MS II, PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
KULIAH II, SABTU/20 JUNI 2020, jam 10.00-11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UNITAS, PALEMBANG
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
Salam
dan bahagia. Kita bertemu lagi pada kuliah II
Catatan: baca sampai Lamp II saja. Setelah itu jawablah
pertanyaan-pertanyaan yang ada di bagian akhir. Lampiran III dibaca selesai
kuliah.
∏
PARTAI DAN PEMILU DALAM KAJIAN SISTIM POLITIK
Dalam kuliah sebelumnya disebutkan
bahwa mata kuliah ini di dekati dari persfektif
sistim politik, karena frasa “proses” yang tercakup dalam judul adalah
konsep “sistim politik”. Sistim politik yang didasarkan kepada teorinya David Easton, yakni …sistem interaksi
dalam tiap masyarakat dimana di dalamnya alokasi yang mengikat atau yang
mengandung otoritas dibuat dan diimplementasikan (SP Varma,1992:275)
Lebih gamblangnya di tulis Miriam
Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008) yang mengatakan bahwa
dalam konsep sistem itu kita temukan istilah-istilah seperti “proses, struktur, dan fungsi”[1]. Proses
adalah pola-pola (sosial dan politik) yang dibuat oleh manusia dalam mengatur
hubungan antara satu sama lain. Pola-pola ini ada yang jelas kelihatan, adapula
yang kurang jelas. Dalam suatu negara, lembaga-lembaga seperti parlemen, partai, birokrasi, sekalipun
sudah mempunyai kehidupan sendiri, sebenarnya tak lain dari proses-proses yang
pola ulangannya sudah mantap. Mereka mencerminkan struktur tingkah laku. Struktur
mencakup lembaga-lembaga formal seperti parlemen, kelompok kepentingan, kepala
negara, jaringan komunikasi, dan sebagainya.
Seperti disebutkan di atas, sistim
politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Fungsi-fungsi
itu adalah membuat keputusan kebijaksanaan yang mengikat mengenai alokasi dari
nilai-nilai (baik yang bersifat materil maupun non materil).
Keputusan-keputusan kebijaksanaan itu diarahkan kepada tercapainya
tujuan-tujuan masyarakat. Sistem politik menghasilkan output yaitu
keputusan-keputusan kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain; melalui sistem
politik tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh
keputusan-keputusan kebijaksanaan (ibid Miriam Budiardjo, 2008:57-58).
Dalam kuliah perdana ilustrasi sederhana
dari konsep demikian diumpamakan dengan peran, atau musyawarah yang dilakukan
Ketua RT terhadap warganya. Sebelum mengambil keputusan, Ketua RT meminta lebih
dahulu pendapat-pendapat (agregasi) warga, yang selanjutnya dilakukan
“musyawarah”. Setelah musyawarah di ambil kesepakatan yang disetujui oleh semua
warga.
Pertanyaan kemudian adalah apakah
setiap Ketua RT melakukan pola yang seperti itu? Begitu pula pejabat diatasnya,
seperti Ketua RW, Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, DPR, Presiden
melakukan itu? Kalau sudah menempuh pola ini, berarti sistim politik sudah
jalan. Kalau sebaliknya, yakni belum menempuh pola seperti ini, sistem politik
masih macet. Jangan-jangan macet total…jangan-jangan strukturnya ada, tapi
fungsinya entah kemana….ada lembaganya, tapi tak jalan fungsinya….katanya
begini, tapi kok begitu….katanya mensejahterakan, tapi mengapa menindas….yang
masuk monyet (Input), mengapa yang keluar ular (Output), dan seterusnya- dan
seterusnya…. Kalau suasananya seperti itu berarti:
Ø Proses
Ø Struktur, dan
Ø Fungsinya
… sebagai unsur sistim politik masih berantakan, amburadul, acakkadut,
alias tak jalan. Dengan kata lain tidak sistemik. Apakah;
partai
politik, dan
pemilu,
yang menjadi analisis kuliah
kita hari ini
§ sudah berjalan
sebagaimana mestinya?
§ sudah sesuai
dengan teori-teori kepartaian dan kepemiluan?
§ Atau lebih
menukik, sudah sesuai dengan yang tertulis dalam UU Kepartaian dan Kepemiluan
yang didasarkan kepada UUD 1945?
Jawaban, analisis, atau pembahasannya
tidak hitam putih. Tidak sederhana !. Memerlukan pembahasan, perenungan, dengan
referensi yang akurat dan dapat dipercaya (valid
dan reliable). Nanti ….. setelah selesai kuliah daring/on line ini, para
mahasiswa dapat membuka kembali referensi-referensi tentang Partai politik dan
Kepemiluan yang sudah dikuliahkan pada mata kuliah “Pengantar Ilmu Politik”.
Referensi yang paling memungkinkan dibaca/didapatkan untuk itu adalah bukunya Miriam Budiardjo (ed revisi), 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Pada halaman 397 sampai 461 buku
tersebut telah diuraikan sejarah, definisi, dan fungsi Partai Politik secara
lengkap. Begitu pula tentang Kepemiluan (Sistem Pemilihan Umum) telah diuraikan
secara panjang lebar pada halaman 461 sampai 489.
Sebagai “praksis-empiriknya”
hubungkan dengan → UU Partai Politik dan UU Pemilu. Sudah sesuaikah? Sudah seiring
dengan struktur dan fungsi, atau input dan output sebagaimana teori sistem
politik? …….Nanti dibahas lebih lanjut.
Sebagai pembuka diskusi untuk konteks itu bacalah artikel popular dibawah ini.
Lamp
I
KAPAN PARTAI MENJALANKAN FUNGSINYA ?
Oleh:
Reinhard Hutapea
Direktur
CEPP PPS UNITAS Palembang. Staf ahli DPR
RI 1999-2009.
Published, Sumsel Post,10 Februari 2016
Saat-saat ini kita sedang menikmati pertikaian dua partai politik besar, yakni
Golkar dan PPP. Dua-duanya sama-sama mengalami perpecahan dalam pimpinan
puncaknya. Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus kubu Agung laksono. PPP
antara kubu Djan Faridz versus kubu Romarhumuzzi.
Kedua kubu sama-sama mengklaim dirinya paling benar.
Paling tepat menjadi pemimpin. Dengan logika yang sering tidak masuk akal ,
masing-masing pihak saling menyerang. Menyerang kesasaran yang tak jelas, sehingga
kalangan diluarnyapun turut terimbas. Terimbas pendapat yang juga tidak logis.
Sinyalemen demikian dapat kita lihat pada media cetak,
audio visual khususnya media-media sosial. Masing-masing kalangan mengeluarkan
unek-uneknya tanpa lebih dulu mendalami masalahnya dengan seksama. Yang penting
tumpahkan seluruh unek-unek. Masalah itu logis atau sebaliknya, tidak usah
dihiraukan.
Konsekwensinya mencuatlah kebebasan argumen yang
muaranya hanya untuk kebebasan itu sendiri. Dari kebebasan ke kebebasan. Bukan untuk mencari titik temu. Kebebasan yang
seharusnya menuju konsensus berakhir pada anarkhisme. Masing-masing pihak
menganggap argumennya paling benar.
Tak terkecuali
yang namanya ilmuwan sekalipun, turut larut dalam anarkhisme demikian. Dengan
pengetahuan yang minim dalam ilmu politik,khususnya ilmu kepartaian, mereka
menembakkan pelurunya dengan sasaran yang tak jelas. Peluru nyasar kemana-mana
sehingga menambah kebingungan bagi yang mengikutinya
Konflik elit Golkar dan PPP
Supaya tulisan ini tidak terjebak anarkhisme demikian,
pendekatan akan disesuaikan dengan persfektif yang lazim digunakan. Pendekatan
yang meneropong dari eksistensi suatu partai politik secara teoritik maupun
berdasarkan Undang-Undang Kepartaian. Akan kita pertanyakan apakah elit-elit
yang bertikai itu ada hubungannya dengan substansi dan hakiki suatu partai
politik atau hanya ingin jabatan saja. Untuk ini akan didekati dari tiga faktor
penentu, yakni dari definisi, tujuan dan fungsi.
Menurut UU
Partai politik No 8 tahun 2012, partai diartikan sebagai organisasi politik
yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum.
Mari sama-sama
kita simak, benarkah Golkar maupun PPP dilahirkan oleh sekelompok warga negara
indonesia yang punya kehendak yang sama?. Menurut historisnya Golkar ditampilkan
sebagai antisipasi terhadap partai-partai politik yang saling sikut-sikutan
pada waktu itu. Supaya tidak terus-terusan terjerat konflik, , pemerintahan
Orde Lama/Bung Karno mengajak kalangan-kalangan profesional-kekaryaan membentuk
Sekber-Golkar. Jadilah Golkar menjadi kekuatan politik.
Agak beda dengan Golkar namun substansi yang sama, PPP
terbentuk adalah atas inisiatif pemerintahan Orde Baru/Soeharto menyederhanakan
sistim kepartaian. Beberapa partai politik yang azasnya Islam di dorong bergabung
(fusi) dalam satu partai baru. Fusi ini berlangsung pada tahun 1973 dengan nama
“Partai Persatuan pembangunan, PPP”.
Mengapa pemerintahan saat itu melakukan kebijakan
demikian jawabannya tak mungkin diulas dalam artikel singkat ini. Yang pasti kedua
partai itu tidak dibentuk oleh sekelompok warga negara yang punya ideologi yang
sama sebagaimana diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tersebut. Mereka dibentuk
segelintir elit pemerintah yang berkuasa waktu itu.
Dengan kata
lain dibentuk dari atas (top down) bukan dari bawah (bottom up). Oleh karena
itu tak perlu heran apabila partai itu tidak mengakar di masyarakat. Bagaimana
mengakar wong datangnya dari langit. Akar mereka (Kalaupun ada) hanyalah
segelintir elit dalam pranata kekuasaan. Inilah yang dialami Golkar pasca
Soeharto.
Soeharto lengser Golkar pun dihujat habis-habisan.
Namun apakah untuk memepertahankan eksistensi, atau hanya mencari keuntungan
sesaat, beberapa kalangan, terutama dari ex-ex alumni HMI Golkar kembali
dibangun. Mereka tetap mempertahankan Golkar meski dihujat habis-habisan.
Akan tetapi sebagaimana kemudian dalam perjalanannya,
tetap saja penuh dengan konflik elit. Masing-masing faksi yang ada dalam
tubuhnya saling berebut pengaruh untuk berkuasa. Begitu pula PPP tidak
terkecuali, tetap terjerat konflik elit. Seakan-akan hanya dari konflik ke
konflik, bukan dari konflik ke konsensus (Duverger, M, 1980)
Konsekwensinya tampillah suasana yang tak diinginkan,
namun harus diikuti. Dengan munafik kita mendendangkan idealisasi-idealisasi,
namun yang dijalankan adalah pragmatisasi-pragmatisasi. Kepada akar rumput
didengungkan nilai-nilai normatif, seperti partai adalah jembatan emas antara
masyarakat dan negara, pada hal keduanya selalu terpisah. Hal ini dapat kita
lihat dalam fungsi partai politik.
Fungsi yang terabaikan
Dalam UU No 12 tahun 2012 fungsi
partai politik adalah ; (1) melakukan pendidikan politik, (2) penciptaan iklim
kondusif dan program kerja kongkrit
untuk kesejahteraan masyarakat, (3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi
politik masyarakat (4) instrument partisipasi masyarakat, dan (5) recrutmen
jabatan-jabatan politik.
Mari kita simak secara seksama, kapan partai-partai
politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kapan mereka
menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan
kasar-vulgar dapat kita sebut bahwa fungsi tersebut belum pernah dilakukan.
Apalagi pendidikan politik secara secara terstruktur dan sistemik, sudah pasti
semakin jauh.
Oleh karena itu kita tak paham, apa sesungguhnya yang dikerjakan partai
politik setiap hari. Mereka punya kantor,pengurus dan alat-alat perkantoran
lain tapi tidak jelas apa out put maupun out comenya. Mereka sibuk hanya menjelang
pemilu.
Tidak sebagaimana lazimnya suatu kantor yang dikelola
secara “biro dan teknokratis”. Yang
dalam pekerjaannya ada hierarkhi, prosedur tertulis, spesialisasi hingga
meritokrasi di atas prinsip “legal-rasiona”l.
Kalau melihat fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Kepartaian, faktor-faktor
teknokratis itu seharusnya tersedia.
Analog dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti,
penciptaan stabilitas/program kerja, agregasi-segregasi-artikulasi politik dan
instrumen demokrasi masyarakat tidak pernah dilakukan partai-partai politik.
Kecuali fungsi terakhir/kelima, yakni penyedia jabatan-jabatan politik mereka
unggul 100%.
Oleh karena itu bila kita ukur secara kwantitatif-matematik, artinya diberi angka
penilaian (rentang 0 – 100) pada lima fungsi itu, maka akan terlihatlah; fungsi
1, 2, 3 dan 4 angkanya nol persen, sedangkan fungsi terakhir/kelima angkanya 20
persen.
Dengan pendekatan kwantitatif matematik tersebut dapat dikatakan
bahwa partai politik hanya menjalankan 20% dari fungsi semestinya. Angka yang moderat/baik
idealnya adalah antara 80 sampai 100, angka sedang, antara 56 sampai 79. Angka
45 sampai 55 lampu merah. Angka atau nilai dibawahnya sudah pasti lonceng
kematian, alias partai sudah menjadi
beban masyarakat.
Telah Menjadi Konsensus
Kalau begitu konstatasinya kita tak perlu kaget kalau
elit-elit partai-partai hanya sibuk mengejar jabatan politik. Dengan segala
cara para elit-elit tersebut akan mengejar posisi itu sebagaimana yang terjadi
pada Golkar dan PPP saat ini. Demikian pula partai-partai yang lain tidak
tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama.
Sejarah telah membuktikan siklus demikian. Lalu apa
yang dapat kita perbuat? Apakah mengkaji ulang keberadaan bahkan menolaknya?.
Salah satu kiat mungkin adalah mengajak mereka yang selama ini anti partai
namun bermoral tinggi, masuk ke dalam
partai. Mereka, khususnya para cendekiawan jangan terus diluar, segera masuk
kedalam, sebab negeri ini telah konsensus menjadikan partai sebagai instrumen
demokrasi. Dengan demikian kedepan partai kita harapkan akan berfungsi maksimal
sebagaimana eksistensinya.
∏
Dari deskripsi artikel
demikian, adik-adik mahasiswa sudah dapat melihat kira-kira seperti apa
partai-partai dinegeri ini. Silahkan tanggapi sendiri…..Selanjutnya sebagai
perbandingan akan saya tambahkan dengan pandangan Forum Politisi yang diisiniasi Friedrich Ebert Stiftung
Naumann pada
tahun 2006.
Forum ini menyoroti mengapa
partai-partai dinegeri ini masih begitu besar problemnya (lebih besar pasak dari tiang). Salah satu sorotannya adalah
tentang keuangan
partai yang tidak jelas. Keuangan partai yang seharusnya transparan, sebagaimana dinegara lain,
disini masih bak
panggang jauh dari api. Untuk lebih jelasnya mengapa keuangannya seperti itu dilihat dari dua
segi, yakni segi internal dan segi eksternal.
Segi Internal.
1.
Pada umumnya persoalan keuangan dalam partai masih merupakan “ruang gelap”
2.
Tradisi di dalam (partai) politik di Indonesia berorientasi kepada
membangun kekuasaan politik melalui pengendalian keuangan. Siapapun yang
mempunyai akses terhadap uang sekaligus mempunyai akses terhadap kekuasaan di
dalam partai. Kontrol atas uang merupakan salah satu instrument kendali atas
kekuasaan politik itu sendiri. Transparansi, akuntabilitas dari pengelolaan
keuangan yang professional dianggap sebagai ancaman oleh elite partai karena
harus melepas kontrol atas uang dan demikian atas kekuasaan.
3.
Laporan keuangan sengaja ditutup-tutupi.
4.
Partai politik tidak cukup memiliki data tentang asset-asset partai.
Seringkali asetnya atas nama individu-individu. Ketika terjadi konflik internal
partai sering juga terjadi pemisahan asset dan partai karena kekayaan atas nama
pengurus partai.
5.
Peraturan partai berkaitan dengan pendanaan belum lengkap dan konsisten.
Belum ada institusionalisasi dalam partai. Wewenang dan pertanggungjawaban
departemen masing-masing belum jelas. Pengelolaan keuangan dan pendekatan
penggalangan dana sering bersifat personal, bukan
institusinal, dan dilaksanakan secara ad hock tanpa perencanaan yang
matang.
6.
Peran bendahara pada umumnya sangat lemah. Fungsinya sebagai kasir saja
yang mengeluarkan uang atas perintah pimpinan partai.
7.
Partai politik di Indonesia sangat tergantung dari sumbangan
individu-individu. Demikian besar pengaruh pemilik modal atas kebijakan partai
membuat kemandirian partai terancam. Pemilik modal dapat memasuki seluruh sektor
di dalam partai.
8.
Struktur pendapatan partai tidak seimbang. Sebagian besar berasal dari
sumbangan. Iuran anggota mempunyai peran yang kecil.
9.
Pengumpulan iuran anggota sulit karena pada umumnya partai tidak dapat
menawarkan semacam keuntungan kepada anggotanya. Kepercayaan masyarakat
terhadap partai sangat rendah, maka mereka enggan terlibat dalam partai.
10. SDM di dalam partai yang
berkaitan dengan keuangan sangat lemah. Manajemen dan pelatihan internal kurang
diperhatikan.
11. Pelaporan pertanggung jawaban
keuangan partai yang dilakukan lima tahun sekali masih dalam bentuk yang
sederhana dan tidak memakai standar pelaporan baku yang sesuai dengan
persyaratan auditing publik.
12. Tidak ada standar pembukuan
dan pelaporan untuk semua tingkat partai.
13. Partai tidak mempunyai
peraturan internal yang mengatur tentang pembatasan sumbangan serta
penyingkapan nama donator dan jumlah sumbangan.
14. Akses terhadap laporan
keuangan partai politik sulit maka pengawasan internal partai sulit.
15. Tidak ada badan internal
partai yang melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pendanaan partai.
16. Pada umumnya partai politik
tidak mendesain sebuah rencana mengenai pendapatan dan pengeluaran partai.
Pembiayaan aktivitas partai sering tidak direncanakan dengan baik sehingga dana
untuk program tidak ada atau tidak dapat dicairkan dan sumber dana baru harus
dicari.
17. Tidak ada transparansi dalam
distribusi dana partai.
18. Kerjasama dengan lembaga-lembaga
profesional atau masyarakat sipil yang mempunyai kapasitas dalam bidang
pengelolaan keuangan masih kurang.
Segi Eksternal
1.
Undang-Undang Partai politik hanya mengatur tentang penggunaan dana
partai untuk kampanye pemilu, sedangkan penggunaan dana partai rutin tidak di
atur secara detail.
2.
Pelanggaran tentang pelaporan penggunaan dana kampanye partai hanya
mendapatkan sanksi berupa teguran secara terbuka oleh KPU.
3.
Tidak ada insentif bagi partai agar menaati peraturan.
4.
Penegakan hukum pada umumnya lemah. Tidak ada tindak lanjut atas pelanggaran
peraturan oleh partai politik.
5.
Tidak ada peraturan dan mekanisme yang menjamin akses publik terhadap
laporan keuangan partai.
6.
Pengelolaan asset-aset partai tidak diatur secara spesifik dalam dalam
Undang-Undang Partai Politik.
7.
Sumber dana partai politik dibatasi karena tidak boleh mendirikan badan
usaha.
8.
Tidak ada standar pelaporan keuangan bagi partai politik.
9.
Tidak ada standar akuntansi khusus partai politik.
Selain dengan masalah keuangan
yang berada dalam ruang gelap ini, yang juga tetap gelap gulita adalah
hubungannya dengan konstiten (pemilihnya). Seperti apa kegelapan ini, Forum
Politisi menyimpulkannya sebaga berikut;
a.
Lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai
partai, sehingga ketika timbul suatu persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan
yang substansial antara partai satu dan yang lainnya dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Pada hal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai,
seharusnya berdampak pada cara berpikir dan menyelesaikan persoalan. Efek dari
lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis.
Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan
punya kecenderungan memilih figure berdasarkan kedekatan,
atau yang banyak uang, dan sumbangannya.
b.
Hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional antara buyer dan
seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen
lewat uang, sembako, kaos, pembangunan masjid, pembangunan jalan, dan
lain-lain.
c.
Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya,
yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca pemilu. Alih alih membuat
desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan
kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk memberikan bantuan dan
sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.
d.
Belum terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang
solid, ketika parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi
kepentingan komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika pada pemilu, partai A
mendapat, katakanlah satu juta suara, namun mereka tidak tahu dari mana suara
itu berasal. Hal ini terjadi karena infrastrukturnya belum terbangun.
e.
Suara dalam pemilu sendiri seyogianya merupakan konsekwensi logis dari
suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas, dan
parpol menjadi ujung tombaknya.
f.
Belum adanya peraturan partai yang mengatur, mengelaborasi, dan
mendesain pola mengenai bagaimana membangun hubungan dengan konstituen.
Hubungan dengan konstituen menjadi bersifat individu dan tidak sistemik.
seharusnya merupakan kewajiban partai untuk merancang, membangun tradisi dan
melembagakan pola hubungan dengan konstituen dalam suatu peraturan partai yang
komprehensif.
g.
Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, yakni
parpol memakai konstituen sebagai pendulang suara dalam pemilu, alat
legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai perlu merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai subordinat untuk
memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.
h.
Komunikasi dan hubungan parpol dengan konstituen pada umumnya masih satu
arah, yaitu dari parpol kepada konstituen. Desain program parpol tidak
mencerminkan harapan dan kebutuhan konstituen yang diwakilinya.
Lamp II
PILEG 2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?
Oleh : Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP
Unitas Palembang
Published,
Analisa, 19 Februari 2019
Susan Rose -
Ackerman dalam bukunya Korupsi Pemerintahan (Corruption and Government Causes,
Consequences, And Reform, 2000) menyatakan bahwa alat yang paling ampuh untuk
menganalisis mengapa terjadi korupsi adalah ilmu ekonomi. Mengapa pakar korupsi
kondang dari Yale University itu mengatakan demikian adalah karena motif utama perbuatan
serakah itu adalah memperkaya diri melalui institusi-institusi negara, lepas
dari legal atau sebaliknya. Bagaimana supaya kaya menjadi kata kuncinya.
Meski tidak
dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition
(kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi empiriknya. Bukankah Adam Smith
bertitah bahwa persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan
mendatangkan kemakmuran bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat
(invisible hand)? Yang pasti dalam realita-praksisnya, persaingan itu hanya
menguntungkan si individu yang paling efisien, kuat, licin, dan lihai.
Tidak diluarnya,
sebagaimana dititah-teorikan sebelumnya, yakni, akan mendatangkan kemakmuran
bagi semua orang, karena akan melesatkan kompetisi yang membuat barang-barang,
komoditas, dan lain-lain unsur ekonomi menjadi murah dan bermutu. Faktanya
tidak seperti itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli,
kartel, dan lain-lain penyakit kronis ekonomi. Paul Krugman (1995) dengan tegas
menudingnya sebagai zero sum game.
Susan Rose -
Ackerman yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World
Bank) kenegara-negara lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang
(NSB), menyebut distorsi demikian menyeruak karena negara dan swasta tidak
berfungsi semestinya. Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan
fungsi secara konsekwen sebagaimana yang tertulis dalam Konstitusinya (UUD, UU,
dan lain-lain aturan pendukungnya).
Katanya/tertulisnya demokrasi, namun yang tampil
tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu. Kalau sungguh-sungguh
menerapkan demokrasi, sebagaimana pengalaman banyak negara yang menempuhnya,
korupsi itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini korupsi malah
tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Sungguh suatu
dunia yang ironis dan jungkir balik.
Konsepsi demikian
(ironi dan jungkir balik) inilah yang terjadi pada pileg 2004, 2009, 2014, dan
khususnya pada hari-hari/saat ini, yakni dalam kampanye-kampanye (menuju) pileg
2019. Konsep bias yang semakin mengental, mentradisi, melembaga, yang jika
tidak dihentikan akan menjadi kebenaran.
Idealnya semakin
lama proses itu berlangsung, sebagaimana konsepsi sistim politik demokratis (David Easton,1950) semakin baik kwalitasnya.
Tidakkah input (tuntutan dan dukungan) yang berproses dalam black box (sistim politik) akan
menghasilkan out put (keputusan dan kebijakan) yang handal bagi kebebasan,
kesejahteraan, dan keadilan masyarakat?
Disini aneh,
justru semakin lama sistim, pola, atau praksis pemilihan satu orang, satu
suara, dan satu nilai (One men, One Vote,
One Value, OPOVOV) nan proporsional terbuka itu dipraktekkan semakin kacau
balau, acakkadut, dan amburadul hasilnya. Masalah, konflik, dan krisis yang
dalam pileg-pileg sebelumnya tidak muncul kepermukaan, dalam sistim ini
menyeruak dengan kasat mata. Masalah-masalah politik identitas, jeruk makan
jeruk, dan terutama politik berbiaya tinggi adalah ilustrasinya.
Biaya
Besar
Dalam pileg 2004,
yakni ketika pertama kali model pemilihan proporsional terbuka/langsung itu
dioperasionalkan, sudah terendus betapa model yang (katanya) sangat demokratis
demikian akan berbiaya besar.
Biaya demikian
adalah alat-alat peraga kampanye yang sangat banyak dan mahal, seperti iklan di
media cetak/audio visual, spanduk, baliho, kaos, klender, selain biaya tim
kampanye/event organizer (EO) yang an sich hanya ditimpakan kepada
caleg-calegnya. Konsekwensi logisnya para caleg dengan segala kekuatan dan
keterbatasannya dipaksa dan terpaksa harus menyediakan dana tersebut apabila
ingin survive/menang dalam kontestasi.
Disisi lain,
selain biaya alat peraga kampanye dan tim teknis (EO) yang sangat mahal itu,
yang membuat kemudian pembiayaan semakin membengkak adalah, sang calon tidak
jarang dipungut biaya/mahar, yakni harus bayar uang kepada partai yang
mengusungnya. Terutama caleg yang di rekrut dari luar partai, alias bukan
kader, apalagi untuk mendapatkan nomor urut atas (nomor 1, 2, dan maksimal no
3).
Tidak cukup
disitu. Faktor selanjutnya yang memperbesar pengeluaran adalah biaya pengamanan
suara supaya tidak hilang. Biaya yang seharusnya bukan pengeluaran
partai/caleg, realitanya tetap terbebani apabila suaranya tidak dicuri/hilang
sebagaimana yang ditengarai kerapkali terjadi.
Aktor-aktor yang
terlibat disini, terutama adalah saksi, plus koordinatornya. Diperlukan saksi
di setiap TPS, yang sudah barang tentu harus dibayar. Meski tidak resmi
biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban caleg/partai, seperti untuk
penyelenggara pemilihan (PPS, pihak keamanan, Bawaslu, dan KPU) ternyata (juga)
harus disediakan. Belum lagi biaya-biaya teknis tak terduga yang selalu muncul
mengiringinya, yang jumlahnya cukup significan.
Pembengkakan
Biaya
Akan tetapi yang
membuat biaya kampanye itu semakin besar berlipat-lipat tak terbatas, adalah
mencuatnya pola yang tak lazim (uncommon), yang tak ada dalam aturan pileg.
Pola yang sesungguhnya dilarang, diharamkan, dan kampungan, namun menjadi determinant factor (faktor penentu)
keunggulan. Metode/pola/kiat ini adalah
yang popular dengan sebutan “suap, sogok, uang pelicin, dan sejenisnya” yang
diberikan sang caleg kepada pemilih. Bagaimana caranya?
Cara/metode yang
lazim ditempuh pada umumnya adalah mengikuti alur aturan yang sudah tertulis
dalam UU Pemilu, namun dalam praksisnya di improvisasi, dibelokkan, atau malah
dijungkir balikkan. Dalam artian lain, prosedurnya diikuti, namun substansinya
disesuaikan dengan kepentingan sempitnya (vested interest).
Model-model
kampanye sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu, seperti (a) pertemuan terbatas,
(b) pertemuan tatap muka, (c) pemasangan atribut kampanye, dan (d) Iklan
melalui media, tetap menjadi acuan, namun sebatas mekanisme-prosedurnya.
Sebagai ilustrasi adalah apa yang dilakukan dalam pertemuan terbatas dan pertemuan
tatap muka.
Dalam pertemuan
tersebut tetap berlangsung imperative UU Pemilu, seperti, penyampaian visi,
misi, program, rencana kebijakan publik, trackrecord/rekam jejak,
komunikasi/sosialisasi dua arah, dan lain-lain unsur suatu kampanye . Akan
tetapi pasca acara itu terjadilah hal-hal yang tidak tertulis dan dilarang
dalam UU Pemilu. Tampillah modus-modus misterius, yang siluman, bak hantu
disiang bolong, yakni transaksi-transaksi (uang) antara kalangan sang caleg
dengan peserta pertemuan.
Namun sebagaimana
disinggung di atas, pola demikian, yaitu, yang mengikuti alur-aturan yang ada
dalam UU Pemilu barulah tahap awal, dan jembatan kamuflase untuk transaksi yang
lebih raksasa. Masalah seperti apa atau
bagaimana agar transaksi/pembagian tersebut tidak terjerat hukum sudah ada
metodenya (ahli terlatih untuk itu lebih dari cukup telah tersedia)
Soal berapa jumlah
yang harus diberikan (dibagi), sebagaimana penuturan pihak yang pengalaman
dalam hal tersebut sangat bervariasi. Ada yang Rp 400.000,-, Rp 300.000, Rp
150.000,- per orang. Tergantung segmen, kelas, atau level masyarakatnya. Bagi
kelas menengah, bawah, dan atas sudah pasti berbeda. Bisa jadi hanya puluhan
ribu rupiah, namun sebaliknya bisa jutaan. Calo-calo untuk memuluskannya lebih
dari cukup telah gentayangan. Apa bedanya dengan calo-calo yang merajalela
dalam urusan-urusan publik selama ini? Tidakkah itu telah fenomenologis? Sama
saja.
Pembengkakan
Biaya
Akan tetapi apapun
dalihnya, Pembengkakan pembayaran demikian semakin meroket, mengingat pertemuan-pertemuan
terbatas tersebut tidak hanya pertemuan resmi kampanye nan politis. Melainkan
telah menerobos pertemuan-pertemuan diluarnya, yakni pertemuan yang bersifat
sosial-budaya dan relijius. Pertemuan yang seharusnya tidak etis digunakan
sebagai ajang kampanye, namun telah diarah-belokkan kesana.
Pertemuan-pertemuan
adat, apalagi pertemuan-pertemuan yang bersifat relijius sebagaimana hakikinya
adalah pertemuan yang sakral. Pertemuan yang tujuan utamanya membangun
spiritualitas. Bukan pertemuan-pertemuan politik yang an sich mengejar
kekuasaan, yang sarat dengan kepentingan-kepentingan sempit (vested interest).
Tidak seperti itu
Namun sebagaimana faktanya pertemuan inipun
sudah diwarnai (kalau bukan dinodai) pola-pola komersil yang sarat dengan transaksi-transaksi.
Transaksi yang sukar dijerat hukum karena sifat pertemuannya yang bukan
politis/kampanye, namun kenyataannya berlangsung kampanye. Modus, penyimpangan,
atau kampanye terselubung yang melesat bak jet membelah langit pada pileg 2009
(baca: George Yunus Aditjondro, 2010, Gurita Cikeas), dan (terutama) pada pileg
2014.
Mungkin atas dasar
pertimbangan demikian, yakni supaya tidak semakin runyam situasinya, pemerintah
bersama DPR mengeluarkan kebijakan, yaitu memberi bantuan alat peraga dan iklan
kampanye bagi setiap caleg, dan biaya kampanye ditanggung partai masing-masing
(pasal 329 UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk menyediakan/membiayai alat-alat
peraga kampanye ditugaskan kepada KPU.
Dalam perjalanan
atau fakta-empiriknya, kebijakan demikian (ternyata) tidak banyak pengaruhnya.
Malah menurut para petahana yang akan maju kembali dalam pileg 2019, justru
sebaliknya yang mengemuka, yakni pembiayaan kampanye semakin berganda hingga 10
X lipat, dan sebagai konsekwensinya para caleg jika ingin menang lagi, harus
menyediakan dana minimal Rp 5 M (Tajuk Rencana Kompas, 30 Januari 2019)
Fantastic namun
itulah kredonya. Kredo yang diakui sendiri oleh pentolan-pentolan partainya.
Hajriyanto Tohari, anggota tim seleksi caleg partai Golkar, nyerocos bahwa ditengah-tengah
sistim pemilu berbiaya tinggi yang berlangsung pasca reformasi, tidak
dimungkiri bahwa faktor logistik menjadi pertimbangan penting. Siapa yang
memenuhi syarat itu? Salah satunya sudah pasti adalah petahana.
Meski mengorbankan
kaderisasi, regenerasi, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi
kepartaian, yang diutamakan dalam pencalegan tetaplah petahana. Selain memiliki
finansil yang memadai, jaringan yang kongkrit, merekapun punya
kapasitas/pengalaman yang lebih ketimbang caleg pendatang baru (K 25 Jan 2019).
Tidak begitu beda
diutarakan Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PDIP, yakni kemampuan finansial
caleg menjadi salah satu pertimbangan partai dalam memberi nomor urut, yakni
nomor urut atas. Caleg yang punya uang besar akan didahulukan dari pada caleg
yang uangnya kecil.
Analog dengan
partai-partai lain, meski tidak bernyanyi seperti Hajriyanto Tohari dan Andreas
Hugo Pareira, namun dari urutan-urutan calegnya pada daftar calon tetap (DCT)
kelihatan bahwa yang diutamakan adalah petahana (kaum yang sudah punya modal,
pengalaman, dan jaringan)
Demokrasi
Beli Suara
Ilustrasi lain
yang betul-betul biadab dan berbiaya besar adalah pembentukan tim yang sama
sekali tidak melakukan kampanye sebagaimana diamanatkan UU, namun langsung
memobilisasi dukungan pemilih. Mereka/tim ini bergerak langsung ke sosok-sosok,
kantong-kantong, atau segmen konstituen yang dianggap dapat meraup suara.
Kiat yang mereka
gunakan pada umumnya adalah gabungan dari pola-pola pemasaran dalam ekonomi,
intelijen, hingga siluman. Metode yang jauh lebih strategis ketimbang metode
yang dimanatkan UU Pemilu, atau pola kampanye umum, sebab lebih efektif dan
efisien. Lokasi, wilayah, atau garapan mereka pada umumnya bisa perkecamatan,
perdesa, atau per TPS. Mereka meletakkan orang-orangnya disana.
Jumlah mereka
disesuaikan dengan banyaknya konstituen yang dibidik. Bisa besar, sedang, atau
kecil. Dari pengakuan seorang caleg yang sudah beberapa kali terpilih, jumlah
yang direkrutnya setiap pileg antara 20 sampai 40 orang perkecamatan. Bisa
dibayangkan bila dalam satu kabupaten/kota terdiri dari 25 kecamatan, sementara
dapilnya 4 kabupaten/kota,berapa besar biaya yang dikeluarkan.?
Tidak sekedar Rp 5
M, sebagaimana disebutkan diatas. Bisa jadi jauh di atas itu. Ironis. Lalu?
Sudah waktunya sistim pileg ini dievaluasi. Merdeka
Lamp III
Evaluasi Pemilu Serentak 2019
Moch Nurhasim
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
Published, Kompas 8 oktober 2019
Pemilu 2019 adalah pemilu serentak
pertama di Indonesia. Pemilu ini diyakini sejumlah kalangan akan membawa dampak
significan bagi pembenahan sistem politik kita.
Hal itu mungkin terjadi jika
efek ekor jas (coattail effect) bekerja dan kecerdasan politik pemilih menjadi dasar bagi konstituen
dalam memilih calon, baik calon presiden maupun calon anggota perwakilan (DPR
dan DPD). Asumsi itu ternyata tak terbukti. Hasil pemilu 2019 hampir sama, tak
berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden
dan pemilihan anggota perwakilan (DPR dan DPD)
Mengapa asumsi teoritis pemilu
serentak meleset? Mengapa keserentakan pemilu tidak dapat mencapai tiga tujuan
besarnya, yakni efisiensi anggaran, menghasilkan kekuatan politik yang
significan di parlemen yang memperkuat sistem presidensial, dan mendorong
penyederhanaan parpol.
Distorsi asumsi
akademik.
Penyelenggaraan pemilu
serentak 2019 ternyata tak murah dan efisien. Pemilu serentak nyaris tak
memberikan insentif memadai bagi partai utama/partai pengusung capres/cawapres,
PDI Perjuangan (PDI-P) dan Gerindra mengalami kenaikan tipis 0,38 dan 0,76
persen. Partai yang dianggap memperoleh berkah kenaikan adalah Nasdem, 2,33
persen, meski kenaikan suara Nasdem tak dianggap sebagai dampak dari efek ekor
jas karena capres Jokowi lebih lekat sebagai kader PDIP, bukan kader Nasdem.
Partai lain yang berkoalisi dengan kubu 01, seperti Golkar, PKB, PPP, dan
Hanura, nasibnya tak sebaik Nasdem. PKB yang mengklaim pengusung Maaruf Amin,
suaranya hanya naik 0,65 persen. Golkar, Hanura, dan PPP lebih tak beruntung
karena turun cukup significan: 2,44 persen, 3,72 persen, dan 2,01 persen. Pada
kubu 02, partai yang mengalami kenaikan cukup lumayan PKS, 1,42 persen.
Demokrat dan PAN, justru turun, Demokrat terbanyak 3,13 persen, dan PAN 0,75
persen.
Hasil pemilu serentak 2019
kian memperkokoh praktik multipartai ekstrem di Indonesia. Sebagaimana
diketahui, hasil pemilu-pemilu d era Reformasi, sejak Pemilu 1999 hingga 2014,
selalu gagal menyederhanakan parpol.
Pemilu proporsional yang
dikombinasikan sistim multipartai dianggap tak sejalan dengan upaya memperkuat
sistem presidensil di Indonesia karena karena multipartai yang dihasilkan
pemilu adalah multipartai ekstrem yang menyulitkan presiden dalam membangun
koalisi. Tak ada partai pemenang mayoritas minimal karena rata-rata partai
pemenang pemilu memperoleh suara di bawah 22 persen. Akibatnya, presiden
terpilih dianggap kurang didukung kekuatan parpol yang memadai di parlemen.
Hal itu dibuktikan dari
perhitungan effective number of party in parlemen (ENPP) yang dihasilkan pemilu sebelum Pemilu 2019
cenderung besar, berkisar 8-9. Artinya, tingkat kompetisi kekuatan politik di
parlemen tergolong terfragmentasi ketimbang terkonsolidasi. Kecenderungan
bangunan koalisi yang dibentuk presiden pun dianggap tidak terlalu kuat. Efek
pemilu serentak sebenarnya telah diperdebatkan sejak era 1980-an oleh banyak
ahli. Perbedaan mengenai apa manfaat atau dampak dari pemilu serentak serta
kebenaran pemilu serentak akan menciptakan efek ekor jas dan kecerdasan pemilih
menjadi isu akademik yang terus menerus.
Studi Campbell (1960) menghipotesiskan
pemilu serentak menyebabkan dua gejala, yaitu gelombang penurunan dan
pelonjakan. Pemilu serentak hanya berfungsi sebagai stimulasi politik untuk meningkakan
partisipasi. Pola ekor jas presiden AS dalam pemilihan DPR dan Senat berjalan
tidak ajek karena pada saat tertentu akan muncul lonjakan suara, tetapi pada
saat lain aka nada fenomena penurunan suara. Campbell juga menggarisbawahi
kombinasi keserentakan antara presiden dan system pemilu mayoritarian mendorong
penguatan partai tertentu. Menariknya, kalau kombinasi dilakukan dengan
proporsional hasilnya menunjukkan partai tengah, bukan partai kanan atau kiri,
yang diuntungkan. Pengalaman negara yang menerapkan kombinasi yang disebut oleh
Campbell dapat menjadi penjelasan mengapa praktik pemilu serentak di Indonesia
justru cenderung menguntungkan partai berideologi tengah ketimbang kanan atau
kiri. Beberapa bukti lain juga menunjukkan, efek paling nyata dari pemilu
serentak hanya meningkatkan partisipasi pemilih. Efek ini telah disebut pada
sejumlah literatur yang membahas pemilu serentak sejak era 1980-an, sejak Boyd
(1989) merumuskan hipotesis daya Tarik suara bahwa pemilihan serentak
meningkatkan jumlah pemilih. Lijphart (1997) juga menilai hal yang sama, bahwa
pemilu serentak (dalam waktu bersamaan) dianggap dapat meningkatkan tingkat
parisipasi pemilih.
Dari sejumlah kajian mengenai
pemilu serentak, sebenarnya terdapat banyak bukti bahwa kajian-kajian
sebelumnya tak menjawab bagaimana pengaruhnya terhadap hasil pemilu, apakah
pemilu serentak dapat mendorong sistem pemilu proporsional yang efektif untuk
menyederhanakan parpol misalnya? Walaupun juga tak dimungkiri di beberapa
negara memang ada sedikit efek ekor jas, tetapi pada beberapa negara yang
melakkan pemilu serentak, seperti Uruguay, Venezuela, dan Meksiko, serta
beberapa negara lain, efek itu juga kurang terlihat secara significan. Atas
dasar pengalaman beberapa negara yang menerapkan pemilu serentak, ternyata tak
selamanya simultan.
Bahkan, pengalaman pemilu
serentak di Brasilia, yang dihasilkan adalah kemenangan partai koalisi, tak
mengubah multipartai yang ekstrem, karena Brasil tetap mengombinasikan proporsional dan multipartai. Sementara itu,
pengalaman Uruguay juga relative menunjukkan hal yang hamper mirip, pilihan
terhadap presiden tidak konkruen dengan pihan terhadap partai politiknya.
Distorsi akademik yang
dibangun para perancang UU Pemilu 2019 yang terlalu meyakini asumsi-asumsi awal
judicial review, dan kurang mengeksplorasi praktik pemilu serentak menyebabkan
ekspektasi public terhadap hasil pemilu serentak tak terjawab. Salah satu alas
an mengapa hasil pemilu serentak sama dengan pemilu terpisah karena desain
system pemilu yang digunakan tak mengalami perubahan fundamental, khususnya
dari sisi besaran daerah pemilihan (district magnitude), rumus konversi suara
menjadi kursi, karena penerapan Saintee League (murni) pada dasarnya prinsip
kerjanya sama dengan bilangan pembagi pemilih (BPP), dan penerapan ambang batas
parlemen yang masih kurang relevan. Menitik beratkan asumsi bahwa keserentakan
akan mendorong perubahan peta kekuatan politik dan partai yang sederhana
teoritis dan tidak didukung oleh praktik yang ada.
Masihkah
dipertahankan?
Dari praktik pemilu serentak
2019, ternyata model pemilu serentak borongan atau pemilu serentak lima kotak,
hanya menjamin insentif tingkat partisipasi pemilih. Efek ekor jas dan
kecerdasan pemilih sebenarnya belum terbukti. Sementara dari sisi penyelenggaraannya
begitu ruwet, rumit, dan kompleks. Beban penyelenggara pemilu di tingkat KPPS
juga sangat berat, bahkan ratusan orang akhirnya meninggal.
Belajar dari hasil pemilu dan
dampaknya, ke depan kira-kira format keserentakan pemilu yang seperi apa yang
mungkin digunakan. Kata mungkin ini berhubungan dengan amar putusan MK No
14/PUU-XI/2013 Tahun 2013 bahwa penyelenggaraan pilpres setelah pemilu anggota
Lembaga perwakilan adalah inkonstitusional sehingga untuk pemilu-pemilu yang
akan dating, pilpres mesti dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota
lembaga perwakilan.
Makna keputusan MK ini pemilu
harus diselenggarakan dengan menerapkan minimal dua sistem sekaligus. Pada
skema pemilu serentak 2019, ada tiga sistem yang bekerja secara bersama: sistem
untuk memilih presiden, anggota legislatif (DPR), dan anggota DPD. Dari
pengalaman pemilu 2019, model pemilu borongan lima kotak telah menimbulkan
beragam persoalan sehingga mempertahankan format keserentakannya akan
menimbulkan perdebatan dan was-was dalam penyelenggaraan. Untuk mengatasi,
masih ada dua model keserentakan yang mungkin bisa dipilih dan diterapkan.
Pertama, pemilu serentak nasional dan lokal yang terpisah. Pemilu jenis ini
adalah pemilu serentak nasional yang memilih presiden dan anggota perwakilan
tingkat pusat (DPR dan DPD). Kedua, pemilu eksekutif-legislatif yang terpisah,
dimana pemilu eksekutif memilih presiden-kepala daerah (gubernur dan
bupati/walikota) secara bersamaan; sedangkan legislatif adalah memilih anggota
perwakilan DPR-DPD dan DPRD.
Kedua model itu memiliki
kelemahan karena tak bias memberikan jaminan ada tidaknya efek ekor jas,
kecerdasan pemilih, dan penyederhanaan partai karena masalah yang diseesaikan
adalah masalah penyelenggaraan pemilu supaya tak rumit dan kompleks. Dengan
kedua model itu, beban kerja penyelenggara pemilu juga tak terlalu berat.
Persoalan efektif atau tidaknya dalam mendorong multipartai yang sedrhana,
tergantung perubahan sistem pemilu dan aturan teknis yang perlu dimodifikasi.
PERTANYAAN
1.
Setelah membaca
tulisan ini dan tulisan dua minggu yang lalu, sudah paham apa belum tentang (1)
input, (2) output, (3) proses, dan (4) sistim politik? Jelaskan secara singkat.
2.
Mengapa
partai-partai di Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya. Jelaskan secara
singkat.
3.
Mengapa dalam pemilu
terjadi politik uang money politics). Jelaskan secara sistematis.
[1] Kepada mahasiswa sering
saya katakan bahwa banyak lembaga, institusi, atau organisasi di Indonesia yang
tidak fungsional. Ada struktur (lembaga, institusi, atau organisasi), tapi
fungsinya sangat minimal (bahkan tak berfungsi sama sekali), karena prosesnya
sering diabaikan. Contohnya adalah “perguruan tinggi”, yang punya fungsi
tridharma (Pendidikan, penelitian, dan pengabdian), namun dalam praksisnya jauh
dari yang semestinya. Pendidikannya hanya sekedar-sekedar. Penelitian, apalagi
pengabdian, hampir-hampir tak pernah dilakukan. Bagaimana menghasilkan lulusan
(output) yang kompeten? Jadilah seperti sekarang ini, punya gelar, tapi
kemampuannya tidak sesuai dengan gelarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar