MS III , PROSES
LEGISLATIF DI INDONESIA
KULIAH
KETIGA, SABTU/4 JULI 2020, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN
PEMERINTAHAN, UNITAS, PALEMBANG
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat; bacalah materi kuliah ketiga ini dengan
seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan (jam
10.00-11.30). Tanggapan ini sekaligus pengganti daftar hadir (absen). Selanjutnya
jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di bagian akhir, dan dikirimkan ke
WA atau e mail saya, reinhardhutapea59@gmail.com
∏
LEMBAGA
LEGISLATIF
Teori sistim politik yang kita pakai
dalam mata kuliah ini, sering juga disebut dengan teori “fungsional”, atau lebih
lengkapnya dengan sebutan “Fungsional-Stuktural”,
atau “Struktural-Fungsional”.
Tekanannya adalah pada frasa “fungsional”. Berfungsi apa tidak, kira-kira
seperti itu “pertanyaan atau arti” gamblangnya. Apanya yang berfungsi?
Dalam mata kuliah ini yang disebut
berfungsi atau tidak adalah lembaganya. Berfungsi atau tidak lembaga itu.
Berfungsi atau tidak DPRD Palembang itu, DPRD Sumsel itu, DPR Pusat, DPD, atau
MPR itu itu. Sekali lagi tekananya
adalah pada “fungsi”. Tidak begitu dipedulikan akan arti atau konsep “sejarah, legalitas, filsafat”
dan lain-lain persfektif sebagaimana yang ditekankan dalam ilmu politik
tradisional[1].
Supaya lebih kongkrit,
mahasiswa-mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini, agar tidak berkutat hanya
dari teori ke teori yang menjenuhkan, coba nongkrong-nongkrong (bahasa
ilmiahnya riset) di DPRD Kota Palembang,
kira-kira selama sebulan. Lihat, amati, dan catat apa-apa saja yang dikerjakan
anggota-anggota DPRD itu disana. Ngapain mereka disana, apa yang mereka kerjakan
disitu….samakah dengan kantor-kator pemerintah lainnya? Benarkah mereka
melaksanakan tugas atau fungsi (mewakili rakyat) disana? Seperti apa cara
mereka melakukan itu? Dan sekian pertanyaan yang tak akan habis-habisnya[2].
Namun, sebelum mahasiswa melakukan
hal demikian, atau memahami (dengan seksama) lembaga legislatif lebih
jauh/seksama, silakan anda baca dua tulisan/artikel dibawah ini lebih dulu.
Setelah itu baru kita bahas apa yang disebut dengan lembaga legislatif.
1.
DPR, Pulau Terapung Di
Lautan Masyarakat.
2.
DPD, Dewan Perwakilan
Dirinya.
∏
Lamp
1
DPR,
PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published
Waspada, 16 Okt 2019
Mereka
bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada
negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik
Satu dekade yang lalu,
Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PKS melakukan studi banding ke Partai
Komunis China (PKC). Kelima partai besar Indonesia ini berikhtiar
mengkomparasikan tentang sistim, pola, atau model pengelolaan partai yang
dipentaskan dinegeri tersebut. Negeri yang dikenal sebagai negeri komunis yang
bersistim satu partai, dengan yang berlangsung di Indonesia yang Pancasilais
dan menganut sistim multi partai.
Tiga kota yang menjadi
focus studi mereka, yakni Beijing, Shanghai, dan Guiyang. Di kota ini mereka
bak ilmuwan yang sedang melakukan riset, melihat secara langsung bagaimana PKC,
khususnya di tingkat akar rumput (grassroots)
mengimplementasikan tugas, fungsi, untuk mencapai tujuan partainya.
Dari penelusuran yang
dilakukan ternyata, “Cabang dan khususnya Ranting PKC” sangat berperan
ketimbang level diatasnya (tingkat Provinsi atau nasional, DPD/DPP. Mereka
bekerja di akar rumput sesuai tugas, fungsi, dan peran-peran partai yang lain.
Dengan kata lain, secara empiric, mereka mengimplementasikan fungsi-fungsi
partai politik, seperti fungsi “komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi,
rekrutmen dan lain-lain fungsi partai politik (Miriam Budiardjo 1975).
Lembaga
Disfungsional
Dengan cekatan
pengurus-pengurus partai tingkat cabang dan ranting mempraksis-empirikkan
pertemuan-pertemuan rutin, baik sesama pengurus, dan atau terutama dengan
masyarakat. Kantor-kantor partai mereka penuh dengan aktipitas, seperti membuat
perencanaan/planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating, dan
pengawasan/controlling (POAC), sebagaimana layaknya biro modern.
Begitu pula kegiatan, aktipitas, dan
pengabdian ke tengah-tengah masyarakat. Mereka menyambangi, mendengar, mengartikulasi,
dan memberdayakan masyarakat. Mereka berkomunikasi dengan/secara dua arah, dan
mensosialisasikan apa yang menjadi kebijakan partai. Sebaliknya , yakni sebagai
timbal baliknya, mereka juga mendengar dan menghimpun aspirasi/apa yang
diinginkan masyarakat (agregasi dan artikulasi).
Tidak cukup disitu, yang
jauh lebih mengesankan adalah, dengan cekatan, pengurus-pengurus PKC demikian
mendorong/melatih/memberdayakan masyarakat akan vokasi/keahlian tertentu.
Masyarakat diberi pelatihan supaya mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kecerdasannya.
Dengan gesit, cekatan,
handal dan penuh semangat, pengurus-pengurus PKC membimbing
staf/karyawan/pengurus institusi-institusi lokal masyarakat di akar rumput,
seperti lembaga kesehatan masyarakat (disini puskesmas) supaya lebih
professional, meritokratis, efisien dan efektif melayani pasien-pasiennya.
Begitu pula dalam sektor
pertanian dipedesan, yang mayoritas masih merupakan sumber pendapatan utama
penduduk. Pengurus-pengurus ranting PKC, sangat cekatan membimbang dan
memberdayakan mereka. Bagaimana membudidayakan pertanian-peternakan supaya
lebih modern, canggih, memiliki nilai tambah, dan berhasil guna, menjadi pakem
pengurus-pengurus akar rumput PKC ini.
Tidak kurang fantastik
dan spektakulernya, adalah komitmen, kreatifitas, dan inovasi,
pengurus-pengurus ranting PKC memberdayakan usaha-usaha kecil dan menengah
(UKM) supaya sanggup bersaing di pasar internasional. Pengurus-pengurus partai
begitu piawai, tekun, kerja keras, bersemangat membimbang kalangan ini supaya
sanggup bersaing dan unggul di kancah global yang penuh tantangan. Terbukti
mereka sukses. Mereka merajai perdagangan dunia saat ini.
Ilustrasi-ilustrasi lain
masih dapat diuraikan sekian banyak/panjang lagi, seperti (misalnya) bagaimana
mereka mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) asing ke negaranya,
namun itu biarlah dilbahas di lain kesempatan. Yang jelas dan pasti
pengurus-pengurus PKC adalah sosok-sosok pilihan. Sosok yang lahir secara
alamiah dari justifikasi dan legitimasi masyarakat bawah. Tidak karena
privilese, privacy, deking/kenalan (nepotisme), karena punya duit, apalagi
karena pintar menjilat. Mereka sungguh professional, meritokrat dan legitimate.
Bagaimana dengan partai
politik Indonesia? Perbandingannya mungkin ibarat langit dan bumi. Dari
pengamatan atau penelitian sederhana dapat kita lihat bahwa partai-partai
dinegeri ini masih disfungsional. Kita tak paham apa yang mereka kerjakan
sehari-hari. Kantor-kantornya, khususnya kantor cabang, atau ranting nyaris
tanpa kegiatan-aktipitas berarti.
Kantor spanduk/papan
nama, dan manusianya terpampang, namun apa yang dikerjakan disana tidak jelas.
Mungkin hanya kongkow-kongkow saja, ngalor-ngidul mengupas yang bukan fungsi
dan tugasnya. Awam lebih melihat organisasi-organisasi lain, seperti LSM,
organisasi sosial, keagamaan, berfungsi/punya kegiatan rutin ketimbang
partai-partai politik. Sangat tak layak/aneh bin ajaib, lembaga yang seharusnya
pro aktif hadir ditengah-tengah masyarakat, namun disfungsional.
Fungsi partai politik
sebagaimana diatur dalam Undang Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2008
dan UU No 2 Tahun 2011, sesungguhnya sudah mensiratkan bahwa partai harus
bekerja fungsional. Tidak hanya pada waktu pemilu, melainkan setiap waktu terus
bekerja, sebab fungsinya adalah; satu,
sebagai Pendidikan politik, dua, sebagai Pencipta iklim yang kondusif bagi
persatuan dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tiga, Penyerap,
penghimpun, dan penyalur aspirasi, empat, Instrument partisipasi politik, dan,
lima, rekrutmen politik.
Jelas dan terang
benderang, seyogianya apa yang dilakukan di China[3], juga harus dilakukan
disini. Namun sebagaimana faktanya, yang kita saksikan hari-hari ini, partai
politik nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik di akar rumput. Begitu
pula fungsi-fungsi yang lain, seperti
program-program untuk mensejahterakan masyarakat, agregasi dan
artikulasi politik, instrument partisipasi, nyaris nihil
melompong-mengongong-melolong, bak tong kosong nyaring bunyinya.
Yang jalan, praktis hanya
fungsi kelima, yakni penyedia insan-insan untuk duduk dalam pemerintahan,
khususnya menjadi anggota DPR (legislatif). Tampillah insan-insan (out put)
yang lahir dari input dan proses yang kacau balau, amburadul, dan berantakan.
Sebagai konsekwensinya akan melesat anggota DPR yang tidak melaksanakan
fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pemilu atau UUD 1945.
Pulau
Terapung
Mereka bukan jembatan
antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara
demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik. Mereka menggunakan
jembatan hanya untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan birahinya.
Proses (yang sadar atau sebaliknya) telah terlembaga pada pemilu pertama era
reformasi, yakni pemilu 2004.
Pemilu yang sudah mulai
diwarnai money politics, yang menguat
pada pemilu 2009, terang benderang pada pemilu 2014, dan sudah dianggap tradisi
pada pemilu 2019. Pola jahanam yang kasat mata, namun anehnya tak ada ikhtiar
menghentikannya. Sudah tahu keliru, tapi tetap dipraksiskan.
Dipraksiskan, terutama
oleh elit, dan kiamatnya, entah mengapa dinikmati juga oleh masyarakat (sadar
tak sadar). Semua teriak tidak ke money
politics, namun realitanya, baik yang teriak maupun tidak, mayoritas
sama-sama menerima money politics. Kampanye
hanya formalitas, praksis-empiriknya adalah bagi-bagi sembako dan duit
(Ramlan Surbakti, K, 2018). Mau mengharapkan DPR berfungsi?
Mimpi. DPR sudah lepas
dari konstituennya. Mereka adalah pulau terapung di lautan masyarakatnya.
Lembaga, komunitas, atau kalangan yang akan melegalkan korupsi via revisi UU
KPK, kata Emil Salim cs setelah bertemu Jokowi tanggal 4 oktober yang lalu.
Oleh karena itu, meminjam litani Wiji Thukul “hanya satu kata, yakni lawan”.
Lawan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Lamp II
DPD, DEWAN PERWAKILAN DIRINYA
Oleh :
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar FISIP Universitas Darma Agung Medan, Staf ahli DPR RI 2000-2009
Published….Jurnal
Asia, Medan
Persis setahun yang lalu, yakni tanggal 16 Maret dan
11 April 2016, rapat paripurna DPD
mengalami dead lock karena tidak mencapai kesepakatan. Mereka bertikai
tentangi masa jabatan ketua DPD. Sebagian (60 orang) menginginkan agar masa
jabatan ketua dibatasi hanya 2,5 tahun. Yang lain sebaliknya tetap bertahan pada aturan yang
baku (UU MD3 Tahun 2014), yakni lima
tahun. Tak pelak lagi kedua pihak terjerembab kepada anarkhisme, yakni
masing-masing menganggap diri dan argumentasinya yang paling benar.
Demikianlah suasana DPD sebelum terciduknya Irman Gusman
(Ketua DPD) oleh KPK, 16 sept 2016 yang lalu. Namun entah dengan pertimbangan
apa, sekitar akhir Februari 2017 ini melesat berita bahwa mereka telah sepakat
akan masa jabatan ketua DPD, yakni adalah 2,5 tahun dan segera akan memilih
ketua baru pada akhir Maret atau awal April.
Meski sebagian anggota mengadukannya ke Mahkamah Agung
(MA),keputusan tersebut kecenderungannya sudah final, yakni mereka akan memilih
ketua baru. Apa yang mereka kejar
ditengah lembaganya yang disfungsional ? Hanya sekedar memperebutkan ketua?
Yang pasti
sejak kelahirannya (melalui amandemen UUD 1945) tahun 2002 hingga hari ini posisinya tidak jelas. Lembaga legislatif,
namun tidak dapat mengeksekusi
Undang-Undang (UU) (Almond, 1995), legal tapi irrasional ( Max Weber), atau meminjam ilmu gaib “ada tapi tiada”.
Mungkin itulah realitanya sejak naik pentas/ikut pemilu tahun 2004.
Lembaga Disfungsional
Hingga detik ini, meski sudah ada keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) bahwa mereka ikut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
(putusan No 79/PUU-XII/2014 dan No92/PUU-X/2012), kenyataannya belum pernah
dijalankan. Pembuatan UU masih tetap monopoli saudaranya tuanya, yakni DPR. DPR
bersama Pemerintah/Kabinet masih tetap penentu pembentukan keputusan-keputusan
politik melalui pembahasan UU. Sebaliknya DPD sebagaimana tugas
konstitusionalnya yang diamanatkan pada UUD 1945 hanya sebatas memberikan
saran. Tidak ikut mengeksekusi.
Pada sidang pembukaan
pembahasan Undang-Undang (UU), termasuk pada fungsi pokoknya, yakni pembahasan masalah-masalah
otonomi daerah dan masalah-masalah lainnya perannya hanya sekedar memberikan
pertimbangan . Pada sidang-sidang pendalaman selanjutnya, seperti sidang panja,
pansus dan sejenisnya sampai pada pengambilan keputusan (eksekusi) DPD tidak
diberikan peran (meski keputusan MK, sudah mengijinkan).
Artinya secara politik DPD tidak punya kekuasaan
(power), pada hal lembaganya, lembaga politik. Mirip peran Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) dahulu, hanya memberi
pertimbangan. Namanya pertimbangan , dapat di dengar, dapat juga diabaikan.
Lazimnya dalam praktek lebih banyak diabaikan.
Bedanya
dengan DPA adalah , bahwa DPA keanggotannya diangkat Presiden, sebaliknya DPD
dipilih secara demokratis melalui pemilihan langsung sebagaimana DPR, Presiden,
Gubernur, Bupati atau Walikota. Suatu yang sangat strategis sesungguhnya.
Dan beda yang lain, namun sangat significan adalah
kalau DPA, merupakan lembaga tersendiri,
DPD adalah kamar kedua parlemen (MPR), disamping kamar pertama (DPR). Sebagai
kamar kedua, sebagaimana kamar pertama seharusnya harus difungsikan. Yakni sama-sama
dihuni agar rumahnya yang bernama MPR
menjadi sehat, asri, dan dinamis. Konsep gaulnya sering disebut dengan
“bicameral”, sebagai antitese dari “unicameral” (satu kamar) nan statis yang
diterapkan pada era Orde Baru.
Empiriknya
hanya kamar pertama yang dihuni, kamar kedua dibiarkan kosong melompong.
Mirip rumah hantu yang misterius, sebab ada satu ruangan yang dikunci
rapat-rapat meski ada penghuninya.
Mengapa seperti itu ?, Apakah kamar
tersebut banyak jinnya ? Atau memang sengaja dijadikan tempat pertapaan ? tidak begitu jelas. Yang pasti kamar itu tetap
kosong
Kosong sebagai konsekwensi logis dari dosa yang
disengaja atau hukum karma dari
amandemen UUD 1945 yang amburadul. DPD yang seharusnya menjadi penguat
dan penyeimbang DPR perannya direduksi sedemikian rupa sehinga kekuatannya
menjadi marginal atau impoten
Sejak terbentuk tahun 2004 hingga hari ini tidak ada
kiprahnya yang langsung menyentuh kehidupan rakyat, sebab sebagaimana dikatakan
sebelumnya tidak turut dalam pembahasan (meski sudah diizinkan MK) hingga
eksekusi Undang-Undang, sementara hak, seperti gaji dan fasilitas lainnya sama
dengan anggota DPR .
Belum lagi kenikmatan-kenikmatan materi lain yang
menggiurkan. Berapa besar kerugian uang negara olehnya ? tidakkah lebih baik
digunakan kepada yang lebih membutuhkan?, tidakkah untuk sementara hentikan
saja pendapatannya mengingat keuangan negara yang sangat kritis?, mengapa
biaya-biaya operasional di tempat lain, seperti biaya perjalanan dinas, uang
rapat, dan anggaran gedung lain dipotong, tapi pendapatan DPD yang
terang-terangan tak fungsional dilembagakan terus ?
Dewan Perwakilan Dirinya
Pertanyaan pertanyaan peka demikian masih dapat
diuraikan sekian panjang lagi. Namun yang pasti dan kasat mata adalah bahwa DPD
disfungsional. Sudah tiga periode (2004, 2009, dan 2014) berjalan tanpa fungsi
sebagaimana layaknya suatu parlemen dua kamar (bicameral). Meski sudah penuh
dengan kritik bahkan hujatan, entah mengapa kekeliruan ini terus dilestarikan.
Lalu untuk apa lagi DPD merubah struktur kepemimpinannya dari lima tahun
menjadi 2,5 tahun?. Jawabannya jelas, yakni hanya demi kepentingan
elit-elitnya. Oleh karena itu lembaganya rubah saja namanya menjadi “Dewan
Perwakilan dirinya”.
∏
Dari uraian
dua artikel datas, meski belum dijelaskan lebih dulu apa yang dimaksud dengan
legislatif, para mahasiswa sedikit banyak sudah memahaminya. Yang pasti, jelas,
dan terang dari dua tulisan itu adalah, baik DPR maupun DPD masih banyak masalah, masih jauh dari
fungsi utamanya sebagai lembaga legislasi, sebagaimana ditulis dalam
teori-teori politik/perwakilan, dan atau khususnya jika dihubungkan dengan UUD
1945.
Dalam Pasal 20 A ayat (1) dikatakan: DPR
memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam Pasal 22 D ayat (1) tentang DPD
dikatakan: DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang_Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah).
Meminjam
lirik lagu group/band Slank ……jauh….jauh dari mu ….ku tak bisa…jauh….jauh
dari mu. Namun apapun lagu atau dalihnya, hubungan DPR dengan
konstituen/masyarakat tetap jauh. Di mata rakyat DPR itu cenderung delegitimate… Daripada
jauh-jauh terus sebagaimana Slank, mending kita baca tulisan Miriam Budiardjo (2008:310-324)
tentang badan legislatif dibawah ini dengan tema:
ARTI, SEJARAH, DAN PERKEMBANGAN BADAN
LEGISLATIF
Badan
legislatif atau legislature
mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang.
Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly
yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarakan masalah-masalah
publik). Nama lain lagi adalah Parliament,
suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi
atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apapun perbedaan dalam
Namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang
berdaulat
Menurut
teori yang berlaku rakyatlah yang berdaulat; rakyat yang berdaulat ini
mempunyai suatu “kehendak” (yang oleh Rousseau
disebut Volonte Generale atau General Will). Keputusan-keputusan yang
diambil oleh badan ini merupakan suara yang authentic
dari general will itu. Karena itu
keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan maupun undang-undang
mengikat seluruh masyarakat.
Tidak
dari semula badan legislatif mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan umum
dan membuat undang-undang. Parlemen Inggris yang merupakan badan legislatif tertua
di dunia, mula-mula hanya bertugas mengumpulkan dana untuk memungkinkan raja
membiayai kegiatan pemerintahan serta peperangannya. Akan tetapi lambat laun
setiap penyerahan dana (semacam pajak) oleh golongan elit disertai tuntutan
agar pihak raja menyerahkan pula beberapa hak dan privilege sebagai imbalan. Dengan demikian secara berangsur-angsur
Parlemen berhasil bertindak sebagai badan yang membatasi kekuasaan raja yang
tadinya berkekuasaan absolut. Puncak kemenangan Parlemen adalah peristiwa The Glorius Revolution of 1688.
Dengan
berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan
legislatif ,menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan
jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang. Dalam pada
itu badan eksekutif hanya merupakan penyelenggara dari kebijakan umum itu.
Rousseau yang merupakan pelopor
dari gagasan kedaulatan rakyat tidak menyetujui adanya badan perwakilan, tetapi
mencita-citakan suatu bentuk “demokrasi langsung” (seperti terdapat di Jenewa
pada masa hidup Rousseau), dimana rakyat secara langsung merundingkan serta
memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik. Akan tetapi dewasa ini demokrasi
langsung seperti yang diinginkan Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya
dipertahankan dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum dan plebisit. Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern
dewasa ini rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimiliknya melalui
wakil-wakil yang dipilihnya secara berkala.
Badan
legislatif di negara-negara demokrasi disusun sedemikian rupa sehingga ia
mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya.
Untuk meminjam perumusan C. F. Strong
yang menggabungkan tiga unsur dari suatu negara demokrasi, yaitu, representasi,
partisipasi, dan tanggung jawab politik:
“Demokrasi adalah
suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa dari suatu komunitas
politik berpartisipasi atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa
pemerintah akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada
mayoritas itu”
Atau
dengan perkataan lain, negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan
demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat.
Masalah
Perwakilan
Biasanya
ada dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama adalah perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional representation). Kategori
kedua menyangkut peran anggota parlemen sebagai trustee,
dan perannya sebagai pengemban “mandat” perwakilan (representation)
adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau
kewajiban untuk bicara dan bertidak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.
Dewasa ini anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat melalui partai
politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Sekalipun
asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan
yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan
kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan berbagai kepentingan dan
kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat terutama di bidang ekonomi. Beberapa
negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan
wakil India mengangkat beberapa orang
wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan
beberapa wakil dari kalangan kebudayaan, kesusasteraan, dan pekerjaan social
diangkat menjadi anggota majelis tinggi. Di Parlemen Pakistan dalam masa
Demokrasi dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan dan untuk
orang-orang yang berjasa di pelbagai bidang, misalnya bekas pejabat tinggi
seperti gubernur atau Menteri, dan dari kalangan kebudayaan, ilmu pengetahuan,
dan profesi-profesi (seperti pengacara, dan sebagainya). Umumnya boleh
dikatakan bahwa pengangkatan wakil dari pelbagai minritas dimaksudkan sebagai
sekadar koreksi terhadap asas perwakilan politik.
Di
samping itu ditemukan bahwa di beberapa negara asas perwakilan politik
diragukan kewajarannya dan perlu diganti atau sekurang-kurangnya dilengkapi
dengan asas perwakilan fungsional. Dianggap bahwa negara modern dikuasai oleh
bermacam-macam kepentingan terutama di bidang ekonomi, yang dalam sistem
perwakilan politik kurang diperhatikan dan tidak dilibatkan dalam proses
politik. Dicanangkan agar si pemilih mendapat kesempatan untuk memilih
dalam golongan ekonomi atau profesi di mana ia bekerja, dan tidak semata-mata
menurut golongan politiknya, seperti halnya dalam sistem perwakilan politik.
Golongan yang gigih memperjuangkan pandangan ini antara lain Guild Socialists pada awal abad ke-20.
Bermacam-macam
cara telah digunakan untuk mengatasi masalah ini. Misalnya di Irlandia,
berdasarkan UUD 1937, wakil-wakil golongan fungsional dipilih dan didudukkan
dalam Senat. Di republic Perancis IV pada tahun 1946 didirikan suatu majelis
khusus di luar badan legislative, yaitu Majelis Ekonomi, yang berhak
memperbincangkan rancangan undang-undang yang menyangkut soal ekonomi, akan
tetapi badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan, dan hanya
memainkan peranan sebagai penasehat dari badan legislative. Di republic
Perancis V UUD 1958 menentukan adanya suatu Majelis Ekonomi dan Sosial, akan
tetapi fungsinya berbeda dengan Majelis Ekonomi yang digantinya, ia tidak
memberi nasihat kepada badan legislatif, tetapi kepada pemerintah. Anggotanya
ditunjuk oleh pemerintah dari bermacam-macam golongan ekonomi, sosial, profesi,
dan bidang keahlian lain.
Di Italia
asas functional representation
diperkenalkan oleh Mussolini pada tahun 1926. Perwakilan didasarkan atas
golongan ekonomi, dan untuk keperluan itu dibentuk 22 corporation yang masing-masing mewakili satu industri, misalnya
industri tekstil. Setiap corporation
mencakup baik golongan pekerja maupun golongan management dalam bidang industri itu. Melalui wakil-wakilnya dalam
council of corporations yang didirikan pada tahun 1930 dan yang pada tahun 1939
menggantikan dewan perwakilan yang ada (badan baru disebut Chamber of Fasces and corporations dan terdiri atas tokoh-tokoh
Partai Fasis dan council of corporations), Corporations
ini memainkan peranan yang penting. Karena itu Italia masa itu dinamakan negara
Korporatif (Corporate State). Dengan
jatuhnya Mussolini, eksperimen ini juga terhenti.
Dari
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dewasa ini perwakilan politik
merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Disamping itu beberapa
negara merasa bahwa asas functional or
occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui
kepentingannya di samping sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk
memasukkan sifat professional ke dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan umum. Dalam
rangka itu perlu diakui bahwa ada masalah yang sampai sekarang belum
terpecahkan yaitu bagaimana menetapkan patokan obyektif mengenai sifat-sifat
dari golongan fungsional yang akan diikutsertakan, dan bagaimana menentukan
kriteria untuk mengukur kekuatan golongan fungsional masing-masing.
Di
Indonesia asas perwakilan fungsional (Golongan Karya) juga telah di kenal,
disamping asas perwakilan politik. Pemilihan umum 1971 diselenggarakan dengan
mengikut-sertakan baik partai politik maupun golongan fungsional.
Sistem
Satu Majelis dan Sistem Dua Majelis
Ada
negara yang memakai system satu majelis (yang biasa dinamakan House of
Representatives atau Lower House). Negara lain memakai system dua majelis,
yaitu Upper House atau Senate. Atas dasar apa negara memilih antara dua sistim
itu? Para penganjur system satu majelis berpendapat bahwa satu kamar
mencerminkan mayoritas dari “kehendak rakyat” karena biasanya dipilih secara
langsung oleh masyarakat. Prinsip mayoritas inilah yang dianggap sesuai dengan
konsep demokrasi. Lagi pula prosedur pengambilan keputusan dapat berjalan
dengan relative cepat.
Di pihak
lain para pendukung system dua majelis yakin bahwa kekuasaan system satu
majelis perlu dibatasi, karena memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang
itu. Anggota-anggotanya mudah dipengaruhi oleh fluktuasi situasi politik,
karena dipilih langsung oleh rakyat. Dalam system dua majelis memberi
kesempatan kepada provinsi atau negara bagian untuk memajukan
kepentingan-kepentingannya, yang khusus tambahan biasanya disusun sedemikian
rupa sehingga wewenangnya kurang daripada badan yang mewakili rakyat.
FUNGSI LEGISLASI
Diantara
fungsi badan legislative yang paling penting ialah:
1.
Menenukan kebijakan (policy) dan membuat
undang-undang. Untuk badan legislative diberi hak inisiatif, hak untuk
mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh
pemerintah, dan terutama di bidang budget atau anggaran.
2.
Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar
semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkan (scrutiny, oversight).
Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak
control khusus.
Disamping
itu terdapat banyak badan legislatif yang menyelenggarakan beberapa fungsi
lain, seperti mengesahkan (ratify)
perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh badan eksekutif. Perlu
dicatat bahwa beberapa badan legislatif (antara lain Senat Amerika
serikat) mempunyai wewenang untuk menuntut (meng-impeach) dan mengadili pejabat tinggi, termasuk
Presiden. Di Perancis badan legislative berwenang menuntut pejabat tinggi
termasuk presiden dan Menteri-menteri, akan tetapi pengadilan tinggilah yang
mengadili.
Menurut
teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak di bidang
perundang-undangan, sekalipun ia tidak mempunyai monopoli di bidang itu. Untuk
membahas rancangan undang-undang sering dibentuk panitia-panitia yang berwenang
untuk memanggil Menteri atau pejabat lainnya untuk dimintai keterangan
seperlunya. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Perancis panitia
legislatif ini sangat berkuasa, tetapi dinegara lain seperti Inggris,
panitia-panitia ini hanya merupakan panitia teknis saja. Biasanya siding-sidang
panitia legislatif diadakan secara tertutup, kecuali di Amerika serikat di mana
siding panitia dapat ditentukan terbuka untuk umum.
Akan
tetapi dewasa ini telah menjadi gejala umum bahwa titik berat di bidang
legislatif telah banyak bergeser ke badan eksekutif. Mayoritas undang-undang
dirumuskan dan dipersiapkan oleh badan eksekutif, sedangkan badan legislatif
tinggal membahas dan mengamandemennya. Sebagai rumus umum dapat dikatakan bahwa
dikebanyakan negara yang dipantau enactment rate (persentase jumlah rancangan undang-undang yang
diterima baik oleh badan legislative disbanding dengan jumlah rancangan
undang-undang yang berasal dari badan eksekutif) adalah 90%. Negara-negara ini
antara lain adalah Belanda, Malaysia, Inggris, dan Australia. Selain itu
rancangan undang-undang yang dibuat atas inisiatif badan legislative sedikit
jumlahnya dan jarang menyangkut kepentingan umum.
Keadaan
ini tidak mengherankan sebab dalam negara modern badan eksekutif bertanggung
jawab atas kesejahteraan rakyat dan karena itu harus aktif mengatur semua aspek
kehidupan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas badan eksekutif di dukung oleh
staf ahli serta sarana-sarana lainnya dimasing-masing kementerian, yang memang
merupakan syarat mutlak untuk merumuskan rancangan undang-undang. Sebaliknya
keahlian angggota-anggota badan legislative lebih terbatas, sekalipun
dibeberapa negara legislatif dibantu oleh staf administrasi dan ahli research yang berkualitas
tinggi.
Akan
tetapi pada umumnya di bidang keuangan, pengaruh badan legislatif lebih besar
daripada di bidang legislasi umum. Rancangan anggaran belanja diajukan ke badan
legislatif oleh badan eksekutif, akan tetapi badan legislatif mempunyai hak
untuk mengadakan amandemen, dan dalam hal ini menentukan seberapa anggaran
pemerintah dapat disetujui. Jadi badan legislatiflah yang pada akhirnya
menentukan berapa dan dengan cara bagaimana uang rakyat dipergunakan.
Dinegara
yang badan eksekutifnya dominan, badan legislatif biasanya tidak akan terlalu
banyak mengubah rancangan anggaran belanja. Akan tetapi di negara yang badan
legislatifnya kuat, badan itu dapat saja mengadakan banyak perubahan, termasuk
mengurangi anggaran yang akan dipergunakan. Congress Amerika Serikat, misalnya,
sering mengurangi bantuan ekonomi untuk negara-negara yang sedang berkembang.
Begitu juga di Australia wewenang pemerintah terhadap badan legislative
mengenai budget lebih kuat disbanding dengan negara lain.
Sampai sini dulu…semoga para mahasiswa sudah
paham apa yang disebut dengan “legislatif”….
PERTANYAAN
1.
Berapa orang anggota DPRD kota Palembang? Siapa
ketuanya? Dimana alamat kantornya? Jelaskan secara singkat.
2.
Di Indonesia mana yang lebih dominan, legislative
atau eksekutif? Uraikan secara singkat.
3.
Menurut saudara masih perlukah dipertahankan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang eksitensinya tidak jelas? Uraikan secara singkat.
4.
Apa yang saudara ketahui dengan Trias Politika?
Jelaskan secara singkat.
5.
Legislatif Indonesia masuk kategori satu, dua, tiga,
atau….majelis. uraikan secara logis.
6.
Siapa-siapa yang mewakili Sumatera Selatan ke DPR
RI? Sebutkan dengan jelas.
Kuliah selanjutnya
akan membahas lebih teknis, mekanis, dan prosedur pembuatan Undang-Undang.
[1]
Artinya bahwa teori fungsional (structural-fungsional/fungsional-struktural)
ini adalah output revolusi behavioralisme dalam ilmu politik. Pendekatan ini
menurut David Easton dicirikan dengan; 1. Regularitas, 2. Verifikasi, 3.
Teknik, 4. Kuantifikasi, 5. Nilai, 6. Sistematisasi, 7. Ilmu Murni, 8. Integrasi
(S.P. Varma, 1992:74-89). Teori yang mencoba membuat ilmu politik sama dengan
ilmu alam/pasti/eksak.
[2]
Temuin disana M. Andry Mukmin, alumni Fisipol dan MIP Unitas. Beliau ini
sebelumnya dosen di Fisipol Unitas asuhan Bastiar Tambuh. Ia bertugas di sekretariat
DPRD Palembang tersebut.
[3] Di
China tidak ada legislatif/DPR, DPD, MPR. Begitu pula pemilu, tidak ada. Analog
dengan Brunei Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar