BS V,
REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH KE-5
JURUSAN
PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Catatan: baca dengan seksama. Jika
ada hal-hal yang tak dipahami, tuliskan di WA group. Setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan
di akhir materi.
∏
KONSEP
BIROKRASI MASA DEPAN (I)
Pada kuliah II, III, dan IV telah
diuraikan penyakit-penyakit birokrasi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain
adalah; kultur birokrasi yang tidak berintegritas, peratutan perundang-undangan
yang tumpang tindih, struktur organisasi yang gemuk/boros, proses bisnis
pemerintahan yang lamban, SDM yang tak kompeten, penyakit KKN, pelayanan publik
yang tak responsif (Eko Prasodjo, 2014). Secara filosofis Agus Dwiyanto melihat
kelemahan itu adalah:
1.
Budaya
paternalis masyarakat yang berpotensi membentuk dampak dari struktur birokrasi
2.
Sistim
politik yang tidak demokratis sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi
pada pemerintah dan birokrasinya, serta
3.
Kapasitas
masyarakat madani, seperti media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol
pemerintahan.
Lalu bagaimana mengatasi penyakit-penyakit demikian? Tidakkah
selama ini telah ditempuh ikhtiar meretas penyakit-penyakit tersebut ? Bukankah
Jokowi dalam periode pertama maupun kedua ini bertekad mereformasi
birokrasi?......sudah dibahas dalam kuliah-kuliah sebelumnya. Dalam kuliah ke-5
ini, akan dikemukakan konsep Agus Dwiyanto, yang kelihatannya cukup ideal.
Beliau mengutarakan bahwa konsep birokrasi masa depan itu terdiri dari unsur-unsur
sebagai berikut:
v Peduli kepada kelompok yang teraniaya
dan terpinggirkan.
v Unggul.
v Transformatif.
v Professional.
v Integritas yang tinggi.
v Visi kebaruan.
v Agen tata pemerintahan demokratis.
Konsep yang cukup menarik, karena ada kata-kata, kalimat,
atau frasa “kelompok teraniaya dan terpinggirkan”. Kelompok yang jumlahnya
sangat besar, dan nasibnya dari dulu hingga hari ini belum beranjak baik.
Bagaimana keadaan mereka sesungguhnya sudah banyak diulas para pakar. Tulisan
inipun, mungkin nasibnya sama juga, yakni cuma diulas-ulas, namun soal berubah
atau tidak, itu adalah soal lain. Biarlah urusan politik yang berkuasa…..Tulisan
ini akan dilanjutkan kepada deskripsi Agus Dwiyanto.
Peduli Kepada Kelompok
Teraniaya dan Terpinggirkan
Gerakan untuk menjadikan keadilan sosial
sebagai salah satu nilai penting dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah
dimulai sejak lama, yaitu hampir lima dekade yang lalu. Pada waktu itu ilmuwan
muda administrasi publik melahirkan gerakan New
Public Administration. Mereka menggugat keberadaan Ilmu administrasi Publik
yang dinilainya gagal dalam menuntun praktik administrasi publik untuk peduli
pada isu tentang keadilan sosial, kebebasan, dan demokrasi. Sudah lama
administrasi publik dijejali dengan dogma-dogma netralitas administrasi publik
yang menghendaki adanya pemisahan antara proses politik dan proses
administrasi. Dogma tersebut mengajarkan bahwa proses politik dan administrasi
merupakan dua proses yang berbeda secara distinct.
Menurut dogma tersebut, proses politik bertujuan merumuskan kebijakan, terjadi
dalam arena dan institusi politik, dan dilakukan oleh pejabat terpilih.
Sedangka proses administrasi bertujuan melaksanakan apa pun keputusan yang
diambil oleh proses politik, terjadi dalam arena birokrasi, dan dilakukan oleh para
pejabat karier. Pemisahan proses politik dan administrasi tersebut memunculkan
etika netralitas yang mengajarkan bahwa birokrasi publik dan aparatur negara
seharusnya bertindak netral atau tidak terlibat dalam alokasi nilai. Birokrasi
dan aparatur negara harus melaksanakan apa pun keputusan yang diambil oleh
proses politik sebagaimana adanya, serta apapun alasannya tidak boleh
mengkritisi dan memberikan interpretasi terhadap keputusan politik.
Tesis pemisahan antara politik dan
administrasi itu yang kemudian ditolak oleh pembaharu Ilmu Administrasi Publik.
Mereka sangat prihatin melihat teori dan praktek administrasi publik gagal
memberikan kontribusi terhadap upaya memperbaiki keadilan sosial. Keadilan
sosial bahkan menjadi sebuah nilai yang semakin menghilang dari praktik
penyelenggaraan pemerintahan. Ketika para politisi sibuk bermain kekuasaan dan
tidak peduli terhadap nasib rakyat, ketika proses kebijakan publik lebih
mengabdi pada kepentingan pemegang kekuasaan, dan ketika proses penganggaran
lebih didominasi oleh kepentingan elite politik dan birokrasi, maka birokrasi
publik sebagai salah satu institusi publik gagal memberikan pencerahan dan
menunjukkan perannya dalam mendefinisikan what is good for the people.
Netralitas birokrasi telah menjadikan birokrasi tidak sensitif terhadap
berbagai isu sosial, seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan,
diskriminasi, dan keadilan sosial.
Apa yang terjadi dalam sejarah
perkembangan Ilmu Administrasi Publik setengan abad yang lalu itu relevan untuk
melihat masalah yang terjadi di Indonesia. Pemerintah
dan birokrasinya telah gagal menunjukkan keberpihakannya dalam menghadapi
berbagai masalah yang menyinggung rasa keadilan sosial warganya.
Terdapat sejumlah bukti mengenai itu, salah satunya adalah penguasaan sumber
daya alam oleh elite pengusaha dan kekuatan asing yang berkolaborasi dengan
penguasa dan aparatur birokrasi. Mereka bukan hanya menguasai sumber daya alam,
tetapi juga merusak lingkungan di sejumlah Kawasan. Penggundulan hutan dilakukan
untuk membangun villa mewah milik pejabat atau pengusaha. Penggalian bahan
tambang dilakukan secara liar di Kawasan konservasi. Semua itu mengakibatkan
terjadinya bencana alam yang membuat masyarakat menderita terutama kelompok
marginal. Banjir membuat para petani merugi dan warga miskin yang tinggal di
bantaran sungai terancam kehidupannya. Suku terasing terusir dari tempat
tinggalnya di Kawasan hutan. Tanah longsor telah mengubur kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Kantong-kantong
kemiskinan semakin merata di daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang
melimpah. Semua itu terjadi begitu saja tanpa ada kepedulian dan keberpihakan
yang jelas dari pemerintah dan birokrasinya. Tentu hal itu sangat ironis karena
Pancasila
dan UUD 1945
mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Birokrasi publik secara ideologis,
konstitusional, dan keilmuan memiliki mandat untuk mewujdukan keadilan sosial.
Mandat tersebut bukan hanya untuk para politisi, tetapi juga untuk aparat
birokrasi dan warga. Mereka semua harus berkontribusi terhadap setiap upaya
perbaikan keadilan sosial. Untuk dapat menjalankan mandat tersebut maka
sosok/konsep birokrasi yang dikembangkan di masa mendatang haruslah sosok yang
mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya keadilan sosial. Birokrasi dan
aparaturnya harus mampu mendorong perubahan menuju Indonesia yang lebih adil
dengan cara mendistribusikan akses terhadap sumber-sumber mobilitas vertical,
seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya ekonomi kepada kelompok
masyarakat yang terpinggirkan. Melihat semakin besarnya ketimpangan dalam
penguasaan sumber daya sosial dan ekonomi, yang sebagian besar cenderung
dikuasai oleh elite penguasa, pengusaha, bahkan kekuatan asing, maka birokrasi
pemerintah di masa mendatang harus memiliki perhatian dan kepedulian terhadap
permaslahan tersebut. Birokrasi pemerintah harus berpihak pada kelompok warga
yang selama ini cenderung terpinggirkan, seperi penduduk miskin, perempuan,
suku terasing, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Selama ini yang terjadi justru
sebaliknya, birokrasi publik cenderung berpihak
pada kelompok kaya, elit politik, dan pejabat birokrasi. Sudah banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa mereka yang kaya atau dekat dengan elit penguasa cenderung
memiliki privilege
ketika berhubungan dengan birokrasi publik. Dalam bidang pendidikan, akses
terhadap pendidikan yang bermutu cenderung dikuasai oleh penduduk kelas
menengah ke atas. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi ketimpangan
akses antara penduduk miskin dengan penduduk menengah ke atas. Pelayanan
kesehatan yang semakin mahal membuat banyak orang miskin tidak lagi memiliki
akses terhadap pelayanan rumah sakit. Sedangkan dalam penyelenggaraan layanan
administrasi, warga yang mampu membayar biro jasa (intermediaries)
akan menimati pelayanan istimewa, yaitu pelayanan yang bermartabat, cepat, dan
berkualitass. Begitu pula yang dekat dengan elit politik dan birokrasi.
Kecenderungan pemihakan birokrasi dan aparaturnya kepada kepentingan elit
penguasa dengan mudah juga dapat dilihat dari terjadinya elite captures
dalam praktik penganggaran, yaitu anggaran pemerintah lebih banyak dihabiskan
untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan elit politik dan birokrasi daripada
memenuhi kepentingan publik.
Keberpihakan birokrasi publik
terhadap kepentingan kelompok penduduk miskin, perempuan, difabel, dan kelompok
marginal lainnya sangat penting untuk di dorong. Nilai, tradisi, dan praktik
yang selama ini kurang berpihak kepada warga miskin dan kelompok marginal
lainnya harus digusur dan diganti dengan nilai baru yang mengajarkan pentingnya
birokrasi untuk peduli terhadap kebutuhan dari berbagai kelompok marginal. Hal
ini dapat dilakukan dengan menempatkan kepentingan penduduk miskin, perempuan,
dan kelompok rentan lainnya sebagai sentral dari kehidupan birokrasi
pemerintah. Artinya, kepentingan berbagai kelompok rentan tersebut harus menjadi
pertimbangan utama dalam merancang desin, struktur, dan proses kerja dalam
birokrasi pemerintah.
U n g g u l
Birokrasi masa depan harus memiliki
keunggulan dibandingkan institusi sosial dan politik lainnya. Keunggulan ini
ditunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang diselenggarakannya. Keunggulan
penting untuk dimiliki oleh birokrasi dan aparaturnya apabila mereka ingin
berperan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi pasar global yang semakin terbuka. Berlakunya sistem perdagangan bebas pada tingkat regional mulai 2010 dapat menjadi peluang bagi
semua satuan sosial-ekonomi apabila birokrasi publik di Indonesia memiliki
keunggulan dibandingkan mitranya di negara-negara ASEAN linnya. Keunggulan itu
harus dimiliki terutama dalam mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif,
serta mampu menfasilitasi dan memberdayakan satuan sosial ekonomi sehingga
menjadi tangguh dan berdaya saing tinggi. Hanya dengan cara itu birokrasi dapat
memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan
bangsa. Namun, apabila gagal memiliki keunggulan itu maka birokrasi publik
tidak dapat berperan dalam peningkatan daya saing bangsa, bahkan justru menjadi
sumber masalah bagi bangsa ini.
Birokrasi dapat menjadi pusat
keunggulan apabila birokrasi mampu memberikan nilai tambah terhadap kegiatan
social ekonomi masyarakat. Keberadaan birokrasi public harus dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat. Birokrasi public harus mampu memperbaiki efisiensi,
daya saing, serta daya tahan pelaku social dan ekonomi yang ada dalam
masyarakat. Untuk itu birokrasi publik harus efisien, efektif, professional,
modern, dan beroroentasi pada pelayanan.
Dikatakan efisien dan efektif apabila
keberadaan birokrasi mampu memberikan pelayanan kepada warganya secara murah,
mudah, dan terjangkau sehingga mampu memperbaiki kesejahteran warganya. Selama
ini pelayanan birokrasi pemerntah masih mencirikan kondisi yang sebaliknya,
yaitu sulit dijangkau, rumit, dan kompleks, sehingga cenderung menghasilkan
biaya pemerintahan yang tinggi dan berakibat negatif bagi kesejahteraan
masyarakat. Birokratisasi di Indonesia sekarang ini masih berbanding terbalik
dengan tingkat kesejahteraan warganya. Semakin tinggi interaksi warga dengan
birokrasinya semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan oleh warga. Besarnya
pengorbanan yang dikeluarkan oleh warga ketika berhubungan dengan birokrasi
sering tidak sebanding dengan manfaat yang diterimanya.
Kondisi itu harus segera dibalik.
Keberadaan birokrasi pemerintah harus mampu memberdayakan pelaku sosial ekonomi
dan warga secara keseluruhan. Birokrasi pemerintah harus mampu memberikan nilai
tambah ketika mereka berinteraksi dengan warganya. Untuk itu tiada pilihan bagi
birokrasi public dan aparatnya kecuali menempatkan efisiensi sebagai salah satu
nilai yang penting. Dalam persaingan global dan liberalisasi pasar, efisiensi
birokrasi akan sangat menentukan daya saing dari setiap pelaku social ekonomi
yang ada dalam wilayah jurisdiksinya. Kegagalan mewujudkan efisiensi dapat
memperlemah daya saing warganya dalam menghadapi persaingan global dan
mengancam keangsungan bangsa.
Untuk itu birokrasi harus mampu
menghilangkan sumber sumber inefisiensi yang selama ini melekat dalam kehidupan
birokrasi. Salah satu sumber inefisiensi dalambirokrasi adalah tidak adanya
hubungan antara biaya (cost) dan
pendapatan (revenue). Pada mekanisme
pasar, semua pelakunya memiliki insentif untuk menekan costs karena dengan costs
yang rendah membuat mereka memiliki revenues
dan profit yang semakin besar. Karena para pelaku pasar diuntungkan ketika
mereka efisien maka mereka menjadi lebih kreatif dan mampu mewujudkan
efisiensi. Hal ini berbeda dengan birokrasi. Anggaran (costs) birokrasi
pemerintah justru sering berhubungan secara positif dengan berbagai macam privileges, seperti kekuasaan, penghasilan, dan pengaruh. Karena itu para
apparat birokrasi cenderung lebih mengembangkan sikap dan perilaku untuk
memperbesar anggaran karena anggaran yang besar memberikan manfaat bagi
dirinya.
Melihat kondisi yang demikian maka
sistim anggaran dalam birokrasi harus diubah. Sistem anggaran yang berlaku
harus memberikan incentives for saving dan disinteves
for spending. Tradisi menghabiskan
anggaran pada akhir tahun harus dihilangkan dan diganti dengan tradisi menabung
dan menghemat.
Penghargaan perlu diberikan kepada mereka yang mampu menghemat anggaran atau menyisakan
anggaran tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas output yang telah ditentukan. Sistem anggaran yang lebih fleksibel
dan memungkinkan adanya carry-over
dari suatu kegiatan perlu dikembangkan agar efisiensi dan efektifitas kegiatan pemerintahan
dan pelayanan dapat diwujudkan. Penerapan sistem penganggaran tahunan yang kaku
sering menghalangi keberlanjutan dari kegiatan birokrasi dan membuat
efektivitas kegiatan terganggu. Sistem penganggaran berbasis kinerja perlu diterapkan secara serius dengan mengalokasikan anggaran
untuk satuan birokrasi berdasarkan kinerjanya.
Transformatif, lebih
dari sekedar melayani
Pertanyaan tentang peran birokrasi
pemerintah di masa mendatang sangat penting dalam merumuskan visi reformasi
birokrasi publik di Indonesia. Kritik yang sering diberikan terhadap birokrasi
pemerintah selama ini adalah kecenderungan birokrasi menempatkan dirinnya lebih sebagai
agen kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Peran seperti itu
terlihat dari struktur birokrasi yang sangat hierarkhis dan proses kerja yang
sangat berorientasi pada control. Kedua hal itu ditambah dengan kepatuhan yang
berlebihan pada prosedur telah mendorong birokrasi public berkembang lebih
sebagai agen kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Pada masa rezim
otoritarian Orde Baru, sosok birokrasi pemerintah yang seperti itu mencapai
puncaknya seiring dengan semakin kuatnya lembaga eksekutif mendominasi arena
politik. Sistem pemerintahan yang sangat sentralistis memberikan peluang bagi
pemerintah pusat menggunakan birokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya.
Birokrasi pemerintah menjadi agen yang efektif untuk memobilisasi dukungan
politik dan ekonomi bagikelangsungan Orde Baru. Lebih dari 30 tahun birokrasi
pemerintah mengalami internalisasi praktik dan tradisi sebagai agen kekuasaan.
Mendorong perubahan sosok birokrasi
sebagai agen kekuasaan menjadi agen pelayanan tentu bukan hal yang mudah.
Apalagi mengharapkan birokrasi berperan bukan hanya melayani warga, tetapi juga
memberdayakannya. Harapan itu menuntut perubahan banyak hal, termasuk perubahan
mindset dari rulling ke empowering.
Selama ini sosok yang mengemuka dari birokrasi pemerintah cenderung mengarah
pada rulling, controlling, dan regulating.
Perilaku, tradisi, dan nilai-nilai sebagaimana tercermin dalam budaya yang
berkembang dalam birokrai pemerintah selama ini masih menggambarkan sosoknya
sebagai penguasa, pengatur, dan pengendali. Sosok birokrasi sebagai pengembang,
penolong, dan pemberdaya kurang berkembang dalam kehidupan birokrasi publik. Akibatnya,
budaya yang berkembang dalam birokrasi adalah budaya memerintah, bukan budaya
menolong, membantu, dan memberdayakan.
Untuk mengubah mindset maka rekayasa
budaya harus dilakukan (Osborne&Plastrick,1997). Budaya baru perlu
diciptakan untuk menggusur tradisi, nilai, dan praktik lama yang selama ini
membuat birokrasi gagal menjalankan peran empowering-nya.
Sikap dan perilaku baru yang mengekspresikan perilaku suka membantu, peduli,
dan caring perlu dibiasakan dalam birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku
seperti itu perlu dilembagakan dan menjadi bagian dari code of conducts birokrasi publik. Selain memasukkannya dalam code of conduct, pemerintah perlu
menciptkan simbol-simbol baru yang relevan dengan perilaku dan tradisi baru
yang akan dikembangkan. Bahasa, simbol, dan citra dari sosok apparat birokrasi
yang selama ini ditanamkan melalui sistem dan kurikulum pendidikan aparat
birokrasi perlu diubah. Simbol dan bahasa yang mencitrakan sosok yang gagah, tegas, berwibawa sebagaimana layaknya penguasa harus diubah menjadi sosok
yang peduli, suka menolong, cekatan, dan
bersahabat. Orientasi sistem
pendidikan dan pelatihan aparat birokrasi harus diubah agar mencerminkan budaya
baru yang akan dikembangkan dalam birokrasi publik di masa mendatang.
Dengan mengubah budaya birokrasi maka
orientasi pelayanan dapat dikembangkan secara mudah (Osborne & Gaebler,
1992). Budaya melayani dengan mudah akan berkembang dalam birokrasi publik.
Cara pandang birokrasi terhadap warganya juga niscaya berbeda. Mereka tidak
lagi melihat dan menempatkan warganya sebagai klien, melainkan sebagai warga
yang berdaulat. Sebagai pelayan warga birokrasi harus memenuhi kehendak dan
keinginan warganya. Namun, pada saat yang sama apparat birokrasi juga berperan
sebagai pemberdaya serta peduli terhadap persoalan dan kebutuhan warga.
Birokrasi dan aparaturnya harus dapat berperan sebagai pemberdaya dan penolong bagi warga
yang tertindas dan terpinggirkan. Dengan begitu apparat birokrasi
pemerintah dapat membedakan pelayanan yang diselenggarakannya dengan pelayanan
yang diberikan sektor swasta. Penyelenggara layanan swasta cenderung
menempatkan pengguna layanannya sebagaikonsumen atau pembeli layanan, sementara
apparat birokrasi semestinya menempatkan pengguna layanannya sebagai warga yang
bukan hanya perlu dilayani tetapi juga diperhatikan kebutuhan dan
keterbatasannya serta diberdayakan potensinya. Dengan orientasi pelayanan yang
demikian akan membuat aparat birokrasi mampu menjalin hubungan emosional dengan
warganya, tidak bersifat transaksional
sebagaimana yang terjadi dalam pasar, melainkan lebih bersifat transformatif.
Dengan mengembangkan pola hubungan
yang transformatiF maka kualitas interaksi antara aparat birokrasi dan warganya
akan jauh lebih baik dibandingkan hubungan yang terjadi antara para
penyelenggara layanan swasta dan pelanggannya. Apparat birokrasi akan
memperoleh penghormatan dan penghargaan dari warga karena dinilai lebih peduli
terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi warga. Hubungan antara aparat
birokrasi dengan warganya lebih dari sekedar hubungan antara penyelenggara dan
pengguna layanan. Hubungan diantara mereka
bukan hanya bersifat transaktif ekonomi, tetapi juga bersifat sosial dan
kejiwaan. Kemampuan aparat birokrasi mengembangkan hubungan sosial dan
emosional dengan warganya akan membuat birokrasi mampu membangun kembali
citranya yang selama ini terpuruk dan memulihkan kepercayaan publik.
PERTANYAAN
1.
Mengapa birokrasi kita belum peduli pada kelompok miskin
dan terpinggirkan? Jelaskan secara sistimatis.
2.
Jelaskan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam
alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sudah sejauh mana birokrasi mewujudkan
tujuan itu? Jelaskan secara sistimatis.
3.
Bagaimana metode birokrasi dalam menyusun anggaran?
Jelaskan secara singkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar