Minggu, 14 Juni 2020

MK X, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK X, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-10, SENIN/15 JUNI 2020, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN, UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
Pada kuliah ke-9, kita telah membahas Otonomi Khusus Papua, yakni kenapa, mengapa Otonomi itu ditempuh. Sebagai lanjutannya, dalam kuliah ke-10 ini, kita akan membahas keistimewaan Yogyakarta. Keistimewaan yang dalam perkembangannya terus menuai kontroversi, alias pro kontra.
Bagi orang Jawa, khususnya yang bermukim di Yogya, mungkin tidak ada masalah. Namun di luar itu, masih banyak yang mempertanyakan, mengapa keistimewaan seperti itu diterapkan. Tidakkah itu melanggengkan sistim Kerajaan (patrimonial) dan feodalisme yang ketika kemerdekaan ditempuh pada tahun 1945, sudah ditinggalkan? Tidakkah itu kontradiksi dengan sistim demokrasi? Tidakkah mendorong daerah minta keistimewaan yang sama ? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering mengemuka.
Pertanyaan-pertanyaan lain, kalau dijajarkan masih cukup banyak, seperti gugatan mahasiswa semester V FH UGM, Felix Juniardo Winata, ke MK tahun 2019, yang mempertanyakan mengapa orang China tidak bisa memiliki tanah di Yogya, tidakkah itu diskriminatif, tidakkah melanggar sila ke-3 dan sila ke-5 Pancasila, dan juga melanggar UUD 1945?
Pertanyaan-pertanyaan yang kalau diteruskan, mungkin tidak akan habis-habisnya. Begitu pula jawaban, tanggapan, komentar yang akan dikemukakan, juga tidak akan habis-habisnya, sebab pendekatan yang digunakan sudah pasti dberbeda-beda/dari berbagai persfektif, yang antara satu persfektif dengan persfektif lainnya tidak selalu sejalan, bahkan sering saling bertentangan.
Oleh karena itu, untuk memahamii apa yang dimaksud dengan keistimewaan tersebut, sebaiknya langsung kita buka Undang Undang Keistimewaan-Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni UU No 13 Tahun 2012.

Dalam Latar belakang UU tersebut (UUK-DIY) dikatakan:
a.    Bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang
b.    Bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah mempunyai wilayah pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penjelasan Umum UUK-DIY dikatakan:
Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Pilihan dan keputusan Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam VIII untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara-bangsa pada masa awal kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah Indonesia[1]. Hal tersebut merupakan refleksi filosofis Kasultanan, Kadipaten, dan masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan kebhinnekaan dan ketunggal-ikaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Masyarakat Yogyakarta yang homogen[2] pada awal kemerdekaan meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Baik etnik, agama, maupun adat istiadat. Pilihan itu membawa masyarakat Yogyakarta menjadi bagian kecil dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY harus mampu membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang berkeadilan
Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIYsebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan bernegara dan keberadaan Kasultanan dan Kadipaten sebagai institusi yang didekasikan untuk rakyat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia. Kedua tokoh itu masing-masing secara terpisah, tetapi dengan format dan isi yang sama, mengeluarkan Maklumat pada tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.
Keputusan kedua tokoh tersebut memiliki arti penting bagi Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduk yang nyata bagi Indonesia yang baru memproklamirkan kemerdekakaannya. Peran Yogyakarta terus berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya Kasultanan dan Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DIY pada saat ini dan masa yang akan datang akan terus mengalami perubahan sosial yang sangat dinamis. Masyarakat Yogyakarta dewasa ini memasuki fase baru yang ditandai oleh masyarakat yang secara hierarkhis[3] tetap mengikuti pola hubungan patron-klien[4] pada masa lalu dan disisi lain masyarakat memiliki hubungan horizontal yang kuat.
Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan mendasar, tidak menghilangkan posisi Kasultanan dan Kadipaten sebagai sumber rujukan budaya bagi mayoritas masyarakat DIY. Kasultanan dan Kadipaten tetap diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri keistimewaan.
Pengaturan keistimewaan DIY dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap konsisten dengan memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah yang bersifat istimewa. Bahkan, Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu daerah yang bersifat istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan suatu daerah belum diikuti pengaturan yang komprehensif dan jelas mengenai keistimewaannya. Kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 semata-mata mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang memberlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal di atas telah memunculkan interpretasi bahwa Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Oleh karena itu, diperlukan perubahan, penyesuaian dan penegasan terhadap substansi keistimewaan yang diberikan kepada Daerah Istimewa melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955, dan Undang-Undan Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. untuk itu, dalam rangka perubahan dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY, perlu dibentuk undang-undang tentang  keistimewaan DIY.
Pengaturan keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin kebhinnekaan, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, kebhinneka-tunggal ikaan, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan DIY diletakkan pada tingkatan pemerintahan provinsi.
Kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah DIY mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan Undang-Undang ini dan kewenangan berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Namun, kewenangan yang telah dimiliki oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota di DIY tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keistimewaan Pemerintahan
Keistimewaan Yogyakarta, terutama adalah pada sistim pemerintahannya. Yogya tidak mengikuti pola pemilihan kepala daerah, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, sebagaimana yang berlangsung pada daerah-daerah lain, yang dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sultan otomatis langsung jadi Gubernur, Adipati , Wakil Gubernur melalui Penetapan yang dilakukan DPRD Yogya. Lebih jelasnya, hal ini diatur dalam Pasal 24 UU No 13 Tahun 2012.
Penetapan, Pasal 24
1.    DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna dengan agenda pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterimanya hasil penetapan dari Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4)
2.    Visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada rencana pembangunan jangka Panjang daerah DIY dan perkembangan lingkungan strategis.
3.    Setelah penyampaian visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
4.    Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan penetapan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
5.    Presiden mengesahkan penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan usulan Menteri.
6.    Menteri menyampaikan pemberitahuan tentang pengesahan penetpan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada DPRD DIY serta Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam.
Keistimewaan lain, selain sistim pemerintahan yang tanpa pemilihan itu, adalah tentang “Kebudayaan dan Pertanahan”.
Kebudayaan. Pasal 31
1.    Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang beruapa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
2.    Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais.
Pertanahan. Pasal 32
1.    Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Kadipaten dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.
2.    Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai milik atas tanah Kasultanan.
3.    Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten.
4.    Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat diseluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY.
5.    Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.

PERTANYAAN
1.      Jelaskan secara singkat apa yang menjadi dasar atau latar belakang dijadikannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
2.      Apa yang saudara ketahui tentang kebudayaan Yogyakarta? Adakah bedanya dengan kebudayaan-kebudayaan daerah lain?
3.      Mengapa masyarakat Yogyakarta senang dipimpin raja yang turun-temurun.
4.      Bagaimana misalnya jika Sumatera Barat yang memiliki kebudayaan, adat, dan tradisi yang kuat, juga minta Daerah Istimewa? Begitu pula daerah-daerah lain.


[1] Perlu dikaji lebih seksama.
[2] Homogen yang bagaimana?
[3] Hierarkhis yang bagaimana?
[4] Apa memang seperti itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar