Jumat, 19 Juni 2020

BS V, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK



BS V, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH KE-5
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Catatan: baca dengan seksama. Jika ada hal-hal yang tak dipahami, tuliskan di WA group. Setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan di akhir materi.
KONSEP BIROKRASI MASA DEPAN (I)
Pada kuliah II, III, dan IV telah diuraikan penyakit-penyakit birokrasi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah; kultur birokrasi yang tidak berintegritas, peratutan perundang-undangan yang tumpang tindih, struktur organisasi yang gemuk/boros, proses bisnis pemerintahan yang lamban, SDM yang tak kompeten, penyakit KKN, pelayanan publik yang tak responsif (Eko Prasodjo, 2014). Secara filosofis Agus Dwiyanto melihat kelemahan itu adalah:
1.      Budaya paternalis masyarakat yang berpotensi membentuk dampak dari struktur birokrasi
2.      Sistim politik yang tidak demokratis sehingga sumber daya kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasinya, serta
3.      Kapasitas masyarakat madani, seperti media dan NGO yang masih lemah dalam mengontrol pemerintahan.
Lalu bagaimana mengatasi penyakit-penyakit demikian? Tidakkah selama ini telah ditempuh ikhtiar meretas penyakit-penyakit tersebut ? Bukankah Jokowi dalam periode pertama maupun kedua ini bertekad mereformasi birokrasi?......sudah dibahas dalam kuliah-kuliah sebelumnya. Dalam kuliah ke-5 ini, akan dikemukakan konsep Agus Dwiyanto, yang kelihatannya cukup ideal. Beliau mengutarakan bahwa konsep birokrasi masa depan itu terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
v  Peduli kepada kelompok yang teraniaya dan terpinggirkan.
v  Unggul.
v  Transformatif.
v  Professional.
v  Integritas yang tinggi.
v  Visi kebaruan.
v  Agen tata pemerintahan demokratis.
Konsep yang cukup menarik, karena ada kata-kata, kalimat, atau frasa “kelompok teraniaya dan terpinggirkan”. Kelompok yang jumlahnya sangat besar, dan nasibnya dari dulu hingga hari ini belum beranjak baik. Bagaimana keadaan mereka sesungguhnya sudah banyak diulas para pakar. Tulisan inipun, mungkin nasibnya sama juga, yakni cuma diulas-ulas, namun soal berubah atau tidak, itu adalah soal lain. Biarlah urusan politik yang berkuasa…..Tulisan ini akan dilanjutkan kepada deskripsi Agus Dwiyanto.
Peduli Kepada Kelompok Teraniaya dan Terpinggirkan
Gerakan untuk menjadikan keadilan sosial sebagai salah satu nilai penting dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah dimulai sejak lama, yaitu hampir lima dekade yang lalu. Pada waktu itu ilmuwan muda administrasi publik melahirkan gerakan New Public Administration. Mereka menggugat keberadaan Ilmu administrasi Publik yang dinilainya gagal dalam menuntun praktik administrasi publik untuk peduli pada isu tentang keadilan sosial, kebebasan, dan demokrasi. Sudah lama administrasi publik dijejali dengan dogma-dogma netralitas administrasi publik yang menghendaki adanya pemisahan antara proses politik dan proses administrasi. Dogma tersebut mengajarkan bahwa proses politik dan administrasi merupakan dua proses yang berbeda secara distinct. Menurut dogma tersebut, proses politik bertujuan merumuskan kebijakan, terjadi dalam arena dan institusi politik, dan dilakukan oleh pejabat terpilih. Sedangka proses administrasi bertujuan melaksanakan apa pun keputusan yang diambil oleh proses politik, terjadi dalam arena birokrasi, dan dilakukan oleh para pejabat karier. Pemisahan proses politik dan administrasi tersebut memunculkan etika netralitas yang mengajarkan bahwa birokrasi publik dan aparatur negara seharusnya bertindak netral atau tidak terlibat dalam alokasi nilai. Birokrasi dan aparatur negara harus melaksanakan apa pun keputusan yang diambil oleh proses politik sebagaimana adanya, serta apapun alasannya tidak boleh mengkritisi dan memberikan interpretasi terhadap keputusan politik.
Tesis pemisahan antara politik dan administrasi itu yang kemudian ditolak oleh pembaharu Ilmu Administrasi Publik. Mereka sangat prihatin melihat teori dan praktek administrasi publik gagal memberikan kontribusi terhadap upaya memperbaiki keadilan sosial. Keadilan sosial bahkan menjadi sebuah nilai yang semakin menghilang dari praktik penyelenggaraan pemerintahan. Ketika para politisi sibuk bermain kekuasaan dan tidak peduli terhadap nasib rakyat, ketika proses kebijakan publik lebih mengabdi pada kepentingan pemegang kekuasaan, dan ketika proses penganggaran lebih didominasi oleh kepentingan elite politik dan birokrasi, maka birokrasi publik sebagai salah satu institusi publik gagal memberikan pencerahan dan menunjukkan perannya dalam mendefinisikan what is good for the people. Netralitas birokrasi telah menjadikan birokrasi tidak sensitif terhadap berbagai isu sosial, seperti kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan, diskriminasi, dan keadilan sosial.
Apa yang terjadi dalam sejarah perkembangan Ilmu Administrasi Publik setengan abad yang lalu itu relevan untuk melihat masalah yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan birokrasinya telah gagal menunjukkan keberpihakannya dalam menghadapi berbagai masalah yang menyinggung rasa keadilan sosial warganya. Terdapat sejumlah bukti mengenai itu, salah satunya adalah penguasaan sumber daya alam oleh elite pengusaha dan kekuatan asing yang berkolaborasi dengan penguasa dan aparatur birokrasi. Mereka bukan hanya menguasai sumber daya alam, tetapi juga merusak lingkungan di sejumlah Kawasan. Penggundulan hutan dilakukan untuk membangun villa mewah milik pejabat atau pengusaha. Penggalian bahan tambang dilakukan secara liar di Kawasan konservasi. Semua itu mengakibatkan terjadinya bencana alam yang membuat masyarakat menderita terutama kelompok marginal. Banjir membuat para petani merugi dan warga miskin yang tinggal di bantaran sungai terancam kehidupannya. Suku terasing terusir dari tempat tinggalnya di Kawasan hutan. Tanah longsor telah mengubur kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Kantong-kantong kemiskinan semakin merata di daerah yang sebenarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah. Semua itu terjadi begitu saja tanpa ada kepedulian dan keberpihakan yang jelas dari pemerintah dan birokrasinya. Tentu hal itu sangat ironis karena Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Birokrasi publik secara ideologis, konstitusional, dan keilmuan memiliki mandat untuk mewujdukan keadilan sosial. Mandat tersebut bukan hanya untuk para politisi, tetapi juga untuk aparat birokrasi dan warga. Mereka semua harus berkontribusi terhadap setiap upaya perbaikan keadilan sosial. Untuk dapat menjalankan mandat tersebut maka sosok/konsep birokrasi yang dikembangkan di masa mendatang haruslah sosok yang mampu menjadi agen perubahan bagi terwujudnya keadilan sosial. Birokrasi dan aparaturnya harus mampu mendorong perubahan menuju Indonesia yang lebih adil dengan cara mendistribusikan akses terhadap sumber-sumber mobilitas vertical, seperti pendidikan, kesehatan, dan sumber daya ekonomi kepada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Melihat semakin besarnya ketimpangan dalam penguasaan sumber daya sosial dan ekonomi, yang sebagian besar cenderung dikuasai oleh elite penguasa, pengusaha, bahkan kekuatan asing, maka birokrasi pemerintah di masa mendatang harus memiliki perhatian dan kepedulian terhadap permaslahan tersebut. Birokrasi pemerintah harus berpihak pada kelompok warga yang selama ini cenderung terpinggirkan, seperi penduduk miskin, perempuan, suku terasing, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Selama ini yang terjadi justru sebaliknya, birokrasi publik cenderung berpihak pada kelompok kaya, elit politik, dan pejabat birokrasi. Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa mereka yang kaya atau dekat dengan elit penguasa cenderung memiliki privilege ketika berhubungan dengan birokrasi publik. Dalam bidang pendidikan, akses terhadap pendidikan yang bermutu cenderung dikuasai oleh penduduk kelas menengah ke atas. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi ketimpangan akses antara penduduk miskin dengan penduduk menengah ke atas. Pelayanan kesehatan yang semakin mahal membuat banyak orang miskin tidak lagi memiliki akses terhadap pelayanan rumah sakit. Sedangkan dalam penyelenggaraan layanan administrasi, warga yang mampu membayar biro jasa (intermediaries) akan menimati pelayanan istimewa, yaitu pelayanan yang bermartabat, cepat, dan berkualitass. Begitu pula yang dekat dengan elit politik dan birokrasi. Kecenderungan pemihakan birokrasi dan aparaturnya kepada kepentingan elit penguasa dengan mudah juga dapat dilihat dari terjadinya elite captures dalam praktik penganggaran, yaitu anggaran pemerintah lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan elit politik dan birokrasi daripada memenuhi kepentingan publik.
Keberpihakan birokrasi publik terhadap kepentingan kelompok penduduk miskin, perempuan, difabel, dan kelompok marginal lainnya sangat penting untuk di dorong. Nilai, tradisi, dan praktik yang selama ini kurang berpihak kepada warga miskin dan kelompok marginal lainnya harus digusur dan diganti dengan nilai baru yang mengajarkan pentingnya birokrasi untuk peduli terhadap kebutuhan dari berbagai kelompok marginal. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan kepentingan penduduk miskin, perempuan, dan kelompok rentan lainnya sebagai sentral dari kehidupan birokrasi pemerintah. Artinya, kepentingan berbagai kelompok rentan tersebut harus menjadi pertimbangan utama dalam merancang desin, struktur, dan proses kerja dalam birokrasi pemerintah.
U n g g u l
Birokrasi masa depan harus memiliki keunggulan dibandingkan institusi sosial dan politik lainnya. Keunggulan ini ditunjukkan sikap, perilaku, dan pelayanan yang diselenggarakannya. Keunggulan penting untuk dimiliki oleh birokrasi dan aparaturnya apabila mereka ingin berperan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi pasar global yang semakin terbuka. Berlakunya sistem perdagangan bebas pada tingkat regional mulai 2010 dapat menjadi peluang bagi semua satuan sosial-ekonomi apabila birokrasi publik di Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan mitranya di negara-negara ASEAN linnya. Keunggulan itu harus dimiliki terutama dalam mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, serta mampu menfasilitasi dan memberdayakan satuan sosial ekonomi sehingga menjadi tangguh dan berdaya saing tinggi. Hanya dengan cara itu birokrasi dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan bangsa. Namun, apabila gagal memiliki keunggulan itu maka birokrasi publik tidak dapat berperan dalam peningkatan daya saing bangsa, bahkan justru menjadi sumber masalah bagi bangsa ini.
Birokrasi dapat menjadi pusat keunggulan apabila birokrasi mampu memberikan nilai tambah terhadap kegiatan social ekonomi masyarakat. Keberadaan birokrasi public harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Birokrasi public harus mampu memperbaiki efisiensi, daya saing, serta daya tahan pelaku social dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Untuk itu birokrasi publik harus efisien, efektif, professional, modern, dan beroroentasi pada pelayanan.
Dikatakan efisien dan efektif apabila keberadaan birokrasi mampu memberikan pelayanan kepada warganya secara murah, mudah, dan terjangkau sehingga mampu memperbaiki kesejahteran warganya. Selama ini pelayanan birokrasi pemerntah masih mencirikan kondisi yang sebaliknya, yaitu sulit dijangkau, rumit, dan kompleks, sehingga cenderung menghasilkan biaya pemerintahan yang tinggi dan berakibat negatif bagi kesejahteraan masyarakat. Birokratisasi di Indonesia sekarang ini masih berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan warganya. Semakin tinggi interaksi warga dengan birokrasinya semakin besar pengorbanan yang dikeluarkan oleh warga. Besarnya pengorbanan yang dikeluarkan oleh warga ketika berhubungan dengan birokrasi sering tidak sebanding dengan manfaat yang diterimanya.
Kondisi itu harus segera dibalik. Keberadaan birokrasi pemerintah harus mampu memberdayakan pelaku sosial ekonomi dan warga secara keseluruhan. Birokrasi pemerintah harus mampu memberikan nilai tambah ketika mereka berinteraksi dengan warganya. Untuk itu tiada pilihan bagi birokrasi public dan aparatnya kecuali menempatkan efisiensi sebagai salah satu nilai yang penting. Dalam persaingan global dan liberalisasi pasar, efisiensi birokrasi akan sangat menentukan daya saing dari setiap pelaku social ekonomi yang ada dalam wilayah jurisdiksinya. Kegagalan mewujudkan efisiensi dapat memperlemah daya saing warganya dalam menghadapi persaingan global dan mengancam keangsungan bangsa.
Untuk itu birokrasi harus mampu menghilangkan sumber sumber inefisiensi yang selama ini melekat dalam kehidupan birokrasi. Salah satu sumber inefisiensi dalambirokrasi adalah tidak adanya hubungan antara biaya (cost) dan pendapatan (revenue). Pada mekanisme pasar, semua pelakunya memiliki insentif untuk menekan costs karena dengan costs yang rendah membuat mereka memiliki revenues dan profit yang semakin besar. Karena para pelaku pasar diuntungkan ketika mereka efisien maka mereka menjadi lebih kreatif dan mampu mewujudkan efisiensi. Hal ini berbeda dengan birokrasi. Anggaran (costs) birokrasi pemerintah justru sering berhubungan secara positif dengan berbagai macam privileges, seperti kekuasaan,  penghasilan, dan pengaruh. Karena itu para apparat birokrasi cenderung lebih mengembangkan sikap dan perilaku untuk memperbesar anggaran karena anggaran yang besar memberikan manfaat bagi dirinya.
Melihat kondisi yang demikian maka sistim anggaran dalam birokrasi harus diubah. Sistem anggaran yang berlaku harus memberikan incentives for saving dan disinteves for spending. Tradisi menghabiskan anggaran pada akhir tahun harus dihilangkan dan diganti dengan tradisi menabung dan menghemat. Penghargaan perlu diberikan kepada mereka yang mampu menghemat anggaran atau menyisakan anggaran tanpa mengurangi kualitas dan kuantitas output yang telah ditentukan. Sistem anggaran yang lebih fleksibel dan memungkinkan adanya carry-over dari suatu kegiatan perlu dikembangkan agar efisiensi dan efektifitas kegiatan pemerintahan dan pelayanan dapat diwujudkan. Penerapan sistem penganggaran tahunan yang kaku sering menghalangi keberlanjutan dari kegiatan birokrasi dan membuat efektivitas kegiatan terganggu. Sistem penganggaran berbasis kinerja perlu diterapkan secara serius dengan mengalokasikan anggaran untuk satuan birokrasi berdasarkan kinerjanya.
Transformatif, lebih dari sekedar melayani
Pertanyaan tentang peran birokrasi pemerintah di masa mendatang sangat penting dalam merumuskan visi reformasi birokrasi publik di Indonesia. Kritik yang sering diberikan terhadap birokrasi pemerintah selama ini adalah kecenderungan birokrasi menempatkan dirinnya lebih sebagai agen kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Peran seperti itu terlihat dari struktur birokrasi yang sangat hierarkhis dan proses kerja yang sangat berorientasi pada control. Kedua hal itu ditambah dengan kepatuhan yang berlebihan pada prosedur telah mendorong birokrasi public berkembang lebih sebagai agen kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Pada masa rezim otoritarian Orde Baru, sosok birokrasi pemerintah yang seperti itu mencapai puncaknya seiring dengan semakin kuatnya lembaga eksekutif mendominasi arena politik. Sistem pemerintahan yang sangat sentralistis memberikan peluang bagi pemerintah pusat menggunakan birokrasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi pemerintah menjadi agen yang efektif untuk memobilisasi dukungan politik dan ekonomi bagikelangsungan Orde Baru. Lebih dari 30 tahun birokrasi pemerintah mengalami internalisasi praktik dan tradisi sebagai agen kekuasaan.
Mendorong perubahan sosok birokrasi sebagai agen kekuasaan menjadi agen pelayanan tentu bukan hal yang mudah. Apalagi mengharapkan birokrasi berperan bukan hanya melayani warga, tetapi juga memberdayakannya. Harapan itu menuntut perubahan banyak hal, termasuk perubahan mindset dari rulling ke empowering. Selama ini sosok yang mengemuka dari birokrasi pemerintah cenderung mengarah pada rulling, controlling, dan regulating. Perilaku, tradisi, dan nilai-nilai sebagaimana tercermin dalam budaya yang berkembang dalam birokrai pemerintah selama ini masih menggambarkan sosoknya sebagai penguasa, pengatur, dan pengendali. Sosok birokrasi sebagai pengembang, penolong, dan pemberdaya kurang berkembang dalam kehidupan birokrasi publik. Akibatnya, budaya yang berkembang dalam birokrasi adalah budaya memerintah, bukan budaya menolong, membantu, dan memberdayakan.
Untuk mengubah mindset maka rekayasa budaya harus dilakukan (Osborne&Plastrick,1997). Budaya baru perlu diciptakan untuk menggusur tradisi, nilai, dan praktik lama yang selama ini membuat birokrasi gagal menjalankan peran empowering-nya. Sikap dan perilaku baru yang mengekspresikan perilaku suka membantu, peduli, dan caring perlu dibiasakan dalam birokrasi pemerintah. Sikap dan perilaku seperti itu perlu dilembagakan dan menjadi bagian dari code of conducts birokrasi publik. Selain memasukkannya dalam code of conduct, pemerintah perlu menciptkan simbol-simbol baru yang relevan dengan perilaku dan tradisi baru yang akan dikembangkan. Bahasa, simbol, dan citra dari sosok apparat birokrasi yang selama ini ditanamkan melalui sistem dan kurikulum pendidikan aparat birokrasi perlu diubah. Simbol dan bahasa yang mencitrakan sosok yang gagah, tegas, berwibawa sebagaimana layaknya penguasa harus diubah menjadi sosok yang peduli, suka menolong, cekatan, dan bersahabat. Orientasi sistem pendidikan dan pelatihan aparat birokrasi harus diubah agar mencerminkan budaya baru yang akan dikembangkan dalam birokrasi publik di masa mendatang.
Dengan mengubah budaya birokrasi maka orientasi pelayanan dapat dikembangkan secara mudah (Osborne & Gaebler, 1992). Budaya melayani dengan mudah akan berkembang dalam birokrasi publik. Cara pandang birokrasi terhadap warganya juga niscaya berbeda. Mereka tidak lagi melihat dan menempatkan warganya sebagai klien, melainkan sebagai warga yang berdaulat. Sebagai pelayan warga birokrasi harus memenuhi kehendak dan keinginan warganya. Namun, pada saat yang sama apparat birokrasi juga berperan sebagai pemberdaya serta peduli terhadap persoalan dan kebutuhan warga. Birokrasi dan aparaturnya harus dapat berperan sebagai pemberdaya dan penolong bagi warga yang tertindas dan terpinggirkan. Dengan begitu apparat birokrasi pemerintah dapat membedakan pelayanan yang diselenggarakannya dengan pelayanan yang diberikan sektor swasta. Penyelenggara layanan swasta cenderung menempatkan pengguna layanannya sebagaikonsumen atau pembeli layanan, sementara apparat birokrasi semestinya menempatkan pengguna layanannya sebagai warga yang bukan hanya perlu dilayani tetapi juga diperhatikan kebutuhan dan keterbatasannya serta diberdayakan potensinya. Dengan orientasi pelayanan yang demikian akan membuat aparat birokrasi mampu menjalin hubungan emosional dengan warganya, tidak bersifat transaksional sebagaimana yang terjadi dalam pasar, melainkan lebih bersifat transformatif.
Dengan mengembangkan pola hubungan yang transformatiF maka kualitas interaksi antara aparat birokrasi dan warganya akan jauh lebih baik dibandingkan hubungan yang terjadi antara para penyelenggara layanan swasta dan pelanggannya. Apparat birokrasi akan memperoleh penghormatan dan penghargaan dari warga karena dinilai lebih peduli terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi warga. Hubungan antara aparat birokrasi dengan warganya lebih dari sekedar hubungan antara penyelenggara dan pengguna layanan. Hubungan diantara mereka  bukan hanya bersifat transaktif ekonomi, tetapi juga bersifat sosial dan kejiwaan. Kemampuan aparat birokrasi mengembangkan hubungan sosial dan emosional dengan warganya akan membuat birokrasi mampu membangun kembali citranya yang selama ini terpuruk dan memulihkan kepercayaan publik.

PERTANYAAN
1.     Mengapa birokrasi kita belum peduli pada kelompok miskin dan terpinggirkan? Jelaskan secara sistimatis.
2.     Jelaskan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Sudah sejauh mana birokrasi mewujudkan tujuan itu? Jelaskan secara sistimatis.
3.     Bagaimana metode birokrasi dalam menyusun anggaran? Jelaskan secara singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar