MK X, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-10, SENIN/15 JUNI 2020, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN, UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD
HUTAPEA
∏
KEISTIMEWAAN
YOGYAKARTA
Pada kuliah ke-9, kita telah
membahas Otonomi Khusus Papua, yakni kenapa, mengapa Otonomi itu ditempuh. Sebagai
lanjutannya, dalam kuliah ke-10 ini, kita akan membahas keistimewaan
Yogyakarta. Keistimewaan yang dalam perkembangannya terus menuai kontroversi,
alias pro kontra.
Bagi orang Jawa, khususnya
yang bermukim di Yogya, mungkin tidak ada masalah. Namun di luar itu, masih
banyak yang mempertanyakan, mengapa keistimewaan seperti itu diterapkan.
Tidakkah itu melanggengkan sistim Kerajaan (patrimonial) dan feodalisme yang ketika
kemerdekaan ditempuh pada tahun 1945, sudah ditinggalkan? Tidakkah itu
kontradiksi dengan sistim demokrasi? Tidakkah mendorong daerah minta
keistimewaan yang sama ? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering mengemuka.
Pertanyaan-pertanyaan lain,
kalau dijajarkan masih cukup banyak, seperti gugatan mahasiswa semester V FH
UGM, Felix Juniardo Winata, ke MK tahun 2019, yang mempertanyakan mengapa orang
China tidak bisa memiliki tanah di Yogya, tidakkah itu diskriminatif, tidakkah
melanggar sila ke-3 dan sila ke-5 Pancasila, dan juga melanggar UUD 1945?
Pertanyaan-pertanyaan yang
kalau diteruskan, mungkin tidak akan habis-habisnya. Begitu pula jawaban,
tanggapan, komentar yang akan dikemukakan, juga tidak akan habis-habisnya,
sebab pendekatan yang digunakan sudah pasti dberbeda-beda/dari berbagai persfektif,
yang antara satu persfektif dengan persfektif lainnya tidak selalu sejalan,
bahkan sering saling bertentangan.
Oleh karena itu, untuk
memahamii apa yang dimaksud dengan keistimewaan tersebut, sebaiknya langsung
kita buka Undang Undang Keistimewaan-Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni UU No 13 Tahun 2012.
Dalam Latar
belakang UU tersebut (UUK-DIY) dikatakan:
a. Bahwa
negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang
b. Bahwa
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah
mempunyai wilayah pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 berperan dan memberikan
sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
penjelasan Umum UUK-DIY dikatakan:
Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan bagian
integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Pilihan dan keputusan
Sultan Hamengkubuwono IX dan Adipati Paku Alam VIII untuk menjadi bagian dari Republik
Indonesia, serta kontribusinya untuk melindungi simbol negara-bangsa pada masa
awal kemerdekaan telah tercatat dalam sejarah Indonesia[1]. Hal tersebut merupakan refleksi filosofis Kasultanan, Kadipaten, dan
masyarakat Yogyakarta secara keseluruhan yang mengagungkan kebhinnekaan dan
ketunggal-ikaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Masyarakat Yogyakarta yang homogen[2] pada awal kemerdekaan
meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Baik etnik, agama,
maupun adat istiadat. Pilihan itu membawa masyarakat Yogyakarta menjadi bagian
kecil dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Keistimewaan DIY harus mampu
membangun keharmonisan dan kohesivitas sosial yang berkeadilan
Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIYsebagai
satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan
bernegara dan keberadaan Kasultanan dan Kadipaten sebagai institusi yang
didekasikan untuk rakyat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengkubuwono
IX dan Adipati Paku Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia.
Kedua tokoh itu masing-masing secara terpisah, tetapi dengan format dan isi
yang sama, mengeluarkan Maklumat pada tanggal 5 September 1945 yang kemudian
dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6
September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.
Keputusan kedua tokoh tersebut memiliki arti penting bagi
Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduk yang nyata bagi
Indonesia yang baru memproklamirkan kemerdekakaannya. Peran Yogyakarta terus
berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya Kasultanan
dan Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DIY pada saat ini dan masa yang akan datang akan terus
mengalami perubahan sosial yang sangat dinamis. Masyarakat Yogyakarta dewasa
ini memasuki fase baru yang ditandai oleh masyarakat yang secara hierarkhis[3] tetap
mengikuti pola hubungan patron-klien[4] pada
masa lalu dan disisi lain masyarakat memiliki hubungan horizontal yang kuat.
Perkembangan di atas, sekalipun telah membawa perubahan
mendasar, tidak menghilangkan posisi Kasultanan dan Kadipaten sebagai sumber
rujukan budaya bagi mayoritas masyarakat DIY. Kasultanan dan Kadipaten tetap
diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri
keistimewaan.
Pengaturan keistimewaan DIY
dalam peraturan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap konsisten dengan memberikan pengakuan keberadaan suatu daerah
yang bersifat istimewa. Bahkan, Pasal 18 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
republik Indonesia Tahun 1945 memberikan pengakuan terhadap eksistensi suatu
daerah yang bersifat istimewa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Namun, konsistensi pengakuan atas status keistimewaan suatu daerah
belum diikuti pengaturan yang komprehensif dan jelas mengenai keistimewaannya.
Kewenangan yang diberikan kepada DIY melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
semata-mata mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah yang memberlakukan sama semua daerah di Indonesia. Hal yang sama juga
terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok pemerintahan Daerah sampai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Hal di atas telah memunculkan interpretasi bahwa
Keistimewaan DIY hanya pada kedudukan Gubernur dan
Wakil Gubernur.
Oleh karena itu, diperlukan
perubahan, penyesuaian dan penegasan terhadap substansi keistimewaan yang
diberikan kepada Daerah Istimewa melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang pembentukan daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah
terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955, dan Undang-Undan Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. untuk itu, dalam rangka perubahan
dan penyesuaian serta penegasan Keistimewaan DIY, perlu dibentuk undang-undang
tentang keistimewaan DIY.
Pengaturan keistimewaan DIY
bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis,
ketentraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin kebhinnekaan, dan
melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga
dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan,
demokrasi, kebhinneka-tunggal ikaan, efektivitas pemerintahan, kepentingan
nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan aspek historis, sosiologis, dan yuridis, substansi Keistimewaan
DIY diletakkan pada tingkatan pemerintahan provinsi.
Kewenangan istimewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang
Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah daerah DIY, kebudayaan,
pertanahan, dan tata ruang. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah DIY
mempunyai kewenangan yang meliputi kewenangan istimewa berdasarkan
Undang-Undang ini dan kewenangan berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan
daerah. Namun, kewenangan yang telah dimiliki oleh pemerintahan daerah
kabupaten/kota di DIY tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Keistimewaan Pemerintahan
Keistimewaan
Yogyakarta, terutama adalah pada sistim pemerintahannya. Yogya tidak mengikuti
pola pemilihan kepala daerah, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, sebagaimana
yang berlangsung pada daerah-daerah lain, yang dipilih secara langsung melalui
pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sultan
otomatis langsung jadi Gubernur, Adipati , Wakil Gubernur melalui Penetapan
yang dilakukan DPRD Yogya. Lebih jelasnya, hal ini diatur dalam Pasal 24 UU No
13 Tahun 2012.
Penetapan, Pasal 24
1.
DPRD DIY menyelenggarakan rapat paripurna
dengan agenda pemaparan visi, misi, dan program calon Gubernur paling lama 7
(tujuh) hari setelah diterimanya hasil penetapan dari Panitia Khusus Penetapan
Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4)
2.
Visi, misi, dan program sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berpedoman pada rencana pembangunan jangka Panjang daerah DIY dan
perkembangan lingkungan strategis.
3.
Setelah penyampaian visi, misi, dan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD DIY menetapkan Sultan Hamengku Buwono
yang bertakhta sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai
Wakil Gubernur.
4.
Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), DPRD DIY mengusulkan kepada Presiden melalui Menteri untuk
mendapatkan pengesahan penetapan Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta sebagai
Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertakhta sebagai Wakil Gubernur.
5.
Presiden mengesahkan penetapan Gubernur dan
Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan usulan Menteri.
6.
Menteri menyampaikan pemberitahuan tentang
pengesahan penetpan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) kepada DPRD DIY serta Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam.
Keistimewaan lain, selain
sistim pemerintahan yang tanpa pemilihan itu, adalah tentang “Kebudayaan dan
Pertanahan”.
Kebudayaan. Pasal 31
1.
Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk memelihara dan
mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang beruapa nilai-nilai,
pengetahuan, norma, adat-istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar
dalam masyarakat DIY.
2.
Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan
kebudayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais.
Pertanahan. Pasal 32
1.
Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Kadipaten
dengan Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.
2.
Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek
hak yang mempunyai milik atas tanah
Kasultanan.
3.
Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek
hak yang mempunyai hak milik atas tanah
Kadipaten.
4.
Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang terdapat diseluruh
kabupaten/kota dalam wilayah DIY.
5.
Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola
dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah kadipaten ditujukan untuk
sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan
masyarakat.
PERTANYAAN
1.
Jelaskan secara singkat apa yang menjadi dasar atau latar
belakang dijadikannya Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa.
2.
Apa yang saudara ketahui tentang kebudayaan Yogyakarta?
Adakah bedanya dengan kebudayaan-kebudayaan daerah lain?
3.
Mengapa masyarakat Yogyakarta senang dipimpin raja yang
turun-temurun.
4.
Bagaimana misalnya jika Sumatera Barat yang memiliki
kebudayaan, adat, dan tradisi yang kuat, juga minta Daerah Istimewa? Begitu
pula daerah-daerah lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar