasan dan pembebasan dalam berbagai diskursus lainnya: kebudayaan, media, politik, seks, libido, untuk merangsang perputaran modal. Ia menjadi satu proses yang tanpa batas (seperti sebuah pembebasan energi), yang mendorong setiap fungsi, setiap daya, setiap potensi, setiap tubuh ke arah batas bahkan melampaui batas kemungkinannya, sampai pada satu titik yang didalamnya setiap tindakan tidak mampu lagi dicari pembenarannya. Inilah awal dari hiper-realisme ekonomi, bagaimana ekonomi telah melampaui batas kemungkinannya, dan akhirnya dikuasai libido hasrat dari kapital itu sendiri.
Hiper-realisme ekonomi juga tampak pada fenomena utang luar negeri, yang merupakan strategi bagi keberlangsungan ekonomi global. Negara berkembang dapat survive darinya, meskipun sedikit saja sentuhan auditing pada utang ini oleh negara donor, akan bias menyebabkan bencana ekonomi. Selain itu, utang lur negeri ini sendiri sudah mulai memasuki sebuah orbit – seperti halnya AIDS atau ozon – yakni berputar dari satu bank ke bank lainnya, dari satu negara ke negara lainnya, seakan-akan ia diperjualbelikan. Setiap bank yang dilewatinya akan mengambil keuntungan darinya. Tatkala utang luar negeri ini semakin membengkak, makai a akan terjerat ke dalam orbit hiper-realitasnya, yang didalamnya ia merupakan ancaman bencana ekonomi. Utang luar negeri menjadi layaknya satelit bumi, menjadi sekumpulan kapital mengapung, yang tak henti-hentinya mengelilingi dan mengancam ekonomi real, pertumbuhan real. Adalah dibawah bayang-bayang orbit utang mengapung inilah pertumbuhan ekonomi berlangsung. Celakanya, dibawah  orbit utang mengapung ini, ekonomi bertumbuh dalam satu kondisi seolah-olah utang itu tidak ada. Lalu lintas ekonomi berlangsung justru seperti lal lintas ekonomi negara maju. Didalamnya uang membentuk sirkulasi dan orbitnya sendiri – sebuah orbit, yang didalamnya ia berputar dengan hukumnya sendiri. Ia menawarkan kecintaan pada objek mewah, kegilaan pada prestise, kegandrungan pada gaya hidup, kegilaan pada semangat konsumerisme, keasyikan pada kesenangan dan penampilan berlebihan.
Iklan, kuis, mall, televisi, menjanjikan Mega Hadiah, Mega Bonus, sekan-akan itu adalah pernyataan kebaikan hati sang produser kepada consumer. Akan tetapi, semua Mega Uang tersebut sesungguhnya tak lebih dari semacam uang mengapung yang sebagian berasal dari utang, dan sebagian berasal dari sebagian harga yang harus dibayar oleh para konsumer atas barang, atau jasa yang mereka terima. Artinya itu adalah uang mereka sendiri yang mengapung sebagai dana promosi. Lalu lintas ekonomi yang didalamnya diskursus ekonomi diselimuti oleh uang mengapung – akan menciptakan image kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran: monument terbesar, super mall terluas, stadion termegah, pencakar langit tertinggi, lapangan golf termodern (pada hal ditasnya mengapung dan berputar pada orbitnya utang luar negeri yang setiap saat mengancam)
Pada titik ini, analisis ekonomi politik tidak lagi menemukan landasan diskursusnya pada prinsip-prinsip ekonomi atau politik sebagaimana yang dibayangkan Marx tatkala ia menganalisis ekonomi politik kapitalisme, sebab ekonomi global kini berjalan berdasarkan logikanya sendiri – logika pasar, logika libido, logika simulasi. Di dalam sirkulasi globalnya, ekonomi telah berubah bentuk menjadi apa yang disebut Baudrillard sebagai transekonomi, yang menemukan landasan diskursusnya pada spekulasi, permainan, simulasi, dan simulasi. Diskursus ekonomi kini didasari oleh berbagai logic pekulasi. Misalnya, dengan ikut mensponsori kampanye Partai Demokrt di Amerika, beberapa konglomerat Indonesia berspekulasi akan mengeruk keuntungan, bila partai Demokrat itu menang. Ini adalah ekonomi spekulasi. Diskursus ekonomi juga didasari oleh berbagai logika permainan-permainan tanda, permainan harga, permainan nilai. Ia juga dipenuhi oleh berbagai logika simulasi: simulasi kemajuan, simulasi bencana (bencana ekonomi sengaja diciptakan demi kelangsungan perputaran kapital). Ia juga digairahkan oleh logika bujuk rayu dan rangsangan-rangsangan, sehingga kita tidak lagi sekedar berbicara strategi ekonomi, akan tetapi juga erotica ekonomi.
PERTANYAAN
1.      Jelaskan, apa yang dimaksud Jean Baudrillard dengan “hukum orbit”.
2.      Idem no 1, David Mc Clelland dengan virus mental nAch.
3.      Jelaskan secara singkat, perubahan filsafat menurut Deleuze dan Guattari.
4.      Apa yang dimaksud dengan virus materialism?
5.      Jelaskan bunyi syair Zawawi Imron.
6.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan, (a) ontology citraan, (b) fragmen ontology media
7.      Mengapa Michael Jackson disebut simbol masyarakat fetish? Jawab secara singkat
8.      Apa yang dimaksud Susan Sontag dengan “Masyarakat Kapitalis Mutakhir”? uraikan secara singkat.
9.      Pada akhir tulisannya, Yasraf Amir Piliang menulis seperti ini:…..ketika semangat materialism ini begitu kuat menguasai setiap diskursus, maka dikhawatirkan ia akan sampai pada satu titik materialism total, yang tidak menyisakan sama sekali ruang bagi pertimbangan moral atau spiritual. Setiap diskursus yang diisi secara total oleh terapi dan spiritual semu, akan membentuk kondisi despiritualisasi dan demoralisasi, yang dikhawatirkan akan menyebabkan semakin tidak terkendalinya pengoperasian setiap diskursus, dan akhirnya menuju pada transparansi total, alias kehancuran total. Maka, sebelum emuanya ini terjadi, setiap diskursus – media massa, ekonomi, politik, seksual – harus ditemukan kembali dimensi-dimensi luhurnya, melalui upaya-upaya respiritualisasi dan remoralisasi, sebelum kehancuran itu sendiri yang berbicara kepada kita………bagaimana pendapat anda ?
10.Sebagai pertanyaan pamungkas:….Adakah hubungan globalisasi dengan wabah Covid-19 yang fenomenal dewasa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar