Jumat, 24 Juli 2020

BS VII, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK



BS VII, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH VII
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: Bahan/materi untuk kuliah terakhir semester ini. Bahan diambil dari Agus Dwiyanto, 2011, Reformasi Birokrasi, Gramedia, hal 251 – 259.
REFORMASI APARATUR DAERAH UNTUK
KEBERHASILAN DESENTRALISASI DI INDONESIA
Desentralisasi Tanpa reformasi Aparatur Daerah: Paradoks dan Anomali ?
Perdebatan tentang hubungan antara desentralisasi dan pembangunan aparatur daerah sudah lama mewarnai literatur Ilmu Administrasi Publik. Beberapa pertanyaan yang penting dalam perdebatan tersebut adalah apakah desentralisasi dapat dilakukan tanpa penguatan kapasitas administrator daerah dan apakah keduanya dapat dilakukan secara terpisah? Penelitian terdahulu tentang otonomi daerah di Fisipol UGM selalu menempatkan kemampuan administrator daerah sebagai salah satu variable penting untuk mengukur derajat otonomi daerah. Salah satu kesimpulan terpenting dari berbagai penelitian itu adalah besaran otonomi yang diberikan kepada daerah seharusnya ditentukan salah satunya oleh kemampuan aparatur daerah. Kemampuan aparatur daerah yang rendah dapat menimbulkan risiko dalam pelaksanaan desentralisasi apabila administrator daerah gagal menyelenggarakan pelayanan publik secara wajar. Logika ini sering dipakai untuk menjustifikasi pentingnya pengembangan kapasitas aparatur negara dilakukan sebelum desentralisasi dilaksanakan.
Pengalaman Indonesia melaksanakan desentralisasi selama satu dekade ini, menarik untuk dikaji terutama keterkaitannya dengan pembangunan aparatur negara. Desentralisasi yang dilakukan secara radikal tanpa didahului dengan reformasi aparatur daerah, semula menimbulkan banyak kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kekacauan dalam penyelenggaraan layanan publik. Lebih dari 2,1 juta pegawai dipindahkan dari tingkat pusat ke daerah, mengikuti pengalihan urusan pemerintah ke daerah, tanpa mengalami kendala yang berarti. Pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang dahulunya lebih banyak ditangani oleh pusat ditransfer ke kabupaten /kota tanpa mengalami hambatan yang berarti. Bahkan, persepsi warga pengguna terhadap pelayanan tersebut pasca desentralisasi justru menunjukkan adanya perbaikan kualitas pelayanan.
Desentralisasi di Indonesia dilakukan bukan karena keinginan pemerintah pusat secara sukarela membagi kewenangannya kepada daerah dalam rangka membuat pemerintah menjadi lebih partisipatif dan responsif. Penerapan desentralisasi lebih karena tekanan publik yang tidak dapat dihindari. Jatuhnya pemerintah Orde Baru yang otoriter dan sentralistis pada 1998 telah memaksa pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi yang radikal. Keinginan kuat masyarakat untuk mengembangkan pemerintahan demokratis yang menuntut adanya ruang yang semakin besar bagi partisipasi publik akan dapat diwujudkan ketika pengambilan keputusan tentang urusan pemerintahan digeser ke tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan warga. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kabupaten/kota di Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola sebagian besar urusan pemerintahan.
Karena desentralisasi dilakukan di bawah tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang menyeluruh, koheren, dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan reformasi lainnya, salah satunya adalah dengan reformasi aparatur. Akibatnya muncul banyak anomali dan paradoks dalam pengelolaan aparatur daerah. persoalan muncul hampir dalam setiap aspek pengelolaan aparatur daerah, seperti rekrutmen, manajemen karir, manajemen kinerja, serta pengembangan sistem penggajian dan kesejahteraan aparatur daerah. Kebijakan desentralisasi gagal memberikan arah yang jelas ke mana reformasi aparatur daerah seharusnya dilakukan, agar keberadaan aparatur daerah mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap pencapaian tujuan desentralisasi. Akibatnya, muncul banyak fenomena yang sering mengindikasikan ketidakmampuan aparatur daerah dalam mempercepat terwujudnya perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Desentralisasi justru mendorong terjadinya elite captures dalam penganggaran. Tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrasi menghabiskan sebagian besar (70-80 persen) anggaran untuk belanja aparatur dan menyisakan sebagian kecil untuk penyelenggaraan layanan publik. Tidak adanya arah dan pedoman yang jelas ntuk mendorong daerah melakukan rightsizing membuat ukuran birokrasi, yang dilihat dari jumlah SKPD dan jumlah aparaturnya, terus membengkak dan menguras anggaran publik. Kecerobohan pemerintah pusat, yaitu dengan mengangkat tenaga honorer sebagi pegawai negeri sipil, telah memunculkan moral hazards di daerah. salah satu bentuk dari moral hazard itu adalah kecenderungan elite daerah membuat daftar tenaga honorer fiktif untuk memperbesar alokasi pegawai daerah. Akibatnya, terjadi penambahan jumlah aparatur daerah secara signifikan dengan kompetensi yang tidak jelas.
Pengangkatan pegawai honorer menjadi aparatur daerah menimbulkan beberapa masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan desentralisasi. Pertama, penambahan jumlah pegawai dengan ukuran kompetensi yang tidak jelas mempersempit peluang daerah untuk merekrut tenaga dengan kualifikasi tertentu yang sangat diperlukan dalam rangka mempercepat kemajuan daerah, seperti perencana, analis kebijakan, akuntan, dokter, guru, dan sebagainya. Beberapa jenis tenaga fungsional tersebut sangat diperlukan di daerah, bahkan pada sejumlah daerah tertentu tingkat urgensinya sudah sangat mendesak. Kedua, penambahan tenaga yang berasal dari tenaga honorer itu akan membebani anggaran daerah untuk jangka waktu yang sangat lama. Peluang untuk melakukan rightsizing struktur kepegawaian daerah menjadi sirna dengan sendirinya. Diperlukan waktu satu generasi untuk mengembalikan kondisi aparatur daerah seperti semula. Ketiga, tidak jelasnya ukuran kompetensi dari PNS baru yang berasal dari tenaga honorer itu memaksa daerah mengeluarkan biaya yang sangat besar apabila ingin meningkatkan kecakapan dan ketrampilan mereka untuk dapat berperan dalam pembangunan daerah.
Kegagalan mengatur hubungan fungsional dan kelembagaan secara jelas antara institusi politik dan birokrasi di daerah melahirkan banyak komplikasi persoalan dalam pelaksanaan desentralisasi, seperti politisasi birokrasi, koalisi antara aparatur dan anggota DPRD dalam pembobolan anggaran, dan konflik antara politisi dan para pejabat karir. Berbagai persoalan itu jika tidak segera dicarikan solusinya dapat mengagganggu perjalanan desentralisasi di Indonesia. Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sebagai salah satu ekspresi dari partisipasi politik warga telah mendorong elit politik di daerah untuk memanfaatkan  mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam pilkada. Elit politik berusaha memanfaatkan peluang yang muncul dari tidak adanya pengaturan yang jelas dalam promosi dan pengangkatan pejabat karir untuk menjadikan mereka sebagai aktivis politik dan mesin kampanye untuk pilkada. Sebaliknya, aparatur daerah bersedia melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis dengan menjadi mesin kampanye karena berharap kemudian hari bisa memperoleh kelanjutan karirnya di birokrasi. Kebutuhan timbal balik telah menjadikan jabatan karir dalam birokrasi di daerah sebagai arena transaksi politik antara politisi dan pejabat karir di daerah.
Stabilitas birokrasi dan keandalan mereka sebagai institusi pelayanan sering terganggu karena pergantian kepala daerah selalu diikuti oleh pergantian secara massal kepala SKPD (kepala dinas, badan, dan sebagainya). Pergantian itu dilakukan oleh kepala daerah terpilih untuk memasukkan tim sukses mereka dalam struktur birokrasi sebagai penghargaan atas dukungannya dalam pilkada. Akibatnya, muncul patronase politik dalam birokrasi di daerah. melalui cara seperti ini kepala daerah dan wakilnya dapat mendudukkan orang-orangnya ada jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka mengakses sumber daya public untuk kepentingan politik dan kelompok. Situasi seperti ini sangat tidak sehat bagi pengembangan aparatur daerah yang professional dan peduli kepada kepentingan public.
Akibatnya, tidak mengherankan ketika banyak studi menunjukkan bahwa desentralisasi juga diikuti oleh persebaran perilaku koruptif yang meluas ke daerah. Menguatnya patronage dan clientelism antara politisi dan aparatur birokrasi di daerah telah membuat kontrol terhadap perilaku korupsi menjadi semakin sulit. Apalagi dalam kondisi masyarakat sipil masih sangat lemah, kontrol terhadap perskongkolan antara elit politik dan birokrasi menjadi tidak efektif. Pembuatan APBD menjadi arena perskongkolan baru antara elit politik dan birokrasi untuk menggerogoti anggaran daerah. Ketika mekanisme perencanaan dari bawah melalui musrembang tidak memiliki keterkaitan dengan proses deliberasi yang terjadi di DPRD maka “penitipan proyek” sering menjadi modus operandi dari kolusi antara politisi dan aparatur birokrasi di daerah. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang mekanisme hubungan antara pejabat politik dan aparatur birokrasi ikut memberikan kontribusi terhadap kesulitan mengendalikan kolusi antara pejabat birokrasi serta anggota DPRD dan para politisi lainnya.
Kesulitan mengembangkan professionalism aparatur daerah juga muncul karena mobilitas aparatur daerah yang mengalami kemacetan setelah dilaksanakan otonomi daerah setelah dilaksanakannya otonomi daerah. Ketika aparatur pusat dialih tugaskan ke daerah dan gaji mereka dijadikan variable untuk menentukan kebutuhan fiscal daerah, transfer aparatur antar daerah dan tingkat pemerintahan menjadi sangat sulit dilakukan. Aparatur daerah menjadi terkotak-kotak pada satuan wilayah yang sempit dan kehilangan wawasan nasional dalam memahami berbagai isu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Situasinya cenderung menjadi semakin buruk ketika desentralisasi juga mendorong tumbuhnya daerah-daerah otonom baru. Selama satu dekade pelaksanaan desentralisasi telah memunculkan ratusan daerah otonom baru, yang membuat aparatur daerah terfragmentasi ke dalam ruang sosial, politik, dan spasial yang semakin sempit. Apalagi jika pembentukan daerah otonom baru itu di dorong oleh kesamaan nilai-nilai primordial, seperti etnisitas dan agama, fragmentasi spasial bertumpang tindih dengan fragmentasi berbasis nilai-nilai primordial. Situasi-situasi itu tentu sangat merugikan dilihat dari keinginan untuk menjadikan aparatur daerah sebagai national-binding forces.  
Pelaksanaan desentralisasi selama satu dekade sekarang ini menciptakan paradoks dan anomali. Banyak perubahan telah dinikmati sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada satu sisi desentralisasi memberikan kontribusi terhadap percepatan terwujudnya pemerintahan daerah yang partsipatif, responsif, dan trasparan. Namun, disisi lain elite captures dan perilaku koruptif juga semakin meluas. Dalam bidang pengembangan aparatur daerah, pengalihan kekuasaan dan sumber daya ke daerah menjadikan daerah memiliki daya tarik yang besar dan mendorong banyak warga yang memiliki keahlian, kecakapan, dan pendidikan tinggi untuk berimigrasi ke daerah. Putra daerah yang dahulunya merantau untuk mencari keberuntungan di pemerintahan pusat dan daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, terutama di Jawa, sangat mungkin memilih untuk kembali ke daerah.
Apalagi desentralisasi juga telah mampu mendorong munculnya perguruan tinggi di daerah. Menjamurnya perguruan tinggi dan universitas di daerah membuat produksi tenaga terampil dan terdidik untuk pembangunan daerah dapat tercukupi dengan mudah. Putra daerah yang sebelumnya harus pergi ke Jawa untuk menempuh pendidikan tinggi sekarang mereka dapat mengakses pendidikan tinggi di daerahnya sendiri. Ditambah dengan semakin besarnya investasi daerah pada sumber daya manusianya, peningkatan kuantitas dan kualitas universitas dan perguruan tinggi di daerah dapat memberikan kontribusi yang posistif dalam percepatan reformasi aparatur daerah. Fenomena ini tentu sangat penting dan menjadi modal yang berarti dalam pengembangan aparatur daerah dan memperkuat wawasan nasional.
Namun, disisi lain, desentralisasi telah mendorong menguatnya etnocentrisme dan nilai-nilai subjektif dalam pengelolaan aparatur daerah dan pelayanan publik. Elite dan para pemangku kepentingan di daerah sering memahami desentralisasi sebagai peluang untuk menempatkan putra daerah pada jabatan strategis di daerah dan menggunakan sumber daya alam untuk kepentingan daerah sendiri. Para pemangku kepentingan di daerah cenderung menjadi inward looking dalam memahami berbagai isu dan masalah yang berkembang di daerah. Penempatan aparatur dalam jabatan karir lebih berdasarkan pada pertimbangan primordial dan patronage politik daripada pertimbangan merit dan kompetensi. Paradoks ini terus berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu konflik laten yang ada di daerah.
Desentralisasi sebagaimana dijelaskan di atas memunculkan banyak anomali dalam pengelolaan aparatur daerah. Pemanfaatan mesin birokrasi untuk kepentingan politik dan pilkada, elite capture dalam penganggaran, serta pembengkakan birokrasi dan jumlah aparatur daerah hanyalah sebagian contoh dari anomaly dalam manajemen aparatur daerah yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh para pengambil kebijakan desentraliasasi. Kekosongan dan ketidakharmonisan antara rezim regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi penyebab utama desentalisasi memberikan kontribusi terhadap munculnya paradoks dan anomaly itu. Jika dibiarkan secara terus-menerus maka paradoks dan anomali itu akan menarik kembali cerita sukses pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Upaya yang serius perlu dilakukan untuk memperkuat kerangka kebijakan desentralisasi menjadi lebih menyeluruh dan memiliki koherensi yang tinggi dengan reformasi aparatur daerah. Hanya dengan cara seperti itu pelaksanaan desentralisasi akan mampu memberikan kontribusi terhadap percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah.
PERTANYAAN
1.      Apa yang dimaksud dengan; (1) Pardoks, (2) anomali, (3) elite captures, (4) moral hazard, (5) patronage politik, dan (6) penitipan proyek, dalam tulisan Agus Dwiyanto ini. Jelaskan secara runtut.
2.      Mengapa pengangkatan pegawai honorer menjadi PNS menjadi masalah? Jelaskan secara singkat.
3.      Kebijakan desentralisasi sesungguhnya bukan keinginan pemerintah pusat, melainkan karena tekanan publik. Mengapa disebut demikian? Jelaskan secara singkat.
Sampai sini kuliah kita Horas, Mejuah-juah, Merdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar