Senin, 29 Juni 2020

MENYIASATI "PENUNJUKAN" SEBAGAI ALTERNATIF PILKADA



MENYIASATI “PENUNJUKAN”  SEBAGAI ALTERNATIF PILKADA
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI,
 Staf Pengajar Fisipol UDA Medan & Unitas Palembang
Published, Rakyat Sumut.com  24 Juni 2020
Korupsi, korupsi, dan korupsi menjadi existensi, dan warna warna dominan output pilkada yang bersistem “pemilihan langsung”. System yang popular dengan sebutan “One Person, One Vote, and One Value (OPOVOV), alias satu orang, satu suara, dan satu nilai. Sistim yang dalam praktiknya, ternyata banyak mengeluarkan biaya. Baik untuk pelaksanaan, dan terutama adalah membeli suara (vote buying/money politics)

Bangsa ini kecenderungannya sudah amnesia, untuk apa sesungguhnya Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dilangsungkan. Apakah hanya untuk pilkada itu sendiri? Dari pilkada untuk pilkada sebagaimana berlangsung selama ini ? Tidakkah membentuk good government untuk mewujudkan tujuan negara?
Kota Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia (setelah Jakarta dan Surabaya), tiga kali melangsungkan pilkada, tiga kali Kepala daerah/Walikotanya masuk penjara. Apa masih terus dilembagakan, alias meneruskan yang sudah kasat mata salah? Bukankah itu ibarat keledai, yang selalu jatuh ke lubang yang sama?
Meski tidak persis sama, daerah-daerah lain juga banyak yang mengalami nasib/kebrutalan yang serupa dengan Medan, yakni kepala-kepala daerahnya yang terpilih via pilkada, banyak yang masuk hotel prodeo. Lebih dari situ, bahkan ada yang keluar masuk penjara, yakni setelah keluar dari bui, karena korupsi pada periode pertama, pada periode selanjutnya (setelah menang dalam pemilu kemudian) kembali masuk penjara, karena ter OTT KPK dalam kasus yang sama, yakni korupsi.
Gurita Rezim Global
Korupsi, korupsi, dan korupsi menjadi existensi, dan warna dominan output pilkada yang bersistem “pemilihan langsung”. Sistim yang popular dengan sebutan “One Person, One Vote, and One Value (OPOVOV), alias satu orang, satu suara, dan satu nilai. Sistem yang dalam praktiknya, ternyata banyak megeluarkan biaya. Baik untuk pelaksanaan, dan terutama adalah membeli suara (vote buying/money politics).
Suatu hal yang irrasional dan biadab, namun itulah realitanya. Realita yang mengantar pemenangnya, ketika memerintah, akan melakukan penggangsiran/pencurian uang negara, untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkannya. Karena itu, meski merugikan bangsa, logis saja ia melakukan tindakan amoral tersebut, untuk mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan secara pribadi (dalam kontestasi pilkada), dan demi keuntungan selanjutnya.
Sadar, tidak sadar, bagi mereka yang terjun dalam setiap kontestasi pemilu, akan melakukan moral hazard seperi itu, yakni mengakumulasi kapital sebesar-besarnya. Segala trik, strategi, atau kekuatan akan diarahkan, bagaimana memperbesar atau mengakumulasi modal/kapital. Disitu praksis demokrasinya, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk kapital.
Tidak yang diteorikan Abraham Lincoln, from the people, by the people, and for the people, atau yang tertulis dalam Undang_Undang Pilkada, melainkan pola komersil zero sum game, yang dikembangkan ilmu ekonomi mainstream, yang bermetode pasar bebas (free market), dimana setiap individu bebas-sebebas-bebasnya bersaing meraih keuntungan, sebagaimana dititahkan Adam Smith dalam teori ekonomi kompetisinya.
Bagi seorang kepala daerah terpilih, masyarakat itu cenderung dianggap bukan/tidak sebagai kumpulan manusia/masyarakat yang bermoral, melainkan sekedar komoditas-komoditas ekonomi, yang layak diperjualbelikan. Beli (via pilkada), dan jual (ketika berkuasa), menjadi perilakunya, meski tidak pernah diakui.
Tidak seperti sistim politik yang dititahkan David Easton, yakni input (tuntutan dan dukungan) yang di proses dalam black box akan menghasilkan output (keputusan dan kebijakan), yang dalam implementasinya akan membuahkan kehidupan masyarakat yang semakin baik (demokratis). Yang dalam turunannya (derivasinya) akan membuahkan “kebebasan, kesetaraan/kesejahteraan, dan keadilan”.
Bukan itu, sekali lagi bukan itu. Itu hanya ada dalam text book-text book Ilmu politik, ilmu Sosial, penguat Ayat-Ayat, Pasal-Pasal, atau Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang (UU), khususnya UU Pilkada, UU Partai Politik, atau UU Pileg. Yang mengemuka sebagaimana sudah disebut diatas adalah bagaimana mencari keuntungan (materi, kapital, dan modal) bagi diri sendiri diatas nilai-nilai kemasyarakatan, sebagaimana di tulis pakar korupsi Pemerintahan, Susan Rose- Ackerman (2006).
Beliau (Susan Rose-Ackerman) melihat bahwa motif korupsi itu adalah ekonomi. Motif ekonomi yang bermazhab liberal-kapitalis, yang saat ini popular dengan sebutan “neo-liberalisme”, besutan Ronald Reagan dan Margareth Thatcher via Konsensus Washington tahun 1989. Konsensus yang dioperasi-tegakkan tiga serangkai rezim internasional, yakni IMF, Bank Dunia, dan WTO, dimana Indonesia adalah bagiannya.
Artinya, negeri ini, apapun dalihnya, akan mengikuti imperatif (pesan-pesan) ketiga rezim tersebut, ketimbang pesan konstitusi maupun ideologinya. Tertulis kekeluargaan atau gotong royong dalam Pasal 33 UUD 1945, namun praksisnya adalah pasar bebas. Bukan keadilan sosial sebagaimana perintah Pancasila. Begitu pula dengan “Nasionalisme”/negara kesatuan yang selalu didengung-dengungkan kemana-mana, bukan itu,  tapi mondial-global neolib/globalisasi, yang dimotori korporasi-korporasi transnasional (TNCs).
Korporasi-korporasi yang dalam aplikasinya, melahirkan rezim-rezim modal, dihampir seantero dunia, termasuk Indonesia. Rezim yang muaranya, menggurita seluruh elemen-elemen masyarakat di setiap negara, termasuk partai, pemilu, dan pemerintahannya. Merekalah sesungguhnya yang sering disebut-sebut sebagai invisible hand yang mengatur rezim-rezim politik di setiap negara.
Sistim Penunjukan
Dengan kekuatan kapitalnya mereka (kerapkali) mengatur, kalau bukan mengobok-obok pemerintahan suatu negara, dari pusat hingga ke akar rumput. Tinggal menentukan siapa-siapa yang jadi komprador atau antek-anteknya. Sang komprador atau antek ini, akan mewujudkan kepentingan rezim pemodal, baik yang trans (TNCs?MNCs) maupun yang domestik (lokal), sebagaimana teorinya Peter Evans, Tripple Alliance. Persekutuan segitiga antara Negara (State), MNCs, dan borjuasi lokal (1986).
Lalu, masih terus dipertahankan? Stop….hentikan pola-pola penjajahan baru (new imperialism) tersebut. Ganti (dengan) yang sesuai dengan jati diri kita, yakni Pancasila dan UUD 1945. Dimulai dengan merubah sistim pemilihan kepala daerah yang terlalu liberal dengan sistim yang lebih masuk akal. Sistim yang disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya.
Jika masyarakatnya memang sudah benar-benar egaliter, rasional,alias tak dapat dibeli suaranya, silakan memakai sistim yang berlaku saat ini, yakni pemilihan langsung. Akan tetapi bila belum seperti itu, ada dua alternatifnya, yakni, dipilih DPRD, atau ditunjuk sekalian. Dalam suasana wabah Covid-19 saat ini, kecenderungannya lebih afdol apabila model penunjukan yang ditempuh. Tidak usah melalui pilkada-pilkada yang sudah rusak itu. Merdeka 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar