BK XII,
KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH
KE-12, 29 JUNI 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN
KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Catatan;
pada kuliah terakhir ini mahasiswa ditugaskan untuk memberi “tanggapan,
komentar, atau pertanyaan”, untuk bahan penilaian sekaligus daftar hadir. Baca
baik-baik, jangan disepelekan.
∏
KOMUNIKASI
INTERNASIONAL DI ERA COVID-19;
KOMUNIKASI
ASIMETRIK
Pada kuliah pertama telah diuraikan
arti, definisi, dan pendekatan dalam Komunikasi Internasional. Pada
kuliah-kuliah selanjutnya telah dikaji lebih dalam apa substansi (yang
dikuliahkan) pada kuliah pertama tersebut. Telah diuraikan dengan runtut apa
itu Sistim internasional dengan segala konsep, teori, dan variannya[1].
Begitu pula persfektifnya, seperti, Diplomasi, Jurnalistik Internasional, Propaganda,
Kesenjangan informasi, dominasi Barat atas berita, hingga apa yang dikenal
dengan Globalisasi dalam kaitannya dengan komunikasi dan informasi
internasional pada kuliah ke 10 dan 11.
Pada kuliah ke-12/terakhir ini akan
diuraikan bagaimana komunikasi internasional dalam era
kekuasaan/pandemi/evidemi Covid-19, melalui (gabungan) pendekatan
politik/hubungan internasional, diplomasi, propaganda, dan jurnalistik,
berdasarkan data-data dari media (audio visual, surat kabar, medsos dan
sebagainya) . Pertanyaannya;….bagaimana komunikasi internasional dalam era
Covid-19 ini? Apakah sama saja atau berubah? Kalau sama saja atau berubah,
bagaimana pola atau modelnya? Atau justru miss komunikasi?
Secara umum dan singkat dapat
dikatakan bahwa komunikasi internasional telah berubah. Paling tidak/minimal
kalau ditilik dari pola diplomasi. Diplomasi yang berlangsung akhir-akhir ini
tidak lagi bertemu langsung/tatap muka/fisikal, melainkan secara virtual.
Diplomasinya diplomasi virtual. Diplomasi yang dalam faktanya tidak mengurangi
arti pentingnya, ketimbang diplomasi fisikal (tatap muka). Malah dalam hal
biaya dan pelaksanaan lebih efisien dan efektif. Pengakuan ini dapat dilihat
dari tulisannya Darmansjah Djumala, Diplomat Senior di Vienna di harian Kompas,
23 Juni 2020. Lebih jelasnya Darmansjah Djumala mengatakan:
Seperti kegiatan manusia di bidang
lainnya, pelaksanaan diplomasi harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan
yang diterapkan negara. Ambil contoh, kegiatan diplomasi multilateral PBB dan
organisasi Internasional lainnya di Wina, Austria. Seturut dengan imbauan
otoritas setempat, PBB dan organisasi internasional terpaksa mengadakan
sidangnya secara virtual. Persidangan virtual tak banyak berbeda dengan cara
fisikal. Meski hanya virtual, kehadiran negara anggota tak berkurang. Pun dalam
bahasan substansi, delegasi tak terkendala dalam menyampaikan posisi resmi
negaranya atas isu yang dibahas. Meski virtual, posisi resmi mereka tercatat
dengan baik dalam notulensi sidang. Tidak beda dengan persidangan secara
fisikal[2].
∏
Begitu pula pertemuan-pertemuan
institusi gobal lainnya, seperti sidang IMF, Bank Dunia, WTO, G-20, ASEAN, Uni
Eropa, dilakukan secara virtual (tidak bertemu langsung). Bagaimana pola,
metode, atau caranya dapat kita lihat dari media-media audio visual, seperti
televisi, youtube, dan lain-lain media audio visual. Dengan demikian jelas sudah, telah terjadi
perubahan significan.
Namun di atas itu semua, yang paling
penting, dan menjadi tujuan utama tulisan ini adalah bagaimana komunikasi antar
negara , antar pimpinan negara, atau komunikasi global dalam menangani wabah
Covid-19, yang belum tahu kapan berakhir. Untuk membahasnya kita mulai dari
tulisan dibawah ini (Kompas, 24 Juni 2020).
∏
DUNIA MASIH TERPECAH HADAPI COVID-19
Dunia saat ini tengah
menghadapi ancaman yang semakin serius seiring berkembangnya pandemi Covid-19.
Dalam forum kesehatan yang digelar secara virtual di Dubai, Uni Emirat Arab,
Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus
mengatakan, pandemi masih terus meningkat.
Ketika beberapa negara,
seperti China dan Korea Selatan, menghadapi gelombang kedua pandemi, beberapa
negara di Amerika Latin dan Asia selatan justru tengah mengalami penularan
besar. Namun, menurut Tedros, ancaman bagi dunia tidak hanya datang dari virus
yang telah menyebabkan lebih dari 470.000 orang meninggal itu.
Tedros mengatakan, ada
ancaman lain yang juga serius, yaitu kurangnya solidaritas kepemimpinan global.
“Kita tidak bisa mengalahkan pandemi ini dengan dunia yang terpecah. Politisasi
pandemi telah memperburuknya”, katanya.
Tedros tidak merujuk
pada satu negara pun terkait pernyataannya itu. Namun, sebagaimana telah
diberitakan sebelumnya, sejumlah pemimpin negara – salah satunya Presiden
Brasil, Jair Bolsonaro[3] – menilai wabah Covid-19
sebagai flu biasa dan mengatakan, dampak ekonomi dari kebijakan pembatasan
wilayah dan karantinan justru lebih buruk dari penyakit itu sendiri.
Hingga saat ini, di
Brasil tercatat lebih dari 50.000 orang meninggal karena Covid-19. Jumlah itu
merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang mencatat lebih dari
120.000 kematian yang disebabkan oleh Covid-19. AS juga banyak dikritik akibat
langkah pemerintahan Presiden Donald Trump menangani pandemi itu.
Sementara itu, ketika
Meksiko tengah bergulat dengan peningkatan kasus Covid-19 dan menunda rencana
menerapkan kebijakan pelonggaran, sejumlah negara Eropa terus mengurangi
kebijakan pembatasan mereka.
Ribuan orang Perancis
menari dan berpesta di jalan-jalan untuk merayakan festival musik tahunan. “Ini
bukanlah akhir kuncian secara bertahap”, kata Dr Gilbert Deray, seorang ahli
nefrologi Perancis. “Saya memahami bahwa festival musik adalah sesuatu
pembebasan, tetapi apakah kita benar-benar harus memilikinya tahun ini?”
Kolam renang dan
bioskop juga dibuka kembali dan anak-anak hingga usia 15 tahun kembali ke
sekolah. Sejumlah negara anggota Uni Eropa juga telah memperlonggar perbatasan
mereka dan memungkinkan warga Uni Eropa bepergian ke wilayah negara tetangga.
Upaya tersebut
diharapkan dapat memulihkan kembali ekonomi yang terpuruk setelah setelah
kebijakan pembatasan diterapkan. Organisasi perdagangan dunia (WTO) mengatakan,
perdagangan global pada kuartal kedua tahun ini bakal turun 18,5 persen.
Direktur jenderal WTO
Roberto Azevedo mengatakan, penurunan itu diperkirakan akan menjadi yang paling
curam, bahkan bisa lebih buruk. WTO pun berpendapat, prospek ekonomi global
selama dua tahun ke depan tetap tidak pasti.
Perdana Menteri Inggris
Boris Johnson, mengumumkan
pelonggaran yang dimulai pada 4 juli mendatang akan membuat jutaan orang di
Inggris kembali ke pub, bioskop, gereja, dan salon rambut. Meski tempat
olahraga, kolam renang dan spa tetap ditutup, Johnson mengatakan kepada anggota parlemen bahwa kebijakan
pembatasan yang disebutnya dengan hibernasi panjang, nasional akan
segera berakhir.
∏
Komunikasi asimetrik
Dari uraian diatas, khususnya teriakan
Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang mengatakan;
·
kurangnya
solidaritas global,
·
dunia yang terpecah menghadapinya,
·
pemburukan karena politisasi pandemi,
menunjukkan telah terjadi;
1. miss komunikasi,
2. tanpa komunikasi, atau
3.
komunikasi
asimetrik.
dalam menghadapi ancaman Covid-19. Komunikasi asimetrik, yang
tidak saja antar negara, antara negara dengan organisasi global, antara
organisasi global dengan organisasi global lainnya, namun juga antar elit di masing-masing negara,
sebagaimana yang dikatakan PM Inggris Boris Johnson. Bagaimana itu (komunikasi
asimetrik/miss komunikasi) bisa terjadi? Mengapa AS yang sejak lama menjadi
pionir memimpin dunia dalam penanggulangan bencana wabah, kali ini tidak hadir?
Selama ini, AS selalu mengambil peran
terdepan dalam merespons masalah kesehatan global. Ketika wabah Ebola merebak
di Afrika tahun 2014-2015, Presiden Barak Obama memimpin koalisi puluhan negara
untuk memerangi penyebaran Ebola dengan menyediakan lebih dari 350 juta dollar
AS, belum termasuk 111 juta dollar AS untuk bantuan kemanusiaan.
Pada 2003, di era Presiden George W
Bush, AS meluncurkan The President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR)
untuk melawan epidemi HIV/AIDS. Dengan anggaran lebih dari 85 milyar dollar AS,
terbesar sepanjang sejarah, PEPFAR menjadi komitmen terbesar sebuah negara di
dunia untuk melawan satu penyakit. Dampaknya, 18 juta bias diselamtkan dan
jutaan lainnya di 50 negara terhindar dari HIV.
Di majalah Foreign Affairs, Kurt M
Campbell, CEO Asia Group dan mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan
Asia Timur dan Pasifik, serta Rush Doshi, Direktur China Strategy Initiatif di
Brooking Institution sekaligus fellow di Yale Law Schools Paul Tsai China
Center menyebut status AS sebagai pemimpin dunia selama tujuh dekade terakhir
tidak hanya dibangun oleh kesejahteraan dan kekuasaan, tetapi juga oleh
kemampuan dan kemauan mengoordinasi respons global atas aneka krisis.
Namun kini di era Presiden Donald
Trump, AS memiliki kebijakan luar negeri yang oleh Richard Haas, Presiden Dewan
Foreign Relations, di Washington Post, Rabu (27/5/2020), disebut sebagai
“Doktrin Penarikan Diri”.
Secara sepihak, AS menarik diri dari
banyak kerja sama multilateral. AS menarik diri dari Trans-Pasifik Partnership
(TPP), Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, Kesepakatan Nuklir Iran 2015,
Intermedite – Range Nuclear Force Treaty (INF), UNESCO, Dewan HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta mundur dari donor untuk UNRWA – misi PBB untuk engungsi
Palestina. Terbaru, di tengah pandemic Covid-19, AS mengancam menarik diri dari
WHO, menyusul penundaan iuran AS di WHO.
Ancaman itu dilontarkan karena Trump
berulang kali menilai WHO tidak tegas terhadap China yang gagal mencegah
pandemic Covid-19 terjadi dan tidak transparan dalam menangani pandemic ini dan
menyebut Covid-19 sebagai “virus China”. AS pula yang dalam pertemuan Tahunan
WHO, World Health Assembly (WHA), mendorong adanya penyelidikan asal virus
korona baru itu.
Organisasi ini gagal menyediakan
informasi yang diperlukan dunia dan kegagalan ini menyebabkan banyak kematian,
kata Menteri Kesehatan AS Alex Azar saat WHA, seperti dikutif Reuters.
Selama ini, AS merupakan negara
pendonor terbesar bagi WHO dengan kontribusi antara 400 juta dollar AS dan 500
juta dollar AS setahun.
Sebaliknya (yang menarik), sikap
China justru berbeda. Ketika Trump mengancam akan menunda iuran AS kepada WHO,
di forum WHA Presiden China Xi Jinping justru menyatakan akan memberikan
dukungan finansial sebesar 2 miliar dollar AS kepada WHO untuk membantu
memerangi Covid-19, terutama dinegara miskin dan berkembang selama dua tahun ke
depan.
Jumlah bantuan tersebut hampir
menyamai jumlah total anggaran WHO tahun 2019 dan lebih dari cukup untuk
mengompensasi dibekukannya sumbangan AS. China akan bekerja dengan anggota negara-negara
G-20 guna mengimplementasikan inisiatif pengurangan utang untuk negara-negara
termiskin, kata Xi.
Ketika AS akan sibuk mengatasi dua
juta lebih kasus Covid-19 di dalam negerinya dengan lebih dari 115.000 kasus
kematian, China melancarkan kampanye
diplomatik untuk meyakinkan dunia bahwa Beijing bersedia berbagi
informasi tentang bagaimana mengendalikan pandemi
Narasi besar yang ingin disebarkan
oleh China adalah bahwa negara itu berhasil mengendalikan pandemi. Selain itu,
China juga terbuka dan transparan dalam melaporkan munculnya wabah dari Wuhan
dengan membagi informasi genetic virus korona sejak awal.
Berbeda dengan AS yang kini menarik
diri dari kerjasama multilateral, China justru menjalankan perannya itu melalui
mekanisme multilateral. Salah satunya, China mendekati Eropa tengah dan timur
melalui mekanisme “17 + 1”.
Bukan hanya ucapan, China juga
menyalurkan bantuan alat media dan mengirimkan tenaga kesehatannya ke berbagai
negara di Asia dan Afrika, dan Timur Tengah. Memanfaatkan ketidak hadiran AS di
Eropa, China juga mengirmkan bantuan ke Italia, Perancis, Spanyol, dan Belanda.
Bahkan China juga mengirimkan bantuan ke New York ketika pemerintah federal
kalang kabut memenuhi kebutuhan ventilator untuk pasien Covid-19.
Dalam perlombaan pengembangan vaksin
Covid-19, China yang melakukan uji klinis lima calon vaksin Covid-19 juga
berjanji akan menjadikan vaksin Covid-19
nantinya sebagai “barang publik global” dan memberikan akses kepada negara lain
dengan harga yang terjangkau.
Ini berbeda dengan AS yang
menyuntikkan dana sekitar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar 17,7 triliun kepada
perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneka, yang tengah mengembangkan vaksin
Covid-19, untuk mengamankan kebutuhan vaksin dalam negeri AS.
Kekhawatiran Barat terhadap jebakan
utang China, termasuk di kala pandemi, saat ini dijawab China dengan turut serta,
bersama negara G-20, dalam moratorium
utang bagi negara miskin, selama delapan bulan. China juga berkontribusi
pada Catasthrope Containment and Relief Trust dari Dana Moneter Internasional
(IMF) untuk mendukung negara miskin menghadapi utang luar negeri mereka.
Dari rentetan peristiwa tersebut
terlihat bahwa China menjadikan pandemi sebagai titik masuk untuk mempromosikan
dirinya sebagai negara yang memiliki role model dalam kepemimpinan global.
Sebuah negara kaya dengan kekuatan militer besar serta kemampuan dan kemauan
mengatasi krisis global.
Singkatnya telah terjadi hubungan
yang tidak harmonis, antagonistic, atau rivalitas antara AS dengan RRC.
Hubungan yang mengemuka karena RRC sudah tampil menjadi kekuatan baru, yang
kemungkinan akan segera melewati AS. Sebagamana kata Graham Allison, mantan
penasehat kebijakan luar negeri AS, dalam suasana itu perang tidak dapat
dihindari, yakni perang yang tidak mengeluarkan peluru, senjata, atau perang
konvensional. Perangnya mirip dengan perang dingin pasca perang dunia II,
antara AS dengan Uni Soviet (lihat kuliah sebelum-sebelumnya).
Dengan kata
lain komunikasi internasional dalam
era Covid-19
ini adalah Komunikasi Asimetrik.
Kita
akhiri kuliah
Merdeka
[1]
Selain konsep-konsep komunikasi internasional, juga konsep-konsep
hubungan/politik internasional, seperti realis, idealis, dependencia,
hierarkhis, polar (bipolar), multilateral.
[2]
Namun, untik persidangan yang ada kegiatannegosiasinya, pertemuan harus
dilakukan secara fisikal. Sebab dalam negosiasi, selain butuh pemahaman
substansi, negosiator perlu memahami psyche (suasana kejiwaan) dari negosiasi
itu sendiri, yang hanya bias diperoleh jika terjadi tatap muka dan melihat
langsung, gimik lawan negosiasinya (ibid Darmansjah Djumala, 23 juni 2020).
[3]
Bolsonaro mungkin punya perhitungan sendiri yang beda dengan pemimpin-pemimpin
dunia lainnya. Mungkin juga ia yakin dengan teori konspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar