Minggu, 28 Juni 2020

BK XII, KOMUNIKASI INTERNASIONAL



BK XII, KOMUNIKASI INTERNASIONAL
KULIAH KE-12, 29 JUNI 2020, JAM 10.30 SD 12.30
JURUSAN KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Catatan; pada kuliah terakhir ini mahasiswa ditugaskan untuk memberi “tanggapan, komentar, atau pertanyaan”, untuk bahan penilaian sekaligus daftar hadir. Baca baik-baik, jangan disepelekan.
KOMUNIKASI INTERNASIONAL DI ERA COVID-19;
KOMUNIKASI ASIMETRIK
Pada kuliah pertama telah diuraikan arti, definisi, dan pendekatan dalam Komunikasi Internasional. Pada kuliah-kuliah selanjutnya telah dikaji lebih dalam apa substansi (yang dikuliahkan) pada kuliah pertama tersebut. Telah diuraikan dengan runtut apa itu Sistim internasional dengan segala konsep, teori, dan variannya[1]. Begitu pula persfektifnya, seperti, Diplomasi, Jurnalistik Internasional, Propaganda, Kesenjangan informasi, dominasi Barat atas berita, hingga apa yang dikenal dengan Globalisasi dalam kaitannya dengan komunikasi dan informasi internasional pada kuliah ke 10 dan 11.
Pada kuliah ke-12/terakhir ini akan diuraikan bagaimana komunikasi internasional dalam era kekuasaan/pandemi/evidemi Covid-19, melalui (gabungan) pendekatan politik/hubungan internasional, diplomasi, propaganda, dan jurnalistik, berdasarkan data-data dari media (audio visual, surat kabar, medsos dan sebagainya) . Pertanyaannya;….bagaimana komunikasi internasional dalam era Covid-19 ini? Apakah sama saja atau berubah? Kalau sama saja atau berubah, bagaimana pola atau modelnya? Atau justru miss komunikasi?
Secara umum dan singkat dapat dikatakan bahwa komunikasi internasional telah berubah. Paling tidak/minimal kalau ditilik dari pola diplomasi. Diplomasi yang berlangsung akhir-akhir ini tidak lagi bertemu langsung/tatap muka/fisikal, melainkan secara virtual. Diplomasinya diplomasi virtual. Diplomasi yang dalam faktanya tidak mengurangi arti pentingnya, ketimbang diplomasi fisikal (tatap muka). Malah dalam hal biaya dan pelaksanaan lebih efisien dan efektif. Pengakuan ini dapat dilihat dari tulisannya Darmansjah Djumala, Diplomat Senior di Vienna di harian Kompas, 23 Juni 2020. Lebih jelasnya Darmansjah Djumala mengatakan:
Seperti kegiatan manusia di bidang lainnya, pelaksanaan diplomasi harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang diterapkan negara. Ambil contoh, kegiatan diplomasi multilateral PBB dan organisasi Internasional lainnya di Wina, Austria. Seturut dengan imbauan otoritas setempat, PBB dan organisasi internasional terpaksa mengadakan sidangnya secara virtual. Persidangan virtual tak banyak berbeda dengan cara fisikal. Meski hanya virtual, kehadiran negara anggota tak berkurang. Pun dalam bahasan substansi, delegasi tak terkendala dalam menyampaikan posisi resmi negaranya atas isu yang dibahas. Meski virtual, posisi resmi mereka tercatat dengan baik dalam notulensi sidang. Tidak beda dengan persidangan secara fisikal[2].
Begitu pula pertemuan-pertemuan institusi gobal lainnya, seperti sidang IMF, Bank Dunia, WTO, G-20, ASEAN, Uni Eropa, dilakukan secara virtual (tidak bertemu langsung). Bagaimana pola, metode, atau caranya dapat kita lihat dari media-media audio visual, seperti televisi, youtube, dan lain-lain media audio visual.  Dengan demikian jelas sudah, telah terjadi perubahan significan.
Namun di atas itu semua, yang paling penting, dan menjadi tujuan utama tulisan ini adalah bagaimana komunikasi antar negara , antar pimpinan negara, atau komunikasi global dalam menangani wabah Covid-19, yang belum tahu kapan berakhir. Untuk membahasnya kita mulai dari tulisan dibawah ini (Kompas, 24 Juni 2020).
DUNIA MASIH TERPECAH HADAPI COVID-19
Dunia saat ini tengah menghadapi ancaman yang semakin serius seiring berkembangnya pandemi Covid-19. Dalam forum kesehatan yang digelar secara virtual di Dubai, Uni Emirat Arab, Direktur Jendral Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, pandemi masih terus meningkat.
Ketika beberapa negara, seperti China dan Korea Selatan, menghadapi gelombang kedua pandemi, beberapa negara di Amerika Latin dan Asia selatan justru tengah mengalami penularan besar. Namun, menurut Tedros, ancaman bagi dunia tidak hanya datang dari virus yang telah menyebabkan lebih dari 470.000 orang meninggal itu.
Tedros mengatakan, ada ancaman lain yang juga serius, yaitu kurangnya solidaritas kepemimpinan global. “Kita tidak bisa mengalahkan pandemi ini dengan dunia yang terpecah. Politisasi pandemi telah memperburuknya”, katanya.
Tedros tidak merujuk pada satu negara pun terkait pernyataannya itu. Namun, sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, sejumlah pemimpin negara – salah satunya Presiden Brasil, Jair Bolsonaro[3] – menilai wabah Covid-19 sebagai flu biasa dan mengatakan, dampak ekonomi dari kebijakan pembatasan wilayah dan karantinan justru lebih buruk dari penyakit itu sendiri.
Hingga saat ini, di Brasil tercatat lebih dari 50.000 orang meninggal karena Covid-19. Jumlah itu merupakan terbesar kedua setelah Amerika Serikat yang mencatat lebih dari 120.000 kematian yang disebabkan oleh Covid-19. AS juga banyak dikritik akibat langkah pemerintahan Presiden Donald Trump menangani pandemi itu.
Sementara itu, ketika Meksiko tengah bergulat dengan peningkatan kasus Covid-19 dan menunda rencana menerapkan kebijakan pelonggaran, sejumlah negara Eropa terus mengurangi kebijakan pembatasan mereka.
Ribuan orang Perancis menari dan berpesta di jalan-jalan untuk merayakan festival musik tahunan. “Ini bukanlah akhir kuncian secara bertahap”, kata Dr Gilbert Deray, seorang ahli nefrologi Perancis. “Saya memahami bahwa festival musik adalah sesuatu pembebasan, tetapi apakah kita benar-benar harus memilikinya tahun ini?”
Kolam renang dan bioskop juga dibuka kembali dan anak-anak hingga usia 15 tahun kembali ke sekolah. Sejumlah negara anggota Uni Eropa juga telah memperlonggar perbatasan mereka dan memungkinkan warga Uni Eropa bepergian ke wilayah negara tetangga.
Upaya tersebut diharapkan dapat memulihkan kembali ekonomi yang terpuruk setelah setelah kebijakan pembatasan diterapkan. Organisasi perdagangan dunia (WTO) mengatakan, perdagangan global pada kuartal kedua tahun ini bakal turun 18,5 persen.
Direktur jenderal WTO Roberto Azevedo mengatakan, penurunan itu diperkirakan akan menjadi yang paling curam, bahkan bisa lebih buruk. WTO pun berpendapat, prospek ekonomi global selama dua tahun ke depan tetap tidak pasti.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, mengumumkan pelonggaran yang dimulai pada 4 juli mendatang akan membuat jutaan orang di Inggris kembali ke pub, bioskop, gereja, dan salon rambut. Meski tempat olahraga, kolam renang dan spa tetap ditutup, Johnson mengatakan kepada anggota parlemen bahwa kebijakan pembatasan yang disebutnya dengan hibernasi panjang, nasional akan segera berakhir.
Komunikasi asimetrik
Dari uraian diatas, khususnya teriakan Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang mengatakan;
·         kurangnya solidaritas global,
·          dunia yang terpecah menghadapinya,
·          pemburukan karena politisasi pandemi,
menunjukkan telah terjadi;
1.      miss komunikasi,
2.      tanpa komunikasi, atau
3.      komunikasi asimetrik.
dalam menghadapi ancaman Covid-19. Komunikasi asimetrik, yang tidak saja antar negara, antara negara dengan organisasi global, antara organisasi global dengan organisasi global lainnya,  namun juga antar elit di masing-masing negara, sebagaimana yang dikatakan PM Inggris Boris Johnson. Bagaimana itu (komunikasi asimetrik/miss komunikasi) bisa terjadi? Mengapa AS yang sejak lama menjadi pionir memimpin dunia dalam penanggulangan bencana wabah, kali ini tidak hadir?
Selama ini, AS selalu mengambil peran terdepan dalam merespons masalah kesehatan global. Ketika wabah Ebola merebak di Afrika tahun 2014-2015, Presiden Barak Obama memimpin koalisi puluhan negara untuk memerangi penyebaran Ebola dengan menyediakan lebih dari 350 juta dollar AS, belum termasuk 111 juta dollar AS untuk bantuan kemanusiaan.
Pada 2003, di era Presiden George W Bush, AS meluncurkan The President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR) untuk melawan epidemi HIV/AIDS. Dengan anggaran lebih dari 85 milyar dollar AS, terbesar sepanjang sejarah, PEPFAR menjadi komitmen terbesar sebuah negara di dunia untuk melawan satu penyakit. Dampaknya, 18 juta bias diselamtkan dan jutaan lainnya di 50 negara terhindar dari HIV.
Di majalah Foreign Affairs, Kurt M Campbell, CEO Asia Group dan mantan Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, serta Rush Doshi, Direktur China Strategy Initiatif di Brooking Institution sekaligus fellow di Yale Law Schools Paul Tsai China Center menyebut status AS sebagai pemimpin dunia selama tujuh dekade terakhir tidak hanya dibangun oleh kesejahteraan dan kekuasaan, tetapi juga oleh kemampuan dan kemauan mengoordinasi respons global atas aneka krisis.
Namun kini di era Presiden Donald Trump, AS memiliki kebijakan luar negeri yang oleh Richard Haas, Presiden Dewan Foreign Relations, di Washington Post, Rabu (27/5/2020), disebut sebagai “Doktrin Penarikan Diri”.
Secara sepihak, AS menarik diri dari banyak kerja sama multilateral. AS menarik diri dari Trans-Pasifik Partnership (TPP), Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, Kesepakatan Nuklir Iran 2015, Intermedite – Range Nuclear Force Treaty (INF), UNESCO, Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta mundur dari donor untuk UNRWA – misi PBB untuk engungsi Palestina. Terbaru, di tengah pandemic Covid-19, AS mengancam menarik diri dari WHO, menyusul penundaan iuran AS di WHO.
Ancaman itu dilontarkan karena Trump berulang kali menilai WHO tidak tegas terhadap China yang gagal mencegah pandemic Covid-19 terjadi dan tidak transparan dalam menangani pandemic ini dan menyebut Covid-19 sebagai “virus China”. AS pula yang dalam pertemuan Tahunan WHO, World Health Assembly (WHA), mendorong adanya penyelidikan asal virus korona baru itu.
Organisasi ini gagal menyediakan informasi yang diperlukan dunia dan kegagalan ini menyebabkan banyak kematian, kata Menteri Kesehatan AS Alex Azar saat WHA, seperti dikutif Reuters.
Selama ini, AS merupakan negara pendonor terbesar bagi WHO dengan kontribusi antara 400 juta dollar AS dan 500 juta dollar AS setahun.
Sebaliknya (yang menarik), sikap China justru berbeda. Ketika Trump mengancam akan menunda iuran AS kepada WHO, di forum WHA Presiden China Xi Jinping justru menyatakan akan memberikan dukungan finansial sebesar 2 miliar dollar AS kepada WHO untuk membantu memerangi Covid-19, terutama dinegara miskin dan berkembang selama dua tahun ke depan.
Jumlah bantuan tersebut hampir menyamai jumlah total anggaran WHO tahun 2019 dan lebih dari cukup untuk mengompensasi dibekukannya sumbangan AS. China akan bekerja dengan anggota negara-negara G-20 guna mengimplementasikan inisiatif pengurangan utang untuk negara-negara termiskin, kata Xi.
Ketika AS akan sibuk mengatasi dua juta lebih kasus Covid-19 di dalam negerinya dengan lebih dari 115.000 kasus kematian, China melancarkan kampanye diplomatik untuk meyakinkan dunia bahwa Beijing bersedia berbagi informasi tentang bagaimana mengendalikan pandemi
Narasi besar yang ingin disebarkan oleh China adalah bahwa negara itu berhasil mengendalikan pandemi. Selain itu, China juga terbuka dan transparan dalam melaporkan munculnya wabah dari Wuhan dengan membagi informasi genetic virus korona sejak awal.
Berbeda dengan AS yang kini menarik diri dari kerjasama multilateral, China justru menjalankan perannya itu melalui mekanisme multilateral. Salah satunya, China mendekati Eropa tengah dan timur melalui mekanisme “17 + 1”.
Bukan hanya ucapan, China juga menyalurkan bantuan alat media dan mengirimkan tenaga kesehatannya ke berbagai negara di Asia dan Afrika, dan Timur Tengah. Memanfaatkan ketidak hadiran AS di Eropa, China juga mengirmkan bantuan ke Italia, Perancis, Spanyol, dan Belanda. Bahkan China juga mengirimkan bantuan ke New York ketika pemerintah federal kalang kabut memenuhi kebutuhan ventilator untuk pasien Covid-19.
Dalam perlombaan pengembangan vaksin Covid-19, China yang melakukan uji klinis lima calon vaksin Covid-19 juga berjanji  akan menjadikan vaksin Covid-19 nantinya sebagai “barang publik global” dan memberikan akses kepada negara lain dengan harga yang terjangkau.
Ini berbeda dengan AS yang menyuntikkan dana sekitar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar 17,7 triliun kepada perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneka, yang tengah mengembangkan vaksin Covid-19, untuk mengamankan kebutuhan vaksin dalam negeri AS.
Kekhawatiran Barat terhadap jebakan utang China, termasuk di kala pandemi, saat ini dijawab China dengan turut serta, bersama negara G-20, dalam moratorium utang bagi negara miskin, selama delapan bulan. China juga berkontribusi pada Catasthrope Containment and Relief Trust dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendukung negara miskin menghadapi utang luar negeri mereka.
Dari rentetan peristiwa tersebut terlihat bahwa China menjadikan pandemi sebagai titik masuk untuk mempromosikan dirinya sebagai negara yang memiliki role model dalam kepemimpinan global. Sebuah negara kaya dengan kekuatan militer besar serta kemampuan dan kemauan mengatasi krisis global.
Singkatnya telah terjadi hubungan yang tidak harmonis, antagonistic, atau rivalitas antara AS dengan RRC. Hubungan yang mengemuka karena RRC sudah tampil menjadi kekuatan baru, yang kemungkinan akan segera melewati AS. Sebagamana kata Graham Allison, mantan penasehat kebijakan luar negeri AS, dalam suasana itu perang tidak dapat dihindari, yakni perang yang tidak mengeluarkan peluru, senjata, atau perang konvensional. Perangnya mirip dengan perang dingin pasca perang dunia II, antara AS dengan Uni Soviet (lihat kuliah sebelum-sebelumnya).
Dengan kata lain komunikasi internasional dalam
era Covid-19 ini adalah Komunikasi Asimetrik.

Kita akhiri kuliah
Merdeka


[1] Selain konsep-konsep komunikasi internasional, juga konsep-konsep hubungan/politik internasional, seperti realis, idealis, dependencia, hierarkhis, polar (bipolar), multilateral.
[2] Namun, untik persidangan yang ada kegiatannegosiasinya, pertemuan harus dilakukan secara fisikal. Sebab dalam negosiasi, selain butuh pemahaman substansi, negosiator perlu memahami psyche (suasana kejiwaan) dari negosiasi itu sendiri, yang hanya bias diperoleh jika terjadi tatap muka dan melihat langsung, gimik lawan negosiasinya (ibid Darmansjah Djumala, 23 juni 2020).
[3] Bolsonaro mungkin punya perhitungan sendiri yang beda dengan pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Mungkin juga ia yakin dengan teori konspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar