Minggu, 28 Juni 2020

MK XII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH



MK XII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-12/TERAKHIR, SENIN, 29 JUNI 2020, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Sampailah kita pada kuliah terakhir, kuliah penutup di semester ini. Seyogianya masih ada dua bahasan yang ingin saya utarakan, yakni (1) Keistimewaan Ibukota Jakarta, dan (2) Pemekaran Daerah. Dua bahasan yang tidak sekedar teoritik, namun praksis, sebab saya pernah menjadi staf ahli DPR RI yang membidangi pemekaran (Komisi II), dan tinggal dan ber KTP di Jakarta.
Untuk lebih memahami kedua tema tersebut, mahasiswa dapat membaca referensi-referensi tentang kedua bahasan tersebut. Apakah itu buku-buku, jurnal, dan atau terutama Undang-Undang (UU) tentang Pemekaran dan Keistimewaan/kekhususan Jakarta. Jika para mahasiswa ada kemauan, tidak susah menemui referensi-referensi tersebut, apalagi saat ini sudah ada internet, ada google, dan lain-lain pola elektronik yang memudahkan pencarian. Persoalannya mau nggak?
Pengalaman saya selama mengajar di Medan terkesan, mahasiswa di daerah ini minim, bahkan malas membaca. Maunya mendengar terus. Bagaimana calon-calon Sarjana malas membaca? Bukankah itu tiang belajar di perguruan tinggi? Mengapa bisa seperti itu? Di lain kesempatan kita bahas, dan saya kembali ke topik bahasan.
Saya sendiri punya pandangan, yang tentunya mahasiswa tidak harus mengikutinya (silakan berpendapat sendiri), yakni saya tidak setuju dengan Pemekaran Daerah-Daerah. Mengapa saya berdalih seperti itu? Banyak alasannya. Salah satunya adalah , berdasarkan fakta yang saya ketahui melalui penelitian, dan penelusuran-penelusuran mendalam, lebih banyak rugi dari pada untungnya.
Banyak Daerah-Daerah yang dimekarkan tidak mencapai tujuannya. Kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi tujuan utama, jauh panggang dari api. Kehidupan rakyat banyak begitu-begitu saja, kalau tidak semakin sengsara. Kalaupun ada yang menikmati, dapat dikatakan hanya segelintir orang. Mungkin itu hanyalah/adalah Bupati, Walikota, anggota-anggota DPRDnya, pemborong-pemborong bangunann, dan lain-lain yang berhubungan dengan elit-elit tersebut.
Pemekaran demikian, dominan karena kepentingan segelintir orang yang kemaruk kekuasaan, kekayaan, dan lain-lain ambisi pribadi. Bukan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yakni …melindungi segenap warga negara, mensejahterakan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan tentang Ibukota, kita sudah sama-sama mengetahui (katanya) akan dipindahkan ke Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabuapten Penajam Paser Utara, dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun alasan mengapa dipindahkan, menurut Jokowi karena beban beban Jakarta yang berat . Sudah terlalu berat sebagai “pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa”.
Alasan lain adalah mengurangi beban Pulau Jawa yang juga semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia itu ada di pulau Jawa, dan pulau Jawa sebagai sumber ketahanan pangan. Mengapa, kenapa, seperti itu, mahasiswa supaya mempelajarinya secara mandiri. Atau jika memungkinkan nanti, kita bahas, jika masih ada waktu. Soalnya peraturan UDA hanya 12 kali pertemuan satu semester.
Sekarang saya akan kembali mengulas bagaimana hubungan pusat dan daerah ditengah-tengah bencana yang kita hadapi saat ini. Harmoniskah? Atau ?..... Konteks ini menjadi penting, sebab, kuliah/civitas academica tidak hanya berteori, dari teori ke teori, namun juga ada nilai praksisnya. Tulisan ini adalah praksis-empiriknya, sehingga pesan TriDharma Perguruan Tinggi, pengajaran, penelitian, dan pengabdian dapat diwujudkan. Selamat membaca dan memberi komentar, tanggapan, dan pertanyaan.

HUBUNGAN PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 28 Maret 2010

Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan derah

Bila ingin mengetahui, memahami, atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman, dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif, biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat, ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard) menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana  yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah publik,  sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena takut terjangkit.
Ekses Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana mestinya.
Mereka (pemda-pemda tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH tersebut) masih wait and see, meski pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang menghambat?
Jawabannya tidak sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal, yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat (konstituen)
Dengan kata lain tidak ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif, legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional.  Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam), yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin Tak Harmonis
Otonomi yang selain melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak (pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya” paling benar
Sebagai implementasinya tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual. Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat, urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau faktanya.
 saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona di DKI Jaya  dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses, yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memiliki good and political will untuk itu.
……..realita demikian, yakni kurang harmonisnya hubungan tersebut dapat dibaca dalam laporan Kompas, 28 Juni 2020 yang mewawancarai Jokowi tentang masalah normal baru. Normal baru yang disarankan pusat, belum seluruhnya dijalankan daerah, bahkan ada yang tak menjalankan…..kita kutif pernyataan Jokowi dibawah ini:
……tetapi ada daerah-daerah yang mau dan tidak mau karena ada wilayah politiknya. Saya kira dimanapun, di Amerika juga ada. Ya biasalah, walikota, bupati, gubernur kadang berbeda-beda. Tidak apa-apa, tetapi harus dengan sebuah argumentasi data yang benar. Kalau argumennya hanya argument politik, ini yang disayangkan. Kita memiliki 514 kota/kabupaten, 34 provinsi. Kita pasti mengingatkan.
Bagaimana pendapat mahasiswa?
Silakan tulis di WA group………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar