MK XII, HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
KULIAH KE-12/TERAKHIR, SENIN, 29 JUNI
2020, JAM 08.30 SD 10.30
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH:
REINHARD HUTAPEA
Sampailah
kita pada kuliah terakhir, kuliah penutup di semester ini. Seyogianya masih ada
dua bahasan yang ingin saya utarakan, yakni (1) Keistimewaan Ibukota Jakarta,
dan (2) Pemekaran Daerah. Dua bahasan yang tidak sekedar teoritik, namun
praksis, sebab saya pernah menjadi staf ahli DPR RI yang membidangi pemekaran
(Komisi II), dan tinggal dan ber KTP di Jakarta.
Untuk
lebih memahami kedua tema tersebut, mahasiswa dapat membaca referensi-referensi
tentang kedua bahasan tersebut. Apakah itu buku-buku, jurnal, dan atau terutama
Undang-Undang (UU) tentang Pemekaran dan Keistimewaan/kekhususan Jakarta. Jika
para mahasiswa ada kemauan, tidak susah menemui referensi-referensi tersebut,
apalagi saat ini sudah ada internet, ada google, dan lain-lain pola elektronik
yang memudahkan pencarian. Persoalannya mau nggak?
Pengalaman
saya selama mengajar di Medan terkesan, mahasiswa di daerah ini minim, bahkan
malas membaca. Maunya mendengar terus. Bagaimana calon-calon Sarjana malas
membaca? Bukankah itu tiang belajar di perguruan tinggi? Mengapa bisa seperti
itu? Di lain kesempatan kita bahas, dan saya kembali ke topik bahasan.
Saya
sendiri punya pandangan, yang tentunya mahasiswa tidak harus mengikutinya
(silakan berpendapat sendiri), yakni saya tidak setuju dengan Pemekaran
Daerah-Daerah. Mengapa saya berdalih seperti itu? Banyak alasannya. Salah
satunya adalah , berdasarkan fakta yang saya ketahui melalui penelitian, dan
penelusuran-penelusuran mendalam, lebih banyak rugi dari pada untungnya.
Banyak
Daerah-Daerah yang dimekarkan tidak mencapai tujuannya. Kesejahteraan rakyat
yang seharusnya menjadi tujuan utama, jauh panggang dari api. Kehidupan rakyat
banyak begitu-begitu saja, kalau tidak semakin sengsara. Kalaupun ada yang
menikmati, dapat dikatakan hanya segelintir orang. Mungkin itu hanyalah/adalah
Bupati, Walikota, anggota-anggota DPRDnya, pemborong-pemborong bangunann, dan
lain-lain yang berhubungan dengan elit-elit tersebut.
Pemekaran
demikian, dominan karena kepentingan segelintir orang yang kemaruk kekuasaan,
kekayaan, dan lain-lain ambisi pribadi. Bukan untuk kesejahteraan rakyat
sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945, yakni …melindungi segenap warga
negara, mensejahterakan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan
tentang Ibukota, kita sudah sama-sama mengetahui (katanya) akan dipindahkan ke
Kalimantan Timur, yakni sebagian Kabuapten Penajam Paser Utara, dan sebagian
Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun alasan mengapa dipindahkan, menurut Jokowi
karena beban beban Jakarta yang berat . Sudah terlalu berat sebagai “pusat
pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa”.
Alasan
lain adalah mengurangi beban Pulau Jawa yang juga semakin berat dengan penduduk
150 juta atau 54 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan 58 persen PDB
ekonomi Indonesia itu ada di pulau Jawa, dan pulau Jawa sebagai sumber
ketahanan pangan. Mengapa, kenapa, seperti itu, mahasiswa supaya mempelajarinya
secara mandiri. Atau jika memungkinkan nanti, kita bahas, jika masih ada waktu.
Soalnya peraturan UDA hanya 12 kali pertemuan satu semester.
Sekarang
saya akan kembali mengulas bagaimana hubungan pusat dan daerah ditengah-tengah
bencana yang kita hadapi saat ini. Harmoniskah? Atau ?..... Konteks ini menjadi
penting, sebab, kuliah/civitas academica tidak hanya berteori, dari teori ke
teori, namun juga ada nilai praksisnya. Tulisan ini adalah praksis-empiriknya,
sehingga pesan TriDharma Perguruan Tinggi, pengajaran, penelitian, dan
pengabdian dapat diwujudkan. Selamat membaca dan memberi komentar, tanggapan,
dan pertanyaan.
HUBUNGAN
PUSAT-DAERAH DI ERA CORONA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published,
Waspada, 28 Maret 2010
Anis Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat
penanggulangan corona di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian
sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu adalah milik pusat,
bukan derah
Bila ingin mengetahui, memahami,
atau membuktikan, apakah pemerintah tanggap, handal, atau responsif terhadap
persoalan masyarakatnya adalah keadaan saat ini. Yakni melesatnya suasana kekelaman,
dimana serangan penyakit/virus mematikan yang belum ditemukan obatnya, sedang
menerjang dengan membabi buta.
Nyaris hampir tiada ada
tempat, negara, atau bangsa, yang luput dari terjangannya. Ia sungguh-sungguh mengerikan
karena sangat ganas. Ibarat setan, maut, atau tangan-tangan tak terlihat (invisible hand), virus ini setiap saat siap
menerkam mangsanya. Bagaimana otoritas, yakni pemerintah mengendalikannya? Responsif,
biasa-biasa saja, atau lambankah? Secara umum dapat dikatakan kurang responsif (masih
nanggung kata Jusuf Kalla dalam cara mata Najwa di Trans TV/Haris Azhar dari
KMS di ILC). Terkesan belum siap, alias gagap.
Kegagapan pertama dapat dilihat,
ketika pemerintah (pusat) hingga beberapa waktu mengatakan dengan sangat
percaya diri bahwa tidak ada kasus corona, sementara beberapa pakar, negara
atau lembaga kredibel lain (seperti Harvard)
menengarai bahwa corona sudah sampai di Indonesia.
Kegagapan kedua, penyampaian
informasi, pesan, atau berita yang kurang akurat, simpang siur, dan kurang
komunikatif dari elit-elit pemerintah. Suasana yang sempat meletupkan kegamangan ditengah-tengah
publik, sebelum/akhirnya Ahmad Yurianto
ditunjuk sebagai satu-satunya jubir pemerintah terkait virus maut tersebut
Kegagapan ketiga adalah penentuan
opsi yang kurang tepat. Pemerintah kelihatannya tidak berpikir panjang ketika
memutuskan suatu opsi sebagai eksekusi (keputusan), seperti pengkarantinaan WNI
asal Wuhan di pulau Natuna, yang mendapat protes keras dari masyarakat
setempat. Penduduk Natuna keberatan daerahnya dijadikan lokasi isolasi, karena
takut terjangkit.
Ekses
Otonomi Daerah
Kegagapan-kegagapan
demikian semakin membuncah, dramatis, dan tereskalasi karena kaki-kaki
pemerintah pusat di akar rumput, yakni pemerintah-pemerintah daerah yang
seharusnya segera mengimplementasikannya, nyaris tak berbuat sebagaimana
mestinya.
Mereka (pemda-pemda
tersebut) meski sudah diberi otonomi sejak tahun 2001, yang seyogianya harus
lebih pro aktif (kecuali beberapa Gubernur, Walikota, seperti Anis Baswedan,
Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, Risma yang cukup responsif) kenyataannya
masih jauh dari harapan (praktis tanpa terobosan sama sekali). Meminjam
pendapat Mahfud MD, pemda-pemda masih menganggap enteng masalah yang sudah
serius.
Kecenderungannya (KDH-KDH
tersebut) masih wait and see, meski
pandemik sudah di depan hidung. Mengapa terjadi seperti itu, yakni hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak serasi, selaras, dan
seimbang? Apa yang salah (something wrong)? Apakah mereka tidak punya kapasitas
sebagai pemimpin atau kepala daerah? Atau ada struktur/kultur laten yang
menghambat?
Jawabannya tidak
sederhana, tidak hitam-putih, dan atau tidak gamblang/tidak ringkas. Tergantung
dari sudut atau persfektif mana mendekatinya. Menurut Siti Zuhro (2018), pakar
otonomi daerah dari LIPI, ketidak harmonisan itu terjadi karena lima hal,
yakni; pertama, kurangnya konsistensi pemerintah dalam bidang hukum atau
pembuatan peraturan, dan sulitnya melakukan harmonisasi antara UU Pemerintahan
Daerah dengan UU terkait.
Kedua, persepsi sepihak
daerah mengenai kewenangannya yang acapkali lebih mementingkan daerah sendiri
tanpa mempertimbangkan secara sungguh-sungguh manfaatnya dalam konteks lebih
luas. Masalah yang sesungguhnya tidak hanya monopoli daerah, melainkan dan
terutama adalah perilaku pusat, yang selalu menonjolkan ego sehingga menghambat
daerah berkembang dan menyempitkan makna kerjasama antar daerah.
Ketiga, kerumitan
pengelolaan hubungan kewenangan daerah dan antar daerah, karena belum diatur
secara rinci dan detil (regulasinya mirip gelang karet, yang dapat
dilonggar-keraskan). Dan, ke empat, terjadinya konspirasi, persekongkolan, atau
kongkalikong antara elit dan pengusaha dalam mengeksploitasi daerah guna mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri dan kroninya, tanpa mempedulikan
kemaslahatan umum dan kesehatan lingkungan.
Kelima, terjeratnya
elit-elit lokal dalam pola atau hubungan nan oligarkhis, yakni tata kelola
kekuasaan yang hanya dipraksiskan segelintir orang di daerah tersebut. Tidak
sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi, dan atau khususnya dalam UU
Pemilu/Pilkada yang harus berdasarkan aspirasi/kepentingan masyarakat
(konstituen)
Dengan kata lain tidak
ada demokrasi disitu, meski prinsip, pola, atau regulasi/UU yang berlangsung
demokratis. DPRD yang seharusnya menjadi lembaga legislatif/pengawas eksekutif berubah
bulu menjadi institusi yang malah melakukan perselingkuhan/kong kali kong
dengan eksekutif untuk kepentingan diri dan partainya.Tatanan yang akhirnya
mencuatkan pemerintahan yang buruk.
Pemerintahan yang mal-admistratif,
legal-irrasional (meminjam Weber), dan atau (alias) disfungsional. Model ahistoris (kalau bukan pola jahanam),
yang sesungguhnya sudah berlangsung lama (sejak Orde Baru), namun kasat mata
pada era reformasi, seiring ditempuhnya otonomi daerah pada tahun 2001.
Semakin
Tak Harmonis
Otonomi yang selain
melahirkan ekses sebagaimana disinyalir Siti Zuhro di atas, adalah semakin lama
semakin tidak harmonisnya hubungan antara pusat dan daerah. Masing-masing pihak
(pusat maupun daerah) menganggap “wewenang, kekuasaan, atau kebijakannya”
paling benar
Sebagai implementasinya
tampillah apa yang popular dengan istilah anarkhisme atau konfliktual.
Banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dibatalkan pusat,
urusan-urusan/tugas-tugas, seperti pengelolaan SDA yang sebelumnya dikelola
Kabupaten/Kota, kemudian dialihkan ke Provinsi adalah sebagian ilustrasi atau
faktanya.
saat-saat penanggulangan korona saat ini. Anis
Baswedan yang mengambil kebijakan cepat tanggap darurat penanggulangan korona
di DKI Jaya dikecam Menteri Dalam
Negeri, Tito Karnavian sebagai kebijakan yang kebablasan, sebab kewenangan itu
adalah milik pusat, bukan daerah.
Sebaliknya Anis ngeles
bahwa tindakannya berdasar UU Pemerintahan DKI Jaya. Mana yang benar, mana yang
keliru, bukan pembahasan tulisan ini. Yang pasti telah terjadi relasi yang
tidak harmonis, yang dalam derivasi atau implementasinya akan meletupkan ekses,
yang seharusnya tidak perlu jika saja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
memiliki good and political will
untuk itu.
∏
……..realita demikian, yakni kurang harmonisnya
hubungan tersebut dapat dibaca dalam laporan Kompas, 28 Juni 2020 yang
mewawancarai Jokowi tentang masalah normal baru. Normal baru yang disarankan
pusat, belum seluruhnya dijalankan daerah, bahkan ada yang tak menjalankan…..kita
kutif pernyataan Jokowi dibawah ini:
……tetapi ada daerah-daerah yang mau dan tidak mau karena ada wilayah
politiknya. Saya kira dimanapun, di Amerika juga ada. Ya biasalah, walikota,
bupati, gubernur kadang berbeda-beda. Tidak apa-apa, tetapi harus dengan sebuah
argumentasi data yang benar. Kalau argumennya hanya argument politik, ini yang
disayangkan. Kita memiliki 514 kota/kabupaten, 34 provinsi. Kita pasti
mengingatkan.
Bagaimana
pendapat mahasiswa?
Silakan
tulis di WA group………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar