BS VII, REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK
KULIAH VII
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat: Bahan/materi untuk kuliah
terakhir semester ini. Bahan diambil dari Agus Dwiyanto, 2011, Reformasi
Birokrasi, Gramedia, hal 251 – 259.
REFORMASI
APARATUR DAERAH UNTUK
KEBERHASILAN
DESENTRALISASI DI INDONESIA
Desentralisasi Tanpa
reformasi Aparatur Daerah: Paradoks dan Anomali ?
Perdebatan tentang hubungan antara
desentralisasi dan pembangunan aparatur daerah sudah lama mewarnai literatur Ilmu
Administrasi Publik. Beberapa pertanyaan yang penting dalam perdebatan tersebut
adalah
apakah desentralisasi dapat dilakukan tanpa penguatan kapasitas administrator
daerah dan apakah keduanya dapat dilakukan secara terpisah? Penelitian terdahulu
tentang otonomi daerah di Fisipol UGM selalu menempatkan kemampuan
administrator daerah sebagai salah satu variable penting untuk mengukur derajat
otonomi daerah. Salah satu kesimpulan terpenting dari berbagai penelitian itu
adalah besaran otonomi yang diberikan kepada daerah seharusnya ditentukan salah
satunya oleh kemampuan aparatur daerah. Kemampuan aparatur daerah yang rendah
dapat menimbulkan risiko dalam pelaksanaan desentralisasi apabila administrator
daerah gagal menyelenggarakan pelayanan publik secara wajar. Logika ini sering
dipakai untuk menjustifikasi pentingnya pengembangan kapasitas aparatur negara
dilakukan sebelum desentralisasi dilaksanakan.
Pengalaman Indonesia melaksanakan
desentralisasi selama satu dekade ini, menarik untuk dikaji terutama
keterkaitannya dengan pembangunan aparatur negara. Desentralisasi yang
dilakukan secara radikal tanpa didahului dengan reformasi aparatur daerah,
semula menimbulkan banyak kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kekacauan
dalam penyelenggaraan layanan publik. Lebih dari 2,1 juta pegawai dipindahkan
dari tingkat pusat ke daerah, mengikuti pengalihan urusan pemerintah ke daerah,
tanpa mengalami kendala yang berarti. Pelayanan publik seperti pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur yang dahulunya lebih banyak ditangani oleh pusat
ditransfer ke kabupaten /kota tanpa mengalami hambatan yang berarti. Bahkan,
persepsi warga pengguna terhadap pelayanan tersebut pasca desentralisasi justru
menunjukkan adanya perbaikan kualitas pelayanan.
Desentralisasi di Indonesia dilakukan
bukan karena keinginan pemerintah pusat secara sukarela membagi kewenangannya
kepada daerah dalam rangka membuat pemerintah menjadi lebih partisipatif dan
responsif. Penerapan desentralisasi lebih karena tekanan publik yang tidak dapat
dihindari. Jatuhnya pemerintah Orde Baru yang otoriter dan sentralistis pada
1998 telah memaksa pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi yang
radikal. Keinginan kuat masyarakat untuk mengembangkan pemerintahan demokratis
yang menuntut adanya ruang yang semakin besar bagi partisipasi publik akan
dapat diwujudkan ketika pengambilan keputusan tentang urusan pemerintahan digeser
ke tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan warga. Hal ini menjadi salah
satu alasan mengapa kabupaten/kota di Indonesia memiliki kewenangan untuk
mengelola sebagian besar urusan pemerintahan.
Karena desentralisasi dilakukan di
bawah tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang
menyeluruh, koheren, dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan
reformasi lainnya, salah satunya adalah dengan reformasi aparatur. Akibatnya
muncul banyak anomali dan paradoks dalam pengelolaan aparatur daerah. persoalan
muncul hampir dalam setiap aspek pengelolaan aparatur daerah, seperti
rekrutmen, manajemen karir, manajemen kinerja, serta pengembangan sistem
penggajian dan kesejahteraan aparatur daerah. Kebijakan desentralisasi gagal
memberikan arah yang jelas ke mana reformasi aparatur daerah seharusnya
dilakukan, agar keberadaan aparatur daerah mampu memberikan kontribusi yang
positif terhadap pencapaian tujuan desentralisasi. Akibatnya, muncul banyak
fenomena yang sering mengindikasikan ketidakmampuan aparatur daerah dalam
mempercepat terwujudnya perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah.
Desentralisasi justru mendorong
terjadinya elite captures dalam penganggaran. Tujuan desentralisasi untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrasi menghabiskan
sebagian besar (70-80 persen) anggaran untuk belanja aparatur dan menyisakan
sebagian kecil untuk penyelenggaraan layanan publik. Tidak adanya arah
dan pedoman yang jelas ntuk mendorong daerah melakukan rightsizing membuat ukuran birokrasi, yang dilihat dari jumlah SKPD
dan jumlah aparaturnya, terus membengkak dan menguras anggaran publik.
Kecerobohan pemerintah pusat, yaitu dengan mengangkat tenaga honorer sebagi
pegawai negeri sipil, telah memunculkan moral hazards di daerah. salah satu bentuk dari
moral hazard itu adalah kecenderungan elite daerah membuat daftar tenaga
honorer fiktif untuk memperbesar alokasi pegawai daerah. Akibatnya, terjadi
penambahan jumlah aparatur daerah secara signifikan dengan kompetensi yang
tidak jelas.
Pengangkatan pegawai honorer menjadi
aparatur daerah menimbulkan beberapa masalah yang dapat mengganggu pelaksanaan
desentralisasi. Pertama,
penambahan jumlah pegawai dengan ukuran kompetensi yang tidak jelas
mempersempit peluang daerah untuk merekrut tenaga dengan kualifikasi tertentu
yang sangat diperlukan dalam rangka mempercepat kemajuan daerah, seperti
perencana, analis kebijakan, akuntan, dokter, guru, dan sebagainya. Beberapa
jenis tenaga fungsional tersebut sangat diperlukan di daerah, bahkan pada
sejumlah daerah tertentu tingkat urgensinya sudah sangat mendesak. Kedua, penambahan tenaga yang
berasal dari tenaga honorer itu akan membebani anggaran daerah untuk jangka
waktu yang sangat lama. Peluang untuk melakukan rightsizing struktur
kepegawaian daerah menjadi sirna dengan sendirinya. Diperlukan waktu satu
generasi untuk mengembalikan kondisi aparatur daerah seperti semula. Ketiga, tidak jelasnya ukuran
kompetensi dari PNS baru yang berasal dari tenaga honorer itu memaksa daerah
mengeluarkan biaya yang sangat besar apabila ingin meningkatkan kecakapan dan
ketrampilan mereka untuk dapat berperan dalam pembangunan daerah.
Kegagalan mengatur hubungan
fungsional dan kelembagaan secara jelas antara institusi politik dan birokrasi
di daerah melahirkan banyak komplikasi persoalan dalam pelaksanaan
desentralisasi, seperti politisasi birokrasi, koalisi antara aparatur dan
anggota DPRD dalam pembobolan anggaran, dan konflik antara politisi dan para
pejabat karir. Berbagai persoalan itu jika tidak segera dicarikan solusinya
dapat mengagganggu perjalanan desentralisasi di Indonesia. Pemilihan kepala
daerah (pilkada) secara langsung sebagai salah satu ekspresi dari partisipasi
politik warga telah mendorong elit politik di daerah untuk memanfaatkan mesin birokrasi sebagai pengumpul suara dalam
pilkada. Elit politik berusaha memanfaatkan peluang yang muncul dari tidak
adanya pengaturan yang jelas dalam promosi dan pengangkatan pejabat karir untuk
menjadikan mereka sebagai aktivis politik dan mesin kampanye untuk pilkada.
Sebaliknya, aparatur daerah bersedia melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis
dengan menjadi mesin kampanye karena berharap kemudian hari bisa memperoleh
kelanjutan karirnya di birokrasi. Kebutuhan timbal balik telah menjadikan jabatan karir dalam
birokrasi di daerah sebagai arena transaksi politik antara politisi dan pejabat
karir di daerah.
Stabilitas birokrasi dan keandalan
mereka sebagai institusi pelayanan sering terganggu karena pergantian kepala
daerah selalu diikuti oleh pergantian secara massal kepala SKPD (kepala dinas,
badan, dan sebagainya). Pergantian itu dilakukan oleh kepala daerah terpilih
untuk memasukkan tim sukses mereka dalam struktur birokrasi sebagai penghargaan
atas dukungannya dalam pilkada. Akibatnya, muncul patronase politik dalam
birokrasi di daerah. melalui cara seperti ini kepala daerah dan wakilnya dapat
mendudukkan orang-orangnya ada jabatan-jabatan yang memungkinkan mereka
mengakses sumber daya public untuk kepentingan politik dan kelompok. Situasi
seperti ini sangat tidak sehat bagi pengembangan aparatur daerah yang
professional dan peduli kepada kepentingan public.
Akibatnya, tidak mengherankan ketika
banyak studi menunjukkan bahwa desentralisasi juga diikuti oleh persebaran
perilaku koruptif yang meluas ke daerah. Menguatnya patronage dan clientelism
antara politisi dan aparatur birokrasi di daerah telah membuat kontrol terhadap
perilaku korupsi menjadi semakin sulit. Apalagi dalam kondisi masyarakat sipil
masih sangat lemah, kontrol terhadap perskongkolan antara elit politik dan
birokrasi menjadi tidak efektif. Pembuatan APBD menjadi arena perskongkolan
baru antara elit politik dan birokrasi untuk menggerogoti anggaran daerah.
Ketika mekanisme perencanaan dari bawah melalui musrembang tidak memiliki
keterkaitan dengan proses deliberasi yang terjadi di DPRD maka “penitipan proyek” sering
menjadi modus operandi dari kolusi antara politisi dan aparatur birokrasi di
daerah. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang mekanisme hubungan antara
pejabat politik dan aparatur birokrasi ikut memberikan kontribusi terhadap
kesulitan mengendalikan kolusi antara pejabat birokrasi serta anggota DPRD dan
para politisi lainnya.
Kesulitan mengembangkan
professionalism aparatur daerah juga muncul karena mobilitas aparatur daerah
yang mengalami kemacetan setelah dilaksanakan otonomi daerah setelah
dilaksanakannya otonomi daerah. Ketika aparatur pusat dialih tugaskan ke daerah
dan gaji mereka dijadikan variable untuk menentukan kebutuhan fiscal daerah,
transfer aparatur antar daerah dan tingkat pemerintahan menjadi sangat sulit
dilakukan. Aparatur daerah menjadi terkotak-kotak pada satuan wilayah yang
sempit dan kehilangan wawasan nasional dalam memahami berbagai isu
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Situasinya cenderung menjadi semakin buruk
ketika desentralisasi juga mendorong tumbuhnya daerah-daerah otonom baru.
Selama satu dekade pelaksanaan desentralisasi telah memunculkan ratusan daerah
otonom baru, yang membuat aparatur daerah terfragmentasi ke dalam ruang sosial,
politik, dan spasial yang semakin sempit. Apalagi jika pembentukan daerah
otonom baru itu di dorong oleh kesamaan nilai-nilai primordial, seperti etnisitas dan agama,
fragmentasi spasial bertumpang tindih dengan fragmentasi berbasis nilai-nilai
primordial. Situasi-situasi itu tentu sangat merugikan dilihat dari keinginan
untuk menjadikan aparatur daerah sebagai national-binding
forces.
Pelaksanaan desentralisasi selama
satu dekade sekarang ini menciptakan paradoks dan anomali. Banyak perubahan
telah dinikmati sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah. Pada satu sisi desentralisasi memberikan kontribusi terhadap percepatan
terwujudnya pemerintahan daerah yang partsipatif, responsif, dan trasparan.
Namun, disisi lain elite captures dan perilaku koruptif juga semakin meluas.
Dalam bidang pengembangan aparatur daerah, pengalihan kekuasaan dan sumber daya
ke daerah menjadikan daerah memiliki daya tarik yang besar dan mendorong banyak
warga yang memiliki keahlian, kecakapan, dan pendidikan tinggi untuk
berimigrasi ke daerah. Putra daerah yang dahulunya merantau untuk mencari keberuntungan
di pemerintahan pusat dan daerah-daerah yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi,
terutama di Jawa, sangat mungkin memilih untuk kembali ke daerah.
Apalagi desentralisasi juga telah
mampu mendorong munculnya perguruan tinggi di daerah. Menjamurnya perguruan
tinggi dan universitas di daerah membuat produksi tenaga terampil dan terdidik
untuk pembangunan daerah dapat tercukupi dengan mudah. Putra daerah yang
sebelumnya harus pergi ke Jawa untuk menempuh pendidikan tinggi sekarang mereka
dapat mengakses pendidikan tinggi di daerahnya sendiri. Ditambah dengan semakin
besarnya investasi daerah pada sumber daya manusianya, peningkatan kuantitas
dan kualitas universitas dan perguruan tinggi di daerah dapat memberikan
kontribusi yang posistif dalam percepatan reformasi aparatur daerah. Fenomena
ini tentu sangat penting dan menjadi modal yang berarti dalam pengembangan
aparatur daerah dan memperkuat wawasan nasional.
Namun, disisi lain, desentralisasi
telah mendorong menguatnya etnocentrisme dan nilai-nilai subjektif dalam
pengelolaan aparatur daerah dan pelayanan publik. Elite dan para pemangku
kepentingan di daerah sering memahami desentralisasi sebagai peluang untuk
menempatkan putra daerah pada jabatan strategis di daerah dan menggunakan
sumber daya alam untuk kepentingan daerah sendiri. Para pemangku kepentingan di
daerah cenderung menjadi inward looking dalam memahami berbagai isu dan masalah
yang berkembang di daerah. Penempatan
aparatur dalam jabatan karir lebih berdasarkan pada pertimbangan primordial dan
patronage politik daripada pertimbangan merit dan kompetensi. Paradoks
ini terus berlangsung sampai sekarang dan menjadi salah satu konflik laten yang
ada di daerah.
Desentralisasi sebagaimana dijelaskan
di atas memunculkan banyak anomali dalam pengelolaan aparatur daerah. Pemanfaatan
mesin birokrasi untuk kepentingan politik dan pilkada, elite capture dalam
penganggaran, serta pembengkakan birokrasi dan jumlah aparatur daerah hanyalah
sebagian contoh dari anomaly dalam manajemen aparatur daerah yang sebelumnya
tidak pernah terbayangkan oleh para pengambil kebijakan desentraliasasi.
Kekosongan dan ketidakharmonisan antara rezim regulasi yang mengatur tentang
penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi penyebab utama desentalisasi
memberikan kontribusi terhadap munculnya paradoks dan anomaly itu. Jika
dibiarkan secara terus-menerus maka paradoks dan anomali itu akan menarik
kembali cerita sukses pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Upaya yang
serius perlu dilakukan untuk memperkuat kerangka kebijakan desentralisasi
menjadi lebih menyeluruh dan memiliki koherensi yang tinggi dengan reformasi
aparatur daerah. Hanya dengan cara seperti itu pelaksanaan desentralisasi akan
mampu memberikan kontribusi terhadap percepatan terwujudnya kesejahteraan
masyarakat di daerah.
PERTANYAAN
1. Apa yang dimaksud dengan; (1)
Pardoks, (2) anomali, (3) elite captures, (4) moral hazard, (5) patronage
politik, dan (6) penitipan proyek, dalam tulisan Agus Dwiyanto ini. Jelaskan
secara runtut.
2. Mengapa pengangkatan pegawai honorer
menjadi PNS menjadi masalah? Jelaskan secara singkat.
3. Kebijakan desentralisasi sesungguhnya
bukan keinginan pemerintah pusat, melainkan karena tekanan publik. Mengapa
disebut demikian? Jelaskan secara singkat.
Sampai
sini kuliah kita Horas, Mejuah-juah, Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar